Oleh: Zakariya Robbani/LPM FatsOeN


Saat ini kita berada dalam masa Endemi, yaitu masa transisi pemulihan daripada Pandemi Covid-19. Dimana dalam dunia pendidikan sudah bisa diizinkan untuk bertatap muka oleh pemerintah pusat. Tetapi kita harus tetap mematuhi protokol kesehatan.

Kuliah offline tidaklah semudah kuliah online, kita harus menjaga kesehatan untuk mempersipakan kulaih offline. Berbeda dengan kuliah online, disaat terbaring pun kita tetap bisa mengikuti kuliah. Sedangkan untuk kuliah offline kita harus mempersiapkan diri baik itu kesehatan kita, kendaraan dan lain sebagainya. Berikut tips atau cara menjaga kesehatan saat kuliah offline :

1.        Jangan Bergadang

Bergadang merupakan hal yang banyak disukai mahasiswa untuk mengerjakan tugas kuliah, namun banyak terjadi dampak negatif baik itu dalam segi kesehatan, keterlambatan saat mengikuti kuliah karena mengantuk, tidak fokus dan lain sebagainya. Mengerjakan tugas kuliah bisa saja dari jauh-jauh hari agar tugas yang diberikan oleh dosen tidak menumpuk dalam satu hari.

2.         Jangan Jajan Sembarangan

Kesehatan merupakan hal utama, karena ada istilah “Kesehatan itu Mahal”, jadi cara menjaga kesehatan yaitu mengomsumsi makanan dan minuman yang sehat, hindari merokok karena itu sangat menganggu kesehatan. Lebih baik kita membawa makanan dari rumah atau pulang untuk makan terlebih dahulu, itu akan membuat kita hemat dalam segi keuangan.

3.        Berolahraga

Olahraga merupakan sunnah Rasul, kita dapat berolahraga dari hal yang ringan seperti berjalan kaki, senam, bersepeda dan lain sebagainya. Lakukan hal tersebut secara rutin agar kesehatan kita tetap terjaga dalam hal untuk menuntut ilmu maupun beribadah.

4.        Menjaga Kebersihan

Dan yang terakhir adalah selalu menjaga kebersihan, karena kebersihan itu sebagian dari iman. Dengan lingkungan yang bersih akan membuat kita nyaman dalam belajar dan lebih fokus dalam mengerjakan tugas.

Itulah tips atau cara menjaga kebersihan di saat kuliah offline, selalu menjaga kesehatan dimana pun kita berada, karena kesehatan merupakan ikhtiar kita dalam menuntut ilmu sebagai mahasiswa terutama dalam hal beribadah.



SK Dirjen Pendis dan POK IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Memasuki berakhirnya periode kepengurusan organisasi, seperti biasa wacana tentang pemilihan mahasiswa atau pemilwa untuk melanjutkan estafet kepemimpinan organisasi di kampus kembali menguat. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya wacana pemilihan kampus berkutat pada regulasi sistem pemilihan mahasiswa yang menggunakan sistem keterwakilan.

Sistem keterwakilan yang digunakan oleh kampus di lingkungan PTKIN ini selalu menjadi sorotan karena dirasa terlalu eksklusif dan tidak terbuka. Pemilihan mahasiswa yang seharusnya terbuka dengan seluas-luasnya malah menjadi sedemikan sempit karena adanya sistem keterwakilan.


Mengapa ada sistem keterwakilan?

Pada dasarnya sistem pemilihan mahasiswa dengan keterwakilan memiliki dasar hukum yang sangat kuat. Setidaknya ada dua dasar hukum yang digunakan kenapa harus menggunakan keterwakilan. Pertama, yaitu dari Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam/Dirjen Pendis Nomor 4961 Tahun 2016 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Pada Perguruan Tinggi Keagaamaan Islam. Kedua, yakni dari Pedomanan Organisasi Kemahasiswaan/POK IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2020.

Pada SK Dirjen Pendis Nomor 4961 Tahun 2016 disebutkan bahwa tata cara pemilihan ketua Senat Mahasiswa/SEMA menggunakan sistem keterwakilan, yang termaktub dalam  bagian I pasal 1 poin B dan C tentang Tata Cara Pemilihan  Ketua Senat Mahasiswa, dan di pasal 2 bagian B untuk Pemilihan Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa.

