Sumber Foto: Panitia Penyelenggara 



Cirebon, LPM FatsOeN - Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Semua Tentang Rakyat (Setara) Universitas Swadaya Gunungjati (UGJ) Cirebon menggelar seminar nasional di Auditorium Kampus 1 UGJ pada, Kamis 26 September 2024. Seminar ini merupakan bagian dari rangkaian perayaan milad LPM Setara yang dimulai sejak Mei lalu

Dengan mengusung tema “Mengoptimalkan Peran Media dalam Rangka Menghadapi Ancaman Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Jurnalis,” acara ini diadakan untuk memberikan edukasi, pengetahuan dan keterampilan kepada generasi muda tentang pentingnya menjaga kemerdekaan pers serta melindungi jurnalis. 

Di tengah isu kebebasan pers yang mengkhawatirkan dan maraknya kekerasan terhadap jurnalis, LPM Setara menekankan pentingnya edukasi untuk menyuarakan kebenaran sebuah informasi dengan aman dan efektif. 

Seminar ini diisi oleh dua pemateri yang berkompeten, yaitu Redaktur Desk Hukum dan Kriminal Tempo, Suseno, serta dosen ilmu komunikasi di UGJ, Khaerudin Imawan. Kedua pemateri itu membagikan wawasan mendalam tentang tantangan yang dihadapi jurnalis serta pentingnya peran media dalam menjaga kebebasan pers. 

Acara yang terbuka untuk umum ini dihadiri oleh dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UGJ, mahasiswa, serta siswa SMA/SMK se-Cirebon. Rangkaian acaranya sendiri dimulai dengan pembukaan, penampilan tari topeng, sambutan-sambutan, seminar, dan ditutup dengan pembagian doorprize. 

Seminar ini mendapat respon yang antusias dari para peserta, hal tersebut dilihat dari respon para peserta yang aktif bertanya selama sesi seminar. Ketua pelaksana acara, Putri Panangguhan berharap, seminar ini dapat menjadi wadah diskusi yang mendorong masyarakat untuk lebih terbuka dalam menyuarakan kemerdekaan pers. 

“Semoga orang-orang di luar sana terbuka untuk menyuarakan kemerdekaan pers, kebenaran, dan mendapat ilmu yang bermanfaat,” ujarnya ketika diwawancara. 

Melalui seminar ini, LPM Setara ingin mendorong generasi muda untuk berani menyampaikan pendapat dan memahami peran penting media dalam menjaga demokrasi dan kebenaran.


Penulis: Nuria Febrianti

Editor: Ega Adriansyah

Sumber Foto: Annita Syari'ach 

Cirebon, LPM FatsOeN - Sema Institut UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon mengeluarkan surat edaran yang menganjurkan mahasiswa semester 1-5 untuk mengikuti organisasi kemahasiswaan. Surat edaran ini dikeluarkan atas persetujuan Wakil Rektor (Warek) III, Hajam, sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi penurunan minat berorganisasi di kalangan mahasiswa dan mempersiapkan kelengkapan dokumen, seperti Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI), untuk beasiswa di masa depan.

Dalam keterangannya, Hajam menjelaskan bahwa langkah ini didasarkan pada  fenomena penurunan minat organisasi di kalangan mahasiswa serta kendala pada beberapa beasiswa. Ia juga menganggap organisasi mampu menjadi pijakan mahasiswa di luar pendidikan formal.  

"Kita lihat ada penurunan minat mahasiswa dalam berorganisasi, padahal kegiatan ini sangat penting untuk melatih kepemimpinan, komunikasi, dan kerja sama. Selain itu, keikutsertaan dalam organisasi juga menjadi salah satu persyaratan untuk mendapatkan beasiswa tertentu, seperti Beasiswa BI dan Baznas," ujar Hajam saat diwawancarai LPM FatsOeN pada Jumat, (20/9/2024).

Dalam surat edaran tersebut, tertuang juga bunyi dari  UU No. 12 tahun 2012 pasal 44 ayat 1, yang menegaskan pentingnya peran mahasiswa dalam pengembangan diri dan masyarakat.

Ketua Umum Unit Kegiatan Khusus (UKK) Pramuka, Qodry, menyambut baik kebijakan ini.  Karena ini dapat membantu UKM dan UKK mencari anggota baru. Melalui memperbesar dorongan kepada mahasiswa untuk mengikuti organisasi mahasiswa.

