Ilustrator: Zakariya Robbani 

Kemarin, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI diberitakan menolak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024. Putusan itu intinya memutuskan dua poin utama. Pertama, mengubah aturan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik. Dari yang tadinya partai politik memerlukan 20 persen kursi di DPRD dan 25 persen suara ketika pemilihan legislatif, menjadi 7,5 persen kursi DPRD saja. 

Kedua, MK juga memutuskan untuk menetapkan syarat usia pencalonan kepala daerah adalah 30 tahun ketika penetapan calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Poin kedua inilah yang secara spesifik ditolak oleh Baleg DPR RI. Baleg DPR RI lebih setuju dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) yang sebelumnya menyatakan bahwa syarat usia pencalonan kepala daerah dalam Pilkada adalah 30 tahun ketika penetapan menjadi kepala daerah. 

Penolakan Baleg DPR RI atas putusan MK itu rencananya akan dibahas dalam rapat paripurna hari ini. Namun, karena rapatnya batal, Puan Maharani, Ketua DPR RI-nya berhalangan hadir. Akhirnya DPR RI mau tidak mau harus menerima putusan MK tentang Pilkada itu. Secara konstitusi, putusan MK sebetulnya juga berada di tingkatan yang lebih tinggi dari putusan MA. Sehingga penolakan Baleg DPR RI sebetulnya kurang begitu relevan. Bahkan terkesan ingin mengotak-atik aturan dan ketetapan yang positif untuk kepentingan segelintir elit politik. 

Perlu diketahui, banyak yang menduga bahwa penolakan Baleg DPR RI ini didasarkan pada kepentingan elit politik yang ingin meloloskan anak atau orang-orangnya menjadi kepala daerah. Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI sekaligus anak dari Presiden Joko Widodo, adalah sosok yang santer dibicarakan sebagai orang yang hendak diloloskan itu. Sebab, pengalaman sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) awal 2024 kemarin juga hampir sama, segelintir pihak di lingkungan elit politik terus menerus berusaha agar Gibran Rakabuming Raka lolos dan bisa menjadi pendamping Prabowo. Dan akhirnya kejadian. 

Jadi, pengalaman itu mungkin ingin diulang. Tapi, untungnya MK memiliki sikap yang menurut saya perlu diapresiasi. Berani. MK memang harus begitu. Karena menjadi lembaga negara yang cukup menentukan nasib demokrasi di Indonesia. Setelah putusan MK di atas santer dibicarakan ditolak oleh Baleg DPR RI, masyarakat, dari kalangan akademisi, aktivis politik dan demokrasi terus menerus menyuarakan pembelaan dan ajakan pengawalan atas putusannya yang bisa membuat elit politik dan oligarki yang berusaha mengendalikan negeri berpikir untuk menemukan cara lain lagi agar kepentingannya terpenuhi. 

Saya kira, meski Baleg DPR RI tidak jadi rapat paripurna dan sementara ini aturan yang berlaku adalah aturan Pilkada yang positif untuk demokrasi dan konstitusi, saya berpikir mungkin oligarki akan mencari cara baru untuk bisa mematahkan putusan itu (meskipun sulit). Kita nantikan saja. Tapi, saya harap itu tidak akan terjadi dan putusan MK yang terbaru tetap berlaku dan menjadi patokan utama KPU. Bagaimanapun, putusan itu seperti menjadi angin segar bahwa politik, demokrasi dan konstitusi di Indonesia masih ada harapan. Semoga Indonesia dilindungi Tuhan dari segala macam praktik yang membahayakan persatuan dan seterusnya yang dilakukan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. 

Penulis: Ega Adriansyah



 

Ilustrator: Zakariya Robbani

Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi koalisi pemerintah karena memenangkan ajang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kemarin. Pasangan yang diusung, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia tahun 2024-2029. KIM merupakan koalisi gemuk yang kuat. Di belakangnya ada nama-nama sekaliber Prabowo itu sendiri, Fahri Hamzah, Zulkifli Hasan dan yang belakangan selalu membuat heboh dengan langkah-langkah politiknya, Joko Widodo.

Karena didukung oleh pemerintah yang sedang berkuasa, KIM memang bisa dibilang sangat kokoh. Sulit dikalahkan. Kebijakan dan seterusnya dari pemerintah dan lembaga-lembaga negara sebelum Pemilu kemarin seolah selalu menguntungkan mereka. Mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas minimal calon Presiden dan Wakil Presiden, kebijakan bantuan sosial dan sebagainya. Saking kokoh dan digdayanya, KIM menjadi poros kekuatan politik yang di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bulan November mendatang sangat diperhitungkan. 

Di Pilkada Jakarta, yang menjadi titik penentu pertarungan politik di Indonesia, banyak partai politik yang sebelumnya berada di luar poros pemerintah bergabung ke KIM. Sebelumnya, PKS, Nasdem dan PKB sempat mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon Gubernur yang mereka usung di Pilkada Jakarta. Ketiga partai itu, di Pemilu awal 2024 menjadi lawan KIM. Namun, ketika KIM memutuskan untuk mengusung calon dari koalisinya, Ridwan Kamil (kader Golkar sekaligus mantan Gubernur Jawa Barat), ketiga partai itu memutuskan untuk bergabung bersama KIM. Pencalonan Anies akhirnya diisukan batal. 

PKS, Nasdem dan PKB memutuskan untuk bergabung bersama KIM dan menyatakan diri menjadi partai yang pro terhadap pemerintah. Meninggalkan PDIP yang sepertinya akan konsisten menjadi oposisi. KIM atau kini disebut KIM Plus karena ada penambahan partai politik yang bergabung ke koalisinya diisukan mengusung pasangan Ridwan Kamil dan Suswono dari PKS. PKS memang menjadi partai pemenang di Jakarta. Sehingga wajar kalau kemudian PKS mengajukan nama pasangan dari Ridwan Kamil. 

