Lampu
Merah Tengah Kota
Oleh:
Elisa Juliani
23 Oktober 2019,
dimulai dari waktu yang begitu rumit dan perjalanan yang sedikit agak sulit,
tapi akhirnya semuanya mengantarkan aku ke tempat tujuan. Yah, disanalah aku
sampai. Tepatnya di terminal bus di salah satu kota peradaban, Kota Cirebon.
Sebuah tempat yang
menyediakan berbagai macam kendaraan untuk bisa sampai ke tujuan. Hilir mudik
bergantian antara pulang atau pergi sampai di suatu waktu mereka harus
berhenti, karena dari jauh terlihat satu tiang menjulang tinggi dan terlihat
berkedipkan lampu merah, yang artinya semua kendaraan harus berhenti. Tapi bola
mataku terus memandang mengitari jalur-jalur kendaraan ini.
"Aku kira
semuanya sama, tak ada yang berbeda, tak ada yang hilang dan tak ada yang
terhalang, ini normal-normal saja.”
Sampai suatu ketika,
hatiku berhenti bersajak, pandanganku mulai tertarik, dan langkah kakiku hilang
tak berbayang. Aku mulai merasakan ada sesuatu yang biasa namun tak semestinya
ada.
Iah... mereka yang
mengalihkan semua perhatian mata dan hatiku. Aku melihat sekumpulan anak-anak
kecil berkeliling kesana kemari memutari kendaraan berhenti.
“Om... Om... tisu
nya Om? Bu? Kakak?” begitu kata mereka.
Mereka sibuk dengan
pekerjaannya, menghiraukan teriknya sang surya dan berkelibutnya udara kotor
yang mengarungi. Tak sampai hati aku terus memandangnya, dan aku pun semakin
tak sabar ingin menyapanya. Tak banyak yang kupikirkan. Aku melambaikan
tanganku sepanjang menyeberangi jalan dan bergegas menghampiri mereka yang kembali
lagi ke tepi jalan untuk menunggu lampu merah selanjutnya.
Awalnya aku
bingung, “Apa yang harus kulakukan dengan semua makanan-makanan kecil yang
kubawa ini, apa mereka akan senang?" pikirku. Tapi kini entah apa yang
merasukiku, mulutku seakan tak berpikir bagaimana aku akan bicara dan
memanggilnya. Sautanku dengan lantang bergema dan meminta satu anak untuk
menghampiriku saat itu juga.
“De sini! Mau kue?”
tanya ku sambil melambaikan tangan.
Adik itu bergegas
menghampiri, dan dia sangat senang melihatku yang tak pernah ia kenal
sebelumnya. Aku kemudian menanyakan teman-temannya yang lain dan memintanya
untuk berkumpul di satu tempat.
Satu persatu mereka
datang, semakin mereka datang, semakin aku khawatir, takut jika makanan kecil
yang kubawa akan kurang. Sampai dua sisa kue yang ada di kantong, saat itu juga
aku melihat seorang anak kecil laki-laki berlarian menghampiri.
“Kaka… Kaka….”
Dia berteriak
memanggilku dari kejauhan, sampai-sampai menghiraukan kendaraan yang belum
berhenti begitu saja. Sontak aku pun terkejut dan berteriak “ADE? AWAS!
HATI-HATI!”
Beruntungnya, ia
bisa selamat dan jaraknya yang kurang satu meter tepat di hadapanku, ia
tersenyum manis dengan wajahnya yang polos penuh harapan.
Hari itu aku, anak
kecil laki-laki dan teman-teman yang lainnya berbincang sangat banyak, mulai
dari saling bertanya nama, menebak usia, memberikan lelucon dan bermain
kecil-kecilan tepat di pinggir jalan.
Kita menjadi pusat
perhatian orang-orang berkendara yang terhenti di lampu merah. Ada yang
memandang dengan penuh kegembiraan, tersenyum dan tertawa. Tapi tak banyak juga
yang melihat kami dengan tatapan tajam, aneh, tatapan selayaknya sampai seperti
sedang mengolok-olok.