"Saya setuju-setuju saja dengan surat edaran ini karena sangat penting untuk orang-orang (regenerasi) di UKM-UKK kan kaya UKM-UKK, banyak mencetak prestasi buat nama kampus. Kalau UKM-UKK gak ada orang-orangnya (regenerasinya), kan sayang," jelas Qodry

Namun, Qodry menganggap bahwa surat edaran ini terbit cukup terlambat. Beberapa UKM-UKK sudah menutup masa penerimaan anggota baru. 

"Semoga ke depannya, kebijakan seperti ini bisa dikeluarkan lebih awal agar UKM memiliki waktu yang cukup untuk menjaring anggota baru," pungkasnya.


Penulis: Raihan Athaya Mustafa

Editor: Ega Adriansyah

  

Ilustrator: Zakariya Robbani 

Kemarin, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI diberitakan menolak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024. Putusan itu intinya memutuskan dua poin utama. Pertama, mengubah aturan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik. Dari yang tadinya partai politik memerlukan 20 persen kursi di DPRD dan 25 persen suara ketika pemilihan legislatif, menjadi 7,5 persen kursi DPRD saja. 

Kedua, MK juga memutuskan untuk menetapkan syarat usia pencalonan kepala daerah adalah 30 tahun ketika penetapan calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Poin kedua inilah yang secara spesifik ditolak oleh Baleg DPR RI. Baleg DPR RI lebih setuju dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) yang sebelumnya menyatakan bahwa syarat usia pencalonan kepala daerah dalam Pilkada adalah 30 tahun ketika penetapan menjadi kepala daerah. 

Penolakan Baleg DPR RI atas putusan MK itu rencananya akan dibahas dalam rapat paripurna hari ini. Namun, karena rapatnya batal, Puan Maharani, Ketua DPR RI-nya berhalangan hadir. Akhirnya DPR RI mau tidak mau harus menerima putusan MK tentang Pilkada itu. Secara konstitusi, putusan MK sebetulnya juga berada di tingkatan yang lebih tinggi dari putusan MA. Sehingga penolakan Baleg DPR RI sebetulnya kurang begitu relevan. Bahkan terkesan ingin mengotak-atik aturan dan ketetapan yang positif untuk kepentingan segelintir elit politik. 

Perlu diketahui, banyak yang menduga bahwa penolakan Baleg DPR RI ini didasarkan pada kepentingan elit politik yang ingin meloloskan anak atau orang-orangnya menjadi kepala daerah. Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI sekaligus anak dari Presiden Joko Widodo, adalah sosok yang santer dibicarakan sebagai orang yang hendak diloloskan itu. Sebab, pengalaman sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) awal 2024 kemarin juga hampir sama, segelintir pihak di lingkungan elit politik terus menerus berusaha agar Gibran Rakabuming Raka lolos dan bisa menjadi pendamping Prabowo. Dan akhirnya kejadian. 

Jadi, pengalaman itu mungkin ingin diulang. Tapi, untungnya MK memiliki sikap yang menurut saya perlu diapresiasi. Berani. MK memang harus begitu. Karena menjadi lembaga negara yang cukup menentukan nasib demokrasi di Indonesia. Setelah putusan MK di atas santer dibicarakan ditolak oleh Baleg DPR RI, masyarakat, dari kalangan akademisi, aktivis politik dan demokrasi terus menerus menyuarakan pembelaan dan ajakan pengawalan atas putusannya yang bisa membuat elit politik dan oligarki yang berusaha mengendalikan negeri berpikir untuk menemukan cara lain lagi agar kepentingannya terpenuhi. 

Saya kira, meski Baleg DPR RI tidak jadi rapat paripurna dan sementara ini aturan yang berlaku adalah aturan Pilkada yang positif untuk demokrasi dan konstitusi, saya berpikir mungkin oligarki akan mencari cara baru untuk bisa mematahkan putusan itu (meskipun sulit). Kita nantikan saja. Tapi, saya harap itu tidak akan terjadi dan putusan MK yang terbaru tetap berlaku dan menjadi patokan utama KPU. Bagaimanapun, putusan itu seperti menjadi angin segar bahwa politik, demokrasi dan konstitusi di Indonesia masih ada harapan. Semoga Indonesia dilindungi Tuhan dari segala macam praktik yang membahayakan persatuan dan seterusnya yang dilakukan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. 

Penulis: Ega Adriansyah



 

Ilustrator: Zakariya Robbani

Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi koalisi pemerintah karena memenangkan ajang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kemarin. Pasangan yang diusung, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia tahun 2024-2029. KIM merupakan koalisi gemuk yang kuat. Di belakangnya ada nama-nama sekaliber Prabowo itu sendiri, Fahri Hamzah, Zulkifli Hasan dan yang belakangan selalu membuat heboh dengan langkah-langkah politiknya, Joko Widodo.

