Sumber Foto: Pinterest
Ramadhan kali ini bertepatan dengan momen pasca pemilu, pemilihan presiden dan anggota legislatif. Beberapa hari lagi, 20 Maret 2024 pengumuman hasil pemilu akan diinformasikan kepada publik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tapi, prediksi kemenangan sudah ada berdasarkan hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga survei atau pantauan hitung asli yang dilakukan KPU. Untuk pemilihan presiden dan wakilnya, kemenangan diprediksi menjadi milik pasangan 02, Prabowo-Gibran.
Momen Pemilu kemarin diakui atau tidak, diwarnai banyak drama dan permainan politik. Kemenangan pasangan 02 sendiri kemudian tidak diterima oleh lawan-lawan yakni kubu 01 dan 03.
Saat ini, dua kubu yang kalah sedang melawan dengan senjata "angket". Sebuah senjata yang dimiliki oleh para wakil rakyat di lingkungan parlemen. Entah hasilnya nanti akan seperti apa, yang jelas, perlawanan melalui angket itu memang tidak akan mengubah hasil pemilihan. Dalam tulisan ini, saya pun tidak akan mengulas mengenai itu.
Biarlah urusan angket menjadi fokus lawan-lawan politik pasangan 02 dengan koalisinya, Koalisi Indonesia Maju (KIM). Mumpung Ramadan, tulisan ini dibuat untuk mengajak kita semua evaluasi, khususnya mengevaluasi apa yang telah terjadi dan menjadi kontroversi ketika Pemilu dan sebelum-sebelumnya. Pemilu 2024 ini, seperti diketahui banyak unsur-unsur di luar "nurulnya". Penguasa secara terang-terangan memihak untuk meloloskan kepentingan segelintir pihak, konstitusi juga dilabrak, diutak-atik.
Di samping itu, selama prosesnya, semua antek-antek untuk tidak menyebut pegawai pemerintah juga ikut camput. "Pipilueun" memenangkan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Antek-antek itu kemudian menggunakan berbagai instrumen kebijakan untuk memuluskan kepentingannya. Kebijakan sembako untuk masyarakat, bantuan sosial dan sebagainya. Semua itu disalahgunakan menjadi amunisi kampanye. Meski timbul dalih dan perdebatan, toh banyak pihak yang menduga kuat ada kecenderungan ke arah sana.
Bulan Ramadhan ini, harus membuat kita semua dan pihak-pihak yang terlibat dan memperhatikan proses pemilu merenung, apa yang telah dilakukan ketika pemilu, atau sebelum-sebelumnya yang kurang sesuai dengan prinsip agama, yang melanggar aturan dan merugikan rakyat awam, semua harus diingat sebagai sebuah kekhilafan dan kesalahan yang perlu diperbaiki. Kesannya memang agak naif, tapi siapa tahu "barokah" bulan Ramadhan bisa membuat hati kita dan orang-orang tergerak.
Bagaimanapun, saya merupakan rakyat biasa, wong cilik yang merasa prihatin dengan kondisi politik dan kenegaraan di Indonesia. Lebih-lebih lagi setelah melihat dan mengikuti proses Pemilu kemarin. Ada ketakutan dan kekhawatiran tersendiri menyelimuti hati nurani, apa yang akan terjadi pada bangsa setelah ini? Apakah sikap-sikap penguasa dan segelintir elit akan terus seperti itu sampai beberapa waktu yang tidak bisa ditentukan (minimal satu periode kekuasaan)?
Ambisi manusia memang terkadang begitu mengerikan. Apalagi ambisi yang dimiliki oleh orang-orang yang punya power. Entah itu kekuasaan, kekayaan dan seterusnya. Meski beragama, terkadang sisi agamis itu dilupakan dan kalah oleh kekuatan sebuah ambisi dan nafsu.
Di bulan Ramadhan ini, saatnya ambisi dan nafsu-nafsu yang mendorong untuk berlaku kurang bijak kita kekang, jangan dipelihara.
Para penguasa, wakil-wakil rakyat dan pemangku kepentingan lain harus mulai menyadari tugasnya sebagai pelayan rakyat. Sebagai pemimpin, perlu diingat bahwa menjadi pemimpin artinya memikul tanggung jawab. Terlebih memimpin orang lain yang jumlahnya banyak, pikulan tanggung jawab itu tentunya semakin berat. Dan di hari kemudian (akhirat), kelak semua tanggung jawab itu akan dimintai pertanggungjawaban.
