Sumber Foto: Dokumentasi Penulis 

Cirebon, LPM FatsOeN- Program Studi Hukum Tata Negara Islam dengan menggandeng Himpunan Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara (HMJ HTN) menyelenggarakan kuliah umum berbasis seminar pada, Jum'at (27/09/24), di Auditorium Pascasarjana Lantai 3, UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (SSC).

Dengan mengusung tema "Demokrasi, Pilkada dan Penyelesaian Hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi Konstitusi", bekerjasama dengan Penerbit RajaGrafindo Persada. Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Islam beserta jajarannya menghadirkan Wilma Silalahi sebagai narasumber utama. Ia merupakan seorang dosen Universitas Tarumanegara, sekaligus panitera pengganti di Mahkamah Konstitusi. 

Tidak hanya itu, Dekan Fakultas Syariah, Edy Setyawan, juga turut menghadiri acara tersebut dengan memberikan sambutan yang cukup menginspirasi mahasiswa yang hadir dalam acara tersebut.

Acara kuliah hukum ini mewajibkan mahasiswa program studi hukum tata negara untuk ikut acaranya. Khususnya mahasiswa semester 5, dengan tujuan untuk memberikan bekal kepada mahasiswa tentang berbagai isu menjelang pilkada.

Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Islam, Mohamad Rana, memberikan tanggapan, dia sangat senang karena acara kuliah umum ini bisa terlaksana. 

"Alhamdulillah, saya sangat bersyukur dan bangga atas suksesnya pelaksanaan kuliah umum dengan tema Demokrasi, Pilkada, dan Penyelesaian Hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Acara ini berjalan dengan sangat baik, ditandai dengan antusiasme yang luar biasa dari para mahasiswa, dosen, serta tamu undangan lainnya," ujarnya. 

Kuliah umum menurutnya memiliki manfaat penting bagi mahasiswa Hukum Tata Negara, karena mereka diberikan kesempatan untuk memahami secara langsung mekanisme hukum dalam konteks demokrasi dan Pilkada. Ini adalah materi yang sangat relevan dengan kondisi demokrasi di Indonesia, di mana Pilkada merupakan salah satu wujud nyata dari penerapan demokrasi di tingkat lokal.

Selanjutnya, dia juga sangat berterima kasih kepada narasumber yang telah bersedia dan menyampaikan keterangan tentang isu hukum dan demokrasi sebelum Pilkada dengan cukup lengkap. 

"Saya sangat mengapresiasi narasumber utama, Dr. Wilma Silalahi, S.H., M.H., yang telah memberikan paparan yang komprehensif mengenai peran Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pilkada. Tidak hanya memberikan wawasan teoretis, tetapi juga membahas tantangan-tantangan praktis yang dihadapi dalam proses tersebut. Begitu pula dengan sambutan dari Dr. Edy Setyawan, Lc, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah, yang menambah kedalaman diskusi mengenai pentingnya menjaga integritas demokrasi melalui hukum," imbuhnya.

Di samping itu, dia juga menyampaikan ucapan serupa kepada Penerbit Rajawali Grafindo Persada yang menjadi unsur pendukung bagi terlaksananya acara. 

"Kami juga berterima kasih kepada Penerbit Rajawali Grafindo Persada yang telah berperan penting dalam mendukung terlaksananya acara ini. Kolaborasi ini sangat berharga untuk memperkuat jaringan akademis dan memperkaya materi yang dibahas dalam kuliah umum," pungkasnya.

Dia berharap, kegiatan seperti ini dapat terus dilakukan secara berkelanjutan, karena memberikan ruang yang sangat positif bagi mahasiswa untuk belajar secara langsung dari para ahli dan praktisi tentang hukum. Kegiatan ini juga menurutnya menjadi momen penting untuk menumbuhkan semangat belajar dan berpikir kritis dalam memahami persoalan hukum tata negara, terutama dalam konteks demokrasi yang berkembang pesat di Indonesia.

Dia juga merasa puas dengan hasil dari kuliah umum yang diselenggarakan. Dia merasa ilmu yang diberikan oleh narasumber akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa. 

"Saya yakin bahwa ilmu yang didapatkan oleh mahasiswa akan sangat bermanfaat, baik di lingkungan akademis maupun dalam kehidupan profesional mereka di masa depan," tutupnya. 