Untuk dibagian Pedomanan Organisasi Kemahasiswaan/POK IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2020, pasal keterwakilan termaktub dengan jelas pada BAB V tentang Senat Mahasiswa di Pasal 13 poin A, B dan C dan di bagian ketiga tentang Kepengurusan di Pasal 18 di poin 2, untuk Dewan Eksekutif Mahasiswa ada dibagian satu  tentang Kepengurusan di pasal 19 poin 1.

Itulah dua dasar hukum yang digunakan kenapa lahirnya sistem keterwakilan, walaupun sistem keterwakilan membuat kampus menjadi lebih kondusif dan minim terjadi konflik, tetapi disisi lain karena sifatnya yang eksklusif, sistem keterwakilan sangat rentan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi hal ini didukung dengan beberapa pasal yang menurut saya masih sangat bias dan sangat rentan seperti di Bab V Pasal 13 poin D dan E yang berbunyi:

d. Perwakilan fakultas dan jurusan sebagai calon anggota SEMA-Institut dipilih oleh DEMA Fakultas dan HMJ yang merupakan hasil rapat secara internal dan demokratis

e. Mekanisme pemilihan utusan DEMA Fakultas dan HMJ sebagai Calon Anggota SEMA-Institut diatur oleh DEMA-Fakultas dan HMJ masing-masing.

Redaksi pemilihan calon anggota sema institut yang merupakan hasil dari rapat internal dan demokratis inilah yang perlu dipertanyakan, rapat internal dan demokratis seperti apakah yang memang diadakan oleh Dema F dan HMJ? Sependek pengetahuan saya menjadi mahasiswa (semoga aja salah) tidak pernah saya mendengar mengenai rapat internal dan demokratis yang seperti ini.

Hal ini menjadi sedemikian membingungkan ketika pasal tersebut bertemu dengan poin E yang memberikan kewenangan tentang mekanisme pemilihan utusan yang diatur oleh Dema F dan HMJ masing-masing.

Mungkin karena ada redaksi kata “rapat, internal, demokratis, kewenangan, mekanisme, masing-masing” yang membuat sistem keterwakilan ini menjadi bias dan rentan disalahgunakan, begitupun dengan pemilihan Dema yang termaktub dalam Pasal 19 poin B.

Melihat permasalahan di atas tentu harus diperlukan solusi yang konkret untuk menangani pasal-pasal yang bias ini. Kita pun tidak bisa menggunakan sistem Pemilihan Raya karena dapat melawan hukum atau aturan yang berlaku. Maka salah satu solusinya adalah dengan memperluas cakupan sistem keterwakilan tersebut.

Jika biasanya sistem keterwakilan menggunakan perwakilan dari tiap-tiap jurusan dan fakultas yang akhirnya malah rentan disalahgunakan, maka alternatif lainnya adalah dengan memperluas cakupan keterwakilan tersebut menjadi ke setiap perwakilan kelas yang ada di jurusannya masing-masing,

Jika satu kelas ada 30 orang maka 1 orang kosma akan membawa keterwakilan suara dari 30 orang anggota kelasnya. Dengan begini, bias dari sistem keterwakilan dapat diatasi dan dari segi demokrasi pun ada karna kosma dari setiap kelas sudah menjadi Daftar Pemilih Tetap/DPT.

Jika alasanya sulit untuk mendata setiap kosmanya, hal ini bukan menjadi masalah yang serius, saya yakin setiap hmj bisa mendata tiap kosma jurusannya masing-masing. Namun sistem keterwakilan tiap kelas ini mungkin hanya dapat berlaku untuk pemilihan ketua dan wakil ketua Dema, jika untuk Sema mungkin akan sangat sulit.

Dan itu pun kalau solusinya dapat dilaksanakan, kalau pun tidak dilaksanakan juga, ya sudah, toh ini bukan urusan saya, urusan sayakan cuma mencintai kamu. Haha.

Penulis: Fahmi Labibinajib

Editor: R. Al Wafi

(Tangkapan Layar 500 Days of Summer/Fahmi Labib.)

Inilah salah satu film yang wajib ditonton bagi kalian yang menyukai film bergenre relitationship. Di tulisan pendek ini, saya tidak akan membahas tentang sinopsis atau identitas suatu film. Tetapi kali ini saya akan lebih membahas siapa yang salah di film 500 Days of Summer yang rilis pada 17 Juli 2009 dan disutradarai oleh Marc Webb asal Amerika Serikat.

