Sumber Foto: @/09Juliansyah on X
Bulan ini, kampus-kampus di seluruh Indonesia ramai dengan pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Program yang seharusnya menjadi sarana pengabdian masyarakat sering kali tereduksi menjadi sekadar kewajiban administratif. Padahal, KKN memiliki potensi besar untuk menjadi ajang mahasiswa memahami problematika sosial yang dihadapi oleh masyarakat dan berupaya mencari solusinya. Pengabdian ini tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan akademis, tetapi juga sebagai bentuk penyadaran atas masalah sosial, khususnya yang terjadi akibat kebijakan struktural negara yang kompleks.
Kritik Terhadap Pelaksanaan KKN
Kritik utama yang sering dilontarkan terhadap pelaksanaan KKN adalah bahwa program ini sering kali menjadi sekadar formalitas administrasi. Mahasiswa dianggap hanya menjalankan tugas-tugas yang bersifat superfisial, tanpa benar-benar memahami atau berupaya menyelesaikan masalah mendasar yang dihadapi oleh masyarakat. Banyak mahasiswa yang terjebak dalam rutinitas kegiatan yang bersifat seremonial dan dokumentatif, seperti membuat laporan, mengadakan acara seremonial dan memenuhi berbagai persyaratan administratif yang diatur oleh kampus.
Salah satu kritik yang mencuat adalah minimnya persiapan dan pembekalan yang diberikan kepada mahasiswa sebelum terjun ke lapangan. Pembekalan yang diberikan sering kali bersifat teknis dan administrasi, tanpa memberikan pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang akan mereka hadapi. Akibatnya, banyak mahasiswa yang kebingungan dan tidak efektif dalam menjalankan program KKN mereka.
Selain itu, ada juga kritik mengenai ketidakselarasan antara program yang direncanakan oleh kampus dengan kebutuhan nyata masyarakat. Program yang dibuat sering kali bersifat top-down, di mana kampus menentukan kegiatan tanpa melakukan asesmen kebutuhan yang mendalam di masyarakat. Hal ini menyebabkan program KKN sering kali tidak relevan dan kurang memberikan dampak positif yang signifikan.
Semangat Pengabdian yang Tulus: Inspirasi dari Muhammad Kasim Arifin
Untuk memahami betapa dalamnya potensi KKN sebagai ajang pengabdian, kita bisa menilik kisah haru dari seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) bernama Muhammad Kasim Arifin. Dia masih menjadi mahasiswa IPB saat menghilang lima belas tahun silam di Pulau Seram, Maluku. Dia kembali ke kota hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh, namun disambut bak seorang pahlawan yang baru saja kembali dari medan laga.
Kisahnya menitikkan haru. Dia diabadikan dalam puisi, serupa sungai yang tak henti mengalirkan inspirasi. Hari itu, 22 September 1979 di Hotel Salak, Bogor, lelaki berkulit legam itu dikelilingi teman-temannya. Dia hanya mengenakan sandal jepit, tetapi temannya membawakan sepatu dan jas untuknya. Muhammad Kasim Arifin, lahir di Langsa, Aceh, 18 April 1938, adalah mahasiswa yang kembali setelah 15 tahun.
Teman-temannya sudah lama sarjana dan banyak yang sudah menjadi pejabat. Kasim hanya seorang petani yang bersahaja. Namun, dia justru jauh menjulang dibandingkan semua orang. Tahun 1964, dia hanya seorang mahasiswa biasa yang mengikuti Program Pengerahan Mahasiswa, yang sekarang bernama Kuliah Kerja Nyata.
Di masa itu, mahasiswa harus siap ditempatkan di pelosok negeri. Kasim mendapat lokasi di Waimital, Pulau Seram, Maluku. Dia pun mendatangi daerah terpencil itu sebab didorong hasrat untuk membumikan semua pengetahuannya. Di Waimital, dia bertemu keluarga petani miskin yang datang melalui program transmigrasi.
Nuraninya terketuk. Dia ingin berbuat sesuatu. Dia menanggalkan semua identitas kota pada dirinya, memakai sandal jepit dan baju lusuh, dan ikut menemani petani yang berjalan kaki 20 kilometer menuju sawah. Dia melakukannya setiap hari dan bolak-balik. Dia membantu petani untuk mengolah tanah dan mengajarkan pengetahuan yang didapatnya di kampus IPB. Dia membantu masyarakat untuk membuka jalan desa, membangun sawah baru, dan membuat irigasi tanpa menunggu bantuan dari pemerintah. Dia membangkitkan semangat masyarakat untuk bergotong-royong.
Kasim peduli pada petani lebih dari dirinya sendiri dan mendapat kasih sayang dari semua orang. Dia disapa Antua, sebutan bagi orang yang dihormati di Waimital. Kasim begitu larut membantu masyarakat, sampai-sampai dia lupa pulang. Seharusnya dia di Waimital hanya tiga bulan, namun merasa tugasnya belum selesai. Bahkan saat semua teman-temannya pulang, dia tetap menjadi petani. Bahkan setelah semua temannya telah diwisuda dan menjadi pejabat, dia tetap memilih tinggal di kampung itu hingga 15 tahun.
Di Aceh, orang tuanya memanggil, namun dia bergeming. Bahkan Rektor IPB, Profesor Andi Hakim Nasution, memanggilnya kembali, tetapi dia masih juga bergeming. Tak kurang akal, Rektor IPB lalu mengutus Saleh Widodo, seorang teman kuliah Kasim, untuk menjemputnya di sana. Dengan berat hati, Kasim bersedia ke Jakarta, lalu Bogor, hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh.
Kampus memanggilnya untuk menyelesaikan studi. Kasim sejatinya tak butuh gelar akademik, tetapi dia tak kuasa menolak permintaan teman-temannya. Dia mengaku tidak sanggup membuat skripsi. Teman-temannya berinisiatif untuk merekam kisahnya di Waimital untuk diajukan sebagai skripsi. Dia bercerita selama 28 jam, dan temannya mencatat cerita itu dengan mata basah. Semua terharu. Kasim adalah potret manusia yang melampaui dirinya. Dia bukan seperti kebanyakan orang yang hanya berpikir untuk kuliah lalu bekerja, mengumpul harta, kemudian hidup bahagia.
Kasim menemukan bahagianya dengan cara lain. Saat dia melihat petani tersenyum, hatinya mekar. Selagi senyum itu belum hadir, dia akan menganggap tugasnya jauh dari kata selesai. Dia lebur bersama masyarakat. Mulanya dia datang sebagai Kasim, mahasiswa IPB yang penuh pengetahuan. Setelah 15 tahun, dia menjadi bagian dari masyarakat.
Dia tak lagi ingin sesegera mungkin lulus, kemudian menyandang toga dan bekerja di instansi pemerintahan. Dia ingin membantu semua petani untuk sejahtera melalui tindakan memuliakan bumi, menghargai lumpur, dan mengolah tanah-tanah pertanian. Dia mencintai tunas yang tumbuh lalu mekar menjadi tanaman.
Hari itu, Kasim memasuki gedung IPB untuk wisuda. Mulanya dia ragu-ragu dan takut melihat banyak orang berdatangan. Semalaman dia tak bisa tidur di Hotel Salak karena pendingin udara dan suara bising di jalanan. Di acara wisuda, dia ingin duduk di kursi belakang. Namun begitu dia datang, semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Dedikasinya membuat banyak orang merinding. Dia adalah insinyur pertanian paling istimewa, paling menyentuh hati, dan paling menjulang dibandingkan yang lain.
Lelaki muda itu tetap Kasim yang bersahaja. Bahkan setelah wisuda pun, dia kembali ke Waimital demi meneruskan kerja-kerjanya. Setelah beberapa waktu, barulah dia menerima pinangan Universitas Syiah Kuala, Aceh, untuk menjadi dosen di sana hingga pensiun pada tahun 1994. Di Waimital, namanya selalu harum, bahkan diabadikan menjadi nama jalan.
Pada tahun 1982, Kasim mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk jasa-jasanya membangun masyarakat desa dengan wawasan lingkungan hidup. Kasim yang tidak gila pada penghargaan, "membuang" kalpataru itu di bawah kursi dan meninggalkannya begitu saja, hingga akhirnya seseorang mengantarkan kalpataru itu ke rumahnya. Bahkan penghargaan pun bukan menjadi tujuannya.
Ketika mendapat tawaran untuk study banding ke Amerika Serikat, dia menolak. "Untuk apa saya harus ke Amerika yang punya tradisi pertanian berbeda dengan di sini?" katanya. Dia selalu menjadi Kasim yang menginspirasi. Kisah hidupnya ditulis ke dalam buku berjudul Seorang Lelaki dari Waimital yang ditulis Hanna Rambe pada tahun 1983, dan diterbitkan Sinar Harapan.
Seusai pensiun, dia tetap di Aceh dan menjadi aktivis lingkungan. Di masa kini, betapa sulitnya menemukan anak muda yang masih idealis seperti dirinya. Anak muda hari ini berlomba-lomba untuk masuk dunia bisnis, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, lalu masuk ke lingkaran istana, entah sebagai staf milenial atau sebagai staf menteri. Bahkan para akademisi muda bermimpi jadi dirjen, staf khusus menteri, atau jadi pejabat di BUMN.
Kasim adalah oase yang serupa mata air selalu menjadi telaga inspirasi yang tak mengering. Saat dia diwisuda pada tahun 1979, salah seorang rekannya penyair Taufiq Ismail, menulis puisi yang mengharukan tentang Kasim. Salah satu baitnya berbunyi:
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia Kembali ke kota hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh, namun disambut bak seorang pahlawan yang baru saja kembali dari medan laga.
Menjaga Semangat Pengabdian yang Tulus
Kisah Muhammad Kasim Arifin memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana KKN dapat menjadi lebih dari sekadar tugas administratif. Pengabdian yang tulus, seperti yang ditunjukkan oleh Kasim, dapat membawa dampak yang jauh lebih besar dan mendalam bagi masyarakat. Dalam era modern ini, penting bagi mahasiswa untuk menghidupkan kembali semangat pengabdian yang tulus, melampaui tuntutan formalitas dan berfokus pada upaya nyata untuk memperbaiki kondisi sosial.
Mahasiswa dapat mengambil inspirasi dari kisah Kasim untuk melihat KKN sebagai kesempatan untuk belajar langsung dari masyarakat, memahami kebutuhan mereka, dan bekerja bersama-sama untuk mencari solusi. Dalam proses ini, mahasiswa tidak hanya memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, tetapi juga memperoleh pembelajaran yang berharga tentang realitas sosial dan keterampilan praktis yang tidak dapat diajarkan di kelas.
Pendekatan Partisipatif dalam Memahami Problematika Sosial
Pendekatan partisipatif dapat membantu mahasiswa menghidupkan kembali semangat pengabdian dalam KKN. Pendekatan ini memiliki keunggulan dalam melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses identifikasi masalah dan pencarian solusi. Mahasiswa tidak hanya berperan sebagai pengamat atau fasilitator, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang bekerja bersama untuk mencapai perubahan yang diinginkan.
Dalam pelaksanaannya mahasiswa bisa menggunakan Penelitian Aksi Partisipatif (PAR). Metode PAR, meskipun bukan satu-satunya metode yang bisa digunakan, memiliki kelebihan yang signifikan dalam melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses identifikasi masalah dan pencarian solusi. Melalui PAR, mahasiswa tidak hanya berperan sebagai pengamat atau fasilitator, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang bekerja bersama untuk mencapai perubahan yang diinginkan.
PAR mendorong mahasiswa untuk melakukan penelitian bersama masyarakat, bukan hanya untuk masyarakat. Dalam konteks KKN, metode ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang benar-benar relevan dan penting bagi masyarakat, sehingga solusi yang dihasilkan lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Proses ini juga membantu meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memahami dan menangani masalah mereka sendiri, serta memperkuat ikatan sosial antara mahasiswa dan masyarakat.
Tantangan dan Solusi dalam Pelaksanaan KKN
Meskipun ada banyak tantangan dalam pelaksanaan KKN, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah tersebut dan memastikan bahwa program ini benar-benar memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat dan mahasiswa. Pertama, penting untuk memperbaiki proses pembekalan dan persiapan bagi mahasiswa sebelum mereka terjun ke lapangan. Pembekalan ini harus mencakup pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, serta keterampilan praktis yang diperlukan untuk melakukan penelitian dan pengabdian yang efektif.
Kedua, perlu ada mekanisme yang lebih baik untuk memastikan bahwa program KKN yang dirancang oleh kampus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ini bisa dilakukan melalui survei kebutuhan, konsultasi dengan tokoh masyarakat, dan kolaborasi dengan pemerintah daerah dan organisasi lokal. Dengan demikian, program KKN dapat lebih relevan dan memberikan dampak yang lebih besar.
Ketiga, penting untuk mendorong mahasiswa untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitas mereka dalam merancang dan melaksanakan program KKN. Mahasiswa harus diberi kebebasan untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan dan metode, serta didorong untuk berpikir kritis dan inovatif dalam mencari solusi untuk masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Mengakhiri dengan Harapan
Menghidupkan kembali semangat pengabdian dalam KKN adalah sebuah tantangan, namun juga sebuah peluang besar. Dengan pendekatan yang tepat, KKN dapat menjadi ajang yang sangat bermakna bagi mahasiswa untuk belajar dan berkontribusi kepada masyarakat. Pendekatan penelitian partisipatif seperti PAR, inspirasi dari kisah-kisah pengabdian yang tulus seperti yang ditunjukkan oleh Muhammad Kasim Arifin, dan upaya untuk mengatasi tantangan pelaksanaan KKN, dapat membantu mengarahkan program ini ke arah yang lebih baik.
Harapannya, KKN dapat menjadi lebih dari sekadar kewajiban administrasi, tetapi menjadi kesempatan bagi mahasiswa untuk benar-benar memahami dan merasakan kehidupan masyarakat, serta berkontribusi dalam mencari solusi untuk masalah-masalah yang ada. Dengan demikian, KKN dapat menjadi ajang pengabdian yang berdampak, yang tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek tetapi juga meninggalkan warisan yang berkelanjutan bagi masyarakat dan mahasiswa itu sendiri
Penulis: Ahmad Rizki Alimudin
Editor: Ega Adriansyah