Sumber Foto: Dokumentasi Penulis 

Belakangan ini, Smart Campus, platform layanan akademik digital yang digunakan oleh banyak mahasiswa di UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, sering mengalami gangguan teknis yang memicu keresahan terutama di kalangan mahasiswa tingkat akhir. Mahasiswa yang tergantung pada sistem ini untuk berbagai keperluan akademik, seperti mengakses nilai, mencetak transkrip, dan mendaftar sidang. Mereka merasa sangat dirugikan dengan seringnya platform ini mengalami eror.

Sejak adanya pengalihan layanan ke Portal Akademik untuk mahasiswa angkatan tahun 2022 dan seterusnya, Smart Campus seolah menjadi platform yang mulai diabaikan. Meskipun demikian, angkatan 2021 ke bawah masih sepenuhnya bergantung pada platform ini untuk memenuhi persyaratan akademik mereka. Karena itu, ketika Smart Campus mengalami gangguan, dampaknya sangat terasa, terutama di kalangan mahasiswa yang sedang berada di masa-masa kritis, seperti persiapan sidang skripsi dan penyelesaian studi.

Smart Campus sering disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab dan berubah menjadi situs judi online. Ini menunjukkan adanya kelemahan besar dalam sistem keamanan siber kampus. Dalam era digital seperti sekarang, keamanan data menjadi prioritas yang tidak bisa diabaikan. Ketika platform yang mengelola data akademik mahasiswa rentan terhadap serangan siber, ini tentu menimbulkan kekhawatiran besar. Pihak kampus diharapkan dapat berinvestasi lebih banyak dalam pengembangan dan mendukung infrastruktur keamanan siber untuk melindungi data mahasiswa, yang seharusnya dijaga dengan baik.

Sayangnya, hingga saat ini, tindakan perbaikan dari pihak kampus masih belum terlihat signifikan. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa kampus mungkin sengaja mengabaikan Smart Campus karena platform ini hanya digunakan oleh angkatan terakhir yang segera lulus. Banyak yang berpendapat bahwa karena kampus sudah beralih ke Portal Akademik, Smart Campus seolah dibiarkan begitu saja hingga masanya berakhir.

Bagi mahasiswa tingkat akhir, Smart Campus sekali lagi adalah sistem yang krusial, terutama dalam mengurus kebutuhan administratif untuk kelulusan. Ketika platform ini mengalami gangguan, mereka harus menghadapi berbagai kendala, mulai dari kesulitan mencetak transkrip nilai hingga keterlambatan dalam pendaftaran sidang. Situasi ini jelas menambah beban dan tekanan di masa-masa akhir perkuliahan yang sudah berat.

Mahasiswa merasa geram karena Smart Campus yang seharusnya berfungsi sebagai pendukung akademik malah menjadi penghalang. Ketika platform digital yang diandalkan justru sering eror dan tidak bisa diakses, mereka kehilangan akses terhadap layanan akademik yang sangat dibutuhkan. Situasi ini juga mencerminkan kurangnya perhatian kampus terhadap kebutuhan mahasiswa, terutama di momen-momen penting seperti penyelesaian studi.

Kampus memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa semua layanan akademik, termasuk platform digital seperti Smart Campus, berjalan dengan baik hingga akhir. Mengingat pentingnya platform ini bagi kelancaran proses akademik mahasiswa, pihak kampus diharapkan dapat segera mengambil tindakan konkret untuk memperbaiki sistem dan meningkatkan keamanan sibernya. Selain itu, kampus juga harus memberikan kepastian kepada mahasiswa bahwa hak-hak mereka sebagai pengguna layanan akademik akan dilindungi, terlepas dari apakah mereka termasuk angkatan terakhir pengguna Smart Campus atau bukan.

Jika Smart Campus memang akan dihapus setelah angkatan terakhir selesai, kampus tetap harus memastikan bahwa selama platform tersebut masih aktif, fungsinya tetap berjalan dengan baik. Jangan sampai platform ini dibiarkan rusak begitu saja, karena ini akan semakin mencoreng reputasi kampus di mata mahasiswa.