Memang sangat sulit menentukan siapa yang salah di film ini, Summer yang merupakan tipikal cewek humble, friendly, dan juga asyik. Sedangkan Tom merupakan cowok yang baik hati, tulus dan polos.

Summer mengatakan kepada Tom bahwa dirinya hanya iseng dan sekedar main-main  dalam menjalin hubungan dengan dirinya. Akan tetapi di sisi lain, Tom justru mempunyai ekspektasi yang lebih mengenai hubungannya dengan Summer. Tom menganggap bahwa segala hubungan yang dilakukannya dengan Summer adalah hal yang tulus, padahal Summer sudah mengatakan dengan jelas bahwa dirinya hanya ingin mencari pelampiasan akan kebosanannya.

Hingga pada akhirnya Summer pergi meninggalkan Tom dengan menyisakan rasa sakit hati yang teramat pedih bagi Tom. Tom merasa benar-benar dijatuhkan oleh ekspetasinya sendiri yang begitu tinggi terhadap Summer. Jadi, siapa yang salah di sini? Baik Summer ataupun Tom, semuanya memiliki argumen masing-masing.

Kubu Tom mengatakan bahwa ini jelas Summer yang salah, kenapa dia meninggalkan Tom setelah sekian lama menjalin hubungan dengan Tom, apalagi hubungan mereka berlangsung selama hampir 500 hari sesuai dengan judul filmnya yaitu 500 Days of Summer. Kalau memang sejak awal hanya sekedar iseng, kenapa bisa selama itu hubungan mereka terjalin, bahkan hingga sampai ke tahap hubungan paling intim. Summer bahkan  sadar bahwa Tom adalah pria yang baik dan  sangat menyukai dirinya. Tapi pada akhirnya Summer memilih pergi meninggalkan Tom dan menjalin hubungan dengan cowok lain yang ia cintai.

Di kubu Summer mengatakan bahwa jelas Tomlah yang salah. Mengapa Tom malah berekspektasi tinggi kepada Summer padahal jelas-jelas Summer mengatakan bahwa dirinya hanya menjadi sasaran kebosanan dari Summer saja. Bahkan di dalam film tersebut, ada salah satu adegan di mana Summer bertanya kepada Tom apakah Tom suka pada dirinya hanyalah sebatas teman saja, dan Tom pun mengiyakan pertanyaan tersebut. Akan tetapi, omongan Tom tidak sepenuhnya dapat benar dan dapat dipercaya. Tom justru semakin mencintai Summer dan menganggap segala hal yang mereka lakukan bersama adalah bukti keseriusan Summer dalam menjalin hubungan dengannya.

Di sini jelas Tom sangat egois karena ia tidak mau menerima penjelasan dari Summer yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebatas sasaran kebosanan Summer saja. Tom sangat percaya bahwa Summer lama kelamaan akan jatuh cinta pada dirinya, tetapi kenyataan malah berbanding sebaliknya, Summer pergi meninggalkan Tom yang termakan oleh ekspektasinya sendiri.

Jadi menurut kalian, siapa yang salah? Summer yang friendly atau Tom yang baik hati tapi egois?

Penulis : Fahmi Labibinajib/LPM FatsOeN

Editor : Wiyanti Aisyah/LPM FatsOeN

Ilustrasi "Adakah Demokrasi?" RAW/FatsOeN

Demokrasi Kampus, Apakah Ada?

Ada satu istilah yang mungkin familiar di telinga para pembaca; pemira. Iya, pemira. Secara definisi umum, pemira adalah singkatan pemilihan raya. Jika lingkupnya nasional biasanya disebut Pemilihan Umum (PEMILU). 


Pemira adalah pesta demokrasi yang biasa diselenggarakan pada perguruan tinggi di Indonesia. Pemira juga merupakan gambaran dari sistem demokrasi Indonesia. Tujuan dari pemira, secara umum adalah untuk memilih kepemimpinan selanjutnya sekaligus memperbaharui kekuatan pendukung gerakan kampus. 


Baca juga: Stagnansi Demokrasi Kampus


Dan, ya, pesta demokrasi akan segera berlangsung menjelang akhir tahun. Jabatan setiap ORMAWA kampus dipastikan akan melaksanakan regenerasi kepengurusan sebagai wahana penyadaran demokrasi dan melanjutkan kepemimpinan organisasi.