Karena didukung oleh pemerintah yang sedang berkuasa, KIM memang bisa dibilang sangat kokoh. Sulit dikalahkan. Kebijakan dan seterusnya dari pemerintah dan lembaga-lembaga negara sebelum Pemilu kemarin seolah selalu menguntungkan mereka. Mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas minimal calon Presiden dan Wakil Presiden, kebijakan bantuan sosial dan sebagainya. Saking kokoh dan digdayanya, KIM menjadi poros kekuatan politik yang di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bulan November mendatang sangat diperhitungkan. 

Di Pilkada Jakarta, yang menjadi titik penentu pertarungan politik di Indonesia, banyak partai politik yang sebelumnya berada di luar poros pemerintah bergabung ke KIM. Sebelumnya, PKS, Nasdem dan PKB sempat mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon Gubernur yang mereka usung di Pilkada Jakarta. Ketiga partai itu, di Pemilu awal 2024 menjadi lawan KIM. Namun, ketika KIM memutuskan untuk mengusung calon dari koalisinya, Ridwan Kamil (kader Golkar sekaligus mantan Gubernur Jawa Barat), ketiga partai itu memutuskan untuk bergabung bersama KIM. Pencalonan Anies akhirnya diisukan batal. 

PKS, Nasdem dan PKB memutuskan untuk bergabung bersama KIM dan menyatakan diri menjadi partai yang pro terhadap pemerintah. Meninggalkan PDIP yang sepertinya akan konsisten menjadi oposisi. KIM atau kini disebut KIM Plus karena ada penambahan partai politik yang bergabung ke koalisinya diisukan mengusung pasangan Ridwan Kamil dan Suswono dari PKS. PKS memang menjadi partai pemenang di Jakarta. Sehingga wajar kalau kemudian PKS mengajukan nama pasangan dari Ridwan Kamil. 

Bergabungnya ketiga partai itu di satu sisi menjadi kabar yang baik bagi koalisi. Namun, dari sisi demokrasi, hal itu bisa menciptakan apa yang akhir-akhir ini diperbincangkan, yakni fenomena kotak kosong. Karena secara logika, melawan koalisi yang sangat gemuk dan didukung pemerintah itu merupakan sesuatu yang rasanya hampir mustahil. Terlebih, sisa partai yang tidak bergabung dengan koalisi KIM Plus sebelum adanya perubahan aturan sama sekali tidak memenuhi ambang batas pencalonan kepala daerah yang mengharuskan partai pengusung memiliki 25 persen perolehan suara dan 20 persen kursi di DPRD. 


Namun, sisa partai yang tidak bergabung dengan KIM Plus memang kemudian masih bisa melakukan pencalonan kepala daerah karena aturan tentang ambang batas pencalonan kepala daerah itu resmi diubah MK melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang sebelumnya dimohonkan oleh Partai Buruh dan Gelora. Putusan MK ini membuat aturan treshold pencalonan kepala daerah hanya membutuhkan 7,5 persen suara pada Pemilihan Legislatif (Pileg). PDIP dalam hal ini akhirnya bisa mencalonkan orang yang diusungnya di Pilkada Jakarta. Isunya adalah Ahok atau Anies. 


Meskipun saat ini sebetulnya ada satu pasangan independen yang siap melawan Ridwan Kamil dan Suswono, yakni pasangan yang disebut Dharma-Kun, rasanya, pasangan itu hanya akan menjadi peramai kontestasi. Bahkan, tidak sedikit yang menyebut bahwa mereka disiapkan untuk mencegah terjadinya fenomena kotak kosong. Saya tidak tahu. Yang jelas, karena PDIP punya peluang, mungkin yang akan menjadi lawan terberat pasangan yang diusung KIM Plus adalah Anies atau Ahok. Sebab secara elektabilitas mereka unggul di Jakarta. Kita tunggu saja. 


KIM Plus sendiri memang berpotensi bukan hanya akan berkoalisi di Pilkada Jakarta. KIM Plus dinilai banyak pengamat politik akan memengaruhi peta politik di Pilkada seluruh daerah di Indonesia. Pasangan yang diusung KIM Plus bisa berpotensi memiliki peluang sangat besar untuk menang. Itulah mengapa tadi malam, ketika saya berdiskusi dengan seorang teman di desa setelah acara Hadiyuan, dia mengatakan di Kabupaten Cirebon, calon Bupati yang diusung Gerindra, Wahyu Tjipta Ningsih berpotensi besar menjadi saingan berat Imron Rosyadi.