Dalam jangka panjang, pembenahan sistem layanan akademik digital harus menjadi prioritas kampus. Era digitalisasi menuntut transparansi, efisiensi, dan keamanan dalam pengelolaan data akademik. Ketidakmampuan untuk mengelola sistem ini dengan baik hanya akan merugikan semua pihak, terutama mahasiswa yang merupakan pengguna utama layanan tersebut.


Penulis: Zakariya Robbani

Editor: Ega Adriansyah

Ilustrator: Zakariya Robbani 

Tahun 2024 kiranya menjadi tahun yang panas. Sebagaimana kita ketahui, tahun ini menjadi puncak dari segala peralihan kepemimpinan politik, di mana pion-pion catur, mulai dari papan atas sampai papan bawah, orang lama sampai orang baru, hingga kelas teri dan kakap. Disadari atau tidak, peta politik di Indonesia terkesan hanya dikuasai oleh genggaman jari jemari segelintir orang saja, dan kesannya seperti sangat jauh dari sistem kenegaraan yang dianut, yakni demokrasi.

Dalam urusan politik, para penguasa yang sedang menjabat pastinya berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya. Contohnya dengan cara mendiasporakan keluarga serta kerabat-kerabatnya untuk menempati kedudukan atau posisi tertentu di lingkungan politik yang strategis. 

Ketika pemilu dan pilkada mulai digelar, banyak topeng-topeng kebaikan bermunculan. Entah itu dalam bentuk pendekatan kepada pemuda, bakti sosial masyarakat, blusukan ke desa terpencil, atau bahkan masuk gorong-gorong sekalipun, yang kemudian didokumentasikan. Di tahapan awal menjelang pemilihan, biasanya banyak sekali orang-orang yang mendadak baik dengan peci di kepala dan baju partai kebanggaan di tubuhnya.  

Apakah itu salah? Sejatinya tidak sama sekali. Tetapi, yang sangat disayangkan ialah masih banyak kebaikan yang mereka lakukan hanya untuk memperoleh empati dan suara masyarakat (elektabilitas), serta kebaikannya hanya berlaku ketika sampai terpilih saja. Ketika pemilu selesai, selesai juga kebaikan yang mereka lakukan. Seakan-akan menghilang di luar jangkauan, seperti sinyal ketika di atas  Gunung Ciremai. 

Sebenarnya, jika memang siapapun berencana untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat, maka harus siap dengan konsekuensi melayani rakyat. Ketika rakyat mulai berpendapat dan berbicara, realitanya, masih banyak di antara pemimpin dan wakil rakyat kita yang tidak pernah mendengarkan. 

Mereka seakan lupa bahwa ada adagium yang berbunyi "vox populi, vox dei" yang berarti suara rakyat, suara Tuhan. Selain itu, para pemimpin seyogyanya harus tau apa keinginan, permasalahan, dan keluhan rakyatnya. Coba kita sama-sama merenungi puisi yang ditulis oleh Lao Tzu, salah satu tokoh filsafat, penyair, dan pendiri aliran Taoisme dari Cina (Tiongkok). 

Datangilah rakyat

Hiduplah bersama mereka

Belajarlah dari mereka

Cintailah mereka

Mulailah dari yang mereka tahu Bangunlah dengan apa yang mereka milik

Ketahuilah pemimpin yang terbaik ialah ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan

Serta rakyat berkata, "Kami sendirilah yang mengerjakannya."

Dari puisi di atas, kita dapat mengambil hikmah serta belajar tentang hakikat seorang pemimpin, serta kesadaran bahwa menjadi pemimpin harus banyak berkorban melayani, bukan malah memperkaya diri sendiri. Sudah lupakah mereka dengan sosok Harun al-Rasyid, Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz? Yang benar-benar menunjukan karakter sejati seorang pemimpin  rakyat, yang melayani, bukan malah mengkhianati atau menyusahkan rakyat. Yang paling saya ingat ialah ketika malam hari Khalifah Umar bin Khatab memastikan turun langsung ke masyarakat, mendengar  suara tangisan anak kecil, seketika dia berhenti dan menyelidiki apa sebenarnya yang sedang terjadi. 

