Cirebon, LPM FatsOeN - Sidang pemilihan Ketua Senat Mahasiswa (Sema) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) berlangsung tertutup. Hal ini kemudian memunculkan banyak pertanyaan dari mahasiswa terkait alasan dari kebijakan sidang itu. 

Ketua PPMU, Iman Sariman, menjelaskan, keputusan menggelar sidang secara tertutup merupakan hasil kesepakatan panitia PPMU. Sebelumnya, Sema berencana melakukan Pemilihan Raya (Pemira), tapi terkendala oleh jadwal libur kampus dan kesulitan membentuk panitia di awal Februari.

"Kesepakatan panitia di forum online (Google Meet) sepakat (memutuskan untuk) melaksanakan kegiatan (Pemilwa) seperti tahun kemarin yakni dengan keterwakilan dari anggota Senat Mahasiswa untuk pemilihan pemilu," ujar Iman.

Namun, keputusan ini menuai pertanyaan dari mahasiswa. Utamanya terkait pelaksanaan Musyawarah Dewan Eksekutif Mahasiswa (Mudema) yang bersamaan dengan kegiatan wisuda IAIN Syekh Nurjati Cirebon pada tanggal 5 dan 6 Maret 2024. 

Sejumlah mahasiswa menanyakan, bagaimana Musema dan Musema bisa dilaksanakan tanpa adanya Laporan Pertanggungjawaban (LPJ)?

Ketika ditanya tentang LPJ itu, Iman Sariman menegaskan bahwa LPJ tersebut bukanlah tanggung jawab PPMU. Meskipun mengakui belum disampaikannya LPJ Dema, Iman memandang bahwa pemilihan harus tetap terlaksana meskipun LPJ belum dipresentasikan.

"Tapi kalo kita mau nunggu LPJ Dewan Eksekutif Mahasiswa mau sampai kapan? Ini mau dilaksanakan (kapan) pemilihan ini? Oke boleh lah kita anggap ini melanggar etis, yang penting ini terlaksana, karena molor nya LPJ ini bukan salah dari penyelenggara acara yaitu sema karena memang dari Dema-nya sendiri," ungkanya.

"Entah itu tidak mau entah itu ketakutan entah apapun itu alasannya, mereka itu (telah) mangkir dari panggilan Sema (ketika disurati). Pak Warek telpon sudah, dari media massa pun sudah tersebar isu isu tersebut untuk LPJ dan sebagainya. Tapi mana buktinya? sampai sekarangpun beliau tidak mau LPJ-an," lanjut Iman.

Iman menyampaikan, dia merasa prihatin terhadap keterlambatan LPJ Dema dan menyoroti tanggung jawab dari Dema. Ia mencoba memberikan gambaran dari pengalamannya tahun sebelumnya. Menggambarkan bahwa kurangnya pertanggungjawaban dari kepengurusan sebelumnya adalah suatu masalah.

"Berarti kepengurusan Dema kemarin, mereka berani berbuat tapi mereka tidak berani bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Entah itu program kerja yang mereka lakukan (dan sebagainya). Tapi tidak mau mempertanggungjawabkan hasil program tersebut," tegas Iman Sariman.

Iman berharap, Ketua Formatur terpilih tetap mau mengawal dan memastikan LPJ Dema disampaikan dengan segera dan jelas. Apakah dilakukan secara tertutup ataupun terbuka, ia menekankan, yang penting transparansi dalam menyajikan pertanggungjawaban organisasi itu ada.


Penulis: Annita Syariach

Editor: Tina Lestari & Ega Adriansyah

 

Ilustrasi Foto: Canva.com 

Beberapa waktu ke belakang, saya menjadi bagian dari panitia Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Sekarang sedang bertransformasi menjadi UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (UIN SSC). Di Divisi Media. Pemilwa merupakan kegiatan yang rutin diadakan setiap tahun/periode. Tujuannya untuk memilih siapa Ketua Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) dan Senat Mahasiswa (Sema). Di mayoritas kampus kita mengenal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). 