Bergabungnya ketiga partai itu di satu sisi menjadi kabar yang baik bagi koalisi. Namun, dari sisi demokrasi, hal itu bisa menciptakan apa yang akhir-akhir ini diperbincangkan, yakni fenomena kotak kosong. Karena secara logika, melawan koalisi yang sangat gemuk dan didukung pemerintah itu merupakan sesuatu yang rasanya hampir mustahil. Terlebih, sisa partai yang tidak bergabung dengan koalisi KIM Plus sebelum adanya perubahan aturan sama sekali tidak memenuhi ambang batas pencalonan kepala daerah yang mengharuskan partai pengusung memiliki 25 persen perolehan suara dan 20 persen kursi di DPRD. 


Namun, sisa partai yang tidak bergabung dengan KIM Plus memang kemudian masih bisa melakukan pencalonan kepala daerah karena aturan tentang ambang batas pencalonan kepala daerah itu resmi diubah MK melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang sebelumnya dimohonkan oleh Partai Buruh dan Gelora. Putusan MK ini membuat aturan treshold pencalonan kepala daerah hanya membutuhkan 7,5 persen suara pada Pemilihan Legislatif (Pileg). PDIP dalam hal ini akhirnya bisa mencalonkan orang yang diusungnya di Pilkada Jakarta. Isunya adalah Ahok atau Anies. 


Meskipun saat ini sebetulnya ada satu pasangan independen yang siap melawan Ridwan Kamil dan Suswono, yakni pasangan yang disebut Dharma-Kun, rasanya, pasangan itu hanya akan menjadi peramai kontestasi. Bahkan, tidak sedikit yang menyebut bahwa mereka disiapkan untuk mencegah terjadinya fenomena kotak kosong. Saya tidak tahu. Yang jelas, karena PDIP punya peluang, mungkin yang akan menjadi lawan terberat pasangan yang diusung KIM Plus adalah Anies atau Ahok. Sebab secara elektabilitas mereka unggul di Jakarta. Kita tunggu saja. 


KIM Plus sendiri memang berpotensi bukan hanya akan berkoalisi di Pilkada Jakarta. KIM Plus dinilai banyak pengamat politik akan memengaruhi peta politik di Pilkada seluruh daerah di Indonesia. Pasangan yang diusung KIM Plus bisa berpotensi memiliki peluang sangat besar untuk menang. Itulah mengapa tadi malam, ketika saya berdiskusi dengan seorang teman di desa setelah acara Hadiyuan, dia mengatakan di Kabupaten Cirebon, calon Bupati yang diusung Gerindra, Wahyu Tjipta Ningsih berpotensi besar menjadi saingan berat Imron Rosyadi.


KIM Plus saya kira sangat digdaya. Partai-partai oposisi dan lawan mereka di Pilkada nanti mungkin harus ekstra maksimal bila ingin mengalahkan mereka. Apalagi, pemerintah, yang terang-terangan mendukung mereka juga belakangan banyak melakukan langkah politik yang selalu menghebohkan. Meski bagian dari dugaan, mundurnya Airlangga Hartarto dari jabatannya sebagai Ketua Umum Golkar, dan seterusnya menjadi hal yang dinilai tidak bisa dilepaskan dari campur tangan pemerintah. Kalau benar ada campur tangan, hal itu tentu saja menjadi kabar kurang positif bagi demokrasi dan politik di Indonesia. Sebab hal itu saya kira bisa menjadi gerbang awal semakin parahnya budaya politik dinasti, nepotisme dan kekuasaan oligarki yang kepentingannya hanya bisa dirasakan segelintir pihak. 



Penulis: Ega Adriansyah


Sumber foto: Nuria Febrianti

Cirebon, LPM FatsOeN – Universitas Islam Negeri (UIN) Siber Syekh Nurjati Cirebon (SSC) telah menyelenggarakan acara wisuda dan sidang senat terbuka untuk program sarjana, magister, dan doktor gelombang ke-29 pada, Selasa dan Rabu, 30-31 Juli 2024. Wisuda digelar di Hotel Apita, Cirebon. 

Dalam acara wisuda itu, UIN SSC mengusung tema "Mewujudkan UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon Yang Unggul dan Mendunia". Acara yang digelar dua hari itu diikuti oleh sebanyak 1.402 wisudawan.

Pada hari pertama, sebanyak 702 wisudawan dari berbagai fakultas di UIN SSC mengikuti acara tersebut. Masing-masing 572 berasal dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), dan 130 wisudawan dari Fakultas Ushuluddin dan Adab (FUA).

Sementara itu, wisuda hari kedua diikuti oleh 700 peserta. Sebanyak 322 wisudawan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), 135 dari Fakultas Syariah (Fasya), 116 dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam (FDKI), 124 dari program magister, serta 3 dari program doktor.

Acara dimulai pukul 08.00 hingga 12.00 WIB. Pada hari pertama, acara dibuka oleh sambutan salah seorang Guru Besar di UIN SSC, Selamat Firdaus. Dia berharap yang diwisuda nantinya sukses di kemudian hari. 

Setelahnya, para sarjana langsung mengikuti acara pelantikan sarjana yang dipimpin oleh Wakil Rektor (Warek) I, Jamali, yang membacakan surat keputusan pelantikan dan Rektor UIN SSC, Aan Jaelani, yang melantik para sarjana secara simbolis. 

Acara wisuda ke-29 itu diakhiri dengan penyematan selempang kepada beberapa wisudawan yang mendapat predikat lulusan terbaik.


Penulis: Ajeng & Rita

Editir: Ega Adriansyah

Sumber Foto: @/09Juliansyah on X 

Bulan ini, kampus-kampus di seluruh Indonesia ramai dengan pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Program yang seharusnya menjadi sarana pengabdian masyarakat sering kali tereduksi menjadi sekadar kewajiban administratif. Padahal, KKN memiliki potensi besar untuk menjadi ajang mahasiswa memahami problematika sosial yang dihadapi oleh masyarakat dan berupaya mencari solusinya. Pengabdian ini tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan akademis, tetapi juga sebagai bentuk penyadaran atas masalah sosial, khususnya yang terjadi akibat kebijakan struktural negara yang kompleks.

