Sumber foto: Raihan Athaya

"Orang Timur dilarang menguasai wilayah Jawa", seru seorang yang ada pada barisan aksi aliansi ormawa hari Jumat (8/3). Atas dasar apa kalimat rasis ini begitu lantang dalam riuh suasana memperjuangkan "demokrasi"? Iya benar, kalimat itu semburat ke salah seorang yang rambutnya ikal dan kulitnya sedikit lebih gelap. Lalu apakah penekanan pada orang timur termasuk dalam tuntutan dari aksi yang mengatasnamakan aliansi ormawa?

Memang saat ini isu sara kerap kali diwajarkan dalam tujuan komedi. Pasalnya komedi sara termasuk kategori dark jokes yang secara teoritis ada tujuannya, yakni mencairkan hal yang tabu untuk dibicarakan. Lelucon ini idealnya menghadirkan unsur satire yang mendobrak stigma-stigma yang ada di masyarakat. Namun menjamurnya dark jokes membuat arah itu hanya sekadar celetukkan yang mencari gelak tawa. Kemudian kita dihadapkan dengan dua pertanyaan. Pertama, apakah teriakan itu berupaya mencairkan nilai-nilai yang kaku di masyarakat? Jelas tidak, pasalnya teriakan itu sengaja ditekankan pada mantan presma terpilih. Kedua, apakah aksi itu celetukkan yang mencari gelak tawa saja? Jika iya, sila direnungkan.

Tulisan ini tidak ada maksud sama sekali membela jabatan presma yang resmi dibatalkan. Namun di mana peran instansi pendidikan yang jelas menginginkan kecerdasan kehidupan bangsa? Ketika perkataan rasis itu mengudara dan di depannya terlihat dua wakil rektor yang dikerumuni pendemo. Penulis tidak melihat birokrat kampus yang turun gunung mengatasi permasalahan rasis ini. Justru yang diatasi hanya isu kontinuitas, yakni Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK) di ruangan lantai dua gedung rektorat.

Jika membicarakan kesetaraan, siapapun menginginkannya. Namun dalam situasi aksi beberpa hari lalu, rasa-rasanya tidak perlu mengharapkan kesetaraan. Pasalnya ada momen seorang yang didalangkan pembentukkan Panitia Pemilihan Mahasiswa Institut mengklarifikasi pelanggaran POK. Namun belum selesai bicara, suara itu sudah dihantam dengan pertanyaan "kamu berbicara sebagai apa?" oleh wakil rektor II. Bahkan ia juga melebelkan premanisme terhadap tindakan pelanggaran POK. Lalu bagaimana kepekaan terhadap kesetaraan bisa sampai hingga permasalahan rasis tadi?

Penulis menerka-nerka pembelajaran apa yang ingin disampaikan pendidik kepada mahasiswa? Pasalnya mahasiswa diharapkan melampaui pengetahuan kontinuitas bukan? Yakni pendidikan dan pengajaran; penelitian dan pengembangan; serta pengabdian ke masyarakat. Jika memang terbukti dan pantas lebel itu disematkan kepada mahasiswa yang dididiknya, pastinya itu bermula dari pendidiknya.

Untuk menyegarkan proses menerka-nerka itu, mari ulang dengan pikiran positif. Anggap saja pendidik sekaligus pejabat kampus mungkin tidak mendengar umpatan rasis pada sela-sela riuh aksi. Maka, inilah fakta yang penulis dengar dan mungkin beberapa orang yang ada mendengar itu. Kemudian bagaimana mengatasi permasalahan tersebut? Sehingga ada keamanan dan kenyaman kami untuk kesetaraan sekalipun berangkat dari perbedaan.

Penulis: Raihan Athaya

 

Sumber foto dokumentasi LPM FatsOeN

Sebuah kontroversi muncul di IAIN Syekh Nurjati Cirebon terkait tuntutan yang dituduh melibatkan interupsi dari pihak Warek 3 dalam proses demokrasi kampus. Pada Jumat (24/3), aliansi mahasiswa melakukan aksi tuntutan, mengekspresikan ketidakpuasan terhadap pemilihan Senat Mahasiswa Institut (Sema) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut (Dema).