Waktu terus
berputar tanpa kami sadari, posisi sang surya lebih condong ke arah barat dan
adzan ashar berkumandang, "Adik-adik ini udah sore, kakak harus pulang,"
ujarku menghentikan percakapan.
Melihat ekspresi
wajah mereka yang langsung bersedih dan merasa kurang puas, akhirnya aku pun
berjanji akan kembali membawakan buku-buku penuh ilustrasi.
Hari berganti lagi,
senja menghilang dan kembali digantikan mega, terus berulang seperti itu sampai
menggiringku kembali ke terminal bus untuk menepati janjiku pada si kecil Kevin
dan kawan-kawannya. Namun kali ini ada yang berbeda, ketika aku turun dari elf,
terdengar sautan manis yang menyambut kehadiranku "KAK EL, ADA KAK
EL!!" teriaknya begitu menggema seakan memberitahu semua sudut-sudut di kota
ini.
Tak lama si kecil
Kevin datang dengan wajah lugunya. Kali ini ia lebih aktif karena kedatanganku,
dia menjabat tangan dan menarikku sambil mencecar beberapa pertanyaan yang
harus aku jawab. "Kakak bawa apa? Kakak bawa buku cerita? Wah, Kevin mau
belajar Kak, yang ini, yang itu juga," ujar Kevin kecil semangat, "ayo
Kak, ayo," serunya sambil menunjuk ke beberapa buku yang masih tersimpan
rapi di tas jinjingku.
Saking tak
sabarannya, ia langsung membawa buku mewarnai dengan gambar robot selayaknya
kesukaan para anak laki-laki pada umumnya. Dia sepertinya ingin menjadi orang
pertama yang semangat belajar. Antusiasnya tentang hal baru membuat aku semakin
penasaran dengan kepribadiannya itu, tak ayal membuat aku ingin mencecar
pertanyaan balik padanya. Kuawali dengan tebak-tebakan menyebut siapa nama
lengkapnya. "Kevin! Nama lengkap kamu siapa?" Kevin masih asik dengan
buku gambarnya, ekspresi wajahnya seperti tak ingin memberitahu ku dulu.
"Emm.... Siapa ya?" ujar ia menggoda.
Kemudian aku
teringat dengan salah satu aktor yang awlan namanya sama persis dengannya
"Nama kamu... Kevin Julio, kan?" Serentak aku dan yang lainnya
menebak-nebak asal nama lengkap Kevin kecil lalu sesudahnya tertawa bersamaan.
Sontak Kevin
menjawab "Ih! Ko Kakak tau sih?" Kata ia dengan raut wajah kesal
karena namanya berhasil aku tebak. Tapi aku justru kaget keheranan "Bener
de? Nama kamu Kevin Julio?" tanyaku rasa tak percaya.
Kevin kecil
melanjutkan untuk mewarnai gambarnya dan seiring waktu aku pun melupakan nama
lengkapnya itu, menganggap bahwa perbincangan tadi tak lepas dari sekedar
candaan kecil di tengah-tengah keramaian kota.
Selesai menggambar,
ia menulis ejaan namanya sendiri di atas gambar robot yang sudah ia warnai
"K E V I N J U I L O". Aku melihat tangan kecil Kevin membuat
lekukan-lekukan garis disetiap hurufnya, hal tersebut lagi-lagi menarik
perhatianku untuk cukup membaca tulisannya dalam hati.
Aku berpikir jika
Kevin memang salah satu anak yang belum lancar dalam membaca apalagi menulis.
Tapi setidaknya saat ia sudah memasuki sekolah tingkat dasar, minimal ia tau
bagaimana cara menulis namanya sendiri. Dan itu sudah menjadi sebagian hal
lumrah yang semua orang hampir alami.
"Berarti, apa
yang ia bilang tentang namanya adalah Kevin Julio tadi itu, benar?" batinku
menerka-nerka. "Ya meski huruf I dan L nya tertukar, tapi mungkin maksud
ia adalah sama.”
