(Sumber Gambar: Freepik.com)

Lu... luruh, seluruh harapku. Lu... luruh, semua janjimu. Ketika jalanku dan jalanmu tak bertemu

***

Perempuan itu menerawang ke segala sisi. Tempat ini sudah tidak asing lagi baginya. Tiap sudut memanggil untuk bernostalgia.

“Iced Americano sama air mineral ya.”

Renata menutup buku menu. Ia berjalan menuju sofa paling pojok, mengedarkan pandangannya lagi. Ia melipat tangan di depan dada, menyandarkan dirinya pada bantalan empuk di punggungnya. Kini ia bertransformasi jadi komentator bisu. Menilai tiap titik janggal di cafe itu. Gelas-gelas besi warna hijau muda dengan gradasi putih tersusun di atas meja, ditemani mesin ketik dan radio rusak yang  jobdesk-nya hanya pemanis belaka. Tembok di cafe itu sengaja masih batu bata merah, di beberapa sisi lumut tumbuh di sela-selanya. Sebuah pigura dengan dengan filter ala-ala 80an terpampang bertuliskan “est 2017”. Renata tersenyum kecil, senyumannya lebih tepat dibilang ejekan. Ada ketidaksingkronan antara filter 80an dan tahun yang dituliskan.

Benar kata orang-orang, zaman sekarang ada lahan kosong dikit dibikin coffeshop buat tempat tongkrongan. Ia bukan pecinta kopi dan mengutuk cafe-cafe yang membuat Vietnam Drip dengan Arabica yang masam, ia pula bukan anak aestetic yang cari spot bagus untuk memenuhi feed Instagram. Renata hanya butuh cafein untuk mendongkrak matanya, ia pula butuh memenuhi janji pada seorang pria yang mengiriminya pesan semalam.

“Renata yang bukan Chef, lama nunggu ya? Sori gua telat”

Seorang pria masuk membuka pintu kayu, ia mampu membuat seisi cafe berpaling dari HP-nya masing-masing. Alis tebal yang tegas dipadu dengan postur tubuh yang menjulang yang dibalut dengan setelan berwarna navy dengan tekstur kain yang berserat. Renata melihat ponselnya, pukul 2 siang.

“Kamu lagi break, atau memang pulang kerja?”

“Kabur sih lebih tepatnya. Lagian lu ga bisa kan, nunggu gua closing dulu. Bakalan lembur.”

“Oh”

Renata hanya ber-oh panjang. Jawabannya menunjukkan raut tidak peduli. Ia masih menunggu pesannanya yang belum juga rampung di meja.

“Ada apa nyariin saya?”

Renata langsung bicara ke inti.

“Gimana kabarlu?”

Reuben membuka sekelibat pertanyaan yang terdengar seperti basa-basi.

“Mau saya jawab apa? Kabar baik?”

Mendadak, hawa pembicaraan di ruangan itu menjadi dingin tak terkendali.

“Gua mau ngasih ini”

Reuben menyodorkan lembaran karton gold yang dibungkus rapih dari saku jasnya. Undangan pernikahan. Renata menelan ludah terdiam

“Mana sih pesenan saya belom dateng

Ia bingung apa yang harus ia lakukan, ia jadi salah tingkah. Renata berdiri menghampiri meja barista. Meninggalkan Reuben yang gugup dan memainkan jemarinya. Benar dugaannya, bagaimanapun menyatakan kabar yang harusnya gembira ini, menjadi bagian terberat dalam hidupnya. Sosok Renata Haryanto selalu menjadi hantu dari rasa penyesalan di sudut pikirnya. Dan kini Reuben harus menghadapi hantu itu sendiri, dengan selembar kertas yang bertuliskan undangan pernikahan.

Renata kembali dengan segelas Americano-nya. Ia menyesal telah memesan sesuatu yang pahit. Harusnya ia membeli segudang gula untuk kegetiran yang Reuben bawa.

“Maaf Re”

Reuben bingung harus bilang apa.

“Maaf buat?”

“Buat tiga tahun kita.”

“Bukannya seharusnya kamu bahagia ya?”

“Apa yang bikin gua bahagia karena lu belum nikah.”

Reuben tidak menyadari perkataannya. Renata menengguk minumannya. Pahit.

“Ben. Apa salah, kalau saya belom nikah?”

“Salah. Bikin rasa bersalah gua tambah lama.”