Berbicara tentang tuntutan tentu harus ada dasar hukum dan panduan tersendiri, apalagi dalam sebuah demokrasi yang belandasan hukum untuk berorganisasi.

Dalam aliansi yang telah terjadi sekarang pada jumat ( 03/24) banyak sekali beranggapan bahwa aliasi tersebut bukanlah asas dari demokrasi melainkan ada sebuah kepentingan indivudalisme di dalam nya, karena pada dasarnya saat tuntutan tersebut orang yang mungkin sudah tidak lagi bersangkutan dengan mahasiswa kemudian di bawa, ini menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi seluruh mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon. 

Sebuah pernyataan dari salah seorang mahasiswa menyebutkan bahwa keterlibatan Warek 2 menjadi sorotan, terutama saat audiensi dengan Warek 3. "Pak Ilman yang memang paham terhadap POK (Pedoman Organisasi Kemahasiswaan) dan PUOK (Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan), menyinggung Pak Hajam karena dianggap tidak paham. Tetapi tujuannya tetap untuk menandatangani tuntutan dengan Pak Hajam sebagai Warek 3" ungkapnya, menciptakan tanda tanya terkait kejelasan tujuan tuntutan tersebut.

Apakah itu yang di ajarkan kepada kami para mahasiswa IAIN Syekh Nurjati tentang dari praktek berdemokrasi ? Sedangkan sangat berjauhan sekali dengan materi yang telah di ajarkan kepada kami.

Sumber: POK

Semestinya dalam berdemokrasi tentu berlandasan hukum tidak dengan interverensi pihak yang memang sudah tidak lagi berwenang di dalam nya. Bahkan jika kita lihat dari proses aliansi jumat (03/24), jalur koordinasi dan intruktif kurang tepat sasaran, Karena dalam POK yang di jelaskan bahwa jalur intruktif yang seharusnya Dema dan Sema Fakultas adalah melalui Dekan dan Wadek III. Lantas bagaimana bisa hal itu meranah ke intruktif ke Warek III ? 

Hal ini menjadi sorotan "apakah organisasi Dema dan Sema Fakultas tidak berlandasan POK? " 

Dalam sebuah hukum tentu ada arah serta maksud dan tujuan mengapa bisa ada jalur koordinatif dan intruktif, hal ini bermaksud menjadi fokus yang dimana dalam aturn birokrasi tentu ada wilayah wewenang setiap kebijakan, Contohnya Dema dan Sema Institut yang mempunyai wilayah dan wewenang mutlak di UKM/UKK. Namun, jika ranahnya adalah Dema dan Sema Fakultas, wilayah yang seharusnya menjadi fokus yakni Himpunan Mahasiswa di setiap jurusan yang ada di fakultas nya, Namun realita yang terjadi saat ini tidak lah sesuai dengan apa yang berada dalam POK. 

Bahkan yang lebih miris adalah hasil dari audiensi merencanakan pembentukan ulang Panitia Pemilihan Mahasiswa Institut (PPMI) pada hari rabu mendatang. 

Meskipun tindakan aliansi dianggap sah, pertanyaan tetap muncul mengenai konsistensi dengan aturan instruktif dan koordinatif yang seharusnya menjadi pedoman tertinggi dalam berorganisasi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon.


Penulis : Alfi

Editor : Tina Lestari

Sumber Foto: Raihan Athaya 

Cirebon, LPM FatsOeN - Aliansi Ormawa IAIN Syekh Nurjati Cirebon menolak dan tidak mengakui keputusan Panitia Pemilihan Mahasiswa Universitas (PPMU) terkait pemilihan Senat Mahasiswa (Sema) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema). Aksi protes terjadi di depan halaman gedung rektorat pada Jumat Sore (9/3). Tuntutan aliansi mencakup pelanggaran LPJ Dema Institut, aturan yang dilanggar dalam forum Musema, ketidakjelasan dalam kepanitiaan PPMU dan intervensi Sema Institut terhadap regulasi PPMU.  