Pemilihan ketua eksekutif mahasiswa, menjadi satu momen yang krusial  sebab dari sana ada amanah yang akan diemban untuk satu periode kepemimpinan, dan tentu harus dipertanggungjawabkan secara penuh dan sadar.


Masih bicara pemira di suatu perguruan tinggi, lazimnya akan ditemui beberapa hal yang menjadi ciri tersendiri. Mulai dari sosialisasi kepada mahasiswa, perekrutan dan pelantikan Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM), dan pembentukan Panitia Pengawas Pemilu Mahasiswa (Panwaslum). 


Asas pemira lazimnya memuat empat hal berikut:


1. “Langsung" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.


2. “Umum" berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara.


3. “Bebas" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.


4. “Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.


Aroma keramaian pun lazim tercium dan terasa bahkan sebelum pelaksanaan kegiatan tahunan tersebut. Pojok-pojok kampus, gang-gang di sekitar kampus sampai di tembok-tembok indekos, mulai terpampang poster foto yang berisi foto mengepal atau senyum yang sangat persuasif. Jargon dan visi misi para calon ketua dan wakil ketua pun tak luput dalam poster tersebut.


Apalagi, perkembangan teknologi lewat media digital berupa FB, IG, Tik-Tok, dan menambah luas jangkauan para kandidat dalam menunjukkan dirinya di masyarakat kampus.


Rampung masa sosialisasi, tiba di masa debat para kandidat, masing-masing pasangan calon (paslon) memaparkan visi misi, dan adu gagasan mengenai terobosan  apa saja  yang akan dilaksanakan jika terpilih nanti. 


Semangat 'kompetisi' pun semakin memanas menjelang pemungutan suara. Masing-masing kandidat tentu mengklaim dirinya yang akan memenangkan pertarungan tersebut dengan mendapat suara terbanyak mahasiswa.


Itu pemira, di IAIN, atau lebih luas, secara umum di kampus-kampus PTKI seperti apa bentuknya?  Mengenai hal tersebut, secara hukum termaktub dalam Keputusan Dirjen Pendis Nomor 4961 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang berlaku untuk semua Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negri (PTKIN) di Indonesia. 


Keputusan tersebut salah satunya berisi tentang pemilihan yang dilaksanakan di kampus PTKI yaitu dengan sistem keterwakilan, tanpa melibatkan seluruh mahasiswa. Tentu, ini yang dijadikan payung hukum pejabat SEMA dan DEMA dalam proses pemilihan ketua dan wakil ketua lewat jalur atau cara keterwakilan/perwakilan dari setiap HMJ/Jurusan. 


Baca juga: Sistem Keterwakilan


Terlepas dari mahasiswa tahu tidaknya sistem perwakilan atau belum sadar tentang pemilihan SEMA, DEMA, adanya sistem perwakilan itu sendiri apakah menjadi suatu degenerasi sistem demokrasi di kampus dalam berorganisasi? Atau suatu alternatif demokrasi kampus? Dengan alasan minim peluang kecurangannya.


Meski begitu, masih harus selalu berharap, bahwa pemira tetap menjadi semangat untuk merevitalisasi demokrasi kampus dengan memberdayakan elemen mahasiswa. Tujuan akhir dari demokratisasi adalah memastikan kampus membuka partisipasi seluruh mahasiswa dalam semua proses demokrasi yang mereka lakukan. 


Pada akhirnya adalah keputusan sadar sejak dalam pikiran, perkataan dan perbuatan pada diri masing-masing apakah akan menggunakan hak pilih itu, atau tidak. Pilihan yang terpenting, bagaimana kita menggunakan hak mahasiswa untuk memilih secara independen dan teliti. Namun, itu semua hanyalah khayalan semata manakala sistem pemilihan  masih dilakukan secara perwakilan/keterwakilan.

 

Penulis: A. Rifal Amam (Arai)/FatsOeN

Editor: R. Al Wafi/FatsOeN

 

(Foto: Dea Agustin/LPM FatsOen)

Akhir-akhir ini saya sangat tertarik dengan aktivitas politik. Kurang lebih satu tahun terakhir pembahasan mengenai politik bagi saya sangat menarik. Hingga akhirnya saya menemukan sebuah kesimpulan sederhana mengenai politik dan dilemanya. 