“Kalau begitu berlama-lamalah sama rasa bersalah itu.”

Renata ingin Reuben tenggelam lebih lama, kehabisan nafas, dan berjuang keras untuk menghirup udara segar. Renata ingin Reuben melakukan apa yang dulu ia lakukan.

“Re, lu udah kepala tiga.”

“Terus?”

“Gua jadi orang yang paling nyesel saat lu belom nikah”

“Gara-gara?”

“Kenapa masih nanya?”

“Gara-gara kita pernah having sex? Gara-gara lu mikir lu ngambil keperawanan saya? Gara-gara lu mikir Damn, Renata masih belom bisa move on dari seorang Reuben”

Ia memperjelas semuanya. Reuben berdecak kesal.

“Apasih yang bikin lu kayak gini Re? Apa susahnya sih, buat ngelupain semua itu? Kita ngelakuin berdua, sama-sama mau. Tapi kesannya gua doang yang salah!”

Nada bicara Reuben makin tinggi. Mata Renata terasa hangat. Ada yang ia bendung di balik kelopak matanya, meski pandangannya sudah mulai kabur. Ia mengerjap dan mengusap. Berusaha menarik nafas sedalam mungkin, berharap air yang mengalir bisa ia kembali masuk.

“Ben. 30 tahun saya hidup di dunia yang menganut steriotip patriarkis. 30 tahun saya dicekoki pemikiran bahwa wanita dilihat dari masa lalunya, kehormatan wanita ada di alat klaminnya, wanita yang sudah tidak perawan tidak pantas untuk dicinta. Kalau saya menghantui sudut pikirmu gara-gara sampai detik ini saya belom bisa nerima siapa-siapa di hidup saya, maka yang jadi hantu di sudut pikir saya adalah diri saya sendiri, bahwa saya tidak pantas untuk dicintai.”

Renata berusaha tenang, walau satu persatu sungai di pipinya mengalir deras. Ia berbicara pelan dan menjelaskan. Tentang seberapa besar ketakutannya sendiri. Tentang seberapa tinggi benteng yang ia bangun untuk orang lain. Reuben membuka jasnya, ia berpindah duduk di samping Renata. Menutupi wajah wanita itu dengan jasnya, memeluknya, membenamkan wajah cinta pertamanya pada dadanya yang bidang. Tangis Re pecah sesenggukan.

“Gua minta maaf, gua minta maaf, apa pun itu gua minta maaf.”

Tenggelam di lautan, pikiran dan amarahku. Tenggelam  di samudra, terhempas ku tak menentu.

Reuben mengelus kepala Renata. Ada kehangatan yang merambat di sana. Ada beban yang luruh di antara mereka berdua. Ada waktu yang terhenti dan dunia yang membisu. Yang terdengar hanya satu, degup jantung yang beradu.

Luruh. Kau dan aku

 

Penulis: Zulva Azhar

Nb. Luruh, Isyana Saraswati dan Rara Sekar

Mengeluhlah kalau ingin mengeluh. Lepaskan rasa sakit di dada yang mulai riuh. Akui saja bahwa hatimu juga punya sisi yang sangat rapuh. Yang perlahan-lahan akan terkikis, walau kau jaga dengan sungguh-sungguh.

Bersedihlah kalau harus bersedih. Tulis siapa dan apa saja yang membuat lukamu terasa semakin perih. Percayalah bersedih takkan membuat harga dirimu tersisih. Karena sejatinya kau hanya membenarkan bahwa kini jiwamu sedang begitu letih.

Teriaklah kalau merasa patut berteriak. Luapkan segala emosi di dalam dada yang saat ini sedang bergejolak. Keluarkan kekesalan itu sebelum semakin lama dan akan meruak. Terimalah saja sedikit rasa pahit atas harapan-harapanmu yang telah koyak.

Menangislah kalau ini sudah waktunya menangis. Terima semua kekalahan-kekalahan itu yang perlahan menjadikan batinmu teriris. Tumpahkan semua air matamu sampai habis. Kau pun tahu masalah-masalah yang datang tak akan bisa selalu kau tepis.

Tak perlu takut untuk terlihat lemah. Bilang saja kalau kau sedang resah. Beri izin dirimu sendiri untuk merasakan apa yang membuatmu gundah. Kau tak perlu khawatir akan kalah. Mungkin saat ini keteguhan hatimu sedang diasah.