Dalam proses penyelenggaraannya, terjadi beberapa (dalam bahasa saya) drama yang mengundang kritik dari mahasiswa (yang mengikuti proses Pemilwa). Seperti terasa diburu-buru, agenda-agendanya sempat beberapa kali ditunda, dikatakan banyak yang tidak berminat masuk Dema maupun Sema (sebab minat berorganisasi mahasiswa dinilai menurun), musyawarahnya diadakan tertutup, berbarengan dengan acara Wisuda dan seterusnya. Cukup banyak. 

Dalam kapasitas saya menjadi panitia, tulisan ini memang terkesan mengkritisi kesalahan sendiri. Tapi perlu diketahui, selama proses pemilihan, dari persiapan sampai pelaksanaan saya kurang mampu memberikan kontribusi yang maksimal. Selain karena saya jarang berada di kampus (sebab tidak ngekos/ngontrak), ada beberapa kegiatan yang sedang saya jalani juga. Seperti magang sampai bulan Juni mendatang, mengikuti kegiatan Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Jawa Barat di Tasikmalaya dan menjadi koordinator pelaksana Istighasah Kubra Hadiyu serta Pawai Obor di desa. 

Namun jika ada yang mengesankan berbeda. Silahkan. Itu hak pribadi masing-masing. Yang jelas, tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kepedulian saya terhadap teman-teman mahasiswa khususnya di IAIN dan Kabupaten/Kota Cirebon. Beberapa drama itu dinilai oleh seorang kontributor tulisan di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FatsOeN, Udin, sebagai bentuk/indikasi bahwa demokrasi di kampus sedang sakit. Apalagi dalam prosesnya juga diwarnai ketidakhadiran Ketua Umum Dema ketika Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) berlangsung dan musyawarahnya digelar tertutup.

Saya memandang bahwa yang dikatakan oleh Udin tidak salah. Prinsip demokrasi memang mengedepankan keterbukaan, kejujuran, keadilan dan partisipasi dari semua pihak. Dalam proses pemilihan itu, tidak semua mahasiswa memilih siapa yang akan menjadi Ketua Umum Dema maupun Sema. Karena konsep pemilihannya adalah delegasi. Detail yang dimaksud delegasi (dalam Pemilwa IAIN) seperti apa saya kurang terlalu paham. 

Saya bertanya kepada seorang teman mahasiswa yang magang bersama, "Apakah kamu tahu dan peduli ada pemilihan mahasiswa di kampus?", Dia menjawab, "Tidak tahu dan tidak peduli," begitu jawabnya. Dari sini, kita bisa melihat bahwa prinsip demokrasi dalam pemilihan mahasiswa di kampus memang kurang begitu dijalankan. Dan hal ini menurut saya perlu menjadi perhatian sekaligus renungan bersama. 

Saya sering mendengar bahwa para mahasiswa menggaungkan narasi bahwa demokrasi di kampus telah mati. Begitupun demokrasi dalam konteks nasional. Mereka begitu kritis terhadap proses demokrasi yang berlangsung di sekitarnya. Mereka begitu idealis menjunjung apa yang disebut sebagai "sebenar-benarnya demokrasi". Namun, dalam pelaksanaan Pemilwa ini, saya melihat ada kontradiksi antara idealisme dengan realita/tindakan nyata mereka dalam menjalankan proses demokrasi.

Hal demikian tentu menjadi sesuatu yang miris. Dan katanya, proses pemilihan seperti ini sudah berlangsung sejak beberapa periode ke belakang (jika keliru boleh dikoreksi). Saya kira, seharusnya teman-teman mahasiswa yang selama ini menggaungkan narasi-narasi yang idealis tentang demokrasi malu. Saya pun sebagai bagian dari mahasiswa di IAIN merasa malu. Utamanya karena belum bisa mengawal prosesnya menjadi lebih sesuai dengan prinsip demokrasi. 