Penulis: Noviati Farisa

Editor: Ega Adriansyah

Illustrator: Zakariya Robbani 

Kaum pria sering kali menganggap penting sebuah gaya rambut, berbagai macam gaya potong rambut seperti mullet, french crop, two block, atau bahkan hanya sekedar panjang khas mahasiswa semester akhir turut meramaikan khazanah kebebasan berekspresi di kampus. 

Mungkin terbesit pertanyaan, "Mengapa kaum pria menganggap rambut itu sangat penting? Lebih spesifiknya suka memanjangkan rambut (walau tidak semua pria melakukan itu)?" 

Mungkin salah satu mahasiswa penyandang gondrong bisa menjawab pertanyaan itu. Namanya, Alfath (20), Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Adab (FUA) UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI), Semester 3. Pemuda asal Jakarta yang mempunyai rambut tebal, ikal dan panjang hingga bahu. 

Baginya, gaya rambut itu penting bagi laki-laki. Sebab rambut ibarat mahkota. 

"Bagi cowok, rambut tuh penting, soalnya rambut tuh kaya mahkota, cocok-cocokan sama muka, kalo (style) rambut nggak cocok ngaruh ke muka," katanya. 

Menurutnya, rambut gondrong sendiri menjadi sesuatu yang melambangkan kebebasan berekspresi seseorang utamanya pelajar. 

"(Bentuk) bebas berekspresi, terus lebih ke balas dendam pas masa sekolah, rambut kena gunting terus, lalu ketika kuliah merasa bebas dan merdeka, akhirnya manjangin rambut, itu juga awalnya karena penasaran," lanjutnya ketika dihubungi penulis via WhatsApp. 

Pendapatnya memang bukan hanya sekedar kata-kata, namun lebih ke curahan hati mahasiswa yang merasakan kebebasan berekspresi di perguruan tinggi dan mempertanyakan apa korelasi rambut dengan nilai akademiknya di bangku sekolah dulu. 

Mari sedikit mundur kebelakang, masih teringat tentang kegiatan pengenalan budaya akademik (PBAK) di UIN Siber Syekh Nurjati yang sudah usai beberapa minggu lalu, terlihat para mahasiswa baru antusias dalam mengikuti kegiatan PBAK yang digelar selama 3 hari, para mahasiswa baru semangat menggaungkan yel yel dan mars mahasiswa.

Bagi mereka, ini adalah momen transisi yang sangat berkesan dari bangku SMA ke perguruan tinggi, mereka juga merasakan banyak hal yang berbeda dari kedua tingkat pendidikan tersebut, tak terkecuali soal budaya kebebasan berpenampilan. 

Jenjang SMA dikenal memiliki peraturan yang ketat soal penampilan, baju yang harus seragam, sepatu yang harus hitam putih, dan rambut yang tak boleh panjang, budaya ini berbeda di tingkat perguruan tinggi, biasanya, mahasiswa memiliki hak kebebasan berekspresi soal penampilan, baik itu pakaian, sepatu, maupun rambut. 

Terlihat para mahasiswa baru di momen PBAK kemarin hingga kegiatan perkuliahan yang sudah aktif saat ini menikmati fase kebebasan berekspresi sambil belajar, terutama kaum pria dengan penuh percaya diri memamerkan rambut panjang (gondrong) di kampus, trend mahasiswa gondrong sudah berlangsung sejak lama terus membudaya di panggung perguruan tinggi di seluruh Indonesia, hal ini dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi para pelajar yang tidak mereka dapatkan ketika di bangku SMA.

Kebebasan berekspresi dalam dunia pendidikan juga diharapkan bukan hanya soal penampilan, tetapi juga soal pendapat, kritik, dan pemikiran, yang semoga ikut membudaya bukan hanya di tingkat perguruan tinggi, namun di seluruh tingkatan pendidikan. 

Nyatanya, kebebasan berekspresi dalam konteks ini masih sulit didapatkan para pelajar atau bahkan mahasiswa. Terkadang mereka masih dibatasi oleh "budaya ketimuran" yang mana kaum muda tidak boleh mengkritisi atau "sok tau" kepada kaum tua, dalam konteks ini adalah para pengajar atau lembaga pendidikan. Sejatinya, kebebasan berekspresi yang paling berharga adalah kebebasan berpendapat dan idealisme kita sebagai pelajar.


