Sumber Foto: Dokumentasi Fatsun 

Cirebon, LPM FatsOeN – "Selamat dan sukses atas peresmian kampus komersil", begitulah kalimat dari mahasiswa yang terpampang dalam sebuah spanduk pada sebuah aksi demonstrasi. Sebagaimana diketahui, sejumlah mahasiswa dari berbagai jurusan di UIN Siber Syekh Nurjati (SSC) melakukan aksi demonstrasi di depan gedung rektorat pada, Jumat (18/10/2024).

Aksi yang diinisiasi Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema-U) ini menuntut adanya penambahan sarana dan prasarana (sarpras) kampus, juga mendesak kepala bagian (kabag)  umum dan fakultas untuk mempermudah peminjaman sarana dan prasarana kemahasiswaan.

Selain persoalan tadi, tuntutan mahasiswa juga terkait dengan permasalahan dosen, dari mulai jadwal mata kuliah yang diubah semena-mena, hingga dosen yang melakukan komersialisasi pendidikan di lingkungan kampus. Komersialisasi pendidikan yang dimaksud meliputi praktik jual beli buku, pakaian dinas harian (PDH), hingga jual beli saham, yang mana dilakukan dengan ancaman pengurangan nilai bagi mereka yang tidak membeli produk-produk dosen tersebut.

Aksi tersebut berujung audiensi antara para mahasiswa dengan pihak rektorat dan dekanat. Rektor UIN SSC, Aan Jaelani berjanji, akan lebih membenahi fasilitas dan berkomitmen bahwa sarana dan prasarana kampus merupakan milik bersama, yang dapat digunakan oleh seluruh sivitas akademik. 

Selain itu, dirinya juga menghimbau kepada seluruh dekan fakultas untuk mengumpulkan dan mengevaluasi dosen-dosen yang dinilai bermasalah pada Senin 21 Oktober mendatang. 

"Silahkan buat tabel buat tindak lanjutnya," ucap Aan sebagai responnya terhadap tuntutan mahasiswa.

Secara tegas, Aan menyatakan akan menindak dosen yang terbukti mengotak-atik jadwal dan melakukan komersialisasi pendidikan. Bahkan, dalam hal ini dia tak segan untuk memberhentikan dosen yang tetap nakal (setelah dievaluasi atau dipanggil). 


Penulis: Fadhil Muhammad Razka

Editor: Ega Adriansyah


Ilustrasi: Pinterest 

Generasi yang akrab dengan teknologi, realitanya akan mengalami kemajuan dan kemunduran secara bersamaan. Hal itulah yang dialami generasi Z, khususnya di Indonesia. Pola hidup manusia terus mengalami perubahan seiring berkembangnya zaman. Tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap masa melahirkan generasi dengan karakteristiknya yang berbeda satu sama lain. Saat ini, generasi yang tengah memasuki usia emas adalah generasi Z alias gen Z. Orang-orang yang lahir dalam kurun waktu 1997 sampai 2010. Gen Z merupakan generasi yang sangat bersahabat dengan teknologi, khususnya sosial media. Mereka tumbuh beriringan dengan berbagai perkembangan sosial media. Seolah menjadi kebutuhan primer, memiliki akun sosial media merupakan hal wajib bagi mereka. 

Banyak dari mereka yang meluapkan berbagai ekspresinya di sosial media. Bahkan banyak juga yang menjadikan konten-konten sosial media sebagai standar pedoman hidup.

Berbagai jenis sosial media seperti Instagram, Facebook, X, dan TikTok, dianggap memiliki kegunaannya masing masing bagi gen Z. Di Facebook, umumnya mereka melakukan transaksi jual beli, dan sarana untuk mencari teman-teman lama. Sedangkan X dan Instagram, banyak dari gen Z menggunakannya untuk memamerkan pencapaian dan keresahan terhadap kehidupan sehari-harinya. Adapun TikTok, tak sedikit kita jumpai berbagai kutipan yang seolah menjadi sumber relevansi bagi kehidupan gen Z. Hal inilah yang disebut sebagai 'Standar TikTok’. TikTok sudah tidak hanya menjadi sarana hiburan, melainkan juga sebuah platform yang kontennya diianggap sebagai standar dalam kehidupan. 

