(foto: Aji Harka/Pengurus LPM FatsOeN)

Film The Burning Season: Chico Mendez Story menceritakan tentang para Aktivis Lingkungan Hidup di kota Cachoeira, Brazil dari Pembebasan Lahan dan Penebangan Pohon Liar di Hutan Hujan Amazon dimana tempat serikat penyadap karet menggantungkan nasib hidupnya.

Chico Mendez yang sedari kecil menyadap karet bersama dengan Ayahnya, seketika waktu diajak untuk menemui pengepul atau tengkulak getah karet untuk Ia jual. Akan tetapi, sesaat bertransaksi terjadi kecurangan yang dilakukan oleh tengkulak tersebut, ayahnya tidak dapat berkata-kata untuk memperjuangkan harga hasil kerja miliknya.

Awal cerita film itu memperlihatkan bagaimana satire kapitalisme yang kental, liciknya sosok seseorang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai modal. Chico Mendez yang saat itu masih kecil tentu hanya bertanya-tanya mengapa bisa terjadi kecurangan seperti ini dan mungkin dari hal inilah Chico Mendez kecil sangat peduli, kejadian ini memantik keingintahuan dan pandangannya dalam dunia perlawanan.

"Seratus orang tanpa pendidikan adalah pemberontakan, dan satu orang berpendidikan adalah awal sebuah pergerakan." (Chico Mendez)

Pergolakan amarah massa diawali oleh investasi industri peternakan yang ingin didirikan oleh perusahaan asing dengan membuka lahan di daerah hutan di Cachoeira mengunakan proyek gusur paksa pada ekosistem karet atau pinus disana. Wilson Pinheiro yang merupakan pastor dan juga ketua dari serikat pekerja penyadap karet melakukan sesi orasi semangat dengan dalih-dalih agama yang ia bawa untuk memulai ajakan gerakan kolektif perlawanan terhadap perusahaan peternakan itu. Seluruh jemaat yang hadir mendukung penuh gerakan itu.

Gerakan demi gerakan silih berganti saling serang antara kedua belah pihak, baik dengan senjata maupun kata-kata. Wilson Pinheiro yang sebagai sentral dari gerakan ini, kemudian mendapatkan sebuah pesan terror akan kematian berupa kepala kambing segar yang baru saja disembelih digantungkan di depan pintu rumahnya. Sontak, Istri Wilson Pinheiro mulai ketakutan.

Akan tetapi, Wilson bersikukuh untuk tetap membersamai social movement yang ia bangun bersama serikatnya hingga akhir hayatnya.

Wilson mati tertembak, serikat pun membalaskan kematian wilson dengan nyawa dibayar nyawa dari tembakan pistol seseorang dari serikat kepada oknum pemerintah. Chico Mendez melanjutkan estafet perjuangan gerakan sosial yang telah dibangun Wilson Pinheiro bersama dengan orang-orang yang resah dan peduli melihat keadaan ketidakadilan yang terjadi.

Gerakan sosial hanya bisa berlangung dalam siklus atau sistem yang terus berlanjut dan tidak dimaknai dengan gerakan sekali pukul saja, lalu sehabis itu sudah, melainkan ini sesuatu pola yang sistematis.

Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh Chico Mendez sendiri tidak hanya gerakan yang mengandalkan senjata akan tetapi juga gerakan yang mengandalkan kata-kata untuk melawan musuh yang dihadapinya. Contohnya saat melakukan perlawanan terhadap penebangan hutan yang pertama dengan mengingatkan bahwa 20 Cruzeiro sehari yang didapat penebang tentunya tidak sebanding dengan segenap rakyat Cachoeira yang menggantungkan hidup di hutan tersebut. Ia juga percaya bahwa ada jalan yang bisa ditempuh tanpa adanya kekerasan, jalan moderat yang tidak menimbulkan kematian yakni, dengan Kata-kata.

Setelah proses penebangan hutan sempat dihentikan. Sayangnya, selang beberapa waktu saja penebangan tersebut kembali berlanjut bahkan lebih parah dari sebelumnya.