KIM Plus saya kira sangat digdaya. Partai-partai oposisi dan lawan mereka di Pilkada nanti mungkin harus ekstra maksimal bila ingin mengalahkan mereka. Apalagi, pemerintah, yang terang-terangan mendukung mereka juga belakangan banyak melakukan langkah politik yang selalu menghebohkan. Meski bagian dari dugaan, mundurnya Airlangga Hartarto dari jabatannya sebagai Ketua Umum Golkar, dan seterusnya menjadi hal yang dinilai tidak bisa dilepaskan dari campur tangan pemerintah. Kalau benar ada campur tangan, hal itu tentu saja menjadi kabar kurang positif bagi demokrasi dan politik di Indonesia. Sebab hal itu saya kira bisa menjadi gerbang awal semakin parahnya budaya politik dinasti, nepotisme dan kekuasaan oligarki yang kepentingannya hanya bisa dirasakan segelintir pihak. 



Penulis: Ega Adriansyah


Sumber foto: Nuria Febrianti

Cirebon, LPM FatsOeN – Universitas Islam Negeri (UIN) Siber Syekh Nurjati Cirebon (SSC) telah menyelenggarakan acara wisuda dan sidang senat terbuka untuk program sarjana, magister, dan doktor gelombang ke-29 pada, Selasa dan Rabu, 30-31 Juli 2024. Wisuda digelar di Hotel Apita, Cirebon. 

Dalam acara wisuda itu, UIN SSC mengusung tema "Mewujudkan UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon Yang Unggul dan Mendunia". Acara yang digelar dua hari itu diikuti oleh sebanyak 1.402 wisudawan.

Pada hari pertama, sebanyak 702 wisudawan dari berbagai fakultas di UIN SSC mengikuti acara tersebut. Masing-masing 572 berasal dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), dan 130 wisudawan dari Fakultas Ushuluddin dan Adab (FUA).

Sementara itu, wisuda hari kedua diikuti oleh 700 peserta. Sebanyak 322 wisudawan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), 135 dari Fakultas Syariah (Fasya), 116 dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam (FDKI), 124 dari program magister, serta 3 dari program doktor.

Acara dimulai pukul 08.00 hingga 12.00 WIB. Pada hari pertama, acara dibuka oleh sambutan salah seorang Guru Besar di UIN SSC, Selamat Firdaus. Dia berharap yang diwisuda nantinya sukses di kemudian hari. 

Setelahnya, para sarjana langsung mengikuti acara pelantikan sarjana yang dipimpin oleh Wakil Rektor (Warek) I, Jamali, yang membacakan surat keputusan pelantikan dan Rektor UIN SSC, Aan Jaelani, yang melantik para sarjana secara simbolis. 

Acara wisuda ke-29 itu diakhiri dengan penyematan selempang kepada beberapa wisudawan yang mendapat predikat lulusan terbaik.


Penulis: Ajeng & Rita

Editir: Ega Adriansyah

Sumber Foto: @/09Juliansyah on X 

Bulan ini, kampus-kampus di seluruh Indonesia ramai dengan pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Program yang seharusnya menjadi sarana pengabdian masyarakat sering kali tereduksi menjadi sekadar kewajiban administratif. Padahal, KKN memiliki potensi besar untuk menjadi ajang mahasiswa memahami problematika sosial yang dihadapi oleh masyarakat dan berupaya mencari solusinya. Pengabdian ini tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan akademis, tetapi juga sebagai bentuk penyadaran atas masalah sosial, khususnya yang terjadi akibat kebijakan struktural negara yang kompleks.

Kritik Terhadap Pelaksanaan KKN

Kritik utama yang sering dilontarkan terhadap pelaksanaan KKN adalah bahwa program ini sering kali menjadi sekadar formalitas administrasi. Mahasiswa dianggap hanya menjalankan tugas-tugas yang bersifat superfisial, tanpa benar-benar memahami atau berupaya menyelesaikan masalah mendasar yang dihadapi oleh masyarakat. Banyak mahasiswa yang terjebak dalam rutinitas kegiatan yang bersifat seremonial dan dokumentatif, seperti membuat laporan, mengadakan acara seremonial dan memenuhi berbagai persyaratan administratif yang diatur oleh kampus.