Beberapa hal yang sering dijadikan acuan dari konten TikTok diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Standar Mencari Pasangan

Dikutip dari Kumparan, sejak konten-konten bucin atau percintaan membanjiri TikTok, kriteria remaja sekarang memiliki selera yang tinggi dalam memilih pasangan [Fahmi, 2022]. Banyak anak muda yang dituntut untuk memenuhi kriteria yang sedang hits di sosial media. Salah satu kriteria yang dimaksud adalah memiliki typing ganteng, yaitu cara penulisan dalam room chat tanpa diawali huruf kapital, kemudian ada juga memanjangkan huruf pada akhir kosakata, memakai emoticon tertentu pada akhir kalimat, dan masih banyak lagi. Selain itu, standar lain dalam memilih pasangan yang banyak diambil dari TikTok adalah kriteria kendaraan, outfit, hingga potongan rambut, hingga perlakuan khusus terhadap pasangan.

2. Generalisasi selera hingga penampilan

Selain standar mencari pasangan, berbagai selera penampilan seperti gaya rambut, musik, hingga tempat nongkrong sering kali menjadi hal yang diperdebatkan. Hal ini yang memicu adanya standar penampilan dan gaya hidup. Tak jarang mereka saling singgung di sosial media, khususnya TikTok hanya karena perbedaan selera penampilan. The nuruls untuk para wanita berjilbab, baju rajut, dan hobi berburu makanan seblak. Anak Skena untuk style kaos band, celana gombrang, dan playlist lagu pop-punk, hingga Anak Casual untuk mereka yang memakai brand mewah, dan gemar menonton sepakbola.

3. Standar pendidikan

Apabila generasi sebelumnya berlomba-lomba untuk mengharumkan nama kampus, maka mirisnya mayoritas gen Z justru ingin harum dibalik nama kampus. Banyak dari generasi Z berlomba-lomba untuk masuk sekolah maupun universitas impiannya, dan tidak jarang kita menemui orang-orang yang mengaku 'terpaksa' masuk sebuah kampus, karena ditolak oleh kampus impiannya itu. Akibat dari gengsi tersebut, mereka kian merasa malas dan tak bergairah untuk menempuh pendidikan. Bahkan tak sedikit juga yang memilih jeda terlebih dahulu di dunia pendidikan demi mengikuti tes masuk universitas impian mereka ditahun berikutnya. Kesalahan pola pikir semacam ini justru seolah dinormalisasi. Sebagai mahasiswa, seharusnya kita bangga dengan nama kampus yang telah menaungi pendidikan kita, dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengharumkan namanya agar setara dengan kampus-kampus impian kita.

4. Standar pergaulan

Satu lagi standar TikTok yang paling mengerikan adalah banyak konten yang seolah menormalisasi hal-hal negatif. Tak sedikit kita jumpai akun yang dengan bangganya memamerkan kenakalan-kenakalan remaja yang sangat minim moral. Tawuran pelajar, seks pra-nikah, hingga minum minuman keras, justru banyak dijadikan acuan bagi seseorang untuk dicap sebagai “orang paling gaul”. Hal ini sangat miris dan jelas mencoreng moral generasi bangsa, khususnya gen Z.