Sediakan ruang untuk dirimu sendiri. Biarkan kekeruhan ini terus mengalir hingga perasaanmu jernih kembali. Pahami kesedihan mana yang harus kau ganti. Cari tahu kebahagiaan sebesar apa yang harus kau cari untuk membuatmu hidup lagi.

Kau tak perlu memaksa untuk terus terlihat ceria. Hidup selalu punya rasa pahit sebelum rasa manis tercipta. Ambillah jeda untuk bersedih, selagi kau bisa. Selanjutnya, silakan kau berbahagia. Jadikan dirimu insan yang paling kaya akan makna. Kau yang paling memahami dirimu dibanding seluruh isi dunia.

Penulis: Toufa Rizkyah

(Ilustrator: Fauzan Alfani)


Tidak terasa tengah semester sudah saya lalui, begitupun dengan janji manis kampus tercinta yang masih terngiang dalam pikiran saya, kurang lebih seperti ini “Pengumpulan Nomor Telepon  yang akan disubsidi kuota terakhir pekan ini,” begitu kiranya setelah hampir 20 pekan lebih. Namun ternyata ungkapan tersebut hanyalah bualan semata, hanya janji manis pria saat pertama kali jatuh cinta pada kekasihnya.

Sampai pada tulisan ini ditulis kuota pembelajaran yang “mereka” janjikan tidak terlihat batang hidungnya, bahkan informasinya tenggelam bagai Titanic di lautan terdalam. Baik, saya akan mulai. Saya adalah salah satu mahasiswa kampus UIN Cirebon (masih dalam rencana UIN). Saya tidak ingin tulisan ini mewakili teman-teman mahasiswa lainnya. Adapun jika memiliki masalah yang sama, saya kira benar teori yang diungkapkan dalam buku Sapiens, “Semakin mengerucut masalah seseorang maka semakin umum pula.” 

Mahasiswa seperti saya mungkin harus bekerja ekstra untuk mendapat suplai kuota internet, saya rela memotong jadwal libur demi 1gb kuota yang habis dalam 3 hari untuk mengakses Google Meet,Google Classroom, WhatsApp Group, dan media pembelajaran lainnya. Terlepas dari itu berbagai macam upaya telah dilakukan DEMA dan SEMA, buktinya dengan adanya petisi yang disebarluaskan dalam snap WA, entah itu ditindaklanjuti atau tidaknya saya tidak tahu.

“Daftar Nomor Telepon yang akan disubsidi kuota” sebuah file yang dikirimkan dalam grup kelas hanyalah penenang bagai sabu yang dihisap untuk melupakan masalah sejenak bahkan mungkin membuat lupa selamanya. Ironi memang, padahal saya membayar UKT dengan Full Service tanpa potongan sedikitpun, karena persyaratan yang terlalu rumit.

Lupakan sejenak masalah subsidi kuota, mari beralih pada beasiswa, pada saat promosi kampus digencarkan program beasiswa ikut digaungkan, namun pada kenyataannya setelah masuk, info beasiswa hanya berkeliaran diseputar ormawa tidak sampai pada mahasiswa tukang tidur seperti saya, kalaupun sampai kepada saya dan saya ikut mendaftar beasiswa tersebut pasti akan tertahan oleh surat yang menyatakan “Surat Rekomendasi dari Kampus”.

Saya kira mungkin ini curhatan saya sebagai mahasiswa yang memiliki kebiasaan tidur, makan, dan main game, dan dengan diakhir dengan kata,“KAMPUS INI MILIK KITA,” tapi jangan kau bertanya apakah saya termasuk kita.

Penulis: Inisial A

Oleh: Nirwan Maulana


Seperti tak ada rasa bila tak diperlihatkan

Seperti Kebohongan bila ia tak diwujudkan

Entah mengapa air matanya berlinang

Jangan, jangan salahkan Aku

Apalagi mereka

Tanyakan padanya mengapa ia bersedih

Tanyakan sendiri mengapa ia menanggis


Air mata itu terbuang sia-sia

Waktunya terbuang saja 

Hanya karena rasa yang sedang diresapi

Jangan, jangan tanyakan apa yang ia pikirkan

Kesedihan, Amarah, Kebahagian, Kebencian

atau bahkan dendam

Telah merasuki jiwanya


Air matanya tak berharga

Jika tak ada makna didalamnya

Apakah ia berakting

dan mengelabui kalian

Air mata itu mungkin tipuan

Anggap saja ini sandiwara

 

Cirebon, puluhan mahasiswa Universitas Gunung Jati (UGJ), yang tergabung dalam Aliansi Mahasisswa UGJ (AMU) melalukan solidaritas untuk warga Wadas, Purworejo. Warga Wadas mengalami represifitas oleh aparatus negara dalam mempertahankan tanah beserta kehidupannya (25/04).