Alhasil, ketika dia sampai tepat di depan pintu rumah yang menjadi sumber tangisan anak kecil tadi, tak terasa, dia meneteskan air mata, dikarnakan melihat peristiwa seorang ibu yang memasak batu untuk mengelabui anaknya supaya lapar yang dirasanya berkurang. Setelah itu, dia langsung bergegas lari, membawa makanan pokok dari gudang penyimpanan (baitul mal), untuk diberikan kepada ibu dan anak tadi.

Pertanyaannya, apakah  masih ada karakter pemimpin kita di Indonesia yang seperti Khalifah Umar bin Khattab? Jika tidak, seharusnya ini dapat menjadi evaluasi bersama dan membuat para pemimpin dan wakil rakyat kita sadar bahwa suatu kebijakan haruslah berpihak kepada masyarakat, bukan malah menindas rakyat (dalam konteks kebijakan apapun).


Penulis: Sulthon

Editor: Ega Adriansyah

Sumber Foto: Dokumentasi Fatsun 

Cirebon, LPM FatsOeN – "Selamat dan sukses atas peresmian kampus komersil", begitulah kalimat dari mahasiswa yang terpampang dalam sebuah spanduk pada sebuah aksi demonstrasi. Sebagaimana diketahui, sejumlah mahasiswa dari berbagai jurusan di UIN Siber Syekh Nurjati (SSC) melakukan aksi demonstrasi di depan gedung rektorat pada, Jumat (18/10/2024).

Aksi yang diinisiasi Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema-U) ini menuntut adanya penambahan sarana dan prasarana (sarpras) kampus, juga mendesak kepala bagian (kabag)  umum dan fakultas untuk mempermudah peminjaman sarana dan prasarana kemahasiswaan.

Selain persoalan tadi, tuntutan mahasiswa juga terkait dengan permasalahan dosen, dari mulai jadwal mata kuliah yang diubah semena-mena, hingga dosen yang melakukan komersialisasi pendidikan di lingkungan kampus. Komersialisasi pendidikan yang dimaksud meliputi praktik jual beli buku, pakaian dinas harian (PDH), hingga jual beli saham, yang mana dilakukan dengan ancaman pengurangan nilai bagi mereka yang tidak membeli produk-produk dosen tersebut.

Aksi tersebut berujung audiensi antara para mahasiswa dengan pihak rektorat dan dekanat. Rektor UIN SSC, Aan Jaelani berjanji, akan lebih membenahi fasilitas dan berkomitmen bahwa sarana dan prasarana kampus merupakan milik bersama, yang dapat digunakan oleh seluruh sivitas akademik. 

Selain itu, dirinya juga menghimbau kepada seluruh dekan fakultas untuk mengumpulkan dan mengevaluasi dosen-dosen yang dinilai bermasalah pada Senin 21 Oktober mendatang. 

"Silahkan buat tabel buat tindak lanjutnya," ucap Aan sebagai responnya terhadap tuntutan mahasiswa.

Secara tegas, Aan menyatakan akan menindak dosen yang terbukti mengotak-atik jadwal dan melakukan komersialisasi pendidikan. Bahkan, dalam hal ini dia tak segan untuk memberhentikan dosen yang tetap nakal (setelah dievaluasi atau dipanggil). 