Selain malu, saya juga khawatir terhadap keberlangsungan demokrasi dan politik negara. Para mahasiswa, di IAIN atau kampus lain merupakan generasi/tonggak penerus kepemimpinan nasional, daerah sampai desa. Jika sedari mahasiswa budaya-budaya menjalankan demokrasi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang fundamentalnya dipelihara, bagaimana jadinya jika mereka menjadi penerus dan menduduki posisi-posisi penting di lingkungan pemerintah nanti. 

Pikiran liar saya terkadang berkata. "Apakah budaya-budaya seperti ini umum di lingkungan kampus?", Jika umum, bukan hanya terjadi di IAIN, pantas saja jika kualitas demokrasi, penyelenggaraan pemerintahan kita dan perilaku aktor yang terlibat di dalamnya kurang positif. Masih diwarnai pelanggaran, manipulasi, KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan sebagainya. Sebab bagaimanapun, kampus merupakan tempat kelahiran para pejabat, pemangku kepentingan dan lainnya di masa depan. 

Saya kira, sekali lagi hal ini harus menjadi renungan bersama. Utamanya bagi Ketua Umum Dema dan Sema yang baru atau mahasiswa IAIN. Sebagai kalangan terdidik, yang mengemban tanggung jawab menjadi agen perubahan (agen of change), berfungsi sebagai kontrol sosial di lingkungan masyarakat dan teladan bagi masyarakat lain, ada baiknya mulai dari kampus kita jalankan proses demokrasi dengan baik. Menghindari ketidakterbukaan, kepentingan-kepentingan yang sifatnya negatif, mengedepankan egoisme pribadi maupun kolektif (golongan), dan lain-lain. 

Saya merupakan mahasiswa yang merasakan betul "multiplayer effect" dari demokrasi yang kurang baik. Saya aktif di desa. Bersama dengan teman-teman pemuda desa lain, saya sering mengadakan berbagai kegiatan sosial, keagamaan dan pendidikan. Melalui organisasi kepemudaan, yayasan, organisasi keagamaan dan sebagainya. Karena proses demokrasi di desa berjalan belum sebagaimana mestinya, terkadang dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan itu saya mendapat tantangan dan hambatan yang cukup menguras tenaga dan pikiran. 

Di samping itu, saya juga aktif menjadi pengurus Badan Usaha Milik Desa, sebuah badan/lembaga yang mengurus aktivitas usaha/perekonomian desa. Karena hal serupa, aktivitas pengembangan usaha/ekonomi desa akhirnya kurang berjalan maksimal. Menghasilkan Pendapatan Asli Desa (PADes) yang tidak begitu besar dan kurang berkontribusi mengatasi masalah kemiskinan, pendidikan masyarakat yang belum tinggi sampai pengangguran. 

Kenapa saya tidak protes? Kenapa saya dan teman-teman muda lain membiarkan hal itu terjadi? Jika ada yang belum paham, situasi di desa dan kampus itu berbeda. Berbeda jauh. Bahkan jauh sekali. Jika itu terjadi di kampus, saya berani menulis atau menggaungkan apa yang sesuai dengan prinsip demokrasi yang baik secara lantang. Di desa tidak bisa disamakan. Jika keberanian saya diimplementasikan secara "tidak dimodifikasi menjadi lebih soft dan mengedepankan diplomasi", akses saya untuk berkontribusi aktif di lingkungan sosial, pendidikan sampai ekonomi itu bisa terbatasi. Jadi, strateginya harus menyesuaikan. 