Aksi yang dilakukan oleh AMU merupakan bentuk protes terhadap aparat negara yang semena-semena terhadap warga, kata Kordinator Lapangan, Ifan Rifai mahasiswa jurusan Administrasi Negara.

"Kawan-kawan, apa yang terjadi di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah adalah kemunduran demokrasi. Aparat kepolisian bukannya melindungi dan mengayomi malah memukuli rakyat." Kata orator dalam menyampaikan aspirasinya.

Kata Ifan Rifai, selaku koordinator aksi. Bahwa sudahi kekerasan, sebab kekerasan yang dilakukan oleh aparatus negara terus berulang sampai hari ini. Lanjut Ipan, panggilan akrabnya, aparatus negara tidak pernah belajar terhadap masa lalu yang penuh dengan kekerasan, dari (tragedi) 98 misalnya. 

Senada dengan Ipan, Hadi Kautsar yang terlibat dalam aksi tersebut mengungkapkan bahwa bentuk protes yang dilakukan oleh kawan-kawannya upaya memperingatkan aparat atas laku kekerasan dan penindasan yang dilakukan oleh aparatus negara.

"Maka, kami menuntut kepada polisi untuk mengevalusi penanganan yang lebih manusiawi," pungkas Ipan mahasiswa angkatan 2020.

Reporter: Sulthoni

Penulis: Sulthoni

Lampu Merah Tengah Kota

Oleh: Elisa Juliani

 

23 Oktober 2019, dimulai dari waktu yang begitu rumit dan perjalanan yang sedikit agak sulit, tapi akhirnya semuanya mengantarkan aku ke tempat tujuan. Yah, disanalah aku sampai. Tepatnya di terminal bus di salah satu kota peradaban, Kota Cirebon.

 

Sebuah tempat yang menyediakan berbagai macam kendaraan untuk bisa sampai ke tujuan. Hilir mudik bergantian antara pulang atau pergi sampai di suatu waktu mereka harus berhenti, karena dari jauh terlihat satu tiang menjulang tinggi dan terlihat berkedipkan lampu merah, yang artinya semua kendaraan harus berhenti. Tapi bola mataku terus memandang mengitari jalur-jalur kendaraan ini.

 

"Aku kira semuanya sama, tak ada yang berbeda, tak ada yang hilang dan tak ada yang terhalang, ini normal-normal saja.”

 

Sampai suatu ketika, hatiku berhenti bersajak, pandanganku mulai tertarik, dan langkah kakiku hilang tak berbayang. Aku mulai merasakan ada sesuatu yang biasa namun tak semestinya ada.

 

Iah... mereka yang mengalihkan semua perhatian mata dan hatiku. Aku melihat sekumpulan anak-anak kecil berkeliling kesana kemari memutari kendaraan berhenti.

 

“Om... Om... tisu nya Om? Bu? Kakak?” begitu kata mereka.

 

Mereka sibuk dengan pekerjaannya, menghiraukan teriknya sang surya dan berkelibutnya udara kotor yang mengarungi. Tak sampai hati aku terus memandangnya, dan aku pun semakin tak sabar ingin menyapanya. Tak banyak yang kupikirkan. Aku melambaikan tanganku sepanjang menyeberangi jalan dan bergegas menghampiri mereka yang kembali lagi ke tepi jalan untuk menunggu lampu merah selanjutnya.

 

Awalnya aku bingung, “Apa yang harus kulakukan dengan semua makanan-makanan kecil yang kubawa ini, apa mereka akan senang?" pikirku. Tapi kini entah apa yang merasukiku, mulutku seakan tak berpikir bagaimana aku akan bicara dan memanggilnya. Sautanku dengan lantang bergema dan meminta satu anak untuk menghampiriku saat itu juga.

 

“De sini! Mau kue?” tanya ku sambil melambaikan tangan.