Salah satu kritik yang mencuat adalah minimnya persiapan dan pembekalan yang diberikan kepada mahasiswa sebelum terjun ke lapangan. Pembekalan yang diberikan sering kali bersifat teknis dan administrasi, tanpa memberikan pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang akan mereka hadapi. Akibatnya, banyak mahasiswa yang kebingungan dan tidak efektif dalam menjalankan program KKN mereka.

Selain itu, ada juga kritik mengenai ketidakselarasan antara program yang direncanakan oleh kampus dengan kebutuhan nyata masyarakat. Program yang dibuat sering kali bersifat top-down, di mana kampus menentukan kegiatan tanpa melakukan asesmen kebutuhan yang mendalam di masyarakat. Hal ini menyebabkan program KKN sering kali tidak relevan dan kurang memberikan dampak positif yang signifikan.

Semangat Pengabdian yang Tulus: Inspirasi dari Muhammad Kasim Arifin

Untuk memahami betapa dalamnya potensi KKN sebagai ajang pengabdian, kita bisa menilik kisah haru dari seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) bernama Muhammad Kasim Arifin. Dia masih menjadi mahasiswa IPB saat menghilang lima belas tahun silam di Pulau Seram, Maluku. Dia kembali ke kota hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh, namun disambut bak seorang pahlawan yang baru saja kembali dari medan laga.

Kisahnya menitikkan haru. Dia diabadikan dalam puisi, serupa sungai yang tak henti mengalirkan inspirasi. Hari itu, 22 September 1979 di Hotel Salak, Bogor, lelaki berkulit legam itu dikelilingi teman-temannya. Dia hanya mengenakan sandal jepit, tetapi temannya membawakan sepatu dan jas untuknya. Muhammad Kasim Arifin, lahir di Langsa, Aceh, 18 April 1938, adalah mahasiswa yang kembali setelah 15 tahun.

Teman-temannya sudah lama sarjana dan banyak yang sudah menjadi pejabat. Kasim hanya seorang petani yang bersahaja. Namun, dia justru jauh menjulang dibandingkan semua orang. Tahun 1964, dia hanya seorang mahasiswa biasa yang mengikuti Program Pengerahan Mahasiswa, yang sekarang bernama Kuliah Kerja Nyata.

Di masa itu, mahasiswa harus siap ditempatkan di pelosok negeri. Kasim mendapat lokasi di Waimital, Pulau Seram, Maluku. Dia pun mendatangi daerah terpencil itu sebab didorong hasrat untuk membumikan semua pengetahuannya. Di Waimital, dia bertemu keluarga petani miskin yang datang melalui program transmigrasi.

Nuraninya terketuk. Dia ingin berbuat sesuatu. Dia menanggalkan semua identitas kota pada dirinya, memakai sandal jepit dan baju lusuh, dan ikut menemani petani yang berjalan kaki 20 kilometer menuju sawah. Dia melakukannya setiap hari dan bolak-balik. Dia membantu petani untuk mengolah tanah dan mengajarkan pengetahuan yang didapatnya di kampus IPB. Dia membantu masyarakat untuk membuka jalan desa, membangun sawah baru, dan membuat irigasi tanpa menunggu bantuan dari pemerintah. Dia membangkitkan semangat masyarakat untuk bergotong-royong.

Kasim peduli pada petani lebih dari dirinya sendiri dan mendapat kasih sayang dari semua orang. Dia disapa Antua, sebutan bagi orang yang dihormati di Waimital. Kasim begitu larut membantu masyarakat, sampai-sampai dia lupa pulang. Seharusnya dia di Waimital hanya tiga bulan, namun merasa tugasnya belum selesai. Bahkan saat semua teman-temannya pulang, dia tetap menjadi petani. Bahkan setelah semua temannya telah diwisuda dan menjadi pejabat, dia tetap memilih tinggal di kampung itu hingga 15 tahun.

Di Aceh, orang tuanya memanggil, namun dia bergeming. Bahkan Rektor IPB, Profesor Andi Hakim Nasution, memanggilnya kembali, tetapi dia masih juga bergeming. Tak kurang akal, Rektor IPB lalu mengutus Saleh Widodo, seorang teman kuliah Kasim, untuk menjemputnya di sana. Dengan berat hati, Kasim bersedia ke Jakarta, lalu Bogor, hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh.