Tapi jika di desa, di daerah dan pusat pemerintahan itu diisi oleh "pensiunan-pensiunan" mahasiswa yang berintegritas dan punya idealisme demokrasi yang sejalan dengan tindakan, saya yakin proses penyelenggaraan pemerintahan di desa, daerah dan pusat akan berjalan lebih baik. Berdampak positif terhadap masyarakat, mampu membawa negara menghadapi tantangan-tantangan global/lokal yang sekarang mengemuka seperti climate change, krisis pangan, krisis air bersih, krisis energi, atau resesi, dan lain-lain. 

Penulis: Ega Adriansyah

 

Sumber Foto: Ica 
Formatur Ketua SEMA-DEMA

Cirebon, LPM FatsOeN - Sidang tertutup Musyawarah Senat Mahasiswa (Musema) dan Musyawarah Dewan Eksekutif Mahasiswa (Mudema) menetapkan Ahmad Luqman Hakim dan Rashid Mone sebagai Formatur Ketua Sema dan Dema pada (06/03) di Gedung Rektorat lt. 3.

Sidang tertutup Musyawarah Senat Mahasiswa (Musema) dan Musyawarah Dewan Eksekutif Mahasiswa (Mudema) menetapkan Ahmad Luqman Hakim dan Rashid Mone sebagai Formatur Ketua Sema dan Dema.

Penetapan dua orang formatur Ketua Umum Sema dan Dema itu memunculkan semangat baru di tengan situasi politik mahasiswa yang sedang ramai karena sidang Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) tak kunjung dilaksanakan dan transformasi IAIN menjadi UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (UIN SSC). 

Luqman, selaku formatur Ketua Sema mengatakan, setelah ini komunikasi kepada senior atau yang berpengalaman pada ranah legislatif kampus menjadi penting. Menurutnya, hal ini harus dilakukan guna mengoptimalkan kinerja Sema ke depannya.

"Kita akan merapat berkomunikasi dengan Agam selaku Ketum (Ketua Umum) Sema sebelumnya, terkait regulasi apa yang akan kita berikan untuk pengisian kursi-kursi yang kosong," ujar luqman.

Dia melanjutkan, Sema harus memenuhi 34 kursi yang ada di senat untuk mencapai tujuannya. Bahkan, ia berharap untuk bisa menjadi wadah yang selektif dan solutif bagi mahasiswa dan segala macam aspirasinya. 

"Oleh karena itu, hal ini menurutnya membutuhkan sinergisi antar organisasi mahasiswa, baik Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Sema-Dema Fakultas, Unit Kegiatan Mahsiswa/Khusus (UKM-UKK), serta Dema Institut. Terlebih dalam menghadapi pikiran-pikiran mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon," ujarnya. 

Ia menambahkan, saat ini sedang belajar tentang sesuatu apa saja yang harus ditempuh dan dipersiapkan ketika IAIN mulai bertransformasi menjadi UIN SSC. Pasalnya, ketika telah beralih, kemungkinan akan ada regulasi-regulasi organisasi dan lainnya yang berubah.

Di sisi lain, Rashid Mone, selaku formatur Dema terpilih mengungkapkan, bahwa ke depan harus ada beberapa perubahan dalam merespon isu-isu kampus. Utamanya isu Dema sebelumnya yang menuai banyak polemik. Sehingga, ia menegaskan akan ada perubahan dari internal Dema periode yang baru.

Ia percaya bahwa Dema sebelumnya banyak melakukan sesuatu demi kepentingan bersama. Namun ia menilai kurangnya transparasi dari ketuanya yang memperkeruh polemik, khususnya pada mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

"Kurangnya transparansi dari ketua memperkeruh polemik," katanya. 

Kemudian, ia juga merespon secara positif tuntutan-tuntutan yang dilakukan Dema Fakultas Syariah (Fasya) terhadap persoalan-persoalan ormawa di kampus.

"Saya kira kita harus memberikan ruang untuk dialog itu, kita memberikan audiensi untuk itu. Marilah kita sama-sama untuk mengawasi permasalahans eperti ini, sehingga apapun yang terjadi itu tidak menjadi problem," ungkap Rashid.

