"Orang Timur dilarang menguasai wilayah Jawa", seru seorang yang ada pada barisan aksi aliansi ormawa hari Jumat (8/3). Atas dasar apa kalimat rasis ini begitu lantang dalam riuh suasana memperjuangkan "demokrasi"? Iya benar, kalimat itu semburat ke salah seorang yang rambutnya ikal dan kulitnya sedikit lebih gelap. Lalu apakah penekanan pada orang timur termasuk dalam tuntutan dari aksi yang mengatasnamakan aliansi ormawa?
Memang saat ini isu sara kerap kali diwajarkan dalam tujuan komedi. Pasalnya komedi sara termasuk kategori dark jokes yang secara teoritis ada tujuannya, yakni mencairkan hal yang tabu untuk dibicarakan. Lelucon ini idealnya menghadirkan unsur satire yang mendobrak stigma-stigma yang ada di masyarakat. Namun menjamurnya dark jokes membuat arah itu hanya sekadar celetukkan yang mencari gelak tawa. Kemudian kita dihadapkan dengan dua pertanyaan. Pertama, apakah teriakan itu berupaya mencairkan nilai-nilai yang kaku di masyarakat? Jelas tidak, pasalnya teriakan itu sengaja ditekankan pada mantan presma terpilih. Kedua, apakah aksi itu celetukkan yang mencari gelak tawa saja? Jika iya, sila direnungkan.
Tulisan ini tidak ada maksud sama sekali membela jabatan presma yang resmi dibatalkan. Namun di mana peran instansi pendidikan yang jelas menginginkan kecerdasan kehidupan bangsa? Ketika perkataan rasis itu mengudara dan di depannya terlihat dua wakil rektor yang dikerumuni pendemo. Penulis tidak melihat birokrat kampus yang turun gunung mengatasi permasalahan rasis ini. Justru yang diatasi hanya isu kontinuitas, yakni Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK) di ruangan lantai dua gedung rektorat.
Jika membicarakan kesetaraan, siapapun menginginkannya. Namun dalam situasi aksi beberpa hari lalu, rasa-rasanya tidak perlu mengharapkan kesetaraan. Pasalnya ada momen seorang yang didalangkan pembentukkan Panitia Pemilihan Mahasiswa Institut mengklarifikasi pelanggaran POK. Namun belum selesai bicara, suara itu sudah dihantam dengan pertanyaan "kamu berbicara sebagai apa?" oleh wakil rektor II. Bahkan ia juga melebelkan premanisme terhadap tindakan pelanggaran POK. Lalu bagaimana kepekaan terhadap kesetaraan bisa sampai hingga permasalahan rasis tadi?
Penulis menerka-nerka pembelajaran apa yang ingin disampaikan pendidik kepada mahasiswa? Pasalnya mahasiswa diharapkan melampaui pengetahuan kontinuitas bukan? Yakni pendidikan dan pengajaran; penelitian dan pengembangan; serta pengabdian ke masyarakat. Jika memang terbukti dan pantas lebel itu disematkan kepada mahasiswa yang dididiknya, pastinya itu bermula dari pendidiknya.
Untuk menyegarkan proses menerka-nerka itu, mari ulang dengan pikiran positif. Anggap saja pendidik sekaligus pejabat kampus mungkin tidak mendengar umpatan rasis pada sela-sela riuh aksi. Maka, inilah fakta yang penulis dengar dan mungkin beberapa orang yang ada mendengar itu. Kemudian bagaimana mengatasi permasalahan tersebut? Sehingga ada keamanan dan kenyaman kami untuk kesetaraan sekalipun berangkat dari perbedaan.
Penulis: Raihan Athaya
Sumber foto dokumentasi LPM FatsOeN
Sebuah kontroversi muncul di IAIN Syekh Nurjati Cirebon terkait tuntutan yang dituduh melibatkan interupsi dari pihak Warek 3 dalam proses demokrasi kampus. Pada Jumat (24/3), aliansi mahasiswa melakukan aksi tuntutan, mengekspresikan ketidakpuasan terhadap pemilihan Senat Mahasiswa Institut (Sema) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut (Dema).
Berbicara tentang tuntutan tentu harus ada dasar hukum dan panduan tersendiri, apalagi dalam sebuah demokrasi yang belandasan hukum untuk berorganisasi.
Dalam aliansi yang telah terjadi sekarang pada jumat ( 03/24) banyak sekali beranggapan bahwa aliasi tersebut bukanlah asas dari demokrasi melainkan ada sebuah kepentingan indivudalisme di dalam nya, karena pada dasarnya saat tuntutan tersebut orang yang mungkin sudah tidak lagi bersangkutan dengan mahasiswa kemudian di bawa, ini menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi seluruh mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Sebuah pernyataan dari salah seorang mahasiswa menyebutkan bahwa keterlibatan Warek 2 menjadi sorotan, terutama saat audiensi dengan Warek 3. "Pak Ilman yang memang paham terhadap POK (Pedoman Organisasi Kemahasiswaan) dan PUOK (Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan), menyinggung Pak Hajam karena dianggap tidak paham. Tetapi tujuannya tetap untuk menandatangani tuntutan dengan Pak Hajam sebagai Warek 3" ungkapnya, menciptakan tanda tanya terkait kejelasan tujuan tuntutan tersebut.
Apakah itu yang di ajarkan kepada kami para mahasiswa IAIN Syekh Nurjati tentang dari praktek berdemokrasi ? Sedangkan sangat berjauhan sekali dengan materi yang telah di ajarkan kepada kami.