Kritik Terhadap Pelaksanaan KKN

Kritik utama yang sering dilontarkan terhadap pelaksanaan KKN adalah bahwa program ini sering kali menjadi sekadar formalitas administrasi. Mahasiswa dianggap hanya menjalankan tugas-tugas yang bersifat superfisial, tanpa benar-benar memahami atau berupaya menyelesaikan masalah mendasar yang dihadapi oleh masyarakat. Banyak mahasiswa yang terjebak dalam rutinitas kegiatan yang bersifat seremonial dan dokumentatif, seperti membuat laporan, mengadakan acara seremonial dan memenuhi berbagai persyaratan administratif yang diatur oleh kampus.

Salah satu kritik yang mencuat adalah minimnya persiapan dan pembekalan yang diberikan kepada mahasiswa sebelum terjun ke lapangan. Pembekalan yang diberikan sering kali bersifat teknis dan administrasi, tanpa memberikan pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang akan mereka hadapi. Akibatnya, banyak mahasiswa yang kebingungan dan tidak efektif dalam menjalankan program KKN mereka.

Selain itu, ada juga kritik mengenai ketidakselarasan antara program yang direncanakan oleh kampus dengan kebutuhan nyata masyarakat. Program yang dibuat sering kali bersifat top-down, di mana kampus menentukan kegiatan tanpa melakukan asesmen kebutuhan yang mendalam di masyarakat. Hal ini menyebabkan program KKN sering kali tidak relevan dan kurang memberikan dampak positif yang signifikan.

Semangat Pengabdian yang Tulus: Inspirasi dari Muhammad Kasim Arifin

Untuk memahami betapa dalamnya potensi KKN sebagai ajang pengabdian, kita bisa menilik kisah haru dari seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) bernama Muhammad Kasim Arifin. Dia masih menjadi mahasiswa IPB saat menghilang lima belas tahun silam di Pulau Seram, Maluku. Dia kembali ke kota hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh, namun disambut bak seorang pahlawan yang baru saja kembali dari medan laga.

Kisahnya menitikkan haru. Dia diabadikan dalam puisi, serupa sungai yang tak henti mengalirkan inspirasi. Hari itu, 22 September 1979 di Hotel Salak, Bogor, lelaki berkulit legam itu dikelilingi teman-temannya. Dia hanya mengenakan sandal jepit, tetapi temannya membawakan sepatu dan jas untuknya. Muhammad Kasim Arifin, lahir di Langsa, Aceh, 18 April 1938, adalah mahasiswa yang kembali setelah 15 tahun.

Teman-temannya sudah lama sarjana dan banyak yang sudah menjadi pejabat. Kasim hanya seorang petani yang bersahaja. Namun, dia justru jauh menjulang dibandingkan semua orang. Tahun 1964, dia hanya seorang mahasiswa biasa yang mengikuti Program Pengerahan Mahasiswa, yang sekarang bernama Kuliah Kerja Nyata.

Di masa itu, mahasiswa harus siap ditempatkan di pelosok negeri. Kasim mendapat lokasi di Waimital, Pulau Seram, Maluku. Dia pun mendatangi daerah terpencil itu sebab didorong hasrat untuk membumikan semua pengetahuannya. Di Waimital, dia bertemu keluarga petani miskin yang datang melalui program transmigrasi.

Nuraninya terketuk. Dia ingin berbuat sesuatu. Dia menanggalkan semua identitas kota pada dirinya, memakai sandal jepit dan baju lusuh, dan ikut menemani petani yang berjalan kaki 20 kilometer menuju sawah. Dia melakukannya setiap hari dan bolak-balik. Dia membantu petani untuk mengolah tanah dan mengajarkan pengetahuan yang didapatnya di kampus IPB. Dia membantu masyarakat untuk membuka jalan desa, membangun sawah baru, dan membuat irigasi tanpa menunggu bantuan dari pemerintah. Dia membangkitkan semangat masyarakat untuk bergotong-royong.

Kasim peduli pada petani lebih dari dirinya sendiri dan mendapat kasih sayang dari semua orang. Dia disapa Antua, sebutan bagi orang yang dihormati di Waimital. Kasim begitu larut membantu masyarakat, sampai-sampai dia lupa pulang. Seharusnya dia di Waimital hanya tiga bulan, namun merasa tugasnya belum selesai. Bahkan saat semua teman-temannya pulang, dia tetap menjadi petani. Bahkan setelah semua temannya telah diwisuda dan menjadi pejabat, dia tetap memilih tinggal di kampung itu hingga 15 tahun.

Di Aceh, orang tuanya memanggil, namun dia bergeming. Bahkan Rektor IPB, Profesor Andi Hakim Nasution, memanggilnya kembali, tetapi dia masih juga bergeming. Tak kurang akal, Rektor IPB lalu mengutus Saleh Widodo, seorang teman kuliah Kasim, untuk menjemputnya di sana. Dengan berat hati, Kasim bersedia ke Jakarta, lalu Bogor, hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh.

Kampus memanggilnya untuk menyelesaikan studi. Kasim sejatinya tak butuh gelar akademik, tetapi dia tak kuasa menolak permintaan teman-temannya. Dia mengaku tidak sanggup membuat skripsi. Teman-temannya berinisiatif untuk merekam kisahnya di Waimital untuk diajukan sebagai skripsi. Dia bercerita selama 28 jam, dan temannya mencatat cerita itu dengan mata basah. Semua terharu. Kasim adalah potret manusia yang melampaui dirinya. Dia bukan seperti kebanyakan orang yang hanya berpikir untuk kuliah lalu bekerja, mengumpul harta, kemudian hidup bahagia.

Kasim menemukan bahagianya dengan cara lain. Saat dia melihat petani tersenyum, hatinya mekar. Selagi senyum itu belum hadir, dia akan menganggap tugasnya jauh dari kata selesai. Dia lebur bersama masyarakat. Mulanya dia datang sebagai Kasim, mahasiswa IPB yang penuh pengetahuan. Setelah 15 tahun, dia menjadi bagian dari masyarakat.

Dia tak lagi ingin sesegera mungkin lulus, kemudian menyandang toga dan bekerja di instansi pemerintahan. Dia ingin membantu semua petani untuk sejahtera melalui tindakan memuliakan bumi, menghargai lumpur, dan mengolah tanah-tanah pertanian. Dia mencintai tunas yang tumbuh lalu mekar menjadi tanaman.

Hari itu, Kasim memasuki gedung IPB untuk wisuda. Mulanya dia ragu-ragu dan takut melihat banyak orang berdatangan. Semalaman dia tak bisa tidur di Hotel Salak karena pendingin udara dan suara bising di jalanan. Di acara wisuda, dia ingin duduk di kursi belakang. Namun begitu dia datang, semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Dedikasinya membuat banyak orang merinding. Dia adalah insinyur pertanian paling istimewa, paling menyentuh hati, dan paling menjulang dibandingkan yang lain.

Lelaki muda itu tetap Kasim yang bersahaja. Bahkan setelah wisuda pun, dia kembali ke Waimital demi meneruskan kerja-kerjanya. Setelah beberapa waktu, barulah dia menerima pinangan Universitas Syiah Kuala, Aceh, untuk menjadi dosen di sana hingga pensiun pada tahun 1994. Di Waimital, namanya selalu harum, bahkan diabadikan menjadi nama jalan.

Pada tahun 1982, Kasim mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk jasa-jasanya membangun masyarakat desa dengan wawasan lingkungan hidup. Kasim yang tidak gila pada penghargaan, "membuang" kalpataru itu di bawah kursi dan meninggalkannya begitu saja, hingga akhirnya seseorang mengantarkan kalpataru itu ke rumahnya. Bahkan penghargaan pun bukan menjadi tujuannya.

Ketika mendapat tawaran untuk study banding ke Amerika Serikat, dia menolak. "Untuk apa saya harus ke Amerika yang punya tradisi pertanian berbeda dengan di sini?" katanya. Dia selalu menjadi Kasim yang menginspirasi. Kisah hidupnya ditulis ke dalam buku berjudul Seorang Lelaki dari Waimital yang ditulis Hanna Rambe pada tahun 1983, dan diterbitkan Sinar Harapan.

Seusai pensiun, dia tetap di Aceh dan menjadi aktivis lingkungan. Di masa kini, betapa sulitnya menemukan anak muda yang masih idealis seperti dirinya. Anak muda hari ini berlomba-lomba untuk masuk dunia bisnis, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, lalu masuk ke lingkaran istana, entah sebagai staf milenial atau sebagai staf menteri. Bahkan para akademisi muda bermimpi jadi dirjen, staf khusus menteri, atau jadi pejabat di BUMN.

Kasim adalah oase yang serupa mata air selalu menjadi telaga inspirasi yang tak mengering. Saat dia diwisuda pada tahun 1979, salah seorang rekannya penyair Taufiq Ismail, menulis puisi yang mengharukan tentang Kasim. Salah satu baitnya berbunyi:

Dari pulau itu, dia telah pulang

Dia Kembali ke kota hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh, namun disambut bak seorang pahlawan yang baru saja kembali dari medan laga.

Menjaga Semangat Pengabdian yang Tulus

Kisah Muhammad Kasim Arifin memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana KKN dapat menjadi lebih dari sekadar tugas administratif. Pengabdian yang tulus, seperti yang ditunjukkan oleh Kasim, dapat membawa dampak yang jauh lebih besar dan mendalam bagi masyarakat. Dalam era modern ini, penting bagi mahasiswa untuk menghidupkan kembali semangat pengabdian yang tulus, melampaui tuntutan formalitas dan berfokus pada upaya nyata untuk memperbaiki kondisi sosial.

Mahasiswa dapat mengambil inspirasi dari kisah Kasim untuk melihat KKN sebagai kesempatan untuk belajar langsung dari masyarakat, memahami kebutuhan mereka, dan bekerja bersama-sama untuk mencari solusi. Dalam proses ini, mahasiswa tidak hanya memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, tetapi juga memperoleh pembelajaran yang berharga tentang realitas sosial dan keterampilan praktis yang tidak dapat diajarkan di kelas.

Pendekatan Partisipatif dalam Memahami Problematika Sosial

Pendekatan partisipatif dapat membantu mahasiswa menghidupkan kembali semangat pengabdian dalam KKN. Pendekatan ini memiliki keunggulan dalam melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses identifikasi masalah dan pencarian solusi. Mahasiswa tidak hanya berperan sebagai pengamat atau fasilitator, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang bekerja bersama untuk mencapai perubahan yang diinginkan.

Dalam pelaksanaannya mahasiswa bisa menggunakan Penelitian Aksi Partisipatif (PAR). Metode PAR, meskipun bukan satu-satunya metode yang bisa digunakan, memiliki kelebihan yang signifikan dalam melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses identifikasi masalah dan pencarian solusi. Melalui PAR, mahasiswa tidak hanya berperan sebagai pengamat atau fasilitator, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang bekerja bersama untuk mencapai perubahan yang diinginkan.

PAR mendorong mahasiswa untuk melakukan penelitian bersama masyarakat, bukan hanya untuk masyarakat. Dalam konteks KKN, metode ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang benar-benar relevan dan penting bagi masyarakat, sehingga solusi yang dihasilkan lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Proses ini juga membantu meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memahami dan menangani masalah mereka sendiri, serta memperkuat ikatan sosial antara mahasiswa dan masyarakat.

Tantangan dan Solusi dalam Pelaksanaan KKN

Meskipun ada banyak tantangan dalam pelaksanaan KKN, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah tersebut dan memastikan bahwa program ini benar-benar memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat dan mahasiswa. Pertama, penting untuk memperbaiki proses pembekalan dan persiapan bagi mahasiswa sebelum mereka terjun ke lapangan. Pembekalan ini harus mencakup pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, serta keterampilan praktis yang diperlukan untuk melakukan penelitian dan pengabdian yang efektif.

Kedua, perlu ada mekanisme yang lebih baik untuk memastikan bahwa program KKN yang dirancang oleh kampus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ini bisa dilakukan melalui survei kebutuhan, konsultasi dengan tokoh masyarakat, dan kolaborasi dengan pemerintah daerah dan organisasi lokal. Dengan demikian, program KKN dapat lebih relevan dan memberikan dampak yang lebih besar.

Ketiga, penting untuk mendorong mahasiswa untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitas mereka dalam merancang dan melaksanakan program KKN. Mahasiswa harus diberi kebebasan untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan dan metode, serta didorong untuk berpikir kritis dan inovatif dalam mencari solusi untuk masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

Mengakhiri dengan Harapan

Menghidupkan kembali semangat pengabdian dalam KKN adalah sebuah tantangan, namun juga sebuah peluang besar. Dengan pendekatan yang tepat, KKN dapat menjadi ajang yang sangat bermakna bagi mahasiswa untuk belajar dan berkontribusi kepada masyarakat. Pendekatan penelitian partisipatif seperti PAR, inspirasi dari kisah-kisah pengabdian yang tulus seperti yang ditunjukkan oleh Muhammad Kasim Arifin, dan upaya untuk mengatasi tantangan pelaksanaan KKN, dapat membantu mengarahkan program ini ke arah yang lebih baik.

Harapannya, KKN dapat menjadi lebih dari sekadar kewajiban administrasi, tetapi menjadi kesempatan bagi mahasiswa untuk benar-benar memahami dan merasakan kehidupan masyarakat, serta berkontribusi dalam mencari solusi untuk masalah-masalah yang ada. Dengan demikian, KKN dapat menjadi ajang pengabdian yang berdampak, yang tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek tetapi juga meninggalkan warisan yang berkelanjutan bagi masyarakat dan mahasiswa itu sendiri


Penulis: Ahmad Rizki Alimudin

Editor: Ega Adriansyah

 
Sumber Foto: Raihan Athaya 
(Penjabaran alokasi uang Ma'had dalam audiensi dengan Sema dan Dema pada, (02/07/24)) 

Cirebon, LPM FatsOeN - Program Mahad merupakan program yang wajib diikuti oleh mahasiswa semester 1 dan 2 di berbagai PTKIN di Indonesia, termasuk di UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (SSC). Biaya Ma'had di berbagai PTKIN relatif berbeda. UIN SSC sendiri menerapkan tarif 600 ribu per semester untuk mahasiswa non mukim, dan 1,2 juta rupiah untuk mahasiswa mukim.

Bagi sebagian mahasiswa, khususnya dengan latar belakang keluarga ekonomi menengah ke bawah, tarif atau biaya yang dikenakan itu cukup memberatkan. Lebih-lebih lagi bagi mahasiswa non mukim. 

Berbagai upaya dilakukan oleh pihak Mahad untuk memberikan pengertian terhadap mahasiswa tentang biaya itu. Mulai dari menerbitkan surat yang disebarkanluaskan secara fisik maupun pdf melalui WhatsApp, melalui email, SMS, hingga sosialisasi melalui Zoom Meeting pada, Jumat, 31 Mei 2024. 

Meski begitu, mahasiswa di UIN SSC sepertinya tetap abai terhadap berbagai sosialisasi dan pengertian yang coba disampaikan oleh Mahad. Masih banyak mahasiswa yang kompak tidak membayar program Mahad, bahkan menuntut untuk mengurangi biayanya. 

Melalui Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) dan Senat Mahasiswa (Sema), upaya audiensi untuk membicarakan keluhan mahasiswa itu telah dilakukan dengan pihak Mahad. Audiensi dilaksanakan 2 Juli lalu. Hasil audiensinya sudah bisa diakses di media sosial Dema UIN SSC. 

Tapi, hasil audiensi itu ternyata masih belum juga memberikan kepuasan terhadap mahasiswa angkatan 2023 yang memiliki kewajiban membayar program Mahad. 

Setelah audiensi, beredar kabar tentang rincian alokasi biaya Mahad Al-Jamiah yang harus dibayarkan mahasiswa mulai dari angkatan 2023. 

Salah satu poin yang cukup menjadi sorotan adalah tentang program Kitab Kuning dan PPTQ. Anggaran sebesar 225 ribu dialokasikan untuk 15 pertemuan Mahad (14 kali pembelajaran dan 1 kali uji kompetensi), remedial maksimal dua kali, dan kitab serta modul. 

Di beberapa kelas, modul yang diberikan berupa file PDF yang digunakan dalam 2 semester dan sebuah kitab yang juga digunakan selama 2 semester. 225 ribu itu sudah termasuk dengan biaya remedial yang akan dijalankan selama 14 kali pertemuan bagi mahasiswa yang belum memenuhi kriteria kelulusan. 

Adapun maksimal remedial sendiri sebanyak 2 kali, dan akan lulus dengan nilai minimum jika memang nilai mahasiswa tetap belum memenuhi kriteria kelulusan Mahad. Tapi, yang perlu menjadi perhatian di sini adalah tidak semua mahasiswa akan mengalami remedial. 

Lantas apa maksud dari pihak Mahad dengan rincian anggaran tersebut? Apakah artinya pihak Mahad Al-Jamiyyah mengajari mahasiswa-mahasiswinya untuk turut andil 'patungan' membiayai remedial kawan kawannya? 

Dalam pandangan saya, kalau faktanya seorang mahasiswa hanya mendapat soft file modul, sebuah kitab yang diperuntukkan dalam dua semester dan belum tentu remedial, biaya yang tadi disebutkan terasa cukup tinggi. 

Sebagai contoh, apabila dalam sebuah kelas yang terdapat 38 orang, maka total satu kelas tersebut harusnya membayar 500 ribu untuk satu kali pertemuan. Angka itu didapat dari kalkulasi 225 ribu yang dibayarkan oleh 38 mahasiswa untuk satu semester, dan kemudian dibagi dalam 15 kali pertemuan. 

Jadi, kalau dipikir, sepertinya bukan hal yang 'berat' bagi pihak Mahad Al-Jamiah untuk menuruti tuntutan mahasiswa terkait penurunan biaya Mahad Al-Jamiah.

Tapi, saya berharap polemik ini segera usai dan menemui titik tengah tanpa harus memberatkan pihak manapun, baik pihak mahasiswa maupun tenaga pengajar Mahad UIN SSC.


Penulis: Fadhil Muhammad RF (Magang)

Editor: Ega Adriansyah


Sumber Foto: Dokumentasi Penulis 

Isu krisis iklim di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Dampaknya sudah mulai terasa bagi lingkungan. Banyak anomali bencana yang beberapa tahun belakangan muncul secara tidak terduga di Indonesia. Diantaranya, banjir rob yang menutupi 80% daratan Kabupaten Demak; Jawa Tengah, munculnya tornado di Rancaekek, Banndung; kenaikan permukaan air laut yang menutupi wilayah pesisir sepanjang pantai utara; suhu panas yang tidak wajar (El Nino), musim hujan yang tidak menentu (La Nina) dan sebagainya.

Ada banyak hal yang menjadi penyebab krisis iklim terjadi di dalam negeri maupun dunia secara global. Salah satu yang menjadi penyebab utamanya adalah gas rumah kaca dan polusi udara yang dihasilkan dari aktivis industri. Dalam hal ini, termasuk di dalamnya adalah polusi udara dari aktivis industri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang penggerak utama aktivitasnya adalah batubara. 

Seperti yang diketahui, batubara merupakan sumber energi yang tidak ramah lingkungan. Perubahan iklim (climate change) yang kemudian menjelma menjadi krisis iklim dan menyebabkan masalah-masalah multisektoral mengemuka salah satunya disebabkan oleh out put dari aktivis industri yang sumber energi utamanya adalah batubara. 

Lembaga swadaya yang memiliki fokus di bidang lingkungan, seperti misalnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) merupakan lembaga yang cukup gencar mengkritisi aktivitas industri yang belum memiliki niatan untuk meninggalkan sumber energi untuk aktivitas produksi mereka yang menggunakan batubara. Walhi juga lembaga yang baru-baru ini gencar mengkritisi kebijakan Izin Usaha Pertambahan (IUP) batubara kepada organisasi masyarakat (ormas) agama di Indonesia. 

Sama seperti di banyak wilayah lain di Indonesia, Cirebon merupakan kota/kabupaten yang juga punya masalah lingkungan tersendiri. Di Kabupaten Cirebon, ada satu isu yang terkait dengan lingkungan dan sedang diperbincangkan oleh para pemerhati dan aktivis lingkungan. Walhi dan Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon (Karbon) termasuk yang hangat mempertimbangkan isu tersebut. 

Jadi, ada salah satu PLTU di Kabupaten Cirebon yang diberitakan akan pensiun dini. 7 tahun lebih cepat. Belum lama ini, Walhi dan Karbon mengadakan diskusi publik membahas isu itu. Acara yang digelar pada, Kamis (27/6/2024) itu bertajuk “Kupas Tuntas Pensiun Dini PLTU Cirebon 1”. Sasaran peserta diskusinya adalah para pemuda di Kabupaten/Kota Cirebon. 

Tujuan utama Walhi dan Karbon mengadakan diskusinya tidak lain untuk menggugah kesadaran para pemuda dan masyarakat Cirebon tentang isu lingkungan dan dampak-dampak yang dihasilkan dari aktivitas PLTU. 

Latar Belakang Pensiun Mudanya PLTU dan Fakta Lapangan

Pada penyampaian materi pertama diskusi publik itu, delegasi dari Trend Asia menguraikan tentang alasan mengapa PLTU Cirebon 1 pensiun muda. Dia menyampaikan, Indonesia termasuk sebagai negara yang ketergantungannya kepada sumber energi batubara masih sangat tinggi. Hal ini bisa dilihat dari data tahun 2023 yang menunjukkan bahwa produksi batubara mencapai 770,24 juta ton, yang 62,8 juta ton diantaranya digunakan untuk (PLTU). 

“Kemudian, per hari ini, Indonesia memiliki 126 dari 253 unit PLTU yang relatif muda, dengan usia rata-rata belasan tahun,” kata perwakilan Trend Asia. 

Sebetulnya, hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur energi negara masih sangat bergantung kepada batubara tadi. Menurut sebuah penelitian, penghentian dini PLTU adalah langkah penting untuk mengurangi emisi gas karbon dan mempercepat laju transformasi energi di Indonesia. 

Indonesia merupakan negara yang sudah berkomitmen untuk mewujudkan cita-cita Net Zero Emision (NZE) pada 2060 mendatang. Komitmen ini juga disuarakan oleh hampir seluruh negara di dunia. Baik dalam forum-forum tingkat tinggi, KTT G20, atau melalui perjanjian-perjanjian lingkungan internasional seperti Perjanjian Paris dan lainnya. 

Kembali lagi, PLTU di Kabupaten Cirebon dinilai telah mengganggu kehidupan masyarakat setempat. Banyak masyarakat pesisir, yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan yang mengeluh tentang aktivitas PLTU. Ada banyak aktivitas perekonomian masyarakat, seperti tambak garam, tambak ikan hingga penangkapan ikan yang terpengaruh oleh kehadiran PLTU. 

Inilah hal pertama yang menjadi latar belakang mengapa PLTU Cirebon 1 pensiun dini. Kedua, beberapa pihak juga menilai pemanfaatan PLTU yang diwacanakan sampai tahun 2035 terlalu lama. Mereka berpendapat, pasokan listrik di jaringan Jawa-Bali sudah over (berlebih). Sampai satu dekade ke depan pun bisa jadi masih ada. Hal inilah yang kemudian juga melatar belakangi PLTU pensiun dini. 

Pensiun dini PLTU di satu sisi memang positif. Terutama bagi lingkungan. Namun, di sisi lain dinilai membawa dampak negatif juga. Khususnya kepada para tenaga kerja yang sebelumnya bekerja di PLTU. Sehingga, pensiun dini PLTU menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan bukan saja oleh pihak internalnya saja, pemerintah dan stakeholder lain juga perlu memperhatikan hal ini. 

Kembali ke diskusi, di Indonesia, literasi publik terhadap isu lingkungan memang masih minim. Menurut narasumber diskusi dari Yayasan Cerah Indonesia (YCI), isu lingkungan hanya lantang disuarakan oleh masyarakat kota, sedangkan di wilayah daerah atau pedesaan jarang. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh mereka, hanya 1 dari 5 orang yang pernah tergabung dalam komunitas atau mengikuti kegiatan diskusi tentang lingkungan. 

Bahkan, menurut sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU, aktivitas PLTU itu tidak ada pengaruhnya terhadap lingkungan. Oleh karena itu, upaya untuk mengedukasi dan menggugah kesadaran mereka tentang lingkungan menjadi penting. Terutama oleh mereka yang termasuk aktivis lingkungan dan para pemerhati lingkungan. 

Menurut pemateri dari YCI, dalam rangka mengedukasi masyarakat, sebuah pemetaan masyarakat dari aspek geografis, sosial, serta budaya juga perlu dilakukan. Hal ini tujuannya tidak lain untuk memudahkan edukasi dan sosialisasi tentang lingkungan dan dampak-dampak aktivitas industri terhadap lingkungan. Jika tidak, hal ini menurutnya bisa menghambat upaya transformasi energi yang sedang dilakukan pemerintah.

“Karena ketika kita menyampaikan ke masyarakat ibu kota, sepeti Jakarta. Kita akan berangkat dari suhu dan polusi udara. Ini akan berbeda jika kita menyampaikan ke daerah-daerah (di luar ibu kota),” ujarnya.

Selanjutnya, Omen, seorang pemateri dari Non-Govermental Organization (NGO) Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (PIKUL) dalam pembicaraannya menyampaikan sebuah pepatah menarik. “The Devils are in The Details," katanya. 

Pepatah itu, menurutnya perlu dikupas dalam diskusi tentang lingkungan. Pasalnya, tidak sedikit dari argumen atau aturan yang perlu dikritisi setelah melihat kondisi real lingkungan di Indonesia yang bisa dibilang memprihatinkan (tidak seperti yang digambarkan oleh pihak-pihak berkepentingan). 

Lalu, bagaimana seharusnya kita memandang problematika atau masalah ini? Dan keterlibatan seperti apa yang mesti dilakukan oleh masyarakat, pemerintah dan perusahaan/industri untuk menjawab dampak kerusakan lingkungan ini? 

Apa yang sampaikan oleh pemateri dari Climate Policy Indonesia (CPI) menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas dalam rangka menjawab pertanyaan di atas. Dia curiga ada praktik greenwashing atas nama perubahan iklim. Kehadiran Bank Pembangunan Asia (ADB) sekilas memang menjadi penyelamat PLTU Cirebon 1 untuk berhenti menggunakan sumber energi batubara. 

Solusi yang ADB tawarkan adalah memberikan bantuan pinjaman dengan bunga rendah lewat Energy Transision Mechanism (ETM) dengan syarat PLTU Cirebon 1 harus pensiun dini di tahun 2035 sehingga bisa membantu menutupi kerugian dari PLTU selama sisa waktu menuju pensiun.

Namun, bila ditelisik lebih dalam, solusi yang ditawarkan ADB tetap berbentuk “utang” yang tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang dihadapi PLTU. Utang itu si satu sisi memang bisa menjadi solusi agar pensiun dininya PLTU tidak menimbulkan kerugian yang terlalu besar. Tapi, di sisi lain hal itu tetap kurang solutif menyelesaikan masalah lingkungan yang muncul karena kehadiran PLTU. 

Mengapa bisa begitu? Karena disaat PLTU Cirebon 1 dicanangkan untuk pensiun dini, tidak jauh dari lokasinya dibangun PLTU Cirebon 2 yang baru beroperasi tahun 2022 dengan kapasitas 1.000 Mega Watt (MW). PLTU 2 ini sumber energi utamanya tidak jauh berbeda dari PLTU 1. Batubara. Karenanya, operasi atau aktivitasnya akan tetap menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar. 

Pihak ADB terhitung sudah datang 3 kali ke Cirebon untuk mensosialisasikan skema ETM kepada pengelola PLTU secara tertutup. Tidak ada keterlibatan masyarakat dalam sosialisasi itu. Sehingga masyarakat pun kurang begitu memahami apa yang dimaksud pensiun dini PLTU dan tidak dianggap masuk sebagai objek yang perlu mendapatkan bantuan itu.

Dalam survei Center of Economic Studies (CELIOS), 1 dari 5 orang di desa sekitar PLTU mengaku tidak mengetahui ada isu pensiun dini. Ditemukan pula dalam survei bahwa hanya ada 1 dari 5 orang pernah terlibat dalam kegiatan peduli lingkungan. Lalu, sebanyak 85% masyarakat sekitar juga tidak bekerja di PLTU. Artinya, 85% warga tak keberatan atas pensiun dini PLTU.

Kalau kemudian membicarakan tentang batubara, hasil pembakaran sumber energi itu dikatakan tidak ramah karena mengeluarkan gas rumah kaca seperti CO2, SO2, NOx, dan partikel halus (PM2.5 dan PM10) yang mengakibatkan polusi udara. SO2 dan NOx berkontribusi terhadap potensi munculnya hujan asam, yang merusak flora dan mengasamkan air. 

Limbah pendingin dan pengolahan batubara juga bisa memengaruhi sumber air setempat. Lalu, limbah cair yang mengandung logam berat seperti merkuri, arsenik, dan timbal juga bisa mencemari air tanah dan air permukaan. Jika tidak ditangani dengan baik, efek samping pembakaran batubara seperti fly ash dan bottom ash dapat mencemari tanah, dan logam berat dapat merusak kualitas tanah dan mengganggu ekosistem. Selain itu, penebangan lahan untuk pembangkit listrik dan lokasi pembuangan abu PLTU juga bisa merusak habitat alami dan membahayakan keanekaragaman hayati sekitarnya.

Secara lebih lanjut, partikulat halus (PM2.5 dan PM10), serta gas berbahaya seperti SO2 dan NOx juga bisa menyebabkan gangguan pernafasan seperti asma, bronkitis, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Paparan kontaminan udara tertentu dalam jangka panjang dapat menurunkan fungsi paru-paru dan meningkatkan kemungkinan penyakit pernapasan. 

Partikel halus dan gas berbahaya dapat memasuki aliran darah, sehingga meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke. Merkuri dan logam berat lainnya dalam emisi dan sampah juga bisa menimbulkan efek neurotoksik, terutama pada anak-anak, sehingga menyebabkan masalah perkembangan dan pelambatan kognitif. Paparan bahan kimia beracun seperti arsenik dan merkuri dalam jangka panjang pun meningkatkan risiko kanker, terutama kanker paru-paru dan kulit.

Upaya dan Harapan Mengatasi Permasalahan

Untuk mengatasi permasalahan ini, mestinya sejumlah langkah dapat diupayakan, termasuk penggunaan teknologi pengendalian polusi seperti scrubber SO2 dan pengurangan katalitik selektif (SCR) NOx. Teknik pengelolaan dan pembuangan limbah yang tepat sangat penting untuk menghindari kontaminasi tanah dan air. Pemantauan rutin terhadap kualitas udara dan air juga bisa mendeteksi polusi dan mengingatkan pihak berwenang untuk mengambil tindakan yang diperlukan. 

Selain itu, tranformasi sumber energi dari yang tidak ramah lingkungan menjadi ramah lingkungan atau Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam proses produksi listrik oleh PLTU atau industri juga menjadi penting. Terakhir, kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk mendukung tranformasi energi dan mengkritisi pihak-pihak industri atau bahkan pemerintah yang mengabaikan prinsip-prinsip pencegahan agar perubahan dan krisis iklim tidak semakin parah juga diperlukan. 

Lebih detail, peran anak-anak muda yang peduli terhadap persoalan lingkungan menjadi vital. Adanya diskusi publik yang bertajuk “Cirebon Kritis: Kupas Tuntas Pensiun Dini PLTU Cirebon 1” harapannya bisa menggugah kesadaran anak-anak muda dan masyarakat tentang pentingnya kepedulian mereka terhadap lingkungan sekitar.  

Perwakilan dari Karbon, Dehya Alfinnas mengatakan, diskusi ini akan berkelanjutan. Jadi, akan ada sesi pengambilan sikap dan gugatan-gugatan positif untuk memperjuangkan lingkungan di sekitar PLTU. 

“Acara Karbon ini menjadi langkah awal untuk kemudian dilanjutkan kepada FGD (Forum Group Discussion). Kemudian, ini akan dikawal hingga proses penggugatan,” Ujar Dehya.




Referensi:

Admin Cerah. (2024, April 04). Dampak Penggunaan Batu Bara Bagi Lingkungan dan Kesehatan.

Aprilia, A., & Firyal, N. R. (2024). Analisis Pengaruh Industri Batubara Terhadap Pencemaran Udara. Paper Kimia Lingkungan (TKL22113). Diambil kembali dari https://www.slideshare.net/slideshow/analisis-pengaruh-industri-batu-bara-terhadap-pencemaran-udara-pdf/269526859 

Greenpeace. (2015, Agustus 15). Factories of Death. Diambil kembali dari Greenpeace.org: https://www.greenpeace.org/static/planet4-indonesia-stateless/2019/02/605d05ed-605d05ed-kita-batubara-dan-polusi-udara.pdf 

WALHI Jawa Barat. (t.thn.). Kertas Posisi Penerapan Mekanisme Transisi Energi untuk PLTU Batubara Cirebon Unit 1. WALHI Jawa Barat. Dipetik 06 28, 2024, dari https://walhijabar.id/kertas-posisi-penerapan-mekanisme-transisi-energi-untuk-pltu-batubara-cirebon-unit-1/ 


Penulis: Raihan Athaya Mustafa & Farhat Kamal

Editor: Ega Adriansyah

Sumber Foto: Raihan Athaya 

Cirebon, LPM FatsOen - Warga Kampung Saladara, Kelurahan Karyamulya, Kecamatan Kesambi Cirebon menggelar acara doa bersama dan shalawatan dalam rangka menuntut pembebasan Pegi Setiawan yang diduga pelaku pembunuhan Vina pada, Selasa malam (25/6/2024).

Acara yang berlangsung dari pukul 20.00 WIB ini dihadiri oleh pihak kepolisian. Diantaranya Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas).

Acara diadakan secara mendadak (spontan). Meskipun begitu, Ketua Rukun Warga (RW) setempat, Sari, mengatakan, panitia dan warga sangat antusias mengukuti acara tersebut.

Hal ini terlihat dari acara yang berjalan khidmat tanpa adanya kendala. Bahkan jumlah warga yang hadir mengharuskan pihak keamanan dan kepolisian menutup jalan sementara.

Sebelum doa bersama, sempat ada konferensi pers antara warga dengan media. Setelahnya baru kemudian doa bersama dan shalawatan.

Acara diakhiri dengan penandatanganan petisi pembebasan Pegi Setiawan.

"Saya dan masyarakat setempat melihat bahwa Pegi merupakan sosok yang baik dan rajin ibadah,  tidak mungkinlah sosok Pegi melakukan hal keji tersebut, silakan dipikir secara logika. Kita semua sepakat bahwa apa yang dituduhkan yang punya hukum itu fitnah," ungkap Sari.

Dukungan terhadap Pegi memang sudah terlihat sebelum sejak perencanaan dan persiapan acara itu. Dengan sukarela, warga setempat urunan uang  dan melakukan proses perizinan kepada lembaga pemerintahan.

Reporter: Raihan Athaya Mustafa
Penulis: Farhat Kamal
Editor: Ega Adriansyah