Politik seringkali mempermudah sesuatu yang sangat pelik, tetapi dalam kasus tertentu begitu mempersulit sesuatu yang sebenarnya sangat mudah. Cukup menarik bukan?

Saya ingin menjelaskan bagimana politik begitu mempermudah sesuatu yang sebenarnya sangat pelik dan bertele-tele. Saya pernah mengikuti sebuah seminar yang dihadiri oleh seorang Anggota DPR-RI dan Manager salah satu perusahaan BUMN. 

Dalam seminar tersebut salah satu peserta mempertanyakan kinerja dari BUMN tersebut yang menurutnya sangat buruk. Peserta tersebut sebenarnya telah berulang kali memprotesnya namun tetap saja dari atasan belum memberikan peringatan secara tertulis dan administratif. 

Namun uniknya dalam momen tersebut tanpa menunggu lama Manager BUMN tersebut langsung memberi Surat Peringatan (SP) kepada salah satu cabangnya yang bermasalah. 

Entah karena Manager tersebut sedang bersama Anggota DPR-RI yang menyebabkan ia harus bertindak cepat. Sesuatu yang sebelumnya sangat rumit, bahkan perlu menempuh jalur administrasi yang bertele-tele. Hanya dengan kekuatan politik dari Anggota DPR-RI menjadi sangat mudah direalisasikan.

Namun dalam kasus lain politik dapat mempersulit sesuatu yang mudah. Berangkat dari pengalaman teman jurusan saya ketika KKN. Saat acara puncak sebelum penutupan KKN teman saya ini ingin mengundang pejabat daerah setempat (Bupati) untuk memberikan sambutan dalam acara puncak tersebut. 

Namun hal ini tidak bisa terwujud sebab Kepala Desa tidak mengizinkan karena alasan yang sangat egosentris. Yah, hanya karena perbedaan orientasi politik hahahaha.

Bayangkan, untuk mengundang Bupati bukan hal yang mudah, dan kawan saya ini punya relasi untuk kesana dan berhasil. Namun hanya karena perbedaan orientasi berpolitik, hal yang sebelumnya mudah, menjadi sulit.

Bahkan untuk skala kecil seperti politik dalam kampus, politik seringkali mempersulit sesuatu yang sebenarnya sangat mudah. Seperti dalam kasus untuk join dengan salah satu organisasi internal mahasiswa. Mereka yang tidak terafiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik (Bendera) dalam kampus seringkali tidak mendapatkan hak yang setara dengan mereka yang memiliki afiliasi. Bahkan ruang-ruang untuk kesitu tertutup.

Saya ingin menceritakan sedikit pengalaman saya selama di kampus, dalam seleksi pemilihan pengurus Mahasiswa Himpunan saja efek daripada politik sangat terasa. Mereka yang lolos dalam seleksi tersebut mayoritas adalah anggota dari kekuatan politik yang ada di kampus, teman-teman saya yang lain yang tidak terafiliasi tidak lolos sedangkan menurut saya mereka cukup kompeten dan berhak untuk belajar dalam organisasi internal. 

Politik seringkali dianggap sebagai sesuatu yang menjijikan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa politik memiliki pengaruh yang signifikan dalam masyarakat. Meskipun pengaruhnya bisa baik atau buruk. 

Menurut saya, mereka yang tidak peduli terhadap politik berarti tidak peduli dengan dirinya sendiri. Fakta bahwa politik memiliki pengaruh yang kuat tidak akan bisa dibantah meskipun mereka menyebutkan "politik adalah hal yang menjijikan".


Penulis : Soleh Hasan

  


(Momentum foto bersama Dekan, Jajaran ketua Umum Ormawa dan Ketua Pelaksana dalam Pembukaan acara Launching Workhop dan Seminar Himafil, foto: Puan/LPM FatsOeN)


IAIN, LPM FatsOeN - Himpunan Mahasiswa Filsafat Islam (HIMAFIL) Menggelar Workshop World Philosophy Day We Learn,How We Where To Stand dengan mengusung tema seminar "Evolusi Filsafat Dalam Konteks Global", Kamis (17/11/2022).

Acara ini dibuka dengan sambutan-sambutan : Ketua Pelaksana Budiman Yusuf,Ketua HIMAFIL Mikail Surousah,Ketua Dema Institut, Omar Qad Panity,Ketua Jurusan HIMAFIL Bpk Dr Mustofa M. Ag,serta Dekan Fakultas Ushuludin dan Adab Bpk Dr Sanusi M. Ag.