Itulah tadi standar TikTok yang menjadi salah satu peran utama dalam terdegradasinya moral generasi bangsa. Dari mulai standar yang terkesan sepele, hingga yang paling berpengaruh dampaknya terhadap moral. TikTok sebagai platform yang sangat banyak digunakan oleh anak muda, banyak memengaruhi pola pikir mereka. Standar yang tinggi tersebut, akhirnya merusak mentalitas dan moral para generasi Z, karena mereka akan minder alias 'insecure' apabila standar kebahagiaannya tidak terpenuhi. Akibat konten-konten sosial media tersebut, mereka justru gusar dan risau apabila tidak mengikuti trend dan berbeda dari yang lain. Hal ini berbanding dengan generasi-generasi sebelumnya yang cenderung lebih sederhana dalam membahagiakan diri. 

Akhirnya, banyak dari gen Z yang melek teknologi, namun justru melakukan riset lebih jauh terhadap pengaruhnya.

Oleh sebab itu, ada baiknya sebagai generasi yang berada di usia emas untuk bisa berpikir kritis dan jernih. Jangan sampai mentalitas kita jatuh karena konten-konten tanpa data yang disebarluaskan melalui sosial media. Media sosial memang membuat hidup lebih memiliki banyak pilihan. Namun bagaimanapun, kehidupan yang realistis sesuai kemampuan justru lebih menenangkan dan menyenangkan, ketimbang diselimuti ketakutan dan berlomba dengan gengsi demi mengejar standar kebahagiaan publik semata.


Penulis: Fadhil

Editor: Ega Adriansyah

Ilustrator: Zakariya Robbani 

Cirebon, LPM FatsOeN – Menjadi sarjana adalah keinginan sebagian orang. Membicarakan tentang jenjang pendidikan, gelar sarjana terbilang tinggi dan membanggakan, apalagi ketika kita berasal dari desa yang jauh dari perkotaan. Dalam menjalani kehidupan, kita memang dibenturkan dengan berbagai pilihan yang membingungkan.

Dimulai dari masa kanak-kanak, kita sering dibenturkan dengan hal-hal yang masih sedikit beresiko, contohnya seperti dibenturkan oleh pilihan antara memilih mainan robot atau mobil balap, makan baso atau cilok, baju Boboiboy atau Upin & Ipin, dan masih banyak lagi. 

Beranjak remaja, kita mulai disajikan oleh dua pilihan yang lumayan membuat bimbang, contohnya memilih antara sekolah SMA atau SMK, dan seterusnya. Setelah Dewasa, kita lebih dibingungkan oleh pilihan-pilihan yang mengasumsikan bahwa kesuksesan ialah bisa dengan cara kuliah, atau langsung bekerja. 

Entah apapun yang kita pilih, semuanya sama-sama bisa mendukung kita menggapai kesuksesan yang kita inginkan, tergantung bagaimana kita menjalani pilihan itu.

Ada salah satu lelucon dari teman saya yang membuat terbahak-bahak, ia mengutarakan bahwa salah satu alasan saya kuliah adalah agar sedikit keren ketika ijab kabul nanti. 

"Saya nikahkan dan kawinkan Budi Santoso S.Sos dengan mas kawin seperangkat alat shalat, dibayar tunai," katanya. 

Sekilas memang sangat indah untuk dibayangkan, tetapi realitanya menjadi sarjana muda tidak semudah atau seindah yang diharapkan. Menurutku, belajar bukan hanya memindahkan isi buku ke kepala, atau menyalin catatan baru kedalam buku, melainkan menguji kebenaran serta menghadapi aneka ketidakpastian di dunia nyata adalah suatu hal paling perlu. 

Tidak hanya itu, urgensi dari pendidikan sejatinya juga untuk membentuk karakter dan moralitas murid yang baik. Dalam Islam, kita tau bahwa adab berada di atas ilmu. Kiranya, kita harus sesekali keluar dari tempurung dan sangkar. Ada yang berkata, "Tenang saja, pasca kuliah masa depan akan cerah." Padahal pendidikan di negeri ini hanya mengarah kepada cara menyelesaikan soal-soal struktural, bukan belajar mengerjakan soal-soal kehidupan sosial. 

