Seiring dengan waktu yang semakin terasa cepat, keluhan dan rintihan menjadi bagian dari setiap hentakan kaki dalam suatu proses perjalanan. Bertemu dengan banyak orang dan bergurau ternyata cukup menghibur bagi sebagian orang, sebagian yang lainnya mungkin mencari kebahagiaan tersendiri dalam menjalani hidup. Kalau tiba waktu dihampiri lelah, rasanya ingin menyerah namun beruntung masih takut mati. "Emang dasarnya manusia," Anin bergumam dalam Hati.
“Bi, mie ayam tiga porsi ya,” Ucap Abel pada Bi Ema.
Di sebuah warung sepi pengunjung, tiga manusia tanpa beban itu duduk dengan santai sambil iseng-iseng membuat vlog. Diam-diam masing-masing dari mereka memanjatkan harapan yang yang sama, berharap dunia mereka akan selalu baik-baik saja. Mereka bergurau sampai cekikikan hingga Bi Ema datang dengan nampan berisi mangkuk dan es teh manis masing-masing tiga porsi di sana.
Warung ini memang seringkali terlihat sepi dan kumuh namun sejak kedatangan ketiga gadis ini suasana terasa lebih ramai, bahkan ada sedikit peningkatan pengunjung yang datang kemari karena melihat beberapa vlog gadis itu, tak disangka ternyata video itu membuat beberapa orang tergiur karena mie ayam yang dibuat Bi Ema terlihat begitu lezat. Sayangnya tak lama saat warung terpencil dengan pemandangan sawah di depan itu mulai ramai pelanggan, rupanya pandemi merenggut kembali pelanggan Bi Ema.
Gadis dengan kerudung bergo serta baju atasan yang dipadukan cardigan di sana bernama Abela Pirsya Aini. Di sebelahnya gadis dengan pashmina tanpa pentul berwarna hitam bernama Lerina Agung Darmono. Di sebelahnya lagi gadis dengan tubuh yang lebih mungil dari keduanya namun konon paling dewasa itu, bernama Sanindyah Retami Putri Jaya Ade Ayu, haha benar namanya memang cukup penjang karena itulah setiap ujian nasional tiba gadis yang kerap dipanggil Anin itu senantiasa mempersingkat namanya dengan nama Sanindyah Retami P.J.A.D.
“Udah makan belum, Bi?” tanya Abel kepada Bi Ema, kemudian Wanita paruh baya itu membalasmnya dengan anggukan serta senyum yang terlihat teduh.
“Bi, aku mau cerita tentang mama,” ucap Abel kepada Bi Ema.
Kemudian Bi Ema duduk di hadapan gadis yang kerap dipanggil Abel itu. Wanita paruh baya itu mendengar dan mencermati setiap kalimat yang terlontar dari gadis cantik dengan lesung pipi yang terlihat saat ia tersenyum.
Memiliki kehidupan yang sesuai keinginan adalah dambaan bagi setiap orang namun hidup ternyata memang tidak selalu mengikuti setiap apa yang kita inginkan. Pun dengan kehidupan ketiga gadis ini, mulai dari mama Abel yang sekarang banyak melamun, orangtua Lerina yang nyaris kehilangan pekerjaan, hingga papanya Anin yang harus memutar otak agar bisnisnya terus berjalan.
Ayah Abel yang berumur 40 tahun meninggal dunia sejak satu minggu lalu, kata dokter beliau terkena Covid-19. Memang setelah pulang dari luar kota kondisi kesehatan ayah Abel menjadi buruk sampai akhirnya Abel dan mamanya pun ikut tertular. Abel masih ingat waktu ketika mereka melaksanakan karantina bersama, ketika akhirnya kondisi Abel dan mamanya yang semakin membaik namun berbalik dengan kondisi ayahnya yang semakin memburuk dan sampailah mereka pada waktu yang selama ini ditakutkan, mengiringi kepergian ayahnya dengan tangisan sesak. Ingatan Abel terus menjelajah pada masa-masa yang membuat dirinya kembali merasakan pedih di hatinya.