Respon dari Ilman Nafi'a selaku Wakil Rektor II (Bagian Administrasi dan Keuangan) bahwa "Anggota dan pengurus masih diakomodasi masuk pada semester tujuh ke delapan. Namun, konsekuensi dari hal ini adalah setengah semester, dengan kepengurusan semester berikutnya harus diganti baik Sema maupun Dema dengan adanya PAW (Panitia Antar Waktu)". Ungkapnya.

Warek II juga menyoroti perekrutan panitia PPMU, menegaskan bahwa "Perwakilan struktural dari Kosma, HMJ, Dema Fakultas, dan Sema memiliki hak, sementara UKM/UKK hanya bisa ikut atas nama fakultas, bukan sebagai perwakilan nonstruktural" Pungkasnya.

Selain itu, ada rencana pembaruan Peraturan Organisasi dan Tata Kerja (POK) terkait sistem demokrasi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, termasuk pengusulan Pemilu Raya melalui E-Voting dan penempatan UKM di tingkat fakultas, bukan di Institut.

Hajam selaku Warek III (Bidang Kemahasiswaan dan Organisasi) juga merespon bahwa jika hasil diskusi menyimpulkan bahwa putusan akhir dari pemilihan tersebut tidak sah, pihak kampus bersedia untuk melakukan pemilihan ulang dan membentuk panitia baru. Namun, Warek III juga mengajak mahasiswa untuk menghargai keputusan panitia dan Sema Dema terkait dengan proses penggantian pengurus yang didasari pengunduran diri Sema Dema sebelumnya.

 "Sebab problem ini dari awal itu pengunduran diri Sema Dema yang lama. Bapak sebagai Wakil Rektor III yang baru kehilangan sejati, dan akhirnya proses Sema Dema itu diputuskan secara cepat melalui antar waktu dari ketua yang sebelumnya" jelas Hajam. 

Warek III menjelaskan bahwa sebelumnya menjelang berakhirnya kepengurusan Sema, ketua Sema mengundurkan diri. Warek III berharap jika dia bertanggung jawab, seharusnya diselesaikan terlebih dahulu sebelum mengundurkan diri. Namun, untuk menyelamatkan Sema, memutuskan agar Agam mengambil alih jabatan Ketua Sema 2023-2024.

Proses pembentukan panitia menjadi sulit karena kurangnya kesediaan mahasiswa, terutama di semester pendek, yang juga dipengaruhi oleh kurangnya semangat karena dampak perpanjangan masa kepengurusan Presma selama setahun.

Audiensi ini menjadi langkah awal dalam menyelesaikan perbedaan pandangan antara mahasiswa dan pihak kampus terkait pemilihan Sema dan Dema. Mahasiswa berharap audiensi ini membuka pintu dialog yang konstruktif guna mencapai solusi yang adil dan transparan dalam kepengurusan organisasi mahasiswa di IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Penulis: Zakariya & Raihan
Editor : Tina Lestari

 

Sumber Foto: Annita Syari'ach

Cirebon, LPM FatsOeN - Pertanyaan besar muncul pasca pemilihan Ketua Senat Mahasiswa (Sema) yang baru. Apakah alasan pengunduran diri salah satu calon Ketua Sema yang sebelumnya ada dua? Mengenai ini, Ketua Panitia Pemilihan Mahasiswa Umum (PPMU), Iman Sariman memberikan beberapa penjelasan.  

Menurut Iman, pengunduran diri calon Sema-I tersebut didasarkan pada pertimbangan pribadi yang tidak dapat dijelaskan secara detail.