Karena itu, mari lebih mengenal kemampuan diri, mengasah soft skil, melatih mental juang, dan berhenti untuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Seharusnya, yang menjadi tolak ukur perbandingan adalah diri kita di masa lampau, dengan diri kita di masa sekarang dan masa mendatang. 

Perlu diingat, tanggung jawab sesungguhnya kita sebagai seorang sarjana adalah mempunyai inovasi baru untuk kemajuan bangsa, minimal kemajuan di desa. Satu lagi, kata teman, cita-cita, impian, atau apapun yang kau harapkan waktu kecil, kelak akan tumbuh menjadi kenyataan, atau hanya menjadi bumbu bibir penyesalan. Itu semua tergantung diri kita.


Penulis: Sulthon Azizan Zanuar

Editor: Ega Adriansyah

 

Sumber Foto: Dokumentasi Penulis 

Cirebon, LPM FatsOeN — Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FatsOeN bekerja sama dengan komunitas Teras Komunikasi sukses mengadakan acara Nonton Bareng (Nobar) pertandingan antara Timnas Indonesia dan Bahrain pada, Kamis (10/10/2024). 

Acara yang diadakan di Karyamulya, Kecamatan Kesambi, ini diikuti dengan antusias oleh para penggemar sepak bola dari berbagai kalangan di Kota Cirebon.

Pertandingan berlangsung seru di Bahrain National Stadium, di mana Timnas Indonesia berhasil mencuri satu poin dalam laga yang berakhir imbang. Pada menit ke-15, Bahrain memimpin lebih dulu melalui gol Mohamed Mahroon dari tendangan bebas yang sempat membentur mistar gawang, sebelum melewati garis putih, membuat gol tersebut sah.

Namun, Timnas Indonesia tidak tinggal diam. Tepat di menit ke-48 atau di menit tambahan waktu babak pertama, Ragnar Oratmangoen menyamakan kedudukan dengan gol yang memanfaatkan kesalahan pertahanan Bahrain. Skor 1-1 bertahan hingga turun minum.

Di babak kedua, Indonesia tampil lebih agresif dan berhasil membalikkan keadaan melalui gol Rafael Struick pada menit ke-74. Meski demikian, Bahrain tidak menyerah. Di menit ke-99 atau mrnit tambahan waktu babak kedua, Mohamed Mahroon kembali mencetak gol, menyamakan skor menjadi 2-2. Hasil imbang ini membuat Timnas Indonesia berada di peringkat kelima klasemen sementara.

Acara nobar ini tak hanya menyajikan pertandingan yang seru, tetapi juga menjadi wadah diskusi bagi para penonton. Rafly, salah satu peserta Nobar, menyampaikan apresiasinya terhadap permainan Timnas Indonesia.

"Alhamdulillah, permainan Timnas sudah bagus, walaupun ada beberapa keputusan wasit yang kontroversial, tapi secara keseluruhan, penampilan tim sudah meningkat," ungkapnya.

Ia juga berharap agar Timnas Indonesia dapat lebih menguasai bola di pertandingan-pertandingan selanjutnya. Selain itu, Rafly menyarankan agar acara nobar seperti ini terus diadakan, tidak hanya untuk pertandingan Timnas senior, tetapi juga untuk kategori usia muda seperti U-20 dan U-17.

“Selagi Timnas masih berjuang, acara nobar seperti ini perlu sering diadakan supaya suasananya semakin seru,” tambahnya.

Acara Nobar ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat dukungan bagi Timnas Indonesia, baik dalam ajang kualifikasi Piala Dunia maupun kompetisi lainnya.


Penulis: Zakariya Robbani

Editor: Ega Adriansyah

 

Sumber Foto: Pinterest 

Anda tau tokoh pendidikan Brasil yang terkenal? benar sekali yakni Paulo Freire. Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Namun, ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas. 