Penulis: Fadhil Muhammad Razka

Editor: Ega Adriansyah


Ilustrasi: Pinterest 

Generasi yang akrab dengan teknologi, realitanya akan mengalami kemajuan dan kemunduran secara bersamaan. Hal itulah yang dialami generasi Z, khususnya di Indonesia. Pola hidup manusia terus mengalami perubahan seiring berkembangnya zaman. Tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap masa melahirkan generasi dengan karakteristiknya yang berbeda satu sama lain. Saat ini, generasi yang tengah memasuki usia emas adalah generasi Z alias gen Z. Orang-orang yang lahir dalam kurun waktu 1997 sampai 2010. Gen Z merupakan generasi yang sangat bersahabat dengan teknologi, khususnya sosial media. Mereka tumbuh beriringan dengan berbagai perkembangan sosial media. Seolah menjadi kebutuhan primer, memiliki akun sosial media merupakan hal wajib bagi mereka. 

Banyak dari mereka yang meluapkan berbagai ekspresinya di sosial media. Bahkan banyak juga yang menjadikan konten-konten sosial media sebagai standar pedoman hidup.

Berbagai jenis sosial media seperti Instagram, Facebook, X, dan TikTok, dianggap memiliki kegunaannya masing masing bagi gen Z. Di Facebook, umumnya mereka melakukan transaksi jual beli, dan sarana untuk mencari teman-teman lama. Sedangkan X dan Instagram, banyak dari gen Z menggunakannya untuk memamerkan pencapaian dan keresahan terhadap kehidupan sehari-harinya. Adapun TikTok, tak sedikit kita jumpai berbagai kutipan yang seolah menjadi sumber relevansi bagi kehidupan gen Z. Hal inilah yang disebut sebagai 'Standar TikTok’. TikTok sudah tidak hanya menjadi sarana hiburan, melainkan juga sebuah platform yang kontennya diianggap sebagai standar dalam kehidupan. 

Beberapa hal yang sering dijadikan acuan dari konten TikTok diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Standar Mencari Pasangan

Dikutip dari Kumparan, sejak konten-konten bucin atau percintaan membanjiri TikTok, kriteria remaja sekarang memiliki selera yang tinggi dalam memilih pasangan [Fahmi, 2022]. Banyak anak muda yang dituntut untuk memenuhi kriteria yang sedang hits di sosial media. Salah satu kriteria yang dimaksud adalah memiliki typing ganteng, yaitu cara penulisan dalam room chat tanpa diawali huruf kapital, kemudian ada juga memanjangkan huruf pada akhir kosakata, memakai emoticon tertentu pada akhir kalimat, dan masih banyak lagi. Selain itu, standar lain dalam memilih pasangan yang banyak diambil dari TikTok adalah kriteria kendaraan, outfit, hingga potongan rambut, hingga perlakuan khusus terhadap pasangan.

2. Generalisasi selera hingga penampilan

Selain standar mencari pasangan, berbagai selera penampilan seperti gaya rambut, musik, hingga tempat nongkrong sering kali menjadi hal yang diperdebatkan. Hal ini yang memicu adanya standar penampilan dan gaya hidup. Tak jarang mereka saling singgung di sosial media, khususnya TikTok hanya karena perbedaan selera penampilan. The nuruls untuk para wanita berjilbab, baju rajut, dan hobi berburu makanan seblak. Anak Skena untuk style kaos band, celana gombrang, dan playlist lagu pop-punk, hingga Anak Casual untuk mereka yang memakai brand mewah, dan gemar menonton sepakbola.

3. Standar pendidikan

Apabila generasi sebelumnya berlomba-lomba untuk mengharumkan nama kampus, maka mirisnya mayoritas gen Z justru ingin harum dibalik nama kampus. Banyak dari generasi Z berlomba-lomba untuk masuk sekolah maupun universitas impiannya, dan tidak jarang kita menemui orang-orang yang mengaku 'terpaksa' masuk sebuah kampus, karena ditolak oleh kampus impiannya itu. Akibat dari gengsi tersebut, mereka kian merasa malas dan tak bergairah untuk menempuh pendidikan. Bahkan tak sedikit juga yang memilih jeda terlebih dahulu di dunia pendidikan demi mengikuti tes masuk universitas impian mereka ditahun berikutnya. Kesalahan pola pikir semacam ini justru seolah dinormalisasi. Sebagai mahasiswa, seharusnya kita bangga dengan nama kampus yang telah menaungi pendidikan kita, dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengharumkan namanya agar setara dengan kampus-kampus impian kita.