Melihat usaha yang dilakukan tidak berhasil, Chico bersama penduduk lainnya berinisiatif menghalangi kembali penebangan tersebut di hutan. Nahasnya kali ini terdapat salah satu orang dari serikat  yang terluka. Walhasil, para penebang hutan merasa bersalah dan menghentikan kegiatannya. Atas dasar hal ini Chico pergi ke pusat kota untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah. Namun, yang Ia dapatkan hanyalah sebuah sikap apatis dan kegagalan karena mereka yang berada di sana tidak mengenal apalagi peduli akan keberadaan Chico.

Sesaat Chico kembali ke daerahnya, betapa terkejutnya melihat penebangan besar-besaran kembali terjadi. Dia kembali mengumpulkan penduduk dan mencoba menentangnya, dengan tanpa kekerasan. Namun keadaannya sudah sangat berbeda, kali ini penebangannya dikawal dengan para tentara lengkap dengan senjatanya sehingga usaha yang dilakukan oleh penduduk tidak berhasil dan menimbulkan sebuah huru-hara pembantaian pada para penduduk.

Singkat cerita, pemerintah mendengar kejadian tersebut dan kemudian turun tangan menuju kediaman Chico Mendez untuk bernegosiasi. Proses tersebut terjadi selama sehari semalam, hingga paginya ketika pintu rumahnya dibuka. Chico, anggota pemerintah, dan juga pengusaha terkejut karena mendapati warga telah menunggu keputusan yang dihasilkan. Keputusan akhir yang didapat adalah pemerintah akan melindungi hutan yang ada dari penebangan liar. Keputusan tersebut memberikan nafas panjang bagi masyarakat Cachoeira.

Kejadian teror yang sebelumnya dialami oleh Wilson Pinheiro yang mana didapati kepala kambing digantungkan di depan rumahnya kembali terulang kepada Chico. Ia memilih untuk tetap tinggal di rumahnya dan akhirnya bernasib seperti pendahulunyaWilson Pinheiro, pada malam harinya Chico ditembak mati di rumahnya. 

Penulis: Aji Harka/Pengurus LPM FatsOeN


 

(Suasana di dalam Gedung Laboraturium Terpadu IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Majasem. Antusias Peserta Mengikuti Seleksi Wawancara Penerimaan Anggota Baru LPM FatsOeN Tahun 2022, foto : Amri/Anggota LPM FatsOeN)


IAIN-LPM FatsOeN - Lembaga Pers Mahasiswa FatsOeN menggelar acara seleksi wawancara penerimaan anggota baru Tahun 2022, acara ini digelar di Gedung Laboraturium Terpadu IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Majasem, Sabtu-Minggu (8-9/10) dimulai dari jam 08.00-15.00 WIB. Acara ini merupakan pertama kali digelar dalam penerimaan anggota baru.

Latar belakang dari dilaksanakannya acara ini yaitu dari divisi pengembangan sumber daya anggota yang memberikan tugas tindak lanjut kepada anggota magang untuk membuat projek acara penerimaan anggota baru tahun 2022, dibantu oleh pengurus LPM FatsOeN.

Fadlih Abdul Hakim selaku ketua pelaksana penerimaan anggota baru LPM FatsOeN Tahun 2022 menyampaikan perlu adanya seleksi wawancara serta harapannya bisa melahirkan generasi yang cakap dibidang Jurnalistik. “Perlu adanya wawancara penerimaan anggota baru yaitu untuk menggali potensi, melihat keseriusan calon anggota, karena ini merupakan aspek penilaian yang besar dalam seleksi wawancara. Juga ingin melihat bakat serta bersilaturahim dengan calon anggota. Harapan kedepannya bisa melahirkan generasi yang cakap dibidang jurnalistik”. Ujar Fadlih.