Penulis: Farhat Kamal 

Editor: Ega Adriansyah


Sumber Foto: Panitia Penyelenggara 



Cirebon, LPM FatsOeN - Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Semua Tentang Rakyat (Setara) Universitas Swadaya Gunungjati (UGJ) Cirebon menggelar seminar nasional di Auditorium Kampus 1 UGJ pada, Kamis 26 September 2024. Seminar ini merupakan bagian dari rangkaian perayaan milad LPM Setara yang dimulai sejak Mei lalu

Dengan mengusung tema “Mengoptimalkan Peran Media dalam Rangka Menghadapi Ancaman Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Jurnalis,” acara ini diadakan untuk memberikan edukasi, pengetahuan dan keterampilan kepada generasi muda tentang pentingnya menjaga kemerdekaan pers serta melindungi jurnalis. 

Di tengah isu kebebasan pers yang mengkhawatirkan dan maraknya kekerasan terhadap jurnalis, LPM Setara menekankan pentingnya edukasi untuk menyuarakan kebenaran sebuah informasi dengan aman dan efektif. 

Seminar ini diisi oleh dua pemateri yang berkompeten, yaitu Redaktur Desk Hukum dan Kriminal Tempo, Suseno, serta dosen ilmu komunikasi di UGJ, Khaerudin Imawan. Kedua pemateri itu membagikan wawasan mendalam tentang tantangan yang dihadapi jurnalis serta pentingnya peran media dalam menjaga kebebasan pers. 

Acara yang terbuka untuk umum ini dihadiri oleh dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UGJ, mahasiswa, serta siswa SMA/SMK se-Cirebon. Rangkaian acaranya sendiri dimulai dengan pembukaan, penampilan tari topeng, sambutan-sambutan, seminar, dan ditutup dengan pembagian doorprize. 

Seminar ini mendapat respon yang antusias dari para peserta, hal tersebut dilihat dari respon para peserta yang aktif bertanya selama sesi seminar. Ketua pelaksana acara, Putri Panangguhan berharap, seminar ini dapat menjadi wadah diskusi yang mendorong masyarakat untuk lebih terbuka dalam menyuarakan kemerdekaan pers. 

“Semoga orang-orang di luar sana terbuka untuk menyuarakan kemerdekaan pers, kebenaran, dan mendapat ilmu yang bermanfaat,” ujarnya ketika diwawancara. 

Melalui seminar ini, LPM Setara ingin mendorong generasi muda untuk berani menyampaikan pendapat dan memahami peran penting media dalam menjaga demokrasi dan kebenaran.


Penulis: Nuria Febrianti

Editor: Ega Adriansyah

Sumber Foto: Annita Syari'ach 

Cirebon, LPM FatsOeN - Sema Institut UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon mengeluarkan surat edaran yang menganjurkan mahasiswa semester 1-5 untuk mengikuti organisasi kemahasiswaan. Surat edaran ini dikeluarkan atas persetujuan Wakil Rektor (Warek) III, Hajam, sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi penurunan minat berorganisasi di kalangan mahasiswa dan mempersiapkan kelengkapan dokumen, seperti Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI), untuk beasiswa di masa depan.

Dalam keterangannya, Hajam menjelaskan bahwa langkah ini didasarkan pada  fenomena penurunan minat organisasi di kalangan mahasiswa serta kendala pada beberapa beasiswa. Ia juga menganggap organisasi mampu menjadi pijakan mahasiswa di luar pendidikan formal.  

"Kita lihat ada penurunan minat mahasiswa dalam berorganisasi, padahal kegiatan ini sangat penting untuk melatih kepemimpinan, komunikasi, dan kerja sama. Selain itu, keikutsertaan dalam organisasi juga menjadi salah satu persyaratan untuk mendapatkan beasiswa tertentu, seperti Beasiswa BI dan Baznas," ujar Hajam saat diwawancarai LPM FatsOeN pada Jumat, (20/9/2024).

Dalam surat edaran tersebut, tertuang juga bunyi dari  UU No. 12 tahun 2012 pasal 44 ayat 1, yang menegaskan pentingnya peran mahasiswa dalam pengembangan diri dan masyarakat.