Selain itu, ia juga menyoroti sistem demokrasi di kampus ketika akan menghadapi peralihan IAIN ke UINSSC. Ia berharap kedepannya IAIN harus menggunakan sistem Pemilihan Raya (Pemira) dalam memilih Ketua Umum Sema dan Dema. Di mana sistemnya membuat setiap mahasiswa punya kesempatan dan ikut berpartisipasi dalam proses memilih Ketua Umum Sema dan Dema yang ada di kampus secara langsung. 


Penulis: Raihan Athaya

Editor: Ega Adriansyah

 

Photo Illustration: Zakariya Robbani 

Cirebon, LPM FatsOeN - Perbincangan seputar pesta demokrasi di Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) dan Senat Mahasiswa (SEMA) IAIN Syekh Nurjati Cirebon selalu menjadi topik yang tak pernah ada habisnya. Yang terkini adalah pelaksanaan pesta demokrasi yang dilakukan secara tertutup, dan bahkan bertabrakan dengan acara wisuda pada 5 Maret 2024.

Seorang mahasiswa yang juga peserta wisuda harus melaporkan pertanggungjawaban di tengah jadwal yang bertabrakan. Dalam kondisi seperti ini, seringkali mahasiswa dihadapkan pada pilihan sulit antara kewajiban sebagai anggota DEMA atau SEMA dengan momen istimewa wisuda.

Keputusan untuk menyelenggarakan acara musyawarah secara tertutup, yang bertabrakan dengan acara wisuda, menciptakan potensi kericuhan selama proses laporan pertanggungjawaban. Pentingnya kehadiran tokoh-tokoh penting dalam DEMA dan SEMA menjadi pertimbangan serius, namun keputusan tersebut memicu pertanyaan kritis.

"Jika ada salah satu orang terpenting dalam jabatan dewan ekskutif mahasiswa dan senat mahasiswa tidak hadir apakah laporan pertanggung jawaban itu dapat diterima?"

Lantas bagaimana mungkin mahasiswa, terutama yang akan melaksanakan laporan pertanggungjawaban, dapat membuat pilihan yang bijak di antara dua acara yang dianggap penting? Apakah sidang tertutup dapat membuktikan bahwa tidak ada permasalahan yang perlu dibahas dan diperbaiki di periode selanjutnya?

Kritik dan saran yang seharusnya muncul dalam demokrasi yang sehat dapat terhambat ketika sidang musyawarah dilakukan secara tertutup. Mahasiswa perlu mengetahui dengan jelas apa yang telah dikerjakan oleh DEMA dan SEMA selama satu periode, sehingga kesalahan-kesalahan dapat dijadikan pelajaran untuk periode berikutnya.

Namun, perkembangan demokrasi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, terutama sejak 2012, menjadi sorotan. Beberapa mahasiswa bahkan belum merasakan bagaimana suasana pemilihan presma secara demokratis. Hal ini menunjukkan adanya kekurangan dalam praktik demokrasi yang sehat di kampus tersebut.

Dalam melaksanakan demokrasi tentu pelaksanaannya secara terbuka agar supaya ketika mahasiswa yang tidak berada dalam kepengurusan DEMA dan SEMA itu dapat memberikan hak pendapatnya dan hak pilihnya dalam membangun organisasi DEMA dan SEMA menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Karena itu saya sangat menyarankan untuk meninjau kembali apa yang sudah di edarkan apakah dampak tersebut baik untuk kemaslahatan mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon atau tidak.

Dalam proses demokrasi peran dari DEMA dan SEMA dalam menggerakan demokrasi yang sehat itu sangat penting, karena pada dasarnya demokrasi tidak akan terlaksana jika tidak ada pemantiknya didalam demokrasi. Tentu pemantiknya adalah DEMA dan SEMA untuk mendobrak semangat mahasiswa agar dapat melaksanakan praktik dari demokrasi yang baik dan benar.