Sementara itu, dalam wawancara dengan calon anggota FatsOeN Ahmad Ali, mengungkapkan “Para peserta mempersiapkan waktu dan alat tulis untuk wawancara, alasan saya bergabung LPM FatsOeN yaitu agar tidak menjadi mahasiswa kupu-kupu yang hanya bolak balik ke kampus tanpa adanya organisasi, juga ingin mengasah kemampuan soft skill, salah satunya yaitu menulis. Harapannya ilmu dan soft skill saya bertambah  saat bergabung di LPM FatsOeN. Kesan saya mengikuti acara penerimaan anggota baru kemarin bagus, tempatnya sudah dipersiapkan, pewawancaranya juga sudah siap di tempat, dan bagi yang berhalangan sudah dipersiapkan di hari yang lain” Urainya Ahmad Ali.

Penerimaan anggota baru ini untuk mahasiswa semester 1 dan 3 serta tidak dipungut biaya alias gratis dengan syarat mengikuti alur pendaftaran yaitu pertama pemberkasan, mengisi formulir pendaftaran dengan mengirimkan data diri. Kemudian mengirimkan lampiran-lampiran screenshot dari akun sosial LPM FatsOeN, pengumpulan karya umum yaitu mengirimkan tulisan seperti berita, opini, essay dan cerpen serta memilih salah satu karya khusus yaitu dibidang reporter, layouter, videografi, fotografi. Selanjutnya menunggu datanya diperiksa, setelah diperiksa masuk ke tahap wawancara. Diwawancara ini ditentukan kualitas dari para peserta yang nantinya akan mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat dasar. Tujuan diadakannya pelatihan jurnalistik tingkat dasar yaitu untuk pengenalan kepada calon anggota tentang ilmu-ilmu dasar jurnalistik. Rencananya pelatihan jurnalistik tingkat dasar akan digelar pada akhir Oktober mendatang.

Penulis : Zakariya Robbani/Anggota LPM FatsOeN

           

Narkotika Sebagai Permasalahan Terbesar di Indonesia

Dewasa ini kasus tindak pidana narkotika masih menduduki urutan tiga besar dalam hal permasalahan sosial terbesar di Indonesia yakni sebesar 15,50%. Tindak pidana narkotika sendiri merupakan salah satu kejahatan yang bersifat transnasional (transnational criminality) karena modus dari kejahatan ini dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Narkotika bagaikan pedang bermata dua di satu sisi ia diperlukan guna perkembangan di dunia medis namun apabila disalahgunakan oleh seseorang lalu kecanduan maka hal tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum, sehingga membuat masyarakat menjadi resah disebabkan karena barang terlarang tersebut menyebabkan pengaruh negatif bagi kalangan usia muda, remaja hingga lansia, pengaruh negatif tersebut dapat ditimbulkan oleh pemakai di lingkungan masyarakat, apabila pemakai tersebut telah kecanduan dan tidak memperoleh narkotika maka pemakai lalu menghalalkan segala cara untuk memperoleh barang tersebut seperti mencuri, merampok, serta tindakan kriminal lainnya (Suyono, 1980).

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr. Fadil Zumhana menyampaikan bahwa jumlah perkara narkotika di seluruh Indonesia setiap tahunnya mencapai 131.421 orang Terpidana dari 272.332 orang terpidana di seluruh Indonesia sebab penyumbang terbesar kasus di lembaga pemasyarakatan diisi oleh para pelaku penyalahgunaan narkotika. Menurutnya, konsep pemidanaan yang diterapkan selama ini berjalan sesuai UU Nomor 35 Tahun 2009 yang penyelesaiannya cenderung banyak dilimpahkan ke proses pengadilan.

JAM-Pidum mengatakan sistem peradilan saat ini masih pada pola pikir lama yaitu semangat untuk memenjarakan para pelaku yang sebenarnya belum patut untuk menerima hukuman tersebut. Pelaku penyalahgunaan narkotika adalah salah satu contoh kesalahan penanganan perkaranya dimana seharusnya pelaku tersebut dapat diproses rehabilitasi.

