Sumber: twitter.com/neohistoria_id
Inferiority complex atau perasaan inferior bukan hanya gejala personal yang dapat menjangkiti seorang individu. Inferioritas juga merupakan gejala kolektif yang dapat menjangkiti diri sebuah bangsa, dalam hal ini adalah bangsa Indonesia. Lantas dari mana datangnya mental inferioritas bangsa Indonesia ini? dan bagaimana dampak buruknya terhadap perkembangan dan kehidupan bangsa?
Inferiority complex dalam kaitannya dengan kebangsaan dapat diartikan sebagai sebuah kondisi di mana suatu masyarakat menganggap bangsanya lebih rendah dari bangsa lain. Dalam konteks keindonesiaan hal ini banyak dipengaruhi oleh masa penjajahan.
Bangsa penjajah, ketika datang ke Indonesia, tidak hanya menindas secara ekonomi dan fisik saja. Bentuk penjajahan juga berupa penjajahan budaya, sistem sosial, serta peradaban yang ada. Dalam praksisnya, bangsa penjajah mencangkokkan dengan paksa budayanya terhadap suatu bangsa yang terjajah. Belanda misalnya, yang menganggap budaya ala eropa adalah budaya yang adiluhung serta satu-satunya budaya yang beradab. Sementara itu, dengan sewenang-wenang menganggap budaya kaum pribumi Indonesia sebagai budaya yang rendahan dan terbelakang. Orang Belanda menganggap kaum pribumi sebagai Inlander yakni kelas rendahan.
Akibat dari proses internalisasi budaya eropa yang dicangkokkan dengan paksa inilah kemudian menciptakan kondisi inferiority complex dalam mental bangsa Indonesia. Belanda dengan mekanisme yang sedemikian rupa selalu menyuapi pikiran kaum pribumi tentang keagungan peradaban eropa, kaum pribumi dibuai oleh kemegahan-kemegahan dan kemajuan eropa, sehingga pada akhirnya kaum pribumi merasa inferior; menjadi kaum Inlander; bangsa yang tidak mempunyai kepercayaan diri.
Dalam realitas aktual hari ini, meskipun kita telah bertahun-tahun merdeka dari kolonialisme, mental inferior itu tidak semata-mata hilang begitu saja dalam diri bangsa Indonesia. Perasaan inferioritas pada akhirnya tereproduksi dalam banyak segi dan aspek kehidupan masyarakat Indonesia sampai hari ini.
Bukan bermaksud untuk mendiskreditkan bangsa Indonesia, tapi, lihat saja di banyak tempat wisata, misalnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong ingin berswafoto dengan orang-orang asing berkulit putih – orang-orang bule, dan merasa bangga karenanya. Ini menunjukan bahwa bangsa Indonesia dalam segi ini masih mempunyai mental inferior. Orang bule dianggap sebagai manusia yang lebih keren dari semua aspek, sehingga bisa berfoto dengannya merupakan suatu pencapaian yang luar biasa hebat. Kondisi ini membuat masyarakat merasa dirinya inferior, lemah, minder, dan tidak lebih tinggi derajatnya dibanding bangsa lain.
Dalam aspek ekonomi-politik, Inferioritas juga menenggelamkan bangsa Indonesia ke dalam kondisi yang semakin terpuruk, merasa tidak mampu, dan tidak berdaya. Mental inferior ini sangat mempengaruhi aktor pemangku kebijakan untuk mengambil keputusan penting.
Banyak kesempatan, para aktor pemangku kebijakan lebih memilih orang asing sebagai tenaga ahli – aktor intelektual dalam banyak proyek ekonomi. Hal ini didasari oleh alasan efektivitas dan efisiensi serta anggapan bahwa anak bangsa belum cukup pintar untuk menjadi seorang ahli, alias kualitas masyarakatnya masih rendah. Kenyataan ini tentu saja membuat anak bangsa menjadi sulit untuk berkembang dan sulit mengaktualisasikan potensi.
Paradigma semacam ini, jika terus direproduksi, membuat peluang yang ada tidak lagi menjadi setara aksesnya. Masyarakat Indonesia pada akhirnya hanya mentok sebagai tenaga pesuruh; yang hanya mengerjakan hal-hal teknis. Kita pqada akhirnya hanya bisa menerima suguhan yang disuguhkan dan tidak bisa menciptakan sesuguhan yang dapat kita nikmati sendiri yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik kita sendiri.
Penulis : Adulfikri