"Ini kita langsung dari beliau langsung. Saya dapat konfirmasi dari beliau sendiri. Ada beberapa pertimbangan yang bersifat pribadi yang tidak bisa dijelaskan oleh beliau, yang jadinya beliau mengundurkan diri," ungkapnya.

Dia melanjutkan, ketika ditanya mengenai pertimbangan yang membuat salah satu calon kandidat mundur, calon tersebut tidak memberikan penjelasan yang detail. 

"Beliau tidak menjelaskan secara detail, makanya tidak rasional ketika beliau menjelaskan alasan tersebut," tambahnya.

Selain pertimbangan pribadi, calon tersebut juga menyatakan bahwa ada kandidat lain yang dianggap lebih kompeten.

"Ada yang lebih berkompeten dari beliau yang mengundurkan diri dari calon anggota Sema yang lain. Silahkan pilih dari calon anggota tersebut dan pasti ada yang lebih berkompeten daripada saya," ujar Iman menirukan pernyataan calon Ketua Sema yang mengundurkan diri.

Meskipun berkas para calon diklaim lengkap, keputusan untuk mundur tetap diterima oleh PPMU. Karena hal itu menjadi bagian dari hak yang mencalonkan. 

Adapun menanggapi dugaan ada tekanan dari pihak tertentu, Iman menyatakan tidak bisa memastikan ada tekanan. Akan tetapi dia tetap menyatakan ada kemungkinan bahwa dugaan itu ada.  

"Kami tidak bisa memastikan adanya tekanan, tapi kemungkinan ada. Ini menjadi pertanyaan besar karena tidak ada satupun yang hadir dari pihak bendera biru kuning dalam acara musema dan mudema Mereka sempat hadir sebelum acara berlangsung, ketika pending mereka tidak ada yang hadir. Nah ini kemana? Ini kan pertanyaan besar" ungkap Ketua PPMU.

Iman sebetulnya menyayangkan ketidakhadiran calon Ketua Sema tersebut dan menganggapnya sebagai bentuk pengunduran diri tidak langsung. 

"Urusan menang dan kalah itu hal yang wajar di demokrasi di pemilihan gitu, tapi ketika ketidakhadiran mereka itu menjadi tanda tanya besar dan memang butuh klarifikasi dan surat pernyataan. Kenapa mereka tidak hadir atau tanda kutip nya mereka mengundurkan diri dari pencalonan itu sendiri dengan ketidakhadiran mereka kan otomatis. Mungkin secara tidak langsung mereka mengundurkan diri baik dari calon anggota Sema, calon Ketua Sema ataupun calon Ketua Dema, karena saya merasa tidak ada dari pihak mereka, tidak ada yang mencalonkan diri," tegasnya.  

Meski mempertanyakan kehadiran tersebut, Iman tetap berpikir akan kemungkinan lain yang membuat diantidak hadir. Misalnya seperti ada sebuah kesibukan, atau kegiatan yang tak bisa mereka batalkan.

"Semoga asumsi saya itu tidak benar, mungkin mereka ada kesibukan lain atau kegiatan lain yang dimana mereka tidak bisa membatalkan pertemuan tersebut sehingga tidak bisa hadir ke Musema dan Mudema yang diadakan hari ini," pungkasnya.

Meskipun demikian, Iman mengingatkan semua informasi ini masih sebatas prediksi dan asumsi pribadi. Sehingga dia berharap rekan-rekan media/pers dapat membantu mengoreksi dan mendapatkan klarifikasi lebih lanjut dari pihak yang bersangkutan.


Reporter: Annita Syari'ach

Penulis: Tina Lestari

Editor: Ega Adriansyah

 


Cirebon, LPM FatsOeN - Sidang pemilihan Ketua Senat Mahasiswa (Sema) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) berlangsung tertutup. Hal ini kemudian memunculkan banyak pertanyaan dari mahasiswa terkait alasan dari kebijakan sidang itu. 