 

Adik itu bergegas menghampiri, dan dia sangat senang melihatku yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Aku kemudian menanyakan teman-temannya yang lain dan memintanya untuk berkumpul di satu tempat.

 

Satu persatu mereka datang, semakin mereka datang, semakin aku khawatir, takut jika makanan kecil yang kubawa akan kurang. Sampai dua sisa kue yang ada di kantong, saat itu juga aku melihat seorang anak kecil laki-laki berlarian menghampiri.

 

“Kaka… Kaka….”

 

Dia berteriak memanggilku dari kejauhan, sampai-sampai menghiraukan kendaraan yang belum berhenti begitu saja. Sontak aku pun terkejut dan berteriak “ADE? AWAS! HATI-HATI!”

 

Beruntungnya, ia bisa selamat dan jaraknya yang kurang satu meter tepat di hadapanku, ia tersenyum manis dengan wajahnya yang polos penuh harapan.

 

Hari itu aku, anak kecil laki-laki dan teman-teman yang lainnya berbincang sangat banyak, mulai dari saling bertanya nama, menebak usia, memberikan lelucon dan bermain kecil-kecilan tepat di pinggir jalan. 

 

Kita menjadi pusat perhatian orang-orang berkendara yang terhenti di lampu merah. Ada yang memandang dengan penuh kegembiraan, tersenyum dan tertawa. Tapi tak banyak juga yang melihat kami dengan tatapan tajam, aneh, tatapan selayaknya sampai seperti sedang mengolok-olok.

 

Waktu terus berputar tanpa kami sadari, posisi sang surya lebih condong ke arah barat dan adzan ashar berkumandang, "Adik-adik ini udah sore, kakak harus pulang," ujarku menghentikan percakapan.

 

Melihat ekspresi wajah mereka yang langsung bersedih dan merasa kurang puas, akhirnya aku pun berjanji akan kembali membawakan buku-buku penuh ilustrasi.

 

Hari berganti lagi, senja menghilang dan kembali digantikan mega, terus berulang seperti itu sampai menggiringku kembali ke terminal bus untuk menepati janjiku pada si kecil Kevin dan kawan-kawannya. Namun kali ini ada yang berbeda, ketika aku turun dari elf, terdengar sautan manis yang menyambut kehadiranku "KAK EL, ADA KAK EL!!" teriaknya begitu menggema seakan memberitahu semua sudut-sudut di kota ini.

 

Tak lama si kecil Kevin datang dengan wajah lugunya. Kali ini ia lebih aktif karena kedatanganku, dia menjabat tangan dan menarikku sambil mencecar beberapa pertanyaan yang harus aku jawab. "Kakak bawa apa? Kakak bawa buku cerita? Wah, Kevin mau belajar Kak, yang ini, yang itu juga," ujar Kevin kecil semangat, "ayo Kak, ayo," serunya sambil menunjuk ke beberapa buku yang masih tersimpan rapi di tas jinjingku.

 

Saking tak sabarannya, ia langsung membawa buku mewarnai dengan gambar robot selayaknya kesukaan para anak laki-laki pada umumnya. Dia sepertinya ingin menjadi orang pertama yang semangat belajar. Antusiasnya tentang hal baru membuat aku semakin penasaran dengan kepribadiannya itu, tak ayal membuat aku ingin mencecar pertanyaan balik padanya. Kuawali dengan tebak-tebakan menyebut siapa nama lengkapnya. "Kevin! Nama lengkap kamu siapa?" Kevin masih asik dengan buku gambarnya, ekspresi wajahnya seperti tak ingin memberitahu ku dulu. "Emm.... Siapa ya?" ujar ia menggoda.

 

Kemudian aku teringat dengan salah satu aktor yang awlan namanya sama persis dengannya "Nama kamu... Kevin Julio, kan?" Serentak aku dan yang lainnya menebak-nebak asal nama lengkap Kevin kecil lalu sesudahnya tertawa bersamaan.

 

Sontak Kevin menjawab "Ih! Ko Kakak tau sih?" Kata ia dengan raut wajah kesal karena namanya berhasil aku tebak. Tapi aku justru kaget keheranan "Bener de? Nama kamu Kevin Julio?" tanyaku rasa tak percaya.

 

Kevin kecil melanjutkan untuk mewarnai gambarnya dan seiring waktu aku pun melupakan nama lengkapnya itu, menganggap bahwa perbincangan tadi tak lepas dari sekedar candaan kecil di tengah-tengah keramaian kota.