Tentu kami seluruh mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon merindukan betul dengan adanya suasana demokrasi yang terdahulu di laksanakan pada selasa (27/12) silam. Itu semua momentum yang di nantikan oleh seeluruh mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon untuk kembali seperti dahulu.
Mungkin hal ini cukup sulit untuk mengembalikan seperti dahulu, tapi bukan berarti tidak mungkin bukan untuk kembali lagi dalam suasan demokrasi yang sehat dan berkualitas?

Penulis: Udin
Editor: Tina Lestari

 

Sumber Foto: Akun Instagram Netflix 

Cirebon, LPM FatsOeN - Setelah sukses menghibur masa kecil kita dengan serial animasi,akhir nya Avatar the last airbander rilis serial live action,sebelum merilis versi serial, Avatar sudah terlebih dahulu menjadi film di tahun 2010 namun menghasilkan rating yang tidak di harapkan. Pada serial kali ini Avatar the last airbandder rilis di platfrom netflix ,serial ini tanyang perdana pada tanggal 22 februari 2024, sampai saat ini serial ini menduduki top 10 series di netflix.

Dalam serial Avatar: The Last Airbender Live Action banyak di perani oleh para aktor-aktor yang memiliki akting ya sangat memukau seperti: Gordon Cormier mengambil peran penting sebagai Aang. Selain itu ada juga Kiawentiio Tarbell (Katara), Ian Ousley (Sokka), Dallas Liu (Zuko), Maria Zhang (Suki), hingga Ruy Iskandar (Lieutenant Lee).

Dari deretan nama diatas ada satu nama yang menjadi pusat perhatian bagi para pecinta avatar di Indonesia, nama tersebut yaitu Ruy Iskandar (Lieutenant Lee) yang merupakan aktor keturunan darah Indonesia.

Series ini langsung di sajikan dengan 8 episode di season pertamanya, yang menyajikan bagaimana perjalanan Aang untuk menjadi sang avatar, mengutip dari laman resmi Netflix, sinopsis Avatar: The Last Airbender menggambarkan seorang bocah yang dikenal sebagai Avatar harus menguasai keempat elemen demi menyelamatkan dunia yang dilanda perang dan melawan musuh keji yang bertekad menghalanginya.

Mengutip dari laman resmi Netflix, sinopsis serial live action Avatar: The Last Airbender mengisahkan tentang keempat negara dengan elemen berbeda pernah hidup dalam harmoni yang mana Avatar hadir untuk menjaga perdamaian di antara mereka. Namun, kondisi berubah saat Negara Api menyerang dan berusaha untuk memusnahkan Pengembara Udara.

Situasi tersebut membuat dunia kehilangan harapannya, terlebih belum hadirnya sosok Avatar yang baru. Hingga akhirnya muncullah sosok bernama Aang yang dikenal sebagai Pengembara Udara terakhir. Meskipun awalnya ia hanya memiliki kekuatan elemen udara, seiring berjalannya waktu Aang mulai mengenal elemen-elemen yang lain. Sepanjang series penonton akan di manjakan dengan acting-acting bagus para aktor dan efek-efek cgi yang sangat memanjakan visual para penonton.

Lantas akankah Aang berhasil menguasai keempat elemen agar dapat menjadi Avatar selanjutnya? Agar mengetahui jawabannya, jangan lupa saksikan serial Avatar: The Last Airbender.

Penulis: Amri 

 

Sumber Foto: Dokumenter Penulis 

Cirebon, LPM FatsOeN - Jika diamati, akun Instagram IAIN Syekh Nurjati Cirebon sudah lama tidak aktif. Jarang memposting pamflet yang memuat informasi kegiatan dan lain-lain. 

Menurut seorang yang bertugas di bagian Humas IAIN bernama Irfan ketika diwawancara pada Rabu, (28/02/2024), ada beberapa hal yang menyebabkan akunnya sejak beberapa bulan lalu tidak aktif. 