Ketua PPMU, Iman Sariman, menjelaskan, keputusan menggelar sidang secara tertutup merupakan hasil kesepakatan panitia PPMU. Sebelumnya, Sema berencana melakukan Pemilihan Raya (Pemira), tapi terkendala oleh jadwal libur kampus dan kesulitan membentuk panitia di awal Februari.

"Kesepakatan panitia di forum online (Google Meet) sepakat (memutuskan untuk) melaksanakan kegiatan (Pemilwa) seperti tahun kemarin yakni dengan keterwakilan dari anggota Senat Mahasiswa untuk pemilihan pemilu," ujar Iman.

Namun, keputusan ini menuai pertanyaan dari mahasiswa. Utamanya terkait pelaksanaan Musyawarah Dewan Eksekutif Mahasiswa (Mudema) yang bersamaan dengan kegiatan wisuda IAIN Syekh Nurjati Cirebon pada tanggal 5 dan 6 Maret 2024. 

Sejumlah mahasiswa menanyakan, bagaimana Musema dan Musema bisa dilaksanakan tanpa adanya Laporan Pertanggungjawaban (LPJ)?

Ketika ditanya tentang LPJ itu, Iman Sariman menegaskan bahwa LPJ tersebut bukanlah tanggung jawab PPMU. Meskipun mengakui belum disampaikannya LPJ Dema, Iman memandang bahwa pemilihan harus tetap terlaksana meskipun LPJ belum dipresentasikan.

"Tapi kalo kita mau nunggu LPJ Dewan Eksekutif Mahasiswa mau sampai kapan? Ini mau dilaksanakan (kapan) pemilihan ini? Oke boleh lah kita anggap ini melanggar etis, yang penting ini terlaksana, karena molor nya LPJ ini bukan salah dari penyelenggara acara yaitu sema karena memang dari Dema-nya sendiri," ungkanya.

"Entah itu tidak mau entah itu ketakutan entah apapun itu alasannya, mereka itu (telah) mangkir dari panggilan Sema (ketika disurati). Pak Warek telpon sudah, dari media massa pun sudah tersebar isu isu tersebut untuk LPJ dan sebagainya. Tapi mana buktinya? sampai sekarangpun beliau tidak mau LPJ-an," lanjut Iman.

Iman menyampaikan, dia merasa prihatin terhadap keterlambatan LPJ Dema dan menyoroti tanggung jawab dari Dema. Ia mencoba memberikan gambaran dari pengalamannya tahun sebelumnya. Menggambarkan bahwa kurangnya pertanggungjawaban dari kepengurusan sebelumnya adalah suatu masalah.

"Berarti kepengurusan Dema kemarin, mereka berani berbuat tapi mereka tidak berani bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Entah itu program kerja yang mereka lakukan (dan sebagainya). Tapi tidak mau mempertanggungjawabkan hasil program tersebut," tegas Iman Sariman.

Iman berharap, Ketua Formatur terpilih tetap mau mengawal dan memastikan LPJ Dema disampaikan dengan segera dan jelas. Apakah dilakukan secara tertutup ataupun terbuka, ia menekankan, yang penting transparansi dalam menyajikan pertanggungjawaban organisasi itu ada.


Penulis: Annita Syariach

Editor: Tina Lestari & Ega Adriansyah

 

Ilustrasi Foto: Canva.com 

Beberapa waktu ke belakang, saya menjadi bagian dari panitia Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Sekarang sedang bertransformasi menjadi UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (UIN SSC). Di Divisi Media. Pemilwa merupakan kegiatan yang rutin diadakan setiap tahun/periode. Tujuannya untuk memilih siapa Ketua Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) dan Senat Mahasiswa (Sema). Di mayoritas kampus kita mengenal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). 

Dalam proses penyelenggaraannya, terjadi beberapa (dalam bahasa saya) drama yang mengundang kritik dari mahasiswa (yang mengikuti proses Pemilwa). Seperti terasa diburu-buru, agenda-agendanya sempat beberapa kali ditunda, dikatakan banyak yang tidak berminat masuk Dema maupun Sema (sebab minat berorganisasi mahasiswa dinilai menurun), musyawarahnya diadakan tertutup, berbarengan dengan acara Wisuda dan seterusnya. Cukup banyak. 