4. Standar pergaulan

Satu lagi standar TikTok yang paling mengerikan adalah banyak konten yang seolah menormalisasi hal-hal negatif. Tak sedikit kita jumpai akun yang dengan bangganya memamerkan kenakalan-kenakalan remaja yang sangat minim moral. Tawuran pelajar, seks pra-nikah, hingga minum minuman keras, justru banyak dijadikan acuan bagi seseorang untuk dicap sebagai “orang paling gaul”. Hal ini sangat miris dan jelas mencoreng moral generasi bangsa, khususnya gen Z.

Itulah tadi standar TikTok yang menjadi salah satu peran utama dalam terdegradasinya moral generasi bangsa. Dari mulai standar yang terkesan sepele, hingga yang paling berpengaruh dampaknya terhadap moral. TikTok sebagai platform yang sangat banyak digunakan oleh anak muda, banyak memengaruhi pola pikir mereka. Standar yang tinggi tersebut, akhirnya merusak mentalitas dan moral para generasi Z, karena mereka akan minder alias 'insecure' apabila standar kebahagiaannya tidak terpenuhi. Akibat konten-konten sosial media tersebut, mereka justru gusar dan risau apabila tidak mengikuti trend dan berbeda dari yang lain. Hal ini berbanding dengan generasi-generasi sebelumnya yang cenderung lebih sederhana dalam membahagiakan diri. 

Akhirnya, banyak dari gen Z yang melek teknologi, namun justru melakukan riset lebih jauh terhadap pengaruhnya.

Oleh sebab itu, ada baiknya sebagai generasi yang berada di usia emas untuk bisa berpikir kritis dan jernih. Jangan sampai mentalitas kita jatuh karena konten-konten tanpa data yang disebarluaskan melalui sosial media. Media sosial memang membuat hidup lebih memiliki banyak pilihan. Namun bagaimanapun, kehidupan yang realistis sesuai kemampuan justru lebih menenangkan dan menyenangkan, ketimbang diselimuti ketakutan dan berlomba dengan gengsi demi mengejar standar kebahagiaan publik semata.


Penulis: Fadhil

Editor: Ega Adriansyah

Ilustrator: Zakariya Robbani 

Cirebon, LPM FatsOeN – Menjadi sarjana adalah keinginan sebagian orang. Membicarakan tentang jenjang pendidikan, gelar sarjana terbilang tinggi dan membanggakan, apalagi ketika kita berasal dari desa yang jauh dari perkotaan. Dalam menjalani kehidupan, kita memang dibenturkan dengan berbagai pilihan yang membingungkan.

Dimulai dari masa kanak-kanak, kita sering dibenturkan dengan hal-hal yang masih sedikit beresiko, contohnya seperti dibenturkan oleh pilihan antara memilih mainan robot atau mobil balap, makan baso atau cilok, baju Boboiboy atau Upin & Ipin, dan masih banyak lagi. 

Beranjak remaja, kita mulai disajikan oleh dua pilihan yang lumayan membuat bimbang, contohnya memilih antara sekolah SMA atau SMK, dan seterusnya. Setelah Dewasa, kita lebih dibingungkan oleh pilihan-pilihan yang mengasumsikan bahwa kesuksesan ialah bisa dengan cara kuliah, atau langsung bekerja. 

Entah apapun yang kita pilih, semuanya sama-sama bisa mendukung kita menggapai kesuksesan yang kita inginkan, tergantung bagaimana kita menjalani pilihan itu.

Ada salah satu lelucon dari teman saya yang membuat terbahak-bahak, ia mengutarakan bahwa salah satu alasan saya kuliah adalah agar sedikit keren ketika ijab kabul nanti. 