Kampus memanggilnya untuk menyelesaikan studi. Kasim sejatinya tak butuh gelar akademik, tetapi dia tak kuasa menolak permintaan teman-temannya. Dia mengaku tidak sanggup membuat skripsi. Teman-temannya berinisiatif untuk merekam kisahnya di Waimital untuk diajukan sebagai skripsi. Dia bercerita selama 28 jam, dan temannya mencatat cerita itu dengan mata basah. Semua terharu. Kasim adalah potret manusia yang melampaui dirinya. Dia bukan seperti kebanyakan orang yang hanya berpikir untuk kuliah lalu bekerja, mengumpul harta, kemudian hidup bahagia.

Kasim menemukan bahagianya dengan cara lain. Saat dia melihat petani tersenyum, hatinya mekar. Selagi senyum itu belum hadir, dia akan menganggap tugasnya jauh dari kata selesai. Dia lebur bersama masyarakat. Mulanya dia datang sebagai Kasim, mahasiswa IPB yang penuh pengetahuan. Setelah 15 tahun, dia menjadi bagian dari masyarakat.

Dia tak lagi ingin sesegera mungkin lulus, kemudian menyandang toga dan bekerja di instansi pemerintahan. Dia ingin membantu semua petani untuk sejahtera melalui tindakan memuliakan bumi, menghargai lumpur, dan mengolah tanah-tanah pertanian. Dia mencintai tunas yang tumbuh lalu mekar menjadi tanaman.

Hari itu, Kasim memasuki gedung IPB untuk wisuda. Mulanya dia ragu-ragu dan takut melihat banyak orang berdatangan. Semalaman dia tak bisa tidur di Hotel Salak karena pendingin udara dan suara bising di jalanan. Di acara wisuda, dia ingin duduk di kursi belakang. Namun begitu dia datang, semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Dedikasinya membuat banyak orang merinding. Dia adalah insinyur pertanian paling istimewa, paling menyentuh hati, dan paling menjulang dibandingkan yang lain.

Lelaki muda itu tetap Kasim yang bersahaja. Bahkan setelah wisuda pun, dia kembali ke Waimital demi meneruskan kerja-kerjanya. Setelah beberapa waktu, barulah dia menerima pinangan Universitas Syiah Kuala, Aceh, untuk menjadi dosen di sana hingga pensiun pada tahun 1994. Di Waimital, namanya selalu harum, bahkan diabadikan menjadi nama jalan.

Pada tahun 1982, Kasim mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk jasa-jasanya membangun masyarakat desa dengan wawasan lingkungan hidup. Kasim yang tidak gila pada penghargaan, "membuang" kalpataru itu di bawah kursi dan meninggalkannya begitu saja, hingga akhirnya seseorang mengantarkan kalpataru itu ke rumahnya. Bahkan penghargaan pun bukan menjadi tujuannya.

Ketika mendapat tawaran untuk study banding ke Amerika Serikat, dia menolak. "Untuk apa saya harus ke Amerika yang punya tradisi pertanian berbeda dengan di sini?" katanya. Dia selalu menjadi Kasim yang menginspirasi. Kisah hidupnya ditulis ke dalam buku berjudul Seorang Lelaki dari Waimital yang ditulis Hanna Rambe pada tahun 1983, dan diterbitkan Sinar Harapan.

Seusai pensiun, dia tetap di Aceh dan menjadi aktivis lingkungan. Di masa kini, betapa sulitnya menemukan anak muda yang masih idealis seperti dirinya. Anak muda hari ini berlomba-lomba untuk masuk dunia bisnis, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, lalu masuk ke lingkaran istana, entah sebagai staf milenial atau sebagai staf menteri. Bahkan para akademisi muda bermimpi jadi dirjen, staf khusus menteri, atau jadi pejabat di BUMN.

Kasim adalah oase yang serupa mata air selalu menjadi telaga inspirasi yang tak mengering. Saat dia diwisuda pada tahun 1979, salah seorang rekannya penyair Taufiq Ismail, menulis puisi yang mengharukan tentang Kasim. Salah satu baitnya berbunyi:

Dari pulau itu, dia telah pulang

Dia Kembali ke kota hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh, namun disambut bak seorang pahlawan yang baru saja kembali dari medan laga.

Menjaga Semangat Pengabdian yang Tulus

Kisah Muhammad Kasim Arifin memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana KKN dapat menjadi lebih dari sekadar tugas administratif. Pengabdian yang tulus, seperti yang ditunjukkan oleh Kasim, dapat membawa dampak yang jauh lebih besar dan mendalam bagi masyarakat. Dalam era modern ini, penting bagi mahasiswa untuk menghidupkan kembali semangat pengabdian yang tulus, melampaui tuntutan formalitas dan berfokus pada upaya nyata untuk memperbaiki kondisi sosial.