Banyaknya jumlah kasus penyalahgunaan narkotika serta kebijakan kriminal (Criminal Policy) yang menyikapi hal tersebut secara represif sebagaimana diatur dalam Pasal 127 junto Pasal 111 dan atau Pasal 112 serta Pasal 114 UU No. 35 tahun 2009 yang lebih mengedepankan keadilan retributif tentu hal ini akan membawa konsekuensi logis bagi jumlah penghuni di Lembaga Pemasyarakatan di samping bagi pengguna yang bukan pengedar yang menjadi double victimization juga. 

Memprioritaskan Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Kasus Penyalahgunaan Narkotika

Berdasarkan Kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang melebihi kapasitas dapat memengaruhi kinerja petugas dalam memaksimalkan pembinaan bagi para narapidana, sehingga berdampak pula dengan hak-hak narapidana sebagaimana Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Pemasyarakatan. (Utami, 2017)

Upaya untuk mengatasi permasalahan kelebihan kapasitas yang terjadi di lapas maupun rutan tidak hanya tentang persoalan penambahan kapasitas tempatnya saja, melainkan dapat dimulai dari penegakan hukumnya, dengan menggeser stigma pemikiran yang retributif terutama untuk kasus penyalahgunaan narkoba dengan menggunakan pendekatan Restorative Justice.

Dalam tulisannya Bagir Manan, menerangkan tentang substansi ”restorative justice” yang berisi prinsip-prinsip, antara lain: ”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak win-win solutions”.

Dengan memberikan hukuman penjara baik terhadap pecandu maupun korban penyalahgunaan narkotika bukanlah suatu putusan yang tepat karena masih ada cara penyelesaian lain yakni dengan rehabilitasi mengingat 3 kategori tersebut perlu untuk disembuhkan.

Penegakan hukum sebagai salah satu wujud perlindungan negara terhadap hak asasi manusia harus dilaksanakan secara konsisten dan selaras dengan perkembangan hukum serta memperhatikan rasa keadilan dan perubahan paradigma yang terdapat di dalam masyarakat. Bahwa bahaya penyalahgunaan narkotika menunjukkan kecenderungan korban semakin meningkat, terutama di kalangan anak-anak, remaja dan generasi muda, sehingga diperlukan komitmen dan sinergi dari seluruh unsur aparat penegak hukum, pemangku kekuasaan terkait, maupun masyarakat, dalam menyikapi perubahan paradigma tersebut. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika tidak semata-mata dipandang sebagai pelaku tindak pidana, tetapi juga sebagai korban, dimana pelaksanaan rehabilitasi merupakan bagian dari alternatif hukuman.

Pada dasarnya perbuatan menggunakan dan menyalahgunakan narkotika merupakan suatu perbuatan pidana yang sudah semestinya dijatuhi sanksi pidana, akan tetapi tidak semua perbuatan itu harus diselesaikan melalui sarana penal. Rufinus Hutauruk menyatakan bahwa “Restorative Justice menitikberatkan pada proses pertanggungjawaban pidana secara langsung dari pelaku kepada korban dan masyarakat. Jika pelaku dan korban serta masyarakat yang dilanggar hak-haknya merasa telah tercapainya suatu keadilan melalui usaha musyawarah bersama, maka harapannya penyelenggaraan pemidanaan dapat dihindari. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku bukanlah objek utama dari pendekatan Restorative Justice, melainkan rasa keadilan serta pemulihan konflik itu sendirilah yang menjadi objek utamanya”.

Landasan Hukum Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Kasus Penyalahgunaan Narkotika

Berikutnya, berkaitan dengan penyelesaian kasus penyalahgunaan narkotika, maka yang menjadi dasar dalam penerapan Restorative Justice selama ini telah diatur dalam berbagai peraturan antara lain:

1) Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana;

2) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesiia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif;

3) Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 01/PB/MA/111/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor Per005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/111/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi;

4) Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) di lingkungan Peradilan Umum pada 22 Desember 2020.

 5) Peraturan Bersama Tahun 2014 Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.

6) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

7) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Keadilan Restoratif.

8) Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif.