Freire mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Ia terkenal dengan gagasan serta karyanya yang berjudul "Pendidikan Kaum Tertindas". 

Inti dari buku itu ialah bagaimana cara pandang ia kepada dunia pendidikan, dimana orang kuat merendahkan masyarakat lemah melalui cara-cara halus namun menindas. Ia juga mengkritik keras model pendidikan gaya bank barat yang disebutnya sebagai alat penindasan. Sebagai gantinya ia mempunyai konsep pendidikan hadap-masalah yang ia sebut sebagai alat pembebasan.

Selain Freire, ada tokoh besar Indonesia yang menurut saya cara pandang serta keberpihakannya kepada masyarakat di bidang pendidikan sangatlah tinggi, beliau adalah Bapak Republik yakni, Datuk Sutan Malaka. Kata-kata beliau tentang hakikat esensi pendidikan yang sangat melekat dibenak saya yakni " Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan."

Tetapi, realitanya tidak seperti itu. Bukan malah ketajaman kecerdasan yang terbentuk, tetapi ketajaman emosional pemarah yang terbentuk. Bukan memperhalus perasaan, tetapi memperhalus jalan untuk kenikmatan pribadi. Pertanyaannya, apakah orang pintar di Indonesia itu sedikit? Nampaknya itulah yang menjadi asumsi sebagian masyarakat, percuma sekolah tinggi tapi hanya untuk membodohi orang lain. 

Saya pernah berfikir serta membayangkan, bagaimana jika Paulo Freire dan Tan Malaka hidup kembali. Rasanya, pasti mereka berdua terkejut melihat segala kekacauan pendidikan di negeri ini. Rasanya akan seru sekali, jika Tan Malaka dan Paulo Freire mengisi pembelajaran di kampus dengan mengampu mata kuliah 
Filsafat Pendidikan. Saya kira mereka pasti bisa memberi angin segar untuk kualitas pendidikan di Indonesia, tetapi, semua itu memang agaknya mustahil terjadi. 

Untuk mengganti apa yang saya bayangkan itu, maka saya lebih membayangkan bagaimana peran mahasiswa atau kaum terdidik bisa mendiasporakan pendidikan untuk mencapai amanat undang-undang dasar mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena realita di lapangan tidak semua masyarakat bisa mengakses pendidikan yang layak, oleh karena itu, saya berharap akan lebih banyak peran mahasiswa dan kaum terdidik hadir sebagai alternatif memfasilitasi pendidikan untuk masyarakat dibawah garis kemiskinan.

Sebagaimana kita tahu mahasiswa atau kalangan terdidik memiliki tanggung jawab pada 3 prinsip yang tertuang dalam tri darma perguruan tinggi, pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Maka, mari membuat ruang-ruang belajar yang tak berbayar sebagai bentuk tanggung jawab pengabdian kita kepada masyarakat. 

Penulis: Sulton Azizan Zanuar
Editor: Ega Adriansyah

Sumber Foto: Dokumentasi Penulis 

Cirebon, LPM FatsOeN- Program Studi Hukum Tata Negara Islam dengan menggandeng Himpunan Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara (HMJ HTN) menyelenggarakan kuliah umum berbasis seminar pada, Jum'at (27/09/24), di Auditorium Pascasarjana Lantai 3, UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (SSC).

Dengan mengusung tema "Demokrasi, Pilkada dan Penyelesaian Hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi Konstitusi", bekerjasama dengan Penerbit RajaGrafindo Persada. Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Islam beserta jajarannya menghadirkan Wilma Silalahi sebagai narasumber utama. Ia merupakan seorang dosen Universitas Tarumanegara, sekaligus panitera pengganti di Mahkamah Konstitusi. 

Tidak hanya itu, Dekan Fakultas Syariah, Edy Setyawan, juga turut menghadiri acara tersebut dengan memberikan sambutan yang cukup menginspirasi mahasiswa yang hadir dalam acara tersebut.