Bagi orang yang beragama, hal ini mestinya bisa menjadi sebuah pukulan dan peringatan keras. Tapi memang tergantung orangnya. Sebab beragama terkadang hanya formalitas dan identitas lahir, secara batiniah tidak mencerminkan sikap-sikap beragama. Namun tidak ada yang mustahil di hadapan Allah.
Maka saya berharap Allah melimpahkan hidayah dan rahmat-Nya bagi kita semua, para pejabat sampai rakyat biasa.
Semoga dengan hidayah dan rahmat-Nya, kita semua bisa mengevaluasi dan menyadari apa yang selama ini menjadi kekeliruan. Semoga kelak evaluasi dan kesadaran itu juga mampu menciptakan sebuah perubahan yang revolusioner. Mampu mengubah wajah bangsa menjadi lebih baik, mampu menyelesaikan masalah-masalah rumah tangganya (di lingkup ekonomi, sosial, pendidikan) dan mampu meraih cita-cita yang diimpikan bersama (Indonesia Emas 2045 dan Net Zero Emission tahun 2050).
Tentunya, ramadhan yang baik ini jangan hanya dijadikan sebagai bulan evaluasi secara kolektif. Secara individu, kita juga perlu menjadikan ramadan sebagai waktu untuk muhasabah diri.
Ramadhan harus membuat kita menjadi pribadi yang lebih beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Semoga kita semua berhasil meraih kemenangan di bulan yang di dalamnya terdapat momen Lailatul Qadar dan Nuzulul Qur'an.
Penulis: Ega Adriansyah
Editor: Zahra Mega
"Orang Timur dilarang menguasai wilayah Jawa", seru seorang yang ada pada barisan aksi aliansi ormawa hari Jumat (8/3). Atas dasar apa kalimat rasis ini begitu lantang dalam riuh suasana memperjuangkan "demokrasi"? Iya benar, kalimat itu semburat ke salah seorang yang rambutnya ikal dan kulitnya sedikit lebih gelap. Lalu apakah penekanan pada orang timur termasuk dalam tuntutan dari aksi yang mengatasnamakan aliansi ormawa?
Memang saat ini isu sara kerap kali diwajarkan dalam tujuan komedi. Pasalnya komedi sara termasuk kategori dark jokes yang secara teoritis ada tujuannya, yakni mencairkan hal yang tabu untuk dibicarakan. Lelucon ini idealnya menghadirkan unsur satire yang mendobrak stigma-stigma yang ada di masyarakat. Namun menjamurnya dark jokes membuat arah itu hanya sekadar celetukkan yang mencari gelak tawa. Kemudian kita dihadapkan dengan dua pertanyaan. Pertama, apakah teriakan itu berupaya mencairkan nilai-nilai yang kaku di masyarakat? Jelas tidak, pasalnya teriakan itu sengaja ditekankan pada mantan presma terpilih. Kedua, apakah aksi itu celetukkan yang mencari gelak tawa saja? Jika iya, sila direnungkan.
Tulisan ini tidak ada maksud sama sekali membela jabatan presma yang resmi dibatalkan. Namun di mana peran instansi pendidikan yang jelas menginginkan kecerdasan kehidupan bangsa? Ketika perkataan rasis itu mengudara dan di depannya terlihat dua wakil rektor yang dikerumuni pendemo. Penulis tidak melihat birokrat kampus yang turun gunung mengatasi permasalahan rasis ini. Justru yang diatasi hanya isu kontinuitas, yakni Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK) di ruangan lantai dua gedung rektorat.
Jika membicarakan kesetaraan, siapapun menginginkannya. Namun dalam situasi aksi beberpa hari lalu, rasa-rasanya tidak perlu mengharapkan kesetaraan. Pasalnya ada momen seorang yang didalangkan pembentukkan Panitia Pemilihan Mahasiswa Institut mengklarifikasi pelanggaran POK. Namun belum selesai bicara, suara itu sudah dihantam dengan pertanyaan "kamu berbicara sebagai apa?" oleh wakil rektor II. Bahkan ia juga melebelkan premanisme terhadap tindakan pelanggaran POK. Lalu bagaimana kepekaan terhadap kesetaraan bisa sampai hingga permasalahan rasis tadi?
Penulis menerka-nerka pembelajaran apa yang ingin disampaikan pendidik kepada mahasiswa? Pasalnya mahasiswa diharapkan melampaui pengetahuan kontinuitas bukan? Yakni pendidikan dan pengajaran; penelitian dan pengembangan; serta pengabdian ke masyarakat. Jika memang terbukti dan pantas lebel itu disematkan kepada mahasiswa yang dididiknya, pastinya itu bermula dari pendidiknya.