Perlu diketahui bahwa sanksi yang diatur dalam UU Narkotika menganut double track system, yaitu berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan. Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 sendiri penyalahgunaan narkotika merupakan orang yang menggunakan narkotika tanpa hak melawan hukum, sedangkan korban penyalahgunaan narkotika ialah orang yang tidak sengaja mengonsumsi narkotika karena adanya paksaan, bujukan, diperdaya, ditipu, atau adanya ancaman yang memaksa untuk mengonsumsinya. Regulasi tersebut sudah menegaskan bahwa seseorang yang tertangkap tangan oleh pihak penegak hukum dan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan tidak terindikasi dengan adanya jaringan peredaran narkotika maka wajib dilakukan rehabilitasi.

Peran Kejaksaan RI Mengimplementasikan Keadilan Restoratif Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika

Berdasarkan keputusan Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, pendekatan keadilan restoratif hanya dapat diterapkan terhadap pecandu, penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, ketergantungan, dan narkotika pemakaian satu hari.

Menanggapi hal ini Jaksa Agung Burhanuddin pada akhir tahun 2021 mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa yang telah dinyatakan berlaku sejak 1 November 2021, penerbitan pedoman tersebut oleh jaksa agung juga dilatarbelakangi oleh sistem peradilan pidana yang saat ini masih condong ke arah punitif (menghukum), hal ini juga tercermin dari jumlah lapas yang kelebihan kapasitas dihuni sebagian besar merupakan napi tindak pidana narkotika (Erdianto, 2021). Kejaksaan mengeluarkan keadilan restoratif terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika merupakan bentuk reorientasi dalam kebijakan penanganan kasus tersebut. Kejaksaan akan mendorong optimalisasi proses rehabilitasi dibanding proses pengurungan penjara terhadap pelaku.

Atas dasar hal tersebut, pembentukan balai rehabilitasi merupakan tindakan nyata sebagai sarana menampung para pecandu narkotika di seluruh Indonesia dan dapat menjadi solusi dari persoalan Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia yang cenderung over capacity.

Optimalisasi Penerapan Keadilan Restoratif Dengan Rehabilitasi Sebagai Solusi Lapas Yang Over kapasitas

Rehabilitasi merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medis, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya, mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkotika dan kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar.

Saat ini sudah diterbitkan pedoman Kejaksaan RI yang di mana di dalamnya mengatur tentang penanganan perkara tindak pidana narkoba yang salah satunya melalui rehabilitasi. Penjatuhan hukuman rehabilitasi ini ialah alternatif yang dianggap lebih tepat mengingat napi kasus narkotika merupakan orang yang sakit dimana harus segera untuk disembuhkan, di samping itu mengingat kondisi lapas yang tidak mendukung, dikhawatirkan malah memperburuk kesehatan tahanan, serta kejiwaan para penyalahgunaan narkotika tersebut. Memosisikan penyalahgunaan narkotika sebagai korban yang dalam keadaan sakit, ketergantungan, sehingga memerlukan rehabilitasi (Laoly, 2019). Dengan ketentuan tersebut peradilan di Indonesia sesungguhnya sejak dulu telah berupaya untuk memulihkan keadaan menjadi semula yang mana merupakan wujud dari keadilan restoratif.

Simpulan

Pemerintah Indonesia sudah sangat serius menyikap persoalan kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan sebagai landasan pengaturan terhadap penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika hal ini dapat dibuktikan dari beberapa pengaturan Narkotika di Indonesia yang telah dimuat secara konkret melalui aturan-aturan yang berlaku pada setiap masanya, hal ini sebagai bentuk aktualisasi konsep negara hukum secara komprehensif serta progresif dan terus dilakukan perubahan-perubahan yang mengikuti perkembangan zaman.