Dalam kapasitas saya menjadi panitia, tulisan ini memang terkesan mengkritisi kesalahan sendiri. Tapi perlu diketahui, selama proses pemilihan, dari persiapan sampai pelaksanaan saya kurang mampu memberikan kontribusi yang maksimal. Selain karena saya jarang berada di kampus (sebab tidak ngekos/ngontrak), ada beberapa kegiatan yang sedang saya jalani juga. Seperti magang sampai bulan Juni mendatang, mengikuti kegiatan Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Jawa Barat di Tasikmalaya dan menjadi koordinator pelaksana Istighasah Kubra Hadiyu serta Pawai Obor di desa. 

Namun jika ada yang mengesankan berbeda. Silahkan. Itu hak pribadi masing-masing. Yang jelas, tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kepedulian saya terhadap teman-teman mahasiswa khususnya di IAIN dan Kabupaten/Kota Cirebon. Beberapa drama itu dinilai oleh seorang kontributor tulisan di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FatsOeN, Udin, sebagai bentuk/indikasi bahwa demokrasi di kampus sedang sakit. Apalagi dalam prosesnya juga diwarnai ketidakhadiran Ketua Umum Dema ketika Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) berlangsung dan musyawarahnya digelar tertutup.

Saya memandang bahwa yang dikatakan oleh Udin tidak salah. Prinsip demokrasi memang mengedepankan keterbukaan, kejujuran, keadilan dan partisipasi dari semua pihak. Dalam proses pemilihan itu, tidak semua mahasiswa memilih siapa yang akan menjadi Ketua Umum Dema maupun Sema. Karena konsep pemilihannya adalah delegasi. Detail yang dimaksud delegasi (dalam Pemilwa IAIN) seperti apa saya kurang terlalu paham. 

Saya bertanya kepada seorang teman mahasiswa yang magang bersama, "Apakah kamu tahu dan peduli ada pemilihan mahasiswa di kampus?", Dia menjawab, "Tidak tahu dan tidak peduli," begitu jawabnya. Dari sini, kita bisa melihat bahwa prinsip demokrasi dalam pemilihan mahasiswa di kampus memang kurang begitu dijalankan. Dan hal ini menurut saya perlu menjadi perhatian sekaligus renungan bersama. 

Saya sering mendengar bahwa para mahasiswa menggaungkan narasi bahwa demokrasi di kampus telah mati. Begitupun demokrasi dalam konteks nasional. Mereka begitu kritis terhadap proses demokrasi yang berlangsung di sekitarnya. Mereka begitu idealis menjunjung apa yang disebut sebagai "sebenar-benarnya demokrasi". Namun, dalam pelaksanaan Pemilwa ini, saya melihat ada kontradiksi antara idealisme dengan realita/tindakan nyata mereka dalam menjalankan proses demokrasi.

Hal demikian tentu menjadi sesuatu yang miris. Dan katanya, proses pemilihan seperti ini sudah berlangsung sejak beberapa periode ke belakang (jika keliru boleh dikoreksi). Saya kira, seharusnya teman-teman mahasiswa yang selama ini menggaungkan narasi-narasi yang idealis tentang demokrasi malu. Saya pun sebagai bagian dari mahasiswa di IAIN merasa malu. Utamanya karena belum bisa mengawal prosesnya menjadi lebih sesuai dengan prinsip demokrasi. 

Selain malu, saya juga khawatir terhadap keberlangsungan demokrasi dan politik negara. Para mahasiswa, di IAIN atau kampus lain merupakan generasi/tonggak penerus kepemimpinan nasional, daerah sampai desa. Jika sedari mahasiswa budaya-budaya menjalankan demokrasi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang fundamentalnya dipelihara, bagaimana jadinya jika mereka menjadi penerus dan menduduki posisi-posisi penting di lingkungan pemerintah nanti. 