Mahasiswa dapat mengambil inspirasi dari kisah Kasim untuk melihat KKN sebagai kesempatan untuk belajar langsung dari masyarakat, memahami kebutuhan mereka, dan bekerja bersama-sama untuk mencari solusi. Dalam proses ini, mahasiswa tidak hanya memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, tetapi juga memperoleh pembelajaran yang berharga tentang realitas sosial dan keterampilan praktis yang tidak dapat diajarkan di kelas.

Pendekatan Partisipatif dalam Memahami Problematika Sosial

Pendekatan partisipatif dapat membantu mahasiswa menghidupkan kembali semangat pengabdian dalam KKN. Pendekatan ini memiliki keunggulan dalam melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses identifikasi masalah dan pencarian solusi. Mahasiswa tidak hanya berperan sebagai pengamat atau fasilitator, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang bekerja bersama untuk mencapai perubahan yang diinginkan.

Dalam pelaksanaannya mahasiswa bisa menggunakan Penelitian Aksi Partisipatif (PAR). Metode PAR, meskipun bukan satu-satunya metode yang bisa digunakan, memiliki kelebihan yang signifikan dalam melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses identifikasi masalah dan pencarian solusi. Melalui PAR, mahasiswa tidak hanya berperan sebagai pengamat atau fasilitator, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang bekerja bersama untuk mencapai perubahan yang diinginkan.

PAR mendorong mahasiswa untuk melakukan penelitian bersama masyarakat, bukan hanya untuk masyarakat. Dalam konteks KKN, metode ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang benar-benar relevan dan penting bagi masyarakat, sehingga solusi yang dihasilkan lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Proses ini juga membantu meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memahami dan menangani masalah mereka sendiri, serta memperkuat ikatan sosial antara mahasiswa dan masyarakat.

Tantangan dan Solusi dalam Pelaksanaan KKN

Meskipun ada banyak tantangan dalam pelaksanaan KKN, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah tersebut dan memastikan bahwa program ini benar-benar memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat dan mahasiswa. Pertama, penting untuk memperbaiki proses pembekalan dan persiapan bagi mahasiswa sebelum mereka terjun ke lapangan. Pembekalan ini harus mencakup pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, serta keterampilan praktis yang diperlukan untuk melakukan penelitian dan pengabdian yang efektif.

Kedua, perlu ada mekanisme yang lebih baik untuk memastikan bahwa program KKN yang dirancang oleh kampus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ini bisa dilakukan melalui survei kebutuhan, konsultasi dengan tokoh masyarakat, dan kolaborasi dengan pemerintah daerah dan organisasi lokal. Dengan demikian, program KKN dapat lebih relevan dan memberikan dampak yang lebih besar.

Ketiga, penting untuk mendorong mahasiswa untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitas mereka dalam merancang dan melaksanakan program KKN. Mahasiswa harus diberi kebebasan untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan dan metode, serta didorong untuk berpikir kritis dan inovatif dalam mencari solusi untuk masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

Mengakhiri dengan Harapan

Menghidupkan kembali semangat pengabdian dalam KKN adalah sebuah tantangan, namun juga sebuah peluang besar. Dengan pendekatan yang tepat, KKN dapat menjadi ajang yang sangat bermakna bagi mahasiswa untuk belajar dan berkontribusi kepada masyarakat. Pendekatan penelitian partisipatif seperti PAR, inspirasi dari kisah-kisah pengabdian yang tulus seperti yang ditunjukkan oleh Muhammad Kasim Arifin, dan upaya untuk mengatasi tantangan pelaksanaan KKN, dapat membantu mengarahkan program ini ke arah yang lebih baik.

Harapannya, KKN dapat menjadi lebih dari sekadar kewajiban administrasi, tetapi menjadi kesempatan bagi mahasiswa untuk benar-benar memahami dan merasakan kehidupan masyarakat, serta berkontribusi dalam mencari solusi untuk masalah-masalah yang ada. Dengan demikian, KKN dapat menjadi ajang pengabdian yang berdampak, yang tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek tetapi juga meninggalkan warisan yang berkelanjutan bagi masyarakat dan mahasiswa itu sendiri


Penulis: Ahmad Rizki Alimudin

Editor: Ega Adriansyah

 
Sumber Foto: Raihan Athaya 
(Penjabaran alokasi uang Ma'had dalam audiensi dengan Sema dan Dema pada, (02/07/24)) 

Cirebon, LPM FatsOeN - Program Mahad merupakan program yang wajib diikuti oleh mahasiswa semester 1 dan 2 di berbagai PTKIN di Indonesia, termasuk di UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (SSC). Biaya Ma'had di berbagai PTKIN relatif berbeda. UIN SSC sendiri menerapkan tarif 600 ribu per semester untuk mahasiswa non mukim, dan 1,2 juta rupiah untuk mahasiswa mukim.