Dengan beberapa regulasi yang disahkan baru-baru ini dengan mengandung unsur pendekatan Restorative Justice membuktikan bahwa keadilan restoratif dapat dilakukan terhadap tindak pidana narkotika terutama terhadap penyalahgunaan narkotika, meskipun tidak disebutkan langsung dalam ketentuan Undang-Undang Narkotika sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Namun Undang-Undang Narkotika mempunyai upaya rehabilitasi yang merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan narkotika terjadi kembali dibandingkan dengan penjara, hal ini menurut pandangan penulis merupakan perwujudan dari konsep Restorative Justice setelah kita sepakati bahwa penyalahgunaan narkotika sudah tidak lagi dipandang sebagai pelaku tetapi juga sebagai korban dengan salah satu upaya pendekatan penyelesaian perkara pidana yang lebih mengutamakan pemulihan kembali keadaan korban ke keadaan semula dengan melibatkan berbagai pihak.

Penulis: Fadlih Abdul Hakim

 

Ilustrasi: Zakariya Rabani/LPM FatsOeN

Stadion Kanjuruhan, Malang, membara. Kerusuhan pertandingan sepak bola antara Arema FC versus Persebaya sampai mengorbankan 125 jiwa. Data tersebut saya dapat dari akun Instagram @bolalobfootball (04/10/2022). Semuanya mati sia-sia, termasuk 2 orang anggota Polisi. Lalu, siapa yang bertanggungjawab?

Di tingkat resiko sepak bola indonesia, hanya ada dua pasang klub yang bisa diibaratkan sebagai “Rival Abadi” dan termasuk dalam kategori high risk level:

1. Persija – Persib

2. Arema – Persebaya

Karena masuk kategori HRL (High risk level), seharusnya sudah ada antisipasi yang lebih ketat dari awal.

Dilansir dari situs berita online Goal.com, Seganas-ganasnya Piala Coronation yang diselenggarakan untuk penghormatan terhadap Raja Alonso XIII, dan menjadi cikal bakal lahirnya Copa Del Rey Spanyol, yang akhirnya menjadi sejarah lahirnya rivalitas abadi “El-Classico” antara Real Madrid dengan Barcelona tetap tidak separah yang terjadi di Indonesia, khususnya berkaca pada kasus di Stadion Kanjuruhan yang memakan 125 korban jiwa.

Jika kita menilik data kematian di atas, kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, seperti yang diberitakan media online Tempo tercatat bahwa, angka kematian suporter di Kanjuruhan menempati posisi tiga besar dalam daftar sejarah korban sepak bola dunia, di bawah tragedi Estadio Nacional, Lima, Peru; yang mempertemukan antara Peru versus Argentina pada tahun 1964, mengakibatkan 328 orang merenggut nyawa. Dan di bawah tragedi tahun 2001 yang terjadi di Accra, Ghana; menewaskan 126 jiwa .

Sepak bola seakan-akan sudah bermetamorfosis menjadi agama yang harus dijunjung tinggi antara jiwa dan raga. Pembelaan suporter terhadap klub kesayangannya, sudah “gila-gilaan” seolah dianggap mempertaruhkan harga diri, nama baik, harkat, derajat, kehormatan, hingga mengorbankan hidup dan matinya untuk klub. Sampai seperti itu? Yang benar saja!.

Sepak bola bisa berjalan kembali, sorak sorai di pinggir lapangan dan gegap gempita dari berbagai penjuru kota akan dihidupkan kembali, segala kemewahan dari pertandingan sepak bola tidak akan selamanya berhenti. Tetapi, bagaimana perasaan keluarga korban, terutama orang tuanya?

Kesedihan teramat mendalam. Luka yang menyayat hati.

Terus terang, saya merasakan duka mereka. Mereka pasti hancur secara mental, fisiknya pasti lunglai.

Apa yang menjadi penyebab dasar kejadian di kanjuruhan harus dievaluasi total, harus ada reformasi fundamental terhadap dunia sepak bola, dirunut dari sebelum tragedi terjadi, bila perlu sepak bola kita diliburkan sampai masalah ini selesai, dan ditemukan formula terbaik untuk masa depan sepak bola Indonesia.