Pikiran liar saya terkadang berkata. "Apakah budaya-budaya seperti ini umum di lingkungan kampus?", Jika umum, bukan hanya terjadi di IAIN, pantas saja jika kualitas demokrasi, penyelenggaraan pemerintahan kita dan perilaku aktor yang terlibat di dalamnya kurang positif. Masih diwarnai pelanggaran, manipulasi, KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan sebagainya. Sebab bagaimanapun, kampus merupakan tempat kelahiran para pejabat, pemangku kepentingan dan lainnya di masa depan. 

Saya kira, sekali lagi hal ini harus menjadi renungan bersama. Utamanya bagi Ketua Umum Dema dan Sema yang baru atau mahasiswa IAIN. Sebagai kalangan terdidik, yang mengemban tanggung jawab menjadi agen perubahan (agen of change), berfungsi sebagai kontrol sosial di lingkungan masyarakat dan teladan bagi masyarakat lain, ada baiknya mulai dari kampus kita jalankan proses demokrasi dengan baik. Menghindari ketidakterbukaan, kepentingan-kepentingan yang sifatnya negatif, mengedepankan egoisme pribadi maupun kolektif (golongan), dan lain-lain. 

Saya merupakan mahasiswa yang merasakan betul "multiplayer effect" dari demokrasi yang kurang baik. Saya aktif di desa. Bersama dengan teman-teman pemuda desa lain, saya sering mengadakan berbagai kegiatan sosial, keagamaan dan pendidikan. Melalui organisasi kepemudaan, yayasan, organisasi keagamaan dan sebagainya. Karena proses demokrasi di desa berjalan belum sebagaimana mestinya, terkadang dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan itu saya mendapat tantangan dan hambatan yang cukup menguras tenaga dan pikiran. 

Di samping itu, saya juga aktif menjadi pengurus Badan Usaha Milik Desa, sebuah badan/lembaga yang mengurus aktivitas usaha/perekonomian desa. Karena hal serupa, aktivitas pengembangan usaha/ekonomi desa akhirnya kurang berjalan maksimal. Menghasilkan Pendapatan Asli Desa (PADes) yang tidak begitu besar dan kurang berkontribusi mengatasi masalah kemiskinan, pendidikan masyarakat yang belum tinggi sampai pengangguran. 

Kenapa saya tidak protes? Kenapa saya dan teman-teman muda lain membiarkan hal itu terjadi? Jika ada yang belum paham, situasi di desa dan kampus itu berbeda. Berbeda jauh. Bahkan jauh sekali. Jika itu terjadi di kampus, saya berani menulis atau menggaungkan apa yang sesuai dengan prinsip demokrasi yang baik secara lantang. Di desa tidak bisa disamakan. Jika keberanian saya diimplementasikan secara "tidak dimodifikasi menjadi lebih soft dan mengedepankan diplomasi", akses saya untuk berkontribusi aktif di lingkungan sosial, pendidikan sampai ekonomi itu bisa terbatasi. Jadi, strateginya harus menyesuaikan. 

Tapi jika di desa, di daerah dan pusat pemerintahan itu diisi oleh "pensiunan-pensiunan" mahasiswa yang berintegritas dan punya idealisme demokrasi yang sejalan dengan tindakan, saya yakin proses penyelenggaraan pemerintahan di desa, daerah dan pusat akan berjalan lebih baik. Berdampak positif terhadap masyarakat, mampu membawa negara menghadapi tantangan-tantangan global/lokal yang sekarang mengemuka seperti climate change, krisis pangan, krisis air bersih, krisis energi, atau resesi, dan lain-lain. 