Perhelatan ini di gelar di Aula Pasca Sarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, pada pukul 08.00 s.d WIB. Adapuj acara kali jnj diadakan berbagai perlombaan yakni,lomba cipta baca puisi,lomba debat,lomba desain poster,dan lomba mobile legend. Serta dalam rangkaian acara puncak yang akan di gelar pada Tanggal 3 Desember 2022 yang akan mengadakan Seminar workshop yang turut mengundang Fakhrudin Faiz M. Ag selaku dosen Aqidah Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Dalam wawancara dengan Ketua Pelaksana Budiman Yusuf dalam tema Workshop HIMAFIL mengatakan, "Tentu nya di era globalisasi kita memiliki bayak sebuah media-media yang mengundang informasi,maka filsafat berperan penting dalam memfilter sebuah informasi gang kita dapat,agar kita terhindar dark media informasi yang tidak benar (Hoax)".

Budiman Yusuf juga mengharapkan untuk Para Mahasiswa AFI membangun sebuah intelektual sebagai mahasiswa AFI.

 

Penulis : Puan Nurshinta Mahardika (Anggota LPM FatsOeN)

Ilustrasi Pemimpin dalam Masyarakat/Pixabay


Siapa itu Pemimpin?

Menurut kaidah secara umum, para pemimpin atau manajer adalah manusia-manusia super lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu segala sesuatu. Para pemimpin juga merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam kemasyarakatan  merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. Berangkat dari ide-ide pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah perjalanan suatu organisasi. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan dari tingkat kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan tanpa kehadiran pemimpin, suatu organisasi akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah. 


Dalam sejarah peradaban manusia, dikonstatir gerak hidup dan dinamika organisasi sedikit banyak tergantung pada sekelompok kecil manusia penyelenggara organisasi. Bahkan dapat dikatakan kemajuan umat manusia datangnya dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang tampil ke depan. 


Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir, pencipta dan ahli organisasi. Sekelompok orang-orang istimewa inilah yang disebut pemimpin. Oleh karenanya kepemimpinan seseorang merupakan kunci dari manajemen. Para pemimpin dalam menjalankan tugasnya tidak hanya bertanggung jawab kepada atasannya, pemilik, dan tercapainya tujuan organisasi, mereka juga bertanggung jawab terhadap masalah-masalah internal organisasi termasuk di dalamnya tanggung jawab terhadap pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia. Secara eksternal, para pemimpin memiliki tanggung jawab sosial kemasyarakatan atau akuntabilitas publik. 


Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi. Hal tersebut dapat dilihat dari keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat tergantung kepada kewibawaan, dan juga pimpinan itu dalam menciptakan motivasi dalam diri setiap orang bawahan, kolega, maupun atasan pimpinan itu sendiri.


Pemimpin dalam Bingkai Masyarakat

Ibn khaldun percaya bahwa manusia adalah alat yang pasif di tangan masyarakat, sehingga hampir tidak dapat menyebabkan perubahan penting dalam proses sosial. Oleh karena itu, manusia lebih baik ikut bersama proses yang tidak terhindarkan itu daripada menentangnya. Ibn khaldun percaya bahwa seorang pemimpin (raja/khalifah) berhak untuk ditaati dan dihormati. Para penguasa merupakan faktor utama yang mengendalikan kontrol sosial. Tanpa mereka, ketidakadilan akan merajalela.


Meskipun Ibn khaldun menyadari bahwa kepemimpinan atau kekuasaan cenderung untuk menyimpang, tetapi Ibn khaldun dengan keras menyerang kaum ilmuwan yang merendahkan kaum penguasa dan mengecilkan peran sosial mereka. Ia menganggap tuduhan demikian adalah tidak benar dan kacau. Tampaknya, ia menyukai orang-orang yang penurut dan berusaha untuk bersikap ramah, menyenangkan, dan memuji-muji penguasa, sehingga berakibat memperoleh kekayaan dan kedudukan. Pendapat ini sesuai dengan logika realistis Ibn khaldun yang mengajukan bahwa kebaikan dan keburukan merupakan dua aspek yang niscaya dari sebuah realitas. 