Ketua Umum Unit Kegiatan Khusus (UKK) Pramuka, Qodry, menyambut baik kebijakan ini.  Karena ini dapat membantu UKM dan UKK mencari anggota baru. Melalui memperbesar dorongan kepada mahasiswa untuk mengikuti organisasi mahasiswa.

"Saya setuju-setuju saja dengan surat edaran ini karena sangat penting untuk orang-orang (regenerasi) di UKM-UKK kan kaya UKM-UKK, banyak mencetak prestasi buat nama kampus. Kalau UKM-UKK gak ada orang-orangnya (regenerasinya), kan sayang," jelas Qodry

Namun, Qodry menganggap bahwa surat edaran ini terbit cukup terlambat. Beberapa UKM-UKK sudah menutup masa penerimaan anggota baru. 

"Semoga ke depannya, kebijakan seperti ini bisa dikeluarkan lebih awal agar UKM memiliki waktu yang cukup untuk menjaring anggota baru," pungkasnya.


Penulis: Raihan Athaya Mustafa

Editor: Ega Adriansyah

  

Ilustrator: Zakariya Robbani 

Kemarin, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI diberitakan menolak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024. Putusan itu intinya memutuskan dua poin utama. Pertama, mengubah aturan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik. Dari yang tadinya partai politik memerlukan 20 persen kursi di DPRD dan 25 persen suara ketika pemilihan legislatif, menjadi 7,5 persen kursi DPRD saja. 

Kedua, MK juga memutuskan untuk menetapkan syarat usia pencalonan kepala daerah adalah 30 tahun ketika penetapan calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Poin kedua inilah yang secara spesifik ditolak oleh Baleg DPR RI. Baleg DPR RI lebih setuju dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) yang sebelumnya menyatakan bahwa syarat usia pencalonan kepala daerah dalam Pilkada adalah 30 tahun ketika penetapan menjadi kepala daerah. 

Penolakan Baleg DPR RI atas putusan MK itu rencananya akan dibahas dalam rapat paripurna hari ini. Namun, karena rapatnya batal, Puan Maharani, Ketua DPR RI-nya berhalangan hadir. Akhirnya DPR RI mau tidak mau harus menerima putusan MK tentang Pilkada itu. Secara konstitusi, putusan MK sebetulnya juga berada di tingkatan yang lebih tinggi dari putusan MA. Sehingga penolakan Baleg DPR RI sebetulnya kurang begitu relevan. Bahkan terkesan ingin mengotak-atik aturan dan ketetapan yang positif untuk kepentingan segelintir elit politik. 

Perlu diketahui, banyak yang menduga bahwa penolakan Baleg DPR RI ini didasarkan pada kepentingan elit politik yang ingin meloloskan anak atau orang-orangnya menjadi kepala daerah. Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI sekaligus anak dari Presiden Joko Widodo, adalah sosok yang santer dibicarakan sebagai orang yang hendak diloloskan itu. Sebab, pengalaman sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) awal 2024 kemarin juga hampir sama, segelintir pihak di lingkungan elit politik terus menerus berusaha agar Gibran Rakabuming Raka lolos dan bisa menjadi pendamping Prabowo. Dan akhirnya kejadian. 

Jadi, pengalaman itu mungkin ingin diulang. Tapi, untungnya MK memiliki sikap yang menurut saya perlu diapresiasi. Berani. MK memang harus begitu. Karena menjadi lembaga negara yang cukup menentukan nasib demokrasi di Indonesia. Setelah putusan MK di atas santer dibicarakan ditolak oleh Baleg DPR RI, masyarakat, dari kalangan akademisi, aktivis politik dan demokrasi terus menerus menyuarakan pembelaan dan ajakan pengawalan atas putusannya yang bisa membuat elit politik dan oligarki yang berusaha mengendalikan negeri berpikir untuk menemukan cara lain lagi agar kepentingannya terpenuhi. 