"Saya nikahkan dan kawinkan Budi Santoso S.Sos dengan mas kawin seperangkat alat shalat, dibayar tunai," katanya. 

Sekilas memang sangat indah untuk dibayangkan, tetapi realitanya menjadi sarjana muda tidak semudah atau seindah yang diharapkan. Menurutku, belajar bukan hanya memindahkan isi buku ke kepala, atau menyalin catatan baru kedalam buku, melainkan menguji kebenaran serta menghadapi aneka ketidakpastian di dunia nyata adalah suatu hal paling perlu. 

Tidak hanya itu, urgensi dari pendidikan sejatinya juga untuk membentuk karakter dan moralitas murid yang baik. Dalam Islam, kita tau bahwa adab berada di atas ilmu. Kiranya, kita harus sesekali keluar dari tempurung dan sangkar. Ada yang berkata, "Tenang saja, pasca kuliah masa depan akan cerah." Padahal pendidikan di negeri ini hanya mengarah kepada cara menyelesaikan soal-soal struktural, bukan belajar mengerjakan soal-soal kehidupan sosial. 

Karena itu, mari lebih mengenal kemampuan diri, mengasah soft skil, melatih mental juang, dan berhenti untuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Seharusnya, yang menjadi tolak ukur perbandingan adalah diri kita di masa lampau, dengan diri kita di masa sekarang dan masa mendatang. 

Perlu diingat, tanggung jawab sesungguhnya kita sebagai seorang sarjana adalah mempunyai inovasi baru untuk kemajuan bangsa, minimal kemajuan di desa. Satu lagi, kata teman, cita-cita, impian, atau apapun yang kau harapkan waktu kecil, kelak akan tumbuh menjadi kenyataan, atau hanya menjadi bumbu bibir penyesalan. Itu semua tergantung diri kita.


Penulis: Sulthon Azizan Zanuar

Editor: Ega Adriansyah

 

Sumber Foto: Dokumentasi Penulis 

Cirebon, LPM FatsOeN — Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FatsOeN bekerja sama dengan komunitas Teras Komunikasi sukses mengadakan acara Nonton Bareng (Nobar) pertandingan antara Timnas Indonesia dan Bahrain pada, Kamis (10/10/2024). 

Acara yang diadakan di Karyamulya, Kecamatan Kesambi, ini diikuti dengan antusias oleh para penggemar sepak bola dari berbagai kalangan di Kota Cirebon.

Pertandingan berlangsung seru di Bahrain National Stadium, di mana Timnas Indonesia berhasil mencuri satu poin dalam laga yang berakhir imbang. Pada menit ke-15, Bahrain memimpin lebih dulu melalui gol Mohamed Mahroon dari tendangan bebas yang sempat membentur mistar gawang, sebelum melewati garis putih, membuat gol tersebut sah.

Namun, Timnas Indonesia tidak tinggal diam. Tepat di menit ke-48 atau di menit tambahan waktu babak pertama, Ragnar Oratmangoen menyamakan kedudukan dengan gol yang memanfaatkan kesalahan pertahanan Bahrain. Skor 1-1 bertahan hingga turun minum.

Di babak kedua, Indonesia tampil lebih agresif dan berhasil membalikkan keadaan melalui gol Rafael Struick pada menit ke-74. Meski demikian, Bahrain tidak menyerah. Di menit ke-99 atau mrnit tambahan waktu babak kedua, Mohamed Mahroon kembali mencetak gol, menyamakan skor menjadi 2-2. Hasil imbang ini membuat Timnas Indonesia berada di peringkat kelima klasemen sementara.

Acara nobar ini tak hanya menyajikan pertandingan yang seru, tetapi juga menjadi wadah diskusi bagi para penonton. Rafly, salah satu peserta Nobar, menyampaikan apresiasinya terhadap permainan Timnas Indonesia.