Ibn Khaldun membagi kedudukan dan fungsi raja dalam dua klasifikasi, yaitu pemimpin dan penguasa. Ketika kekuatan dan kebenaran menyatu pada seorang raja, kemungkinan besar ia mempunyai watak kepemimpinan lebih dari sekadar penguasa. Serta tidak memperoleh tempat apabila kekuasaan lebih dominan dibanding kebenaran. Ibn khaldun secara jelas menunjukkan bahwa ketika kekuasaan mulai menggantikan kepemimpinan di sebuah organisasi atau masyarakat setahap demi setahap kehilangan kekuatan, jalinan kekuatannya, dan akhirnya akan mati.


Dialektika antara kebenaran dengan kekuatan akan menentukan kualitas kepemimpinan. Apabila kekuatan lebih dominan dari kebenaran, raja lebih patut disebut penguasa. Sebaliknya, apabila kebenaran tidak ditopang oleh kekuatan, kepemimpinannya disebut sebagai kepemimpinan idealistik-utopis (berupa khayal). Jadi, keduanya harus seimbang, sehingga mengantarkan seorang raja menjadi patut disebut “pemimpin”.


Kualitas pemimpin ini selanjutnya diwarnai oleh tata pemerintahan yang akan berimbas pada perubahan masyarakatnya. Ibn khaldun menyatakan bahwa salah satu sebab yang mendorong masyarakat berkembang adalah adanya perbedaan tata pemerintahan dan perubahan organisasi yang memerintah. Selain itu, perkembangan masyarakat juga dimotivasi oleh adanya asimilasi (pembauran satu kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru) adat istiadat dari setiap organisasi baru dengan organisasi yang lama dan adanya kecenderungan natural yang terdapat pada masyarakat yang diperintah untuk mengikuti atau meniru adat istiadat yang memerintah. 


Bangsa atau keluarga yang memerintah secara perlahan-lahan juga sering mengadaptasi adat istiadat pemerintahan yang mendahuluinya dengan tetap menjaga sebagian adat istiadat yang dimilikinya. Dengan demikian, terciptalah difusi sosial baru yang ditiru oleh bangsa yang diperintah dan melaksanakannya di segala sektor kehidupannya. 


Semua perubahan dan perkembangan yang terjadi pada gejala sosial berdiri di atas dua pilar, yaitu inovasi dan imitasi. Proses inovasi merupakan penemuan baru dan kekuatan memberi pengaruh para pemimpin, pembaharu dan ahli pikir. Adapun imitasi yang merupakan usaha meniru dari para individu dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa soal perkembangan masyarakat dapat dikembalikan pada gejala kejiwaan (psikologis) individual, sebab penemuan baru dan meniru termasuk bagian dari gejala-gejala kejiwaan. 


Di samping itu, pengaruh pemimpin atau individual (agen) terhadap perkembangan masyarakat memang tidak dapat dimungkiri, tetapi hal tersebut terlalu berlebihan karena ada faktor lain, selain pemimpin yang memacu perkembangan sosial masyarakat. Setiap para pemimpin, pembaharu, atau ahli pikir tidak akan berhasil menyampaikan pikirannya apabila masyarakat tidak memiliki kesiapan menerima ide-ide tersebut. Sejarah membuktikan bahwa para nabi dan rasul, pembaharu, atau ahli fikir tidak akan berhasil menyampaikan pikirannya apabila masyarakat tidak memiliki kesiapan menerima ide-ide tersebut. Sejarah membuktikan bahwa para nabi dan rasul, pembaharu, atau ahli pikir lain tidak serta merta diterima oleh pemikiran masyarakatnya, betapapun baiknya pendapat tersebut.


Akhirnya, hal ini berarti bahwa perkembangan masyarakat tidak selamanya didorong oleh usaha para pemimpin. Dengan kata lain, bahwa pemimpin dapat menciptakan masyarakat dapat dibalik, yaitu kondisi masyarakatlah yang menciptakan pandangan para pemimpin. Sekalipun demikian, hal ini bukan berarti menafikan andil para pemimpin dalam perkembangan masyarakat, karena mereka juga ikut berperan dalam menciptakan kondisi masyarakat pada masanya. Usaha mereka tentunya didukung oleh kesiapan masyarakat menerima ide-idenya agar semua yang diusahakan dapat membawa pada kesuksesan bersama. 


Penulis: Dita Rosyalita/FatsOeN

Editor: Rifki Al Wafi/FatsOeN