Bagi sebagian mahasiswa, khususnya dengan latar belakang keluarga ekonomi menengah ke bawah, tarif atau biaya yang dikenakan itu cukup memberatkan. Lebih-lebih lagi bagi mahasiswa non mukim. 

Berbagai upaya dilakukan oleh pihak Mahad untuk memberikan pengertian terhadap mahasiswa tentang biaya itu. Mulai dari menerbitkan surat yang disebarkanluaskan secara fisik maupun pdf melalui WhatsApp, melalui email, SMS, hingga sosialisasi melalui Zoom Meeting pada, Jumat, 31 Mei 2024. 

Meski begitu, mahasiswa di UIN SSC sepertinya tetap abai terhadap berbagai sosialisasi dan pengertian yang coba disampaikan oleh Mahad. Masih banyak mahasiswa yang kompak tidak membayar program Mahad, bahkan menuntut untuk mengurangi biayanya. 

Melalui Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) dan Senat Mahasiswa (Sema), upaya audiensi untuk membicarakan keluhan mahasiswa itu telah dilakukan dengan pihak Mahad. Audiensi dilaksanakan 2 Juli lalu. Hasil audiensinya sudah bisa diakses di media sosial Dema UIN SSC. 

Tapi, hasil audiensi itu ternyata masih belum juga memberikan kepuasan terhadap mahasiswa angkatan 2023 yang memiliki kewajiban membayar program Mahad. 

Setelah audiensi, beredar kabar tentang rincian alokasi biaya Mahad Al-Jamiah yang harus dibayarkan mahasiswa mulai dari angkatan 2023. 

Salah satu poin yang cukup menjadi sorotan adalah tentang program Kitab Kuning dan PPTQ. Anggaran sebesar 225 ribu dialokasikan untuk 15 pertemuan Mahad (14 kali pembelajaran dan 1 kali uji kompetensi), remedial maksimal dua kali, dan kitab serta modul. 

Di beberapa kelas, modul yang diberikan berupa file PDF yang digunakan dalam 2 semester dan sebuah kitab yang juga digunakan selama 2 semester. 225 ribu itu sudah termasuk dengan biaya remedial yang akan dijalankan selama 14 kali pertemuan bagi mahasiswa yang belum memenuhi kriteria kelulusan. 

Adapun maksimal remedial sendiri sebanyak 2 kali, dan akan lulus dengan nilai minimum jika memang nilai mahasiswa tetap belum memenuhi kriteria kelulusan Mahad. Tapi, yang perlu menjadi perhatian di sini adalah tidak semua mahasiswa akan mengalami remedial. 

Lantas apa maksud dari pihak Mahad dengan rincian anggaran tersebut? Apakah artinya pihak Mahad Al-Jamiyyah mengajari mahasiswa-mahasiswinya untuk turut andil 'patungan' membiayai remedial kawan kawannya? 

Dalam pandangan saya, kalau faktanya seorang mahasiswa hanya mendapat soft file modul, sebuah kitab yang diperuntukkan dalam dua semester dan belum tentu remedial, biaya yang tadi disebutkan terasa cukup tinggi. 

Sebagai contoh, apabila dalam sebuah kelas yang terdapat 38 orang, maka total satu kelas tersebut harusnya membayar 500 ribu untuk satu kali pertemuan. Angka itu didapat dari kalkulasi 225 ribu yang dibayarkan oleh 38 mahasiswa untuk satu semester, dan kemudian dibagi dalam 15 kali pertemuan. 

Jadi, kalau dipikir, sepertinya bukan hal yang 'berat' bagi pihak Mahad Al-Jamiah untuk menuruti tuntutan mahasiswa terkait penurunan biaya Mahad Al-Jamiah.

Tapi, saya berharap polemik ini segera usai dan menemui titik tengah tanpa harus memberatkan pihak manapun, baik pihak mahasiswa maupun tenaga pengajar Mahad UIN SSC.


Penulis: Fadhil Muhammad RF (Magang)

Editor: Ega Adriansyah