Acara kuliah hukum ini mewajibkan mahasiswa program studi hukum tata negara untuk ikut acaranya. Khususnya mahasiswa semester 5, dengan tujuan untuk memberikan bekal kepada mahasiswa tentang berbagai isu menjelang pilkada.

Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Islam, Mohamad Rana, memberikan tanggapan, dia sangat senang karena acara kuliah umum ini bisa terlaksana. 

"Alhamdulillah, saya sangat bersyukur dan bangga atas suksesnya pelaksanaan kuliah umum dengan tema Demokrasi, Pilkada, dan Penyelesaian Hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Acara ini berjalan dengan sangat baik, ditandai dengan antusiasme yang luar biasa dari para mahasiswa, dosen, serta tamu undangan lainnya," ujarnya. 

Kuliah umum menurutnya memiliki manfaat penting bagi mahasiswa Hukum Tata Negara, karena mereka diberikan kesempatan untuk memahami secara langsung mekanisme hukum dalam konteks demokrasi dan Pilkada. Ini adalah materi yang sangat relevan dengan kondisi demokrasi di Indonesia, di mana Pilkada merupakan salah satu wujud nyata dari penerapan demokrasi di tingkat lokal.

Selanjutnya, dia juga sangat berterima kasih kepada narasumber yang telah bersedia dan menyampaikan keterangan tentang isu hukum dan demokrasi sebelum Pilkada dengan cukup lengkap. 

"Saya sangat mengapresiasi narasumber utama, Dr. Wilma Silalahi, S.H., M.H., yang telah memberikan paparan yang komprehensif mengenai peran Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pilkada. Tidak hanya memberikan wawasan teoretis, tetapi juga membahas tantangan-tantangan praktis yang dihadapi dalam proses tersebut. Begitu pula dengan sambutan dari Dr. Edy Setyawan, Lc, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah, yang menambah kedalaman diskusi mengenai pentingnya menjaga integritas demokrasi melalui hukum," imbuhnya.

Di samping itu, dia juga menyampaikan ucapan serupa kepada Penerbit Rajawali Grafindo Persada yang menjadi unsur pendukung bagi terlaksananya acara. 

"Kami juga berterima kasih kepada Penerbit Rajawali Grafindo Persada yang telah berperan penting dalam mendukung terlaksananya acara ini. Kolaborasi ini sangat berharga untuk memperkuat jaringan akademis dan memperkaya materi yang dibahas dalam kuliah umum," pungkasnya.

Dia berharap, kegiatan seperti ini dapat terus dilakukan secara berkelanjutan, karena memberikan ruang yang sangat positif bagi mahasiswa untuk belajar secara langsung dari para ahli dan praktisi tentang hukum. Kegiatan ini juga menurutnya menjadi momen penting untuk menumbuhkan semangat belajar dan berpikir kritis dalam memahami persoalan hukum tata negara, terutama dalam konteks demokrasi yang berkembang pesat di Indonesia.

Dia juga merasa puas dengan hasil dari kuliah umum yang diselenggarakan. Dia merasa ilmu yang diberikan oleh narasumber akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa. 

"Saya yakin bahwa ilmu yang didapatkan oleh mahasiswa akan sangat bermanfaat, baik di lingkungan akademis maupun dalam kehidupan profesional mereka di masa depan," tutupnya. 


Penulis: Noviati Farisa

Editor: Ega Adriansyah

Illustrator: Zakariya Robbani 

Kaum pria sering kali menganggap penting sebuah gaya rambut, berbagai macam gaya potong rambut seperti mullet, french crop, two block, atau bahkan hanya sekedar panjang khas mahasiswa semester akhir turut meramaikan khazanah kebebasan berekspresi di kampus. 

Mungkin terbesit pertanyaan, "Mengapa kaum pria menganggap rambut itu sangat penting? Lebih spesifiknya suka memanjangkan rambut (walau tidak semua pria melakukan itu)?" 