Tentang mengenal
awal namanya adalah sebuah perkenalan yang cukup menggemaskan, selanjutnya aku
terus bertanya banyak mengenai latarbelakangnya lebih jauh, seperti bertanya
umurnya, apa kesukaannya, duduk di bangku kelas berapa, apa cita-citanya dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Ketika pertama kali
aku datang ke terminal, maka anak pertama yang aku tanya adalah ia, ketika aku bertanya
siapa yang mau belajar membaca, maka ia adalah orangnya. Ia tak pernah lepas
dari pangkuanku, ia selalu bersikap manja dan merengek jika aku tak membantunya
atau sekedar memenuhi keinginannya. Ia akan marah ketika ada temannya yang lain
duduk di pangkuanku juga, ia akan sedih ketika aku mendikte yang lainnya
membaca, ia akan menuntutku menggambarkan sesuatu yang sama seperti apa yang
aku gambarkan di buku anak-anak lainnya.
Memori tentang si
kecil Kevin itu akan terus terngiang di sela-sela pekerjaanku sekalipun aku
sedang berada di kampus untuk belajar. Lalu saat melihat buku-buku bacaan,
melihat mainan apalagi memandang gambar-gambarnya yang sengaja aku simpan di
kamar kosan. Sebenarnya tak hanya aku, banyak juga temanku yang lain yang
sama-sama ingin mengenalnya. Mereka mulai membelikan ia ice cream coklat
kesukaan Kevin, lalu mengajaknya bermain tebak-tebakan. Kevin akan tetap asik
bermain dengan semua orang, sampai pernah suatu ketika ia tak begitu menyadari
kehadiranku yang sudah dari jauh memperhatikannya. "Hai Keviiiiin,"
sapa ku membuat ia terkejut mendengar suara khasku untuknya. Sontak Kevin
menoleh dan berlari ke arahku, ia langsung memeluk dan tersenyum. Ia
benar-benar tak pernah sedikitpun malu meskipun banyak orang lain dan juga teman-temannya
memperhatikannya.
Kenangan bersamanya
akan terus bertambah dan aku harap akan selalu seperti itu. Sampai suatu hari
dimana aku tidak bisa menemui ia lagi di terminal, "Kevin kemana ya
Dek?" tanyaku pada kawan-kawannya. Salah satu di antara teman-temannya menjawab
"Kevin nangis di rumahnya Kak, soalnya tadi ada anak besar yang ngambil
uang Kevin."
Aku terdiam,
perasaanku sangat terpecah-pecah mendengar kabar yang tidak mengenakan itu,
Kevin adalah jagoan kecilku, yang sudah kuanggap seperti adik kandungku
sendiri, lalu bagaimana aku bisa membiarkan adik-adikku menangis karena uang
hasil kerja kerasnya diambil orang lain begitu saja.
Mungkin aku tak
pernah merasakan berada di posisi mereka, namun selama kedekatan yang sudah
kita jalin, ingatanku terhadap perjuangan mereka akan selalu membekas,
saat-saat mereka berjualan di bawah panas mentari, udara kotor yang bekelibut,
belum lagi jika mereka dihadapkan dengan tangan kosong tanpa selembar uang
kertas atau selogam uang perak.
Semua sudut pandang
dunia seakan memojokkan statusku saat itu, diriku seakan-akan tak bermakna.
Karena apalah aku dibandingkan mental dan ketahanan fisik mereka yang sangat
berbanding terbalik denganku. Belum lagi ketika kita harus belajar sambil
kucing-kucingan dengan Satpol PP, lalu bagaimana jika tidak ada aku atau kedua
orang tua mereka yang mengawasi, mereka bisa saja tertangkap kapan saja. Dan
Kevin adalah salah satu anak terkecil yang kami semua khawatirkan. Dengan anak
yang usianya lebih jauh dari ia saja hati kuatnya bisa teriris, apalagi sewaktu
waktu ia harus berhadapan dengan situasi keamanan sendirian.
Kevin is
My Little Prince
“Aku baru
tersadar ketika semua yang aku lihat bukan berdasarkan kebetulan, tapi
keajaiban yang menjadi kenyataan.”
Sudah berapa banyak kisah yang aku tulis sebelumnya,
berapa lama jarak yang ditempuh, berapa ribuan kata yang aku tuangkan. Selama
itu pun aku mencari sebuah jawaban.