Penulis: Ega Adriansyah

 

Sumber Foto: Ica 
Formatur Ketua SEMA-DEMA

Cirebon, LPM FatsOeN - Sidang tertutup Musyawarah Senat Mahasiswa (Musema) dan Musyawarah Dewan Eksekutif Mahasiswa (Mudema) menetapkan Ahmad Luqman Hakim dan Rashid Mone sebagai Formatur Ketua Sema dan Dema pada (06/03) di Gedung Rektorat lt. 3.

Sidang tertutup Musyawarah Senat Mahasiswa (Musema) dan Musyawarah Dewan Eksekutif Mahasiswa (Mudema) menetapkan Ahmad Luqman Hakim dan Rashid Mone sebagai Formatur Ketua Sema dan Dema.

Penetapan dua orang formatur Ketua Umum Sema dan Dema itu memunculkan semangat baru di tengan situasi politik mahasiswa yang sedang ramai karena sidang Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) tak kunjung dilaksanakan dan transformasi IAIN menjadi UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (UIN SSC). 

Luqman, selaku formatur Ketua Sema mengatakan, setelah ini komunikasi kepada senior atau yang berpengalaman pada ranah legislatif kampus menjadi penting. Menurutnya, hal ini harus dilakukan guna mengoptimalkan kinerja Sema ke depannya.

"Kita akan merapat berkomunikasi dengan Agam selaku Ketum (Ketua Umum) Sema sebelumnya, terkait regulasi apa yang akan kita berikan untuk pengisian kursi-kursi yang kosong," ujar luqman.

Dia melanjutkan, Sema harus memenuhi 34 kursi yang ada di senat untuk mencapai tujuannya. Bahkan, ia berharap untuk bisa menjadi wadah yang selektif dan solutif bagi mahasiswa dan segala macam aspirasinya. 

"Oleh karena itu, hal ini menurutnya membutuhkan sinergisi antar organisasi mahasiswa, baik Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Sema-Dema Fakultas, Unit Kegiatan Mahsiswa/Khusus (UKM-UKK), serta Dema Institut. Terlebih dalam menghadapi pikiran-pikiran mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon," ujarnya. 

Ia menambahkan, saat ini sedang belajar tentang sesuatu apa saja yang harus ditempuh dan dipersiapkan ketika IAIN mulai bertransformasi menjadi UIN SSC. Pasalnya, ketika telah beralih, kemungkinan akan ada regulasi-regulasi organisasi dan lainnya yang berubah.

Di sisi lain, Rashid Mone, selaku formatur Dema terpilih mengungkapkan, bahwa ke depan harus ada beberapa perubahan dalam merespon isu-isu kampus. Utamanya isu Dema sebelumnya yang menuai banyak polemik. Sehingga, ia menegaskan akan ada perubahan dari internal Dema periode yang baru.

Ia percaya bahwa Dema sebelumnya banyak melakukan sesuatu demi kepentingan bersama. Namun ia menilai kurangnya transparasi dari ketuanya yang memperkeruh polemik, khususnya pada mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

"Kurangnya transparansi dari ketua memperkeruh polemik," katanya. 

Kemudian, ia juga merespon secara positif tuntutan-tuntutan yang dilakukan Dema Fakultas Syariah (Fasya) terhadap persoalan-persoalan ormawa di kampus.

"Saya kira kita harus memberikan ruang untuk dialog itu, kita memberikan audiensi untuk itu. Marilah kita sama-sama untuk mengawasi permasalahans eperti ini, sehingga apapun yang terjadi itu tidak menjadi problem," ungkap Rashid.

Selain itu, ia juga menyoroti sistem demokrasi di kampus ketika akan menghadapi peralihan IAIN ke UINSSC. Ia berharap kedepannya IAIN harus menggunakan sistem Pemilihan Raya (Pemira) dalam memilih Ketua Umum Sema dan Dema. Di mana sistemnya membuat setiap mahasiswa punya kesempatan dan ikut berpartisipasi dalam proses memilih Ketua Umum Sema dan Dema yang ada di kampus secara langsung. 


Penulis: Raihan Athaya

Editor: Ega Adriansyah