"Alhamdulillah, permainan Timnas sudah bagus, walaupun ada beberapa keputusan wasit yang kontroversial, tapi secara keseluruhan, penampilan tim sudah meningkat," ungkapnya.

Ia juga berharap agar Timnas Indonesia dapat lebih menguasai bola di pertandingan-pertandingan selanjutnya. Selain itu, Rafly menyarankan agar acara nobar seperti ini terus diadakan, tidak hanya untuk pertandingan Timnas senior, tetapi juga untuk kategori usia muda seperti U-20 dan U-17.

“Selagi Timnas masih berjuang, acara nobar seperti ini perlu sering diadakan supaya suasananya semakin seru,” tambahnya.

Acara Nobar ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat dukungan bagi Timnas Indonesia, baik dalam ajang kualifikasi Piala Dunia maupun kompetisi lainnya.


Penulis: Zakariya Robbani

Editor: Ega Adriansyah

 

Sumber Foto: Pinterest 

Anda tau tokoh pendidikan Brasil yang terkenal? benar sekali yakni Paulo Freire. Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Namun, ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas. 

Freire mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Ia terkenal dengan gagasan serta karyanya yang berjudul "Pendidikan Kaum Tertindas". 

Inti dari buku itu ialah bagaimana cara pandang ia kepada dunia pendidikan, dimana orang kuat merendahkan masyarakat lemah melalui cara-cara halus namun menindas. Ia juga mengkritik keras model pendidikan gaya bank barat yang disebutnya sebagai alat penindasan. Sebagai gantinya ia mempunyai konsep pendidikan hadap-masalah yang ia sebut sebagai alat pembebasan.

Selain Freire, ada tokoh besar Indonesia yang menurut saya cara pandang serta keberpihakannya kepada masyarakat di bidang pendidikan sangatlah tinggi, beliau adalah Bapak Republik yakni, Datuk Sutan Malaka. Kata-kata beliau tentang hakikat esensi pendidikan yang sangat melekat dibenak saya yakni " Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan."

Tetapi, realitanya tidak seperti itu. Bukan malah ketajaman kecerdasan yang terbentuk, tetapi ketajaman emosional pemarah yang terbentuk. Bukan memperhalus perasaan, tetapi memperhalus jalan untuk kenikmatan pribadi. Pertanyaannya, apakah orang pintar di Indonesia itu sedikit? Nampaknya itulah yang menjadi asumsi sebagian masyarakat, percuma sekolah tinggi tapi hanya untuk membodohi orang lain. 

Saya pernah berfikir serta membayangkan, bagaimana jika Paulo Freire dan Tan Malaka hidup kembali. Rasanya, pasti mereka berdua terkejut melihat segala kekacauan pendidikan di negeri ini. Rasanya akan seru sekali, jika Tan Malaka dan Paulo Freire mengisi pembelajaran di kampus dengan mengampu mata kuliah 
Filsafat Pendidikan. Saya kira mereka pasti bisa memberi angin segar untuk kualitas pendidikan di Indonesia, tetapi, semua itu memang agaknya mustahil terjadi. 

Untuk mengganti apa yang saya bayangkan itu, maka saya lebih membayangkan bagaimana peran mahasiswa atau kaum terdidik bisa mendiasporakan pendidikan untuk mencapai amanat undang-undang dasar mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena realita di lapangan tidak semua masyarakat bisa mengakses pendidikan yang layak, oleh karena itu, saya berharap akan lebih banyak peran mahasiswa dan kaum terdidik hadir sebagai alternatif memfasilitasi pendidikan untuk masyarakat dibawah garis kemiskinan.

Sebagaimana kita tahu mahasiswa atau kalangan terdidik memiliki tanggung jawab pada 3 prinsip yang tertuang dalam tri darma perguruan tinggi, pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Maka, mari membuat ruang-ruang belajar yang tak berbayar sebagai bentuk tanggung jawab pengabdian kita kepada masyarakat. 

Penulis: Sulton Azizan Zanuar
Editor: Ega Adriansyah