Mungkin salah satu mahasiswa penyandang gondrong bisa menjawab pertanyaan itu. Namanya, Alfath (20), Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Adab (FUA) UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI), Semester 3. Pemuda asal Jakarta yang mempunyai rambut tebal, ikal dan panjang hingga bahu. 

Baginya, gaya rambut itu penting bagi laki-laki. Sebab rambut ibarat mahkota. 

"Bagi cowok, rambut tuh penting, soalnya rambut tuh kaya mahkota, cocok-cocokan sama muka, kalo (style) rambut nggak cocok ngaruh ke muka," katanya. 

Menurutnya, rambut gondrong sendiri menjadi sesuatu yang melambangkan kebebasan berekspresi seseorang utamanya pelajar. 

"(Bentuk) bebas berekspresi, terus lebih ke balas dendam pas masa sekolah, rambut kena gunting terus, lalu ketika kuliah merasa bebas dan merdeka, akhirnya manjangin rambut, itu juga awalnya karena penasaran," lanjutnya ketika dihubungi penulis via WhatsApp. 

Pendapatnya memang bukan hanya sekedar kata-kata, namun lebih ke curahan hati mahasiswa yang merasakan kebebasan berekspresi di perguruan tinggi dan mempertanyakan apa korelasi rambut dengan nilai akademiknya di bangku sekolah dulu. 

Mari sedikit mundur kebelakang, masih teringat tentang kegiatan pengenalan budaya akademik (PBAK) di UIN Siber Syekh Nurjati yang sudah usai beberapa minggu lalu, terlihat para mahasiswa baru antusias dalam mengikuti kegiatan PBAK yang digelar selama 3 hari, para mahasiswa baru semangat menggaungkan yel yel dan mars mahasiswa.

Bagi mereka, ini adalah momen transisi yang sangat berkesan dari bangku SMA ke perguruan tinggi, mereka juga merasakan banyak hal yang berbeda dari kedua tingkat pendidikan tersebut, tak terkecuali soal budaya kebebasan berpenampilan. 

Jenjang SMA dikenal memiliki peraturan yang ketat soal penampilan, baju yang harus seragam, sepatu yang harus hitam putih, dan rambut yang tak boleh panjang, budaya ini berbeda di tingkat perguruan tinggi, biasanya, mahasiswa memiliki hak kebebasan berekspresi soal penampilan, baik itu pakaian, sepatu, maupun rambut. 

Terlihat para mahasiswa baru di momen PBAK kemarin hingga kegiatan perkuliahan yang sudah aktif saat ini menikmati fase kebebasan berekspresi sambil belajar, terutama kaum pria dengan penuh percaya diri memamerkan rambut panjang (gondrong) di kampus, trend mahasiswa gondrong sudah berlangsung sejak lama terus membudaya di panggung perguruan tinggi di seluruh Indonesia, hal ini dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi para pelajar yang tidak mereka dapatkan ketika di bangku SMA.

Kebebasan berekspresi dalam dunia pendidikan juga diharapkan bukan hanya soal penampilan, tetapi juga soal pendapat, kritik, dan pemikiran, yang semoga ikut membudaya bukan hanya di tingkat perguruan tinggi, namun di seluruh tingkatan pendidikan. 

Nyatanya, kebebasan berekspresi dalam konteks ini masih sulit didapatkan para pelajar atau bahkan mahasiswa. Terkadang mereka masih dibatasi oleh "budaya ketimuran" yang mana kaum muda tidak boleh mengkritisi atau "sok tau" kepada kaum tua, dalam konteks ini adalah para pengajar atau lembaga pendidikan. Sejatinya, kebebasan berekspresi yang paling berharga adalah kebebasan berpendapat dan idealisme kita sebagai pelajar.


Penulis: Farhat Kamal 

Editor: Ega Adriansyah