"Akun tersebut sudah tidak aktif karena lupa password (kata sandi) dan kedua (diduga) telah terbajak," katanya. 

Dalam pemaparannya, pertama kali diketahui itu ketika Irfan ditugaskan untuk membuat pamflet tentang hiregistrasi. Seperti biasa, setelah selesai, Irfan langsung menyerahkan pamflet hasil kerjanya kepada Ardan selaku pengelola akun media Instagram tersebut. Namun, ketika hendak diposting akunnya tidak bisa dibuka karena Ardan lupa password akunnya apa. 

"Akibatnya, (mulai dari saat itu) segala informasi (tentang kegiatan kampus) yang seharusnya dipublikasikan kepada mahasiswa via Instagram dialihkan ke website," terangnya. 

Akun tersebut terakhir memposting pada tanggal 29 November 2023. Sampai saat ini belum ada postingan lain yang mengemuka. 

Sebagai bagian dari tim Humas yang bertanggung jawab atas pembuatan pamflet dan sejenisnya, Irfan berharap agar akun tersebut bisa kembali aktif dan bisa kembali (masif) memberikan informasi-informasi penting kepada mahasiswa. 

Penulis: Zakariya Robbani
Editor: Ega Adriansyah

 

Sumber Foto: Dokumenter Penulis

Cirebon, LPM FatsOeN - Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam (FDKI) UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Siti Fatimah, tidak mengetahui bahwa perpustakaan FDKI tutup. 

Hal itu terungkap ketika sekelompok mahasiswa melakukan kunjungan ke perpustakaan pada Senin (26/02). 

Sekelompok mahasiswa itu bingung karena perpustakaan tertutup rapat. Selain itu, ketika ingin masuk, seorang office boy (OB) mengatakan harus koordinasi dengan pihak fakultas terlebih dahulu. 

"Jika ingin mengakses perpustakaan, harus koordinasi dengan Ibu Gita (staf fakultas)," ujarnya. 

Ketika dikonfirmasi oleh wartawan LPM FatsOeN, Dekan FDKI mengakui baru mengetahui kabar tersebut. 

"Saya baru mendengar bahwa perpustakaan saat ini tutup," katanya. 

Dia secara terbuka mengatakan tidak pernah menyadari hal tersebut. Dia sangat terkejut dan berjanji akan segera mengurus masalah perpustakaan itu dengan rekan-rekan dosen lain di lingkungan fakultas. 

"Ini merupakan kabar yang mengejutkan bagi saya. Saya akan segera mengurus masalah ini."imbuhnya.

Dalam penelusuran lebih lanjut, seorang staf FDKI mengungkap bahwa alasan perpustakaannya ditutup karena pustakawannya belum ada. 

"Orang yang menjaga perpustakaannya belum ada," katanya. 

Hal ini kemudian diperkuat oleh pernyataan Kepala Bagian TU FDKI, Rifqi Muslim, yang menyatakan bahwa tidak ada struktur organisasi perpustakaan yang jelas.

"Struktur kepengurusan di sana belum terlalu jelas. Sehingga sampai dengan sekarang belum ada progres untuk dibuka," pungkasnya. 

Selain jajaran dosen di lingkungan fakultas, sebagian mahasiswa FDKI juga belum mengetahui kabar tersebut. Khaliza misalnya, salah satu mahasiswa tingkat akhir FDKI, mengatakan tidak tahu menau tentang kabar itu.  

Begitupun dengan Hayati, mahasiswa FDKI lainnya. Dia berharap ke depan akan ada sosialisasi kepada mahasiswa tentang keberadaan perpustakaan. 

"Jika memang ada perpustakaan, saya harap fakultas bisa lebih masif melakukan sosialisasi kepada mahasiswa FDKI," imbuhnya. 


Penulis: Zakariya Robbani

Editor: Ega Adriansyah