Aku membuat pesan, aku mengetikkan tulisan, mengirimkan
surat menjadi lembaran bacaan. Hingga suatu ketika aku selalu menyimpan
seseorang dan cerita di kehidupannya. Aku selalu menyimpannya rapih sampai saat
ini.
Aku tidak tau seberapa mengejutkan lagi apa-apa yang akan
terjadi di dunia ini menurut sudut pandangnya terhadap diriku. Aku selalu
bilang di dalam tulisan-tulisanku, uang penaku, bahwa apa yang aku tulis itulah
yang aku capai. Meskipun banyak yang telah aku raih namun tak begitu aku
sadari. Aku hanya terfokus pada evaluasi dan penilaian diri.
Tokoh ini salah satunya, beberapa waktu yang lalu aku
menuliskan sebuah kisah tentang pangeran kecil atau biasa disebut sebagai Little
Prince. Little Prince ini adalah salah satu tokoh dari sebuah buku
yang mengisahkan kehidupan dunia dewasa yang membosankan.
Aku tak begitu terfokus untuk mengambil semu sisi dari
isi cerita tersebut, aku hanya menyukai karakter dan sisi pandangku sendiri
mengenai siapa itu pangeran kecil. Sempat terpikir bahwa pangeran kecil adalah
teman masa depanku, dia ada di masa lalu dan sedang berkelana untuk mencari
titik temu.
Sosok pangeran kecil yang sering aku ceritakan adalah
seorang laki-laki yang manis, pintar, cerdik dan seorang petualang.
Kepribadiannya tidak jauh mencirikan bahwa dia adalah seorang laki-laki dewasa
yang punya rasa cinta dan menjaga tapi dia juga tetap seorang anak laki-laki
dengan penuh imajinasi tinggi, karismatik, dan baik.
Sudah lama aku menunggu kehadirannya, baik dalam dunia
tulisan atau memang kenyataannya. Sampai suatu ketika aku teringat bahwa aku
selalu dekat dengan seorang anak laki-laki, dia adalah salah seorang anak yang
biasa aku ajar di lampu merah.
Dari semenjak pertama bertemu dengannya, aku memang
begitu tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai dia. Sampai-sampai dia
menjadi sangat dekat dan akrab denganku. Dia adalah seorang anak yang manja
seperti anak-anak yang lainnya. Namun dia memiliki keunikan lain yang belum
sempat aku tau di kebiasaan anak-anak seusianya.
Dia selalu menjawab pertanyaanku dengan sebuah tingkah.
Seperti ketika aku menanyakan apakah dia rindu padaku atau tidak, dia tidak
menjawabnya dengan ucapan. Namun dengan cara memelukku sebagai respon kasih
sayang.
Kevin adalah anak yang pertama kali aku cari di lampu
merah, Kevin adalah anak pertama yang selalu duduk di pangkuanku, Kevin adalah
anak paling kecil dari anak-anak yang lainnya, Kevin adalah anak yang paling periang
dan paling cengeng daripada anak-anak yang lainnya. Tapi Kevin juga adalah anak
paling dewasa dari anak-anak yang lainnya, ia selalu berkata bahwa ia ingin menjagaku
seperti khalayaknya seorang kekasih. Untuk itu aku sebut ia sebagai Pangeran
Kecil.
Kevin yang selalu membantuku menyeberang jalanan yang
cukup ramai, ia yang selalu menginspirasi ketika aku sedang tidak tahu harus
melakukan apa. Ia juga yang selalu menagih janjiku untuk kembali lagi, dan ia
adalah orang yang juga mengantarkanku pulang sampai ke terminal. Ia takkan
pergi sebelum bis-ku pergi.
Terima kasih Kevin, kamu adalah pria terkecil yang pernah
aku cintai. Tuhan mengirimkanmu agar bisa melindungiku, mengajarkan aku tentang
luasnya bumi dan segala isinya. Kamu adalah cinta pertama bagi aku sebagai
seorang kakak. Jadilah pangeranku sayang, jadilah anak-anak yang tak pernah
meninggalkan keistimewaannya sebagai malaikat kecil. Dan tetaplah menjadi
perhiasan di negeri ini, karena semangat belajar dan keingintahuanmu yang besar
akan mengantarkanmu pada orang yang besar juga.