Hari itu ketika awal Covid-19 diberitakan, tak ada bayangan seram yang akan menyebabkan rasa perih yang ia rasakan sekarang. Bahkan ketika sekolah mengumumkan bahwa pembelajaran tidak bisa dilakukan secara tatap muka, waktu itu justru rasa senang menyeruak di dalam hatinya.
Kesenangan itu nyatanya tidak bertahan lama, bahkan sejak pembelajaran dilakukan secara daring pun rasa bosan dan mencekam mulai terasa menyiksa dan setelah itu bukan lagi hanya rasa bosan yang dirasa namun kala itu kesedihan seperti menyelimuti seluruh penjuru bumi ini. Bukan hanya perihal Abel yang ditinggalkan oleh ayahnya namun di luar sana juga banyak orang-orang yang kehilangan orang tercintanya, kehilangan pekerjaan dan kelimpungan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan rumah.
Abel menyudahi ceritanya kepada Bi Ema bersamaan dengan sesendok terakhir mie ayam yang disantapnya, begitupun dengan kedua sahabatnya. Bi Ema bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke belakang, terlihat Bi Ema mulai mengemasi bahan-bahan dagangannya. Tak ingin berkerumun terlalu lama ketiga gadis itu pun pamit pergi. Dengan membawa sepeda motor, Anin dan Lerina berboncengan sedangkan Abel menumpangi motornya sendirian, mereka berpisah di perempatan jalan pantura. Rasanya begitu pengap memakai masker begini, mungkin karena belum terbiasa.
Di satu sisi mereka yang masih berusia 17 tahun itu amat senang saat sekolah mengumumkan libur panjang dan pembelajaran yang dilakukan jarak jauh. Sebab, mereka jadi tidak usah terburu bangun pagi-pagi lagi namun nyatanya di balik hal menyenangkan itu ternyata menjadi penderitaan untuk banyak jiwa, dan masing-masing mereka berharap bumi segera pulih. Tak apa jikalau mereka harus bangun pagi-pagi dan pulang petang daripada harus terkurung didalam rumah, ketakutan dan melihat tangisan pada setiap raga yang merasa kehilangan.
Tiga bulan lamanya perkembangan Covid-19 belum juga membaik—yang ada hanyalah berita tentang perpanjangan Sosial distancing dan terus saja begitu. Lewat chat grup yang beranggotakan tiga orang yaitu, Anin, Abel dan Lerina. Mereka tengah bertukar cerita mengenai keluh kesah masing-masing, Ada Abel yang putus dengan pacarnya yang sudah menjalin hubungan kurang lebih dua tahun, Abel harus memikul rasa sakit bertubi karena dua dari orang tersayangnya pergi, sedangkan Lerina yang harus mendengar kabar mobil yang Amam tumpangi tewas terbakar usai tertabrak truk dan tidak ada yang selamat dalam kecelakaan tersebut. Entah ini adalah vibrasi dari rasa takut yang kemudian hinggap dan merenggut supaya kita tersadar atau karna ucapan yang tak senonoh kemudian terkabulkan?
Sebelum pandemi Lerina dan Amam terus bertengkar, namun masing-masing keduanya enggan berpisah. Bersyukurnya Anin yang masih memiliki keluarga yang utuh, bisnis ayahnya pun tetap berjalan saat Anin mencoba memberi ide ayahnya untuk berjualan secara online.
Anin menutup ponselnya saat teman-temannya menyudahi percakapan di antara mereka.
Kemudian Anin duduk di taman dekat rumahnya yang kini sepi, terdapat sosok pemuda dengan kaos polos dan celana panjang yang pas dipadukan dengan tubuh tinggi serta berwajah tampan. Pria itu menghampiri Anin dan duduk pada ayunan kosong di sebelahnya.
“Kenapa di luar?,” Tanya Aden sambil menengok ke arah Anin.
Namanya Aden Dimas Mahanta, dia adalah tetangga Anin sejak dua tahun lalu dan berlajar di sekolah yang sama, hanya saja menurut Anin mereka berdua tidak cukup akrab untuk dibilang sebagai seorang teman. Berbeda dengan Aden, terlihat dari gerak-geriknya tidak ada rasa canggung sedikitpun dari pemuda itu.
Mata elang, hidung mancung serta warna kulit tan yang membuatnya semakin terlihat menawan, Anin sedikit memujanya di dalam hati.
"Bosen di dalem terus. Keluar karena di sini sepi tapi kamu malah nyamperin,” Jawab Anin tanpa melihat ke arah Aden.
Anin sepenuhnya tidak berbohong, saat ia duduk di balkon kamarnya dan pandangannya tertuju pada taman yang sepi walau sebelumnya amat ramai, banyak anak kecil yang bermain dan bahkan Anin dapat melihat beberapa diantara mereka yang kerap menangis berebut ayunan yang dapat ia amati dari balkon kamarnya.
Pemuda beragama Hindu tersebut hanya bisa terkekeh.
“Ngga baik di luar kelamaan. Ayo pulang," Ajaknya
“Dih ngatur,” Pandangan Anin masih lurus ke depan
“Yaudah kalo nggak mau,” Pemuda itu beranjak pergi dengan kedua tangan yang dimasukkan pada saku celananya.
“Berarti lu mau terjangkit virus terus ayah ibu lu nangis?” Ucap Aden sambil kembali menengok ke arah Anin.
Aden mengerti kelemahan terbesar Anin ada pada keluarganya. Melihat Anin yang sudah mengikutinya dari belakang membuat langkahnya terhenti, menunggu kaki pendek itu berjalan sejajar dengan kaki jenjangnya. Aden meyakini setiap ucapan adalah do’a, meski begitu dia pun berucap dalam hatinya “Jangan pernah membebani Anin, Tetaplah senantiasa menyertai Anin, Tuhan,” seolah do’a tersebut ia panjatkan untuk membatalkan perkataan yang ia ucapkan kepada Anin.
“Kalau pandemi ini berakhir hal pertama yang bakal lu lakuin apa?,” tanya Aden kepada Anin, langkahnya sengaja diperlambat meski rumah Anin sudah dekat di depan sana.
Terlihat Anin tengah berpikir sambil melihat kearah slop berwarna putih yang ia kenakan saat ini.
“Nulis,” Ia menjawab sambil menengadah menatap wajah Aiden yang memang jauh lebih tinggi, kemudian pandangannya turun melihat jalanan yang amat sepi.
“Aku mau mengabadikan momen ini. Dimana aku ngga bisa main bareng Abel dan Lerina. Ayah dan ibu yang hampir bangkrut. Dan aku yang ngga bisa lihat tangisan anak-anak yang berebut ayunan di taman,” jawab Anin sambil terus melihat ke depan.
Aiden tersenyum. Jawabannya terdengar simple, namun Anin belum pernah berbicara sepanjang itu dengannya. Hingga tak terasa dua manusia itu telah berdiri di hadapan pagar kayu
“Aku masuk,” ucapnya
“Iya,"ucapnya sambil tersenyum, pemuda berinisial ADM itu melambaikan tangan.
Gadis itu memasuki halaman rumahnya dan menutup kembali pagarnya hingga punggungnya tak nampak dalam penglihatan Aden. Ada sedikit penyesalan dalam benaknya mengajak Anin pulang, jadilah dia tidak dapat melihat wajah menggemaskan itu namun dari pada terus memberi makan egonya dan jikalau ada yang melihat kemudian berpikiran yang bukan-bukan.
Sudah 5 menit dia berdiri di depan gerbang sambil berharap Anin melambaikan tangannya di atas pada balkon kamarnya. Akhirnya dengan langkah goyah dia berjalan meninggalkan tempat tersebut.
Di sisi lain, Anin tahu Dimas sudah berdiri di sana sambil melihat kemari cukup lama, namun alih-alih menampakkan diri dan dan melambai seperti harapan Dimas—gadis itu hanya mengamati dari dalam dengan semangkuk sereal ditangannya.
Penulis: Siti Maemuna
Editor: Meina Maspupah