Sumber: POK
Semestinya dalam berdemokrasi tentu berlandasan hukum tidak dengan interverensi pihak yang memang sudah tidak lagi berwenang di dalam nya. Bahkan jika kita lihat dari proses aliansi jumat (03/24), jalur koordinasi dan intruktif kurang tepat sasaran, Karena dalam POK yang di jelaskan bahwa jalur intruktif yang seharusnya Dema dan Sema Fakultas adalah melalui Dekan dan Wadek III. Lantas bagaimana bisa hal itu meranah ke intruktif ke Warek III ?
Hal ini menjadi sorotan "apakah organisasi Dema dan Sema Fakultas tidak berlandasan POK? "
Dalam sebuah hukum tentu ada arah serta maksud dan tujuan mengapa bisa ada jalur koordinatif dan intruktif, hal ini bermaksud menjadi fokus yang dimana dalam aturn birokrasi tentu ada wilayah wewenang setiap kebijakan, Contohnya Dema dan Sema Institut yang mempunyai wilayah dan wewenang mutlak di UKM/UKK. Namun, jika ranahnya adalah Dema dan Sema Fakultas, wilayah yang seharusnya menjadi fokus yakni Himpunan Mahasiswa di setiap jurusan yang ada di fakultas nya, Namun realita yang terjadi saat ini tidak lah sesuai dengan apa yang berada dalam POK.
Bahkan yang lebih miris adalah hasil dari audiensi merencanakan pembentukan ulang Panitia Pemilihan Mahasiswa Institut (PPMI) pada hari rabu mendatang.
Meskipun tindakan aliansi dianggap sah, pertanyaan tetap muncul mengenai konsistensi dengan aturan instruktif dan koordinatif yang seharusnya menjadi pedoman tertinggi dalam berorganisasi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Penulis : Alfi
Editor : Tina Lestari
Cirebon, LPM FatsOeN - Pertanyaan besar muncul pasca pemilihan Ketua Senat Mahasiswa (Sema) yang baru. Apakah alasan pengunduran diri salah satu calon Ketua Sema yang sebelumnya ada dua? Mengenai ini, Ketua Panitia Pemilihan Mahasiswa Umum (PPMU), Iman Sariman memberikan beberapa penjelasan.
Menurut Iman, pengunduran diri calon Sema-I tersebut didasarkan pada pertimbangan pribadi yang tidak dapat dijelaskan secara detail.
"Ini kita langsung dari beliau langsung. Saya dapat konfirmasi dari beliau sendiri. Ada beberapa pertimbangan yang bersifat pribadi yang tidak bisa dijelaskan oleh beliau, yang jadinya beliau mengundurkan diri," ungkapnya.
Dia melanjutkan, ketika ditanya mengenai pertimbangan yang membuat salah satu calon kandidat mundur, calon tersebut tidak memberikan penjelasan yang detail.
"Beliau tidak menjelaskan secara detail, makanya tidak rasional ketika beliau menjelaskan alasan tersebut," tambahnya.
Selain pertimbangan pribadi, calon tersebut juga menyatakan bahwa ada kandidat lain yang dianggap lebih kompeten.
"Ada yang lebih berkompeten dari beliau yang mengundurkan diri dari calon anggota Sema yang lain. Silahkan pilih dari calon anggota tersebut dan pasti ada yang lebih berkompeten daripada saya," ujar Iman menirukan pernyataan calon Ketua Sema yang mengundurkan diri.
Meskipun berkas para calon diklaim lengkap, keputusan untuk mundur tetap diterima oleh PPMU. Karena hal itu menjadi bagian dari hak yang mencalonkan.
Adapun menanggapi dugaan ada tekanan dari pihak tertentu, Iman menyatakan tidak bisa memastikan ada tekanan. Akan tetapi dia tetap menyatakan ada kemungkinan bahwa dugaan itu ada.
"Kami tidak bisa memastikan adanya tekanan, tapi kemungkinan ada. Ini menjadi pertanyaan besar karena tidak ada satupun yang hadir dari pihak bendera biru kuning dalam acara musema dan mudema Mereka sempat hadir sebelum acara berlangsung, ketika pending mereka tidak ada yang hadir. Nah ini kemana? Ini kan pertanyaan besar" ungkap Ketua PPMU.
Iman sebetulnya menyayangkan ketidakhadiran calon Ketua Sema tersebut dan menganggapnya sebagai bentuk pengunduran diri tidak langsung.
"Urusan menang dan kalah itu hal yang wajar di demokrasi di pemilihan gitu, tapi ketika ketidakhadiran mereka itu menjadi tanda tanya besar dan memang butuh klarifikasi dan surat pernyataan. Kenapa mereka tidak hadir atau tanda kutip nya mereka mengundurkan diri dari pencalonan itu sendiri dengan ketidakhadiran mereka kan otomatis. Mungkin secara tidak langsung mereka mengundurkan diri baik dari calon anggota Sema, calon Ketua Sema ataupun calon Ketua Dema, karena saya merasa tidak ada dari pihak mereka, tidak ada yang mencalonkan diri," tegasnya.
Meski mempertanyakan kehadiran tersebut, Iman tetap berpikir akan kemungkinan lain yang membuat diantidak hadir. Misalnya seperti ada sebuah kesibukan, atau kegiatan yang tak bisa mereka batalkan.
"Semoga asumsi saya itu tidak benar, mungkin mereka ada kesibukan lain atau kegiatan lain yang dimana mereka tidak bisa membatalkan pertemuan tersebut sehingga tidak bisa hadir ke Musema dan Mudema yang diadakan hari ini," pungkasnya.
Meskipun demikian, Iman mengingatkan semua informasi ini masih sebatas prediksi dan asumsi pribadi. Sehingga dia berharap rekan-rekan media/pers dapat membantu mengoreksi dan mendapatkan klarifikasi lebih lanjut dari pihak yang bersangkutan.
Reporter: Annita Syari'ach
Penulis: Tina Lestari
Editor: Ega Adriansyah