Juga, diliburkan sampai kondusif; sampai seluruh penikmat sepak bola memiliki kesadaran yang tinggi bahwa kompetisi itu harus disertai tindakan sportifitas. Ingat, Tuan dan Puan, ini untuk seluruh penikmat sepak bola, seluruh elemen masyarakat, bukan hanya suporter klub saja.

Terakhir, saya turut berdukacita atas apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Semoga semua korban mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan selalu diberi ketabahan. Al-fatihah.

Semoga hal seperti ini tidak pernah terjadi lagi.

Salam olahraga!.

Penulis: Burhan/FatsOeN

(Foto: Myla Lestari/ LPM FatsOen)


Sang Jelata

Meronta dibawah kaki penguasa

Kita sang jelata

Dianggap hina mengemis ruang untuk hidup disebelah sana

Kita meraba dalam kegelapan. 


Mengipas daun kering di tengah hutan

Lihat! Disebelah sana sang penguasa bertumpuk kaki menikmati secangkir kopi dan semilir angin seraya berseri seri

Kita yang katanya sang jelata berlari kesana kemari mencari kehidupan. 

Bagai hidup dalam jajahan


Mengerikan! 

Katanya tanah kita tanah surga, katanya unggul dan terkemuka

Katanya dan katanya hanyalah sebuah kata

Tuan! Sang jelata ini tidak mengemis

Sang jelata ini hanya meminta hak nya yang semakin teriris


Penulis: Tinales

(Foto: tsukiko-kiyomidzu/pixabay)

Tembok

Dalam beberapa fase kehidupan kadang kita dihadapkan oleh beberapa bagian bagian yang kadang sulit untuk kita mengerti, dan itu yang akhir akhir ini saya fikirkan, manusia ternyata tidak hanya terdiri dari sebatas tubuh yang bergerak oleh dorongan dorongan taknis-biologis tapi juga lebih dari itu, dorongan, perasaan atau prilaku yang kadang pelik ini biasa saya sebut dengan “tembok”, istilah tembok ini saya pakai karena saya sendiri bingung mencari kata yang tepat untuk hal ini.

Bagi beberapa manusia tembok ini kadang sedemikian tinggi hingga perlu usaha untuk melewatinya atau bahkan menghancurkanya, ada juga manusia yang memiliki tembok dalam dirinya yang dengan mudah ia lewati, jika dijelaskan tembok ini mungkin akan sangat sulit sekali untuk dijelaskan, beberapa manusia kadang menyangkal bahwa dia punya tembok, beberapa manusia lagi hanya bisa mengakui bahwa dirinya mempunyai tembok tapi sangat sulit untuk mereka atasi sendiri. 

Beberapa manusia lagi mengakui bahwa dirinya mempunyai tembok yang coba terus menerus mereka coba hancurkan walaupun itu kadang terpaksa bahkan menyakitkan, biasanya tembok dalam diri manusia sangat berhubungan dengan masa lalu seperti bagaimana cara dia tumbuh, peristiwa yang dialami, rasa sakit yang pernah dirasakan atau bahkan berasal dari keinginan yang tidak dipenuhi dan berbagai macam hal lain yang pernah ada di masa lalu.

Lewat berbagai macam hal yang terjadi di masa lalu manusia menjadi dirinya yang ada di masa sekarang, manusia terkadang tidak sadar bahwa dirinya hari ini adalah kumpulan dari akumulasi berbagai macam hal yang terjadi dimasa lalu, masa lalu tidak hilang begitu saja seiring berjalannya waktu, tapi masa lalu terkumpul lalu membentuk berbagai macam sifat, karakter, prilaku, watak termasuk tembok yang sulit untuk dimengerti bahkan oleh manusianya sendiri. 