Untuk menyegarkan proses menerka-nerka itu, mari ulang dengan pikiran positif. Anggap saja pendidik sekaligus pejabat kampus mungkin tidak mendengar umpatan rasis pada sela-sela riuh aksi. Maka, inilah fakta yang penulis dengar dan mungkin beberapa orang yang ada mendengar itu. Kemudian bagaimana mengatasi permasalahan tersebut? Sehingga ada keamanan dan kenyaman kami untuk kesetaraan sekalipun berangkat dari perbedaan.
Penulis: Raihan Athaya
Sumber foto dokumentasi LPM FatsOeN
Sebuah kontroversi muncul di IAIN Syekh Nurjati Cirebon terkait tuntutan yang dituduh melibatkan interupsi dari pihak Warek 3 dalam proses demokrasi kampus. Pada Jumat (24/3), aliansi mahasiswa melakukan aksi tuntutan, mengekspresikan ketidakpuasan terhadap pemilihan Senat Mahasiswa Institut (Sema) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut (Dema).
Berbicara tentang tuntutan tentu harus ada dasar hukum dan panduan tersendiri, apalagi dalam sebuah demokrasi yang belandasan hukum untuk berorganisasi.
Dalam aliansi yang telah terjadi sekarang pada jumat ( 03/24) banyak sekali beranggapan bahwa aliasi tersebut bukanlah asas dari demokrasi melainkan ada sebuah kepentingan indivudalisme di dalam nya, karena pada dasarnya saat tuntutan tersebut orang yang mungkin sudah tidak lagi bersangkutan dengan mahasiswa kemudian di bawa, ini menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi seluruh mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Sebuah pernyataan dari salah seorang mahasiswa menyebutkan bahwa keterlibatan Warek 2 menjadi sorotan, terutama saat audiensi dengan Warek 3. "Pak Ilman yang memang paham terhadap POK (Pedoman Organisasi Kemahasiswaan) dan PUOK (Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan), menyinggung Pak Hajam karena dianggap tidak paham. Tetapi tujuannya tetap untuk menandatangani tuntutan dengan Pak Hajam sebagai Warek 3" ungkapnya, menciptakan tanda tanya terkait kejelasan tujuan tuntutan tersebut.
Apakah itu yang di ajarkan kepada kami para mahasiswa IAIN Syekh Nurjati tentang dari praktek berdemokrasi ? Sedangkan sangat berjauhan sekali dengan materi yang telah di ajarkan kepada kami.
Sumber: POK
Semestinya dalam berdemokrasi tentu berlandasan hukum tidak dengan interverensi pihak yang memang sudah tidak lagi berwenang di dalam nya. Bahkan jika kita lihat dari proses aliansi jumat (03/24), jalur koordinasi dan intruktif kurang tepat sasaran, Karena dalam POK yang di jelaskan bahwa jalur intruktif yang seharusnya Dema dan Sema Fakultas adalah melalui Dekan dan Wadek III. Lantas bagaimana bisa hal itu meranah ke intruktif ke Warek III ?
Hal ini menjadi sorotan "apakah organisasi Dema dan Sema Fakultas tidak berlandasan POK? "
Dalam sebuah hukum tentu ada arah serta maksud dan tujuan mengapa bisa ada jalur koordinatif dan intruktif, hal ini bermaksud menjadi fokus yang dimana dalam aturn birokrasi tentu ada wilayah wewenang setiap kebijakan, Contohnya Dema dan Sema Institut yang mempunyai wilayah dan wewenang mutlak di UKM/UKK. Namun, jika ranahnya adalah Dema dan Sema Fakultas, wilayah yang seharusnya menjadi fokus yakni Himpunan Mahasiswa di setiap jurusan yang ada di fakultas nya, Namun realita yang terjadi saat ini tidak lah sesuai dengan apa yang berada dalam POK.
Bahkan yang lebih miris adalah hasil dari audiensi merencanakan pembentukan ulang Panitia Pemilihan Mahasiswa Institut (PPMI) pada hari rabu mendatang.
Meskipun tindakan aliansi dianggap sah, pertanyaan tetap muncul mengenai konsistensi dengan aturan instruktif dan koordinatif yang seharusnya menjadi pedoman tertinggi dalam berorganisasi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Penulis : Alfi
Editor : Tina Lestari