Narkotika Sebagai
Permasalahan Terbesar di Indonesia
Dewasa
ini kasus tindak pidana narkotika masih menduduki urutan tiga besar dalam hal
permasalahan sosial terbesar di Indonesia yakni sebesar 15,50%. Tindak pidana
narkotika sendiri merupakan salah satu kejahatan yang bersifat transnasional (transnational
criminality) karena modus dari kejahatan ini dilakukan dengan menggunakan
modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan
organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan
generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara.
Narkotika
bagaikan pedang bermata dua di satu sisi ia diperlukan guna perkembangan di
dunia medis namun apabila disalahgunakan oleh seseorang lalu kecanduan maka hal
tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum, sehingga membuat masyarakat
menjadi resah disebabkan karena barang terlarang tersebut menyebabkan pengaruh
negatif bagi kalangan usia muda, remaja hingga lansia, pengaruh negatif
tersebut dapat ditimbulkan oleh pemakai di lingkungan masyarakat, apabila
pemakai tersebut telah kecanduan dan tidak memperoleh narkotika maka pemakai
lalu menghalalkan segala cara untuk memperoleh barang tersebut seperti mencuri,
merampok, serta tindakan kriminal lainnya (Suyono, 1980).
Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr. Fadil Zumhana menyampaikan bahwa jumlah
perkara narkotika di seluruh Indonesia setiap tahunnya mencapai 131.421 orang
Terpidana dari 272.332 orang terpidana di seluruh Indonesia sebab penyumbang
terbesar kasus di lembaga pemasyarakatan diisi oleh para pelaku penyalahgunaan
narkotika. Menurutnya, konsep pemidanaan yang diterapkan selama ini berjalan
sesuai UU Nomor 35 Tahun 2009 yang penyelesaiannya cenderung banyak dilimpahkan
ke proses pengadilan.
JAM-Pidum
mengatakan sistem peradilan saat ini masih pada pola pikir lama yaitu semangat
untuk memenjarakan para pelaku yang sebenarnya belum patut untuk menerima
hukuman tersebut. Pelaku penyalahgunaan narkotika adalah salah satu contoh
kesalahan penanganan perkaranya dimana seharusnya pelaku tersebut dapat
diproses rehabilitasi.
Banyaknya
jumlah kasus penyalahgunaan narkotika serta kebijakan kriminal (Criminal
Policy) yang menyikapi hal tersebut secara represif sebagaimana diatur
dalam Pasal 127 junto Pasal 111 dan atau Pasal 112 serta Pasal 114 UU
No. 35 tahun 2009 yang lebih mengedepankan keadilan retributif tentu hal ini
akan membawa konsekuensi logis bagi jumlah penghuni di Lembaga Pemasyarakatan
di samping bagi pengguna yang bukan pengedar yang menjadi double
victimization juga.
Memprioritaskan
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Kasus Penyalahgunaan Narkotika
Berdasarkan
Kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang melebihi kapasitas dapat memengaruhi
kinerja petugas dalam memaksimalkan pembinaan bagi para narapidana, sehingga
berdampak pula dengan hak-hak narapidana sebagaimana Pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang Pemasyarakatan. (Utami, 2017)
Upaya
untuk mengatasi permasalahan kelebihan kapasitas yang terjadi di lapas maupun
rutan tidak hanya tentang persoalan penambahan kapasitas tempatnya saja,
melainkan dapat dimulai dari penegakan hukumnya, dengan menggeser stigma pemikiran
yang retributif terutama untuk kasus penyalahgunaan narkoba dengan menggunakan
pendekatan Restorative Justice.
Dalam
tulisannya Bagir Manan, menerangkan tentang substansi ”restorative justice”
yang berisi prinsip-prinsip, antara lain: ”Membangun partisipasi bersama antara
pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau
tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders”
yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang
adil bagi semua pihak win-win solutions”.
Dengan
memberikan hukuman penjara baik terhadap pecandu maupun korban penyalahgunaan narkotika bukanlah suatu putusan yang
tepat karena masih ada cara penyelesaian lain yakni dengan rehabilitasi
mengingat 3 kategori tersebut perlu untuk disembuhkan.
Penegakan
hukum sebagai salah satu wujud perlindungan negara terhadap hak asasi manusia
harus dilaksanakan secara konsisten dan selaras dengan perkembangan hukum serta
memperhatikan rasa keadilan dan perubahan paradigma yang terdapat di dalam
masyarakat. Bahwa bahaya penyalahgunaan narkotika menunjukkan kecenderungan
korban semakin meningkat, terutama di kalangan anak-anak, remaja dan generasi
muda, sehingga diperlukan komitmen dan sinergi dari seluruh unsur aparat
penegak hukum, pemangku kekuasaan terkait, maupun masyarakat, dalam menyikapi
perubahan paradigma tersebut. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan
narkotika tidak semata-mata dipandang sebagai pelaku tindak pidana, tetapi juga
sebagai korban, dimana pelaksanaan rehabilitasi merupakan bagian dari
alternatif hukuman.
Pada
dasarnya perbuatan menggunakan dan menyalahgunakan narkotika merupakan suatu
perbuatan pidana yang sudah semestinya dijatuhi sanksi pidana, akan tetapi
tidak semua perbuatan itu harus diselesaikan melalui sarana penal. Rufinus
Hutauruk menyatakan bahwa “Restorative Justice menitikberatkan pada
proses pertanggungjawaban pidana secara langsung dari pelaku kepada korban dan
masyarakat. Jika pelaku dan korban serta masyarakat yang dilanggar hak-haknya
merasa telah tercapainya suatu keadilan melalui usaha musyawarah bersama, maka
harapannya penyelenggaraan pemidanaan dapat dihindari. Hal ini menunjukkan
bahwa pelaku bukanlah objek utama dari pendekatan Restorative Justice,
melainkan rasa keadilan serta pemulihan konflik itu sendirilah yang menjadi
objek utamanya”.
Landasan Hukum
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Kasus Penyalahgunaan Narkotika
Berikutnya,
berkaitan dengan penyelesaian kasus penyalahgunaan narkotika, maka yang menjadi
dasar dalam penerapan Restorative Justice selama ini telah diatur dalam
berbagai peraturan antara lain:
1) Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor
SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana;
2) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019
tentang Penyidikan Tindak Pidana dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesiia
Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan
Restoratif;
3) Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala
Kepolisian, Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 01/PB/MA/111/2014, Nomor 03
Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor
Per005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/111/2014/BNN tentang
Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam
Lembaga Rehabilitasi;
4) Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) di lingkungan
Peradilan Umum pada 22 Desember 2020.
5) Peraturan Bersama Tahun 2014 Tentang
Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam
Lembaga Rehabilitasi.
6) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
7) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak
Pidana Keadilan Restoratif.
8) Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian
Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi
dengan Pendekatan Keadilan Restoratif.
Perlu diketahui bahwa sanksi yang diatur dalam UU Narkotika menganut double track system, yaitu berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan. Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 sendiri penyalahgunaan narkotika merupakan orang yang menggunakan narkotika tanpa hak melawan hukum, sedangkan korban penyalahgunaan narkotika ialah orang yang tidak sengaja mengonsumsi narkotika karena adanya paksaan, bujukan, diperdaya, ditipu, atau adanya ancaman yang memaksa untuk mengonsumsinya. Regulasi tersebut sudah menegaskan bahwa seseorang yang tertangkap tangan oleh pihak penegak hukum dan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan tidak terindikasi dengan adanya jaringan peredaran narkotika maka wajib dilakukan rehabilitasi.
Peran Kejaksaan RI
Mengimplementasikan Keadilan Restoratif Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika
Berdasarkan
keputusan Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, pendekatan keadilan restoratif hanya
dapat diterapkan terhadap pecandu, penyalahgunaan, korban penyalahgunaan,
ketergantungan, dan narkotika pemakaian satu hari.
Menanggapi
hal ini Jaksa Agung Burhanuddin pada akhir tahun 2021 mengeluarkan Pedoman
Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan
Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa yang telah dinyatakan
berlaku sejak 1 November 2021, penerbitan pedoman tersebut oleh jaksa agung
juga dilatarbelakangi oleh sistem peradilan pidana yang saat ini masih condong
ke arah punitif (menghukum), hal ini juga tercermin dari jumlah lapas yang
kelebihan kapasitas dihuni sebagian besar merupakan napi tindak pidana
narkotika (Erdianto, 2021). Kejaksaan mengeluarkan keadilan restoratif terhadap
tindak pidana penyalahgunaan narkotika merupakan bentuk reorientasi dalam
kebijakan penanganan kasus tersebut. Kejaksaan akan mendorong optimalisasi
proses rehabilitasi dibanding proses pengurungan penjara terhadap pelaku.
Atas
dasar hal tersebut, pembentukan balai rehabilitasi merupakan tindakan nyata
sebagai sarana menampung para pecandu narkotika di seluruh Indonesia dan dapat
menjadi solusi dari persoalan Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia yang
cenderung over capacity.
Optimalisasi
Penerapan Keadilan Restoratif Dengan Rehabilitasi Sebagai Solusi Lapas Yang
Over kapasitas
Rehabilitasi
merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas
upaya-upaya medis, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan
latihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian
dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan
potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya,
mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkotika dan kembali
berinteraksi dengan masyarakat secara wajar.
Saat
ini sudah diterbitkan pedoman Kejaksaan RI yang di mana di dalamnya mengatur
tentang penanganan perkara tindak pidana narkoba yang salah satunya melalui
rehabilitasi. Penjatuhan hukuman rehabilitasi ini ialah alternatif yang
dianggap lebih tepat mengingat napi kasus narkotika merupakan orang yang sakit
dimana harus segera untuk disembuhkan, di samping itu mengingat kondisi lapas
yang tidak mendukung, dikhawatirkan malah memperburuk kesehatan tahanan, serta
kejiwaan para penyalahgunaan narkotika tersebut. Memosisikan penyalahgunaan
narkotika sebagai korban yang dalam keadaan sakit, ketergantungan, sehingga
memerlukan rehabilitasi (Laoly, 2019). Dengan ketentuan tersebut peradilan di
Indonesia sesungguhnya sejak dulu telah berupaya untuk memulihkan keadaan
menjadi semula yang mana merupakan wujud dari keadilan restoratif.
Simpulan
Pemerintah Indonesia sudah sangat serius menyikap persoalan
kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan sebagai landasan pengaturan terhadap
penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika hal ini dapat dibuktikan
dari beberapa pengaturan Narkotika di Indonesia yang telah dimuat secara
konkret melalui aturan-aturan yang berlaku pada setiap masanya, hal ini sebagai
bentuk aktualisasi konsep negara hukum secara komprehensif serta progresif dan
terus dilakukan perubahan-perubahan yang mengikuti perkembangan zaman.
Dengan beberapa regulasi yang disahkan baru-baru ini dengan
mengandung unsur pendekatan Restorative Justice membuktikan bahwa
keadilan restoratif dapat dilakukan terhadap tindak pidana narkotika terutama
terhadap penyalahgunaan narkotika, meskipun tidak disebutkan langsung dalam
ketentuan Undang-Undang Narkotika sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak Namun Undang-Undang Narkotika mempunyai upaya rehabilitasi
yang merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan
narkotika terjadi kembali dibandingkan dengan penjara, hal ini menurut
pandangan penulis merupakan perwujudan dari konsep Restorative Justice
setelah kita sepakati bahwa penyalahgunaan narkotika sudah tidak lagi dipandang
sebagai pelaku tetapi juