Sumber Foto: Raihan Athaya
Kedua buku memiliki isi yang berbeda. “Eksistensialisme dan Humanisme” merupakan buku yang isinya dibahas menggunakan sudut pandang orang pertama. Sementara itu, “Sedang Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangan” merupakan buku yang dibahas menggunakan sudut pandang orang ketiga.
Meski berbeda, kedua buku ini sama-sama membahas soal humanisme (kemanusiaan) dalam versi masing-masing. Dan inilah yang membuat kedua bukunya menarik untuk dibaca. Pembahasan soal humanisme dalam dua buku itu bahkan cukup mendalam. Bukan tanpa alasan memang, kedua buku itu lahir dari keresahan masing-masing penulis.
Dari situ, sekilas kedua buku ini akhirnya seperti memiliki spirit yang sama (searah) dalam membahas soal kemanusiaan.
1. Eksistensialisme dan Humanisme
Apa yang kita ketahui selama ini tentang dua kata tersebut? Bila ada yang belum tahu, eksistensialisme secara bahasa berarti keberadaan. Sedangkan humanisme berarti kemanusiaan. Judul asli buku ini adalah "L'Existentialisme est un Humanism". Buku ini dinilai memiliki bahasan yang menutupi polemik tentang kemanusiaan.
Dalam buku (karya tulis) dirinya yang lain (yang terbit lebih awal), Jean Paul Sartre, nama penulisnya, seperti memiliki pemikiran tentang kemanusiaan yang berbanding terballik dengan pemikirannya dalam buku ini. Bahkan, dilihat dari judul pun, yang berbahasa Perancis, kata-katanya cukup provokatif. Judulnya "Nusea, ang". Terkesan anti kemanusiaan.
Eksitensialisme Sartre merupakan ajaran yang menggambarkan tentang kemenawanan dan kegagahan. Ia menyatakan bahwa kesamaan yang dimiliki oleh kaum eksistensialis adalah keyakinan mereka bahwa bagi manusia “eksistensi lebih penting daripada esensi,” (hal.26). Dalam hal ini, kebebasan menjadi ciri khas para pemikir eksistensialis. Oleh karena itu, sifat kedirian di dalamnya lebih ditekankan dari pada diri orang lain.
Dalam buku ini, Satre menawarkan agar kedirian bisa menjadi proses yang humanis. Hal ini didasarkan pada keresahannya terhadap makna kemanusiaan akibat pergerakan Marxis. Sartre menganggap manusia justru tersekat oleh kelas borjuis dan ploretariat. Menurutnya, manusia di muka bumi mempunyai tanggung jawab atas kebebasan. Tidak satupun objek atau subjek dapat mengubah tanggung jawab tersebut kecuali diri sendiri. Menurutnya, ini mutlak, maka, dengan sendirinya apa yang disebut dengan nilai-nilai kemanusiaan bisa dicapai.
“Untuk mengetahui orang lain, harus mengetahui diri sendiri."
Kalimat di atas pasti tidak asing di telinga. Entah kutipan dari mana, yang pasti kalimat tersebut merupakan kalimat yang menggambarkan kemanusiaan menurut Sarte. Sebagian penulis/orang yang mengamati pemikiran Satre sepakat dengan hal ini. Mengenal sifat kedirian dinilai bisa melahirkan objektivitas diri sendiri. Goenawan Mohamad, salah satu pendiri Tempo juga selalu mendahului karya-karyanya dengan kalimat semacam itu. Kita bisa melihatnya dalam sebuah podcast di kanal YouTube Tempo yang bertajuk “Rahasia Penulisan dalam Esai Goenawan Mohamad”.
2. Pemikiran dan Perjuangan Ki Hadjar Dewantara
Buku kedua ini membahas pendididkan di Indonesia. Buku tersebut diterbitkan untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-109 pada tahun 2017. Sensasi kisah perjuangan budaya dan pendidikan (melaui bermacam cara) dari Ki Hadjar Dewantara begitu terasa ketika membaca bukunya.
Suhartono Wiropranoto, dkk, cukup berhasil menyajikan kisah seorang pahlawan pendidikan Indonesia ini. Mengapa dikatakan berhasil? Penulis, belakangan sedang membaca buku-buku tentang kemanusiaan (humanisme). Jadi, kisahnya terasa betul untuk kemudian direnungkan.
Terlebih pada bagian kisah keberanian Ki Hadjar ketika membuat tulisan berjudul “Andai Aku Seorang Belanda”. Dikisahkan, Ki Hadjar memang sengaja menulis tulisan itu karena melihat ketimpangan sosial yang terjadi akibat kebijakan dari pemerintah Belanda. Kisah itu menurut penulis seperti upaya yang selaras dengan kalimat eksistensi mendahlui esensi dari Satre.
Dalam arti lain, eksistensi Satre cukup terasa dalam kisah perjuangan dan semangat nasional Ki Hadjar di bidang pendidikan dan budaya. Hal ini bisa kita lihat dari orientasi pemikiran dan perjuangannya yang selalu menginginkan adanya kesetaraan antara pribumi dan orang-orang Belanda.
Ki Hadjar terkenal dengan tiga serangkainya. Dua temannya menjadi penguat setia ketika dirinya membentuk organisasi dan mengupayakan perjuangan politik lainnya. Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo memiliki kebiasaan dan keahlian yang sama dengannya, yakni menulis. Perjuangan nata dan perjuangan pena mereka bukan tanpa rintangan. Mereka jelas mengalami tekanan dari peraturan yang tetiba diberlakukan, pelemahan pergerakan, hingga pembuangan menjadi sesuatu yang menjadi rintangan yang dihadapi mereka saat itu.
Menariknya, rintangan yang hadir itu justru menjadi kedalaman perjuangannya. Berbulan-bulan mereka dan kerabatnya dibuang ke Den Hag, tapi, hal itu tidak membuat perjuangan dan pergerakan mereka berhenti. Selama waktu pembuangan, Ki Hadjar mengalami "hijrah oriented". Sebelumnya, tiga serangkai memperjuangkan kebebasan dan ketimpangan sosial melaui organisasi, maka, setelah itu berbeda.
Sepulang dari pembuangan, pendidikan dan kebudayaan (kultur) menjadi kosa kata penting dan instrumen (media) perjuangan dalam pergerakan mereka berikutnya. Inilah yang menjadi latar belakang didirikannya Taman Siswa. Karena sadar bahwa, pengaruh Belanda tidak dapat dihilangkan dengan mudah, Ki Hadjar melihat pengaruh tersebut mesti dihilangkan dengan membangun pemikiran (dan eksistensi/kedirian) masyarakat menjadi lebih maju.
Konsep pendidikan yang dicanangkan Ki Hadjar Dewantara melalui pun tidak sembarangan. Bisa dibilang konsepnya adalah pendidikan progresif. Penanaman nilai budaya dan fokus terhadap pembangunan kualitas subjek (siswa-siswi) pendidikan yang diterapkan di Taman Siswa hampir serupa dengan konsep progresivisme John Dewey.
Perilaku guru harus "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani". Hubungan guru dan murid harus seperti hubungan dalam keluarga. Proses belajar harus terjadi sepanjang hari dan sepanjang hayat. Hemat penulis, hal ini dapat disimpulkan bahwa pemenuhan eksitensi diri (melalui berbagai cara) memang bisa mewujudkan dan melahirkan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme). Persislah seperti yang dikatakan oleh Sartre.
Penulis: Raihan Athaya
Editor: Ega Adriansyah