 

Selesai menggambar, ia menulis ejaan namanya sendiri di atas gambar robot yang sudah ia warnai "K E V I N J U I L O". Aku melihat tangan kecil Kevin membuat lekukan-lekukan garis disetiap hurufnya, hal tersebut lagi-lagi menarik perhatianku untuk cukup membaca tulisannya dalam hati.

 

Aku berpikir jika Kevin memang salah satu anak yang belum lancar dalam membaca apalagi menulis. Tapi setidaknya saat ia sudah memasuki sekolah tingkat dasar, minimal ia tau bagaimana cara menulis namanya sendiri. Dan itu sudah menjadi sebagian hal lumrah yang semua orang hampir alami.

 

"Berarti, apa yang ia bilang tentang namanya adalah Kevin Julio tadi itu, benar?" batinku menerka-nerka. "Ya meski huruf I dan L nya tertukar, tapi mungkin maksud ia adalah sama.”

 

Tentang mengenal awal namanya adalah sebuah perkenalan yang cukup menggemaskan, selanjutnya aku terus bertanya banyak mengenai latarbelakangnya lebih jauh, seperti bertanya umurnya, apa kesukaannya, duduk di bangku kelas berapa, apa cita-citanya dan masih banyak lagi yang lainnya.

 

Ketika pertama kali aku datang ke terminal, maka anak pertama yang aku tanya adalah ia, ketika aku bertanya siapa yang mau belajar membaca, maka ia adalah orangnya. Ia tak pernah lepas dari pangkuanku, ia selalu bersikap manja dan merengek jika aku tak membantunya atau sekedar memenuhi keinginannya. Ia akan marah ketika ada temannya yang lain duduk di pangkuanku juga, ia akan sedih ketika aku mendikte yang lainnya membaca, ia akan menuntutku menggambarkan sesuatu yang sama seperti apa yang aku gambarkan di buku anak-anak lainnya.

 

Memori tentang si kecil Kevin itu akan terus terngiang di sela-sela pekerjaanku sekalipun aku sedang berada di kampus untuk belajar. Lalu saat melihat buku-buku bacaan, melihat mainan apalagi memandang gambar-gambarnya yang sengaja aku simpan di kamar kosan. Sebenarnya tak hanya aku, banyak juga temanku yang lain yang sama-sama ingin mengenalnya. Mereka mulai membelikan ia ice cream coklat kesukaan Kevin, lalu mengajaknya bermain tebak-tebakan. Kevin akan tetap asik bermain dengan semua orang, sampai pernah suatu ketika ia tak begitu menyadari kehadiranku yang sudah dari jauh memperhatikannya. "Hai Keviiiiin," sapa ku membuat ia terkejut mendengar suara khasku untuknya. Sontak Kevin menoleh dan berlari ke arahku, ia langsung memeluk dan tersenyum. Ia benar-benar tak pernah sedikitpun malu meskipun banyak orang lain dan juga teman-temannya memperhatikannya.

 

Kenangan bersamanya akan terus bertambah dan aku harap akan selalu seperti itu. Sampai suatu hari dimana aku tidak bisa menemui ia lagi di terminal, "Kevin kemana ya Dek?" tanyaku pada kawan-kawannya. Salah satu di antara teman-temannya menjawab "Kevin nangis di rumahnya Kak, soalnya tadi ada anak besar yang ngambil uang Kevin."

Aku terdiam, perasaanku sangat terpecah-pecah mendengar kabar yang tidak mengenakan itu, Kevin adalah jagoan kecilku, yang sudah kuanggap seperti adik kandungku sendiri, lalu bagaimana aku bisa membiarkan adik-adikku menangis karena uang hasil kerja kerasnya diambil orang lain begitu saja.

 

Mungkin aku tak pernah merasakan berada di posisi mereka, namun selama kedekatan yang sudah kita jalin, ingatanku terhadap perjuangan mereka akan selalu membekas, saat-saat mereka berjualan di bawah panas mentari, udara kotor yang bekelibut, belum lagi jika mereka dihadapkan dengan tangan kosong tanpa selembar uang kertas atau selogam uang perak.

 

Semua sudut pandang dunia seakan memojokkan statusku saat itu, diriku seakan-akan tak bermakna. Karena apalah aku dibandingkan mental dan ketahanan fisik mereka yang sangat berbanding terbalik denganku. Belum lagi ketika kita harus belajar sambil kucing-kucingan dengan Satpol PP, lalu bagaimana jika tidak ada aku atau kedua orang tua mereka yang mengawasi, mereka bisa saja tertangkap kapan saja. Dan Kevin adalah salah satu anak terkecil yang kami semua khawatirkan. Dengan anak yang usianya lebih jauh dari ia saja hati kuatnya bisa teriris, apalagi sewaktu waktu ia harus berhadapan dengan situasi keamanan sendirian.

 

Kevin is My Little Prince

 

Aku baru tersadar ketika semua yang aku lihat bukan berdasarkan kebetulan, tapi keajaiban yang menjadi kenyataan.

 

Sudah berapa banyak kisah yang aku tulis sebelumnya, berapa lama jarak yang ditempuh, berapa ribuan kata yang aku tuangkan. Selama itu pun aku mencari sebuah jawaban.

 

Aku membuat pesan, aku mengetikkan tulisan, mengirimkan surat menjadi lembaran bacaan. Hingga suatu ketika aku selalu menyimpan seseorang dan cerita di kehidupannya. Aku selalu menyimpannya rapih sampai saat ini.

 

Aku tidak tau seberapa mengejutkan lagi apa-apa yang akan terjadi di dunia ini menurut sudut pandangnya terhadap diriku. Aku selalu bilang di dalam tulisan-tulisanku, uang penaku, bahwa apa yang aku tulis itulah yang aku capai. Meskipun banyak yang telah aku raih namun tak begitu aku sadari. Aku hanya terfokus pada evaluasi dan penilaian diri.

 

Tokoh ini salah satunya, beberapa waktu yang lalu aku menuliskan sebuah kisah tentang pangeran kecil atau biasa disebut sebagai Little Prince. Little Prince ini adalah salah satu tokoh dari sebuah buku yang mengisahkan kehidupan dunia dewasa yang membosankan.

 

Aku tak begitu terfokus untuk mengambil semu sisi dari isi cerita tersebut, aku hanya menyukai karakter dan sisi pandangku sendiri mengenai siapa itu pangeran kecil. Sempat terpikir bahwa pangeran kecil adalah teman masa depanku, dia ada di masa lalu dan sedang berkelana untuk mencari titik temu.

 

Sosok pangeran kecil yang sering aku ceritakan adalah seorang laki-laki yang manis, pintar, cerdik dan seorang petualang. Kepribadiannya tidak jauh mencirikan bahwa dia adalah seorang laki-laki dewasa yang punya rasa cinta dan menjaga tapi dia juga tetap seorang anak laki-laki dengan penuh imajinasi tinggi, karismatik, dan baik.

 

Sudah lama aku menunggu kehadirannya, baik dalam dunia tulisan atau memang kenyataannya. Sampai suatu ketika aku teringat bahwa aku selalu dekat dengan seorang anak laki-laki, dia adalah salah seorang anak yang biasa aku ajar di lampu merah.

 

Dari semenjak pertama bertemu dengannya, aku memang begitu tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai dia. Sampai-sampai dia menjadi sangat dekat dan akrab denganku. Dia adalah seorang anak yang manja seperti anak-anak yang lainnya. Namun dia memiliki keunikan lain yang belum sempat aku tau di kebiasaan anak-anak seusianya.

Dia selalu menjawab pertanyaanku dengan sebuah tingkah. Seperti ketika aku menanyakan apakah dia rindu padaku atau tidak, dia tidak menjawabnya dengan ucapan. Namun dengan cara memelukku sebagai respon kasih sayang.

 

Kevin adalah anak yang pertama kali aku cari di lampu merah, Kevin adalah anak pertama yang selalu duduk di pangkuanku, Kevin adalah anak paling kecil dari anak-anak yang lainnya, Kevin adalah anak yang paling periang dan paling cengeng daripada anak-anak yang lainnya. Tapi Kevin juga adalah anak paling dewasa dari anak-anak yang lainnya, ia selalu berkata bahwa ia ingin menjagaku seperti khalayaknya seorang kekasih. Untuk itu aku sebut ia sebagai Pangeran Kecil.

 

Kevin yang selalu membantuku menyeberang jalanan yang cukup ramai, ia yang selalu menginspirasi ketika aku sedang tidak tahu harus melakukan apa. Ia juga yang selalu menagih janjiku untuk kembali lagi, dan ia adalah orang yang juga mengantarkanku pulang sampai ke terminal. Ia takkan pergi sebelum bis-ku pergi.

 

Terima kasih Kevin, kamu adalah pria terkecil yang pernah aku cintai. Tuhan mengirimkanmu agar bisa melindungiku, mengajarkan aku tentang luasnya bumi dan segala isinya. Kamu adalah cinta pertama bagi aku sebagai seorang kakak. Jadilah pangeranku sayang, jadilah anak-anak yang tak pernah meninggalkan keistimewaannya sebagai malaikat kecil. Dan tetaplah menjadi perhiasan di negeri ini, karena semangat belajar dan keingintahuanmu yang besar akan mengantarkanmu pada orang yang besar juga.


 



         

(Suasana diskusi Pukul Balik Predator (kekerasan seksual) Kamis, 18 Maret 2021. Foto: Dila)

   LPM FatsOen, Cirebon-“Pukul Balik Predator (Kekerasan Seksual),” menjadi tema yang diusung dalam diskusi sore di hari Kamis, 18 Maret 2021, yang diadakan oleh Oksidasi bertempat di Saung Perjuangan Cirebon.

Kekerasan seksual, jika mengutip dari definisi RUU PKS ialah, “Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, atau politik.”

Kekerasan seksual kerap terjadi di lingkungan bermasyarakat, berorganisasi, bahkan di lingkungan pembelajaran. Dilansir dari data Komnas Perempuan, bahwa kekerasan seksual sudah mencapai angka puluhan ribu yang terjadi kurun waktu 2011-2019, baik di ranah privat maupun publik. Di Umah Ramah Cirebon, pun, mendapati kasus serupa yang masuk sekitar 15-20 dalam kurun waktu 2020-Maret 2021.

Dominasi Kekerasan Seksual terhadap Perempuan

Asih Widyowati, dari Umah Ramah Cirebon menyatakan bahwa perempuan menjadi objek kekerasan seksual yang paling dominan. Sebab, hal ini didorong oleh budaya patriarki, relasi kuasa, tafsir teks misogini, lingkungan yang abai. Bahkan, masih minimn sekali regulasi yang mengatur tentang kekerasan seksual. RUU PKS, pun pembahasan masih mengawang.

Hal ini tentu buruk, sebab seseorang yang mengalami kekerasan seksual, dalam dirinya pasti akan merasakan trauma. Trauma sendiri ada dua. “Ada trauma kolektif, ada trauma individu,” jelas Asih. Trauma itu tidak bisa dihilangkan,“Ingatan bisa saja dilupakan. Tapi tubuh, tidak akan lupa, thebodyremember,” tambah Asih menjelaskan dampak dari kekerasan seksual.

Selaras dengan Asih, Mita (Needie N Bitch Yogyakarta), bahwa tubuh itu dapat mengingat. Bahkan dapat menjadi trauma bangkit atau bahkan depresi. Orang yang tidak tahu atau tidak peduli, hanya akan memberi stigma buruk kepada mereka (baca: penyintas).

Maka, untuk menghilangkan segala stigma tersebut, lingkungan menjadi salah satu faktor penting. Sebab, lingkungan yang mendukung, akan membantu penyintas bangkit dari keterpurukan stigma tersebut.

Mita juga berpendapat bahwa, “Permasalahan kekerasan seksual bukan cuma masalah dan tanggung jawab perempuan, tapi juga laki-laki.”

Menjadi Teman Baik bagi Para Penyintas Kekerasan Seksual

Mita berpendapat bahwa setiap orang patut menjadi pendengar baik yang memberikan ruang aman bagi para penyintas, karena sebenarnya, mereka hanya perlu didengarkan. Tidak semua yang mereka ceritakan perlu kita respon dengan jawaban. Dengan mau mendengarkan itu sudah membuat mereka meras tenang. Memberi semangat dan dukungan harus tetap diberikan kepada mereka.

“Jadilah teman dan ruang mana bagi mereka bercerita. Yakinkan bahwa mereka bisa bangkit dari titik rendahnya. Mereka punya kekuatan,” tutur Asih.

Selain itu, Mita juga berpesan, untuk berani mengatakan TIDAK ketika merasa terusik, terganggu ataumembuat diri kita menjadi jadi tidak nyaman.

Penulis        : Rifki Al Wafi

Reporter    : Zulva Azhar