Ilustrator: Zakariya Robbani
Cirebon, LPM FatsOeN – Menjadi sarjana adalah keinginan sebagian orang. Membicarakan tentang jenjang pendidikan, gelar sarjana terbilang tinggi dan membanggakan, apalagi ketika kita berasal dari desa yang jauh dari perkotaan. Dalam menjalani kehidupan, kita memang dibenturkan dengan berbagai pilihan yang membingungkan.
Dimulai dari masa kanak-kanak, kita sering dibenturkan dengan hal-hal yang masih sedikit beresiko, contohnya seperti dibenturkan oleh pilihan antara memilih mainan robot atau mobil balap, makan baso atau cilok, baju Boboiboy atau Upin & Ipin, dan masih banyak lagi.
Beranjak remaja, kita mulai disajikan oleh dua pilihan yang lumayan membuat bimbang, contohnya memilih antara sekolah SMA atau SMK, dan seterusnya. Setelah Dewasa, kita lebih dibingungkan oleh pilihan-pilihan yang mengasumsikan bahwa kesuksesan ialah bisa dengan cara kuliah, atau langsung bekerja.
Entah apapun yang kita pilih, semuanya sama-sama bisa mendukung kita menggapai kesuksesan yang kita inginkan, tergantung bagaimana kita menjalani pilihan itu.
Ada salah satu lelucon dari teman saya yang membuat terbahak-bahak, ia mengutarakan bahwa salah satu alasan saya kuliah adalah agar sedikit keren ketika ijab kabul nanti.
"Saya nikahkan dan kawinkan Budi Santoso S.Sos dengan mas kawin seperangkat alat shalat, dibayar tunai," katanya.
Sekilas memang sangat indah untuk dibayangkan, tetapi realitanya menjadi sarjana muda tidak semudah atau seindah yang diharapkan. Menurutku, belajar bukan hanya memindahkan isi buku ke kepala, atau menyalin catatan baru kedalam buku, melainkan menguji kebenaran serta menghadapi aneka ketidakpastian di dunia nyata adalah suatu hal paling perlu.
Tidak hanya itu, urgensi dari pendidikan sejatinya juga untuk membentuk karakter dan moralitas murid yang baik. Dalam Islam, kita tau bahwa adab berada di atas ilmu. Kiranya, kita harus sesekali keluar dari tempurung dan sangkar. Ada yang berkata, "Tenang saja, pasca kuliah masa depan akan cerah." Padahal pendidikan di negeri ini hanya mengarah kepada cara menyelesaikan soal-soal struktural, bukan belajar mengerjakan soal-soal kehidupan sosial.
Karena itu, mari lebih mengenal kemampuan diri, mengasah soft skil, melatih mental juang, dan berhenti untuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Seharusnya, yang menjadi tolak ukur perbandingan adalah diri kita di masa lampau, dengan diri kita di masa sekarang dan masa mendatang.
Perlu diingat, tanggung jawab sesungguhnya kita sebagai seorang sarjana adalah mempunyai inovasi baru untuk kemajuan bangsa, minimal kemajuan di desa. Satu lagi, kata teman, cita-cita, impian, atau apapun yang kau harapkan waktu kecil, kelak akan tumbuh menjadi kenyataan, atau hanya menjadi bumbu bibir penyesalan. Itu semua tergantung diri kita.
Penulis: Sulthon Azizan Zanuar
Editor: Ega Adriansyah