Biasanya beberapa tembok yang ada dalam diri manusia terlihat sangat sederhana bagi sebagian orang yang tidak merasakannya, tapi bagi yang mengalaminya hal sederhana tersebut kadang sulit untuk mereka mengerti dan lakukan, mungkin disinilah bagaimana tembok yang lahir dari akumulasi pengalaman manusia dari masa lalu bekerja, lewat alam bawah sadar yang rumit akumulasi masa lalu yang membentuk tembok tersebut bekerja mensitimulus otak dan mulut yang menghasilkan berbagai macam ucapan tindakan denail bahkan defensif  bahkan ceroboh yang dengan jelas mereka sadari bahwa itu adalah bohong dan hal yang sia sia.

Lantas jika seperti ini bagaimana cara mengatasinya? Saya kira hal yang paling sederhana namun sulit untuk dilakukan adalah dengan mengakui bahwa dalam diri kita terdapat tembok yang memang sulit untuk kita hadapi, namun walaupun sulit untuk kita hadapi tapi harus tetap terus kita coba, hingga secara perlahan tembok itu mulai runtuh dengan begitu kita akan mulai menjadi diri kita yang utuh dan penuh serta mengenali dirinya sendiri, dan saya sendiri masih mencoba hal itu.

Penulis: Fahmi labibinajib

 

( Suasana depan gedung FUAD yang terdapat banyak tempelan spanduk, foto : Nuraini/ Anggota LPM FatsOeN)

IAIN-LPM FatsOeN. Mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon gelar aksi menuntut saranan prasarana kampus, aksi ini di gelar di depan gedung Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah, Selasa (20/9). Aksi ini bukan termasuk demo melainkan vandalisme, jika biasanya vandalisme itu dengan mencoret-coret tembok, kali ini dilakukan dengan mencoret spanduk dan ditempelkan didinding gedung FUAD.

Karena dirasa tidak akan menemukan titik terang jika hanya melakukan audiensi dan tidak akan ada solusinya, maka audiensi itu digantikan dengan aksi guna menyadarkan para mahasiswa. Latar belakang terjadinya aksi ini karena masuknya keluh kesah para mahasiswa terkait beberapa hal.

Ada beberapa tuntutan dari diadakannya aksi tersebut yaitu :

1.  Terkait UKT dan Fasilitas, yang taglinenya “UKT Elit Fasilitas Sulit

2. Sarana Prasarana

3.   Kelas Intensif

4. Dosen-dosen yang secara tidak langsung melakukan pungli

Tepat satu hari sebelum aksi, terdapat isu yang beredar mengenai mahasiswi pingsan akibat kelas yang panas, peristiwa tersebut terjadi di gedung FUAD lantai 402. Informasi tersebut didapatkan dari cuitan salah satu akun media sosial instagram, yang kemudian dikonfirmasi ulang kepada ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) FUAD bahwa kejadian tersebut benar adanya. Mahasiswi ini memang sedari awal sudah tidak enak badan, kemudian ditambah dengan kelas yang panas karena AC tidak menyala, dan kelas berada di lantai 4 dimana suhu rata-rata Cirebon bisa mencapai 33® C.  

Omar Qad Panity Selaku Ketua DEMA-FUAD, menyampaikan harapannya supaya tidak terjadi lagi peristiwa yang sama. Semoga ga ada kejadian ynag serupa lagi, pihak dekanat harusnya lebih melihat hal tersebut dan menanggapi secepatnya karena itu hal penting “ ujar Omar.

Saat spanduk sudah tertempel jelas pada dinding gedung FUAD, namun itu tidak berlangsung lama, atas perintah Wakil Rektor (Warek) II  spanduk-spanduk itu pun diturunkan. Padahal dari dekanat FUAD sendiri justru melarang untuk diturunkan, tapi tetap saja dengan kuasa Wakil Rektor (Warek) II   jabatan spanduk-spanduk itu pun akhirnya diturunkan.

Sampai saat ini belum ada kabar terbaru dari tindak lanjut aksi tersebut dikarenakan DEKAN FUAD secara mendadak melakukan rapat, sampai ketika ba’da dzuhur di cek kembali ternyata mereka masih melakukan rapat tersebut.

Penulis : Nuraini/ Anggota LPM FatsOeN

Editor : Dea Mariyana/ Pengurus LPM  FatsOeN