Saya kira, meski Baleg DPR RI tidak jadi rapat paripurna dan sementara ini aturan yang berlaku adalah aturan Pilkada yang positif untuk demokrasi dan konstitusi, saya berpikir mungkin oligarki akan mencari cara baru untuk bisa mematahkan putusan itu (meskipun sulit). Kita nantikan saja. Tapi, saya harap itu tidak akan terjadi dan putusan MK yang terbaru tetap berlaku dan menjadi patokan utama KPU. Bagaimanapun, putusan itu seperti menjadi angin segar bahwa politik, demokrasi dan konstitusi di Indonesia masih ada harapan. Semoga Indonesia dilindungi Tuhan dari segala macam praktik yang membahayakan persatuan dan seterusnya yang dilakukan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. 

Penulis: Ega Adriansyah



 

Ilustrator: Zakariya Robbani

Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi koalisi pemerintah karena memenangkan ajang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kemarin. Pasangan yang diusung, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia tahun 2024-2029. KIM merupakan koalisi gemuk yang kuat. Di belakangnya ada nama-nama sekaliber Prabowo itu sendiri, Fahri Hamzah, Zulkifli Hasan dan yang belakangan selalu membuat heboh dengan langkah-langkah politiknya, Joko Widodo.

Karena didukung oleh pemerintah yang sedang berkuasa, KIM memang bisa dibilang sangat kokoh. Sulit dikalahkan. Kebijakan dan seterusnya dari pemerintah dan lembaga-lembaga negara sebelum Pemilu kemarin seolah selalu menguntungkan mereka. Mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas minimal calon Presiden dan Wakil Presiden, kebijakan bantuan sosial dan sebagainya. Saking kokoh dan digdayanya, KIM menjadi poros kekuatan politik yang di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bulan November mendatang sangat diperhitungkan. 

Di Pilkada Jakarta, yang menjadi titik penentu pertarungan politik di Indonesia, banyak partai politik yang sebelumnya berada di luar poros pemerintah bergabung ke KIM. Sebelumnya, PKS, Nasdem dan PKB sempat mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon Gubernur yang mereka usung di Pilkada Jakarta. Ketiga partai itu, di Pemilu awal 2024 menjadi lawan KIM. Namun, ketika KIM memutuskan untuk mengusung calon dari koalisinya, Ridwan Kamil (kader Golkar sekaligus mantan Gubernur Jawa Barat), ketiga partai itu memutuskan untuk bergabung bersama KIM. Pencalonan Anies akhirnya diisukan batal. 

PKS, Nasdem dan PKB memutuskan untuk bergabung bersama KIM dan menyatakan diri menjadi partai yang pro terhadap pemerintah. Meninggalkan PDIP yang sepertinya akan konsisten menjadi oposisi. KIM atau kini disebut KIM Plus karena ada penambahan partai politik yang bergabung ke koalisinya diisukan mengusung pasangan Ridwan Kamil dan Suswono dari PKS. PKS memang menjadi partai pemenang di Jakarta. Sehingga wajar kalau kemudian PKS mengajukan nama pasangan dari Ridwan Kamil. 

Bergabungnya ketiga partai itu di satu sisi menjadi kabar yang baik bagi koalisi. Namun, dari sisi demokrasi, hal itu bisa menciptakan apa yang akhir-akhir ini diperbincangkan, yakni fenomena kotak kosong. Karena secara logika, melawan koalisi yang sangat gemuk dan didukung pemerintah itu merupakan sesuatu yang rasanya hampir mustahil. Terlebih, sisa partai yang tidak bergabung dengan koalisi KIM Plus sebelum adanya perubahan aturan sama sekali tidak memenuhi ambang batas pencalonan kepala daerah yang mengharuskan partai pengusung memiliki 25 persen perolehan suara dan 20 persen kursi di DPRD. 


Namun, sisa partai yang tidak bergabung dengan KIM Plus memang kemudian masih bisa melakukan pencalonan kepala daerah karena aturan tentang ambang batas pencalonan kepala daerah itu resmi diubah MK melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang sebelumnya dimohonkan oleh Partai Buruh dan Gelora. Putusan MK ini membuat aturan treshold pencalonan kepala daerah hanya membutuhkan 7,5 persen suara pada Pemilihan Legislatif (Pileg). PDIP dalam hal ini akhirnya bisa mencalonkan orang yang diusungnya di Pilkada Jakarta. Isunya adalah Ahok atau Anies. 


Meskipun saat ini sebetulnya ada satu pasangan independen yang siap melawan Ridwan Kamil dan Suswono, yakni pasangan yang disebut Dharma-Kun, rasanya, pasangan itu hanya akan menjadi peramai kontestasi. Bahkan, tidak sedikit yang menyebut bahwa mereka disiapkan untuk mencegah terjadinya fenomena kotak kosong. Saya tidak tahu. Yang jelas, karena PDIP punya peluang, mungkin yang akan menjadi lawan terberat pasangan yang diusung KIM Plus adalah Anies atau Ahok. Sebab secara elektabilitas mereka unggul di Jakarta. Kita tunggu saja. 


KIM Plus sendiri memang berpotensi bukan hanya akan berkoalisi di Pilkada Jakarta. KIM Plus dinilai banyak pengamat politik akan memengaruhi peta politik di Pilkada seluruh daerah di Indonesia. Pasangan yang diusung KIM Plus bisa berpotensi memiliki peluang sangat besar untuk menang. Itulah mengapa tadi malam, ketika saya berdiskusi dengan seorang teman di desa setelah acara Hadiyuan, dia mengatakan di Kabupaten Cirebon, calon Bupati yang diusung Gerindra, Wahyu Tjipta Ningsih berpotensi besar menjadi saingan berat Imron Rosyadi.


KIM Plus saya kira sangat digdaya. Partai-partai oposisi dan lawan mereka di Pilkada nanti mungkin harus ekstra maksimal bila ingin mengalahkan mereka. Apalagi, pemerintah, yang terang-terangan mendukung mereka juga belakangan banyak melakukan langkah politik yang selalu menghebohkan. Meski bagian dari dugaan, mundurnya Airlangga Hartarto dari jabatannya sebagai Ketua Umum Golkar, dan seterusnya menjadi hal yang dinilai tidak bisa dilepaskan dari campur tangan pemerintah. Kalau benar ada campur tangan, hal itu tentu saja menjadi kabar kurang positif bagi demokrasi dan politik di Indonesia. Sebab hal itu saya kira bisa menjadi gerbang awal semakin parahnya budaya politik dinasti, nepotisme dan kekuasaan oligarki yang kepentingannya hanya bisa dirasakan segelintir pihak. 



Penulis: Ega Adriansyah


Sumber foto: Nuria Febrianti

Cirebon, LPM FatsOeN – Universitas Islam Negeri (UIN) Siber Syekh Nurjati Cirebon (SSC) telah menyelenggarakan acara wisuda dan sidang senat terbuka untuk program sarjana, magister, dan doktor gelombang ke-29 pada, Selasa dan Rabu, 30-31 Juli 2024. Wisuda digelar di Hotel Apita, Cirebon. 

Dalam acara wisuda itu, UIN SSC mengusung tema "Mewujudkan UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon Yang Unggul dan Mendunia". Acara yang digelar dua hari itu diikuti oleh sebanyak 1.402 wisudawan.

Pada hari pertama, sebanyak 702 wisudawan dari berbagai fakultas di UIN SSC mengikuti acara tersebut. Masing-masing 572 berasal dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), dan 130 wisudawan dari Fakultas Ushuluddin dan Adab (FUA).

Sementara itu, wisuda hari kedua diikuti oleh 700 peserta. Sebanyak 322 wisudawan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), 135 dari Fakultas Syariah (Fasya), 116 dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam (FDKI), 124 dari program magister, serta 3 dari program doktor.

Acara dimulai pukul 08.00 hingga 12.00 WIB. Pada hari pertama, acara dibuka oleh sambutan salah seorang Guru Besar di UIN SSC, Selamat Firdaus. Dia berharap yang diwisuda nantinya sukses di kemudian hari. 

Setelahnya, para sarjana langsung mengikuti acara pelantikan sarjana yang dipimpin oleh Wakil Rektor (Warek) I, Jamali, yang membacakan surat keputusan pelantikan dan Rektor UIN SSC, Aan Jaelani, yang melantik para sarjana secara simbolis. 

Acara wisuda ke-29 itu diakhiri dengan penyematan selempang kepada beberapa wisudawan yang mendapat predikat lulusan terbaik.


Penulis: Ajeng & Rita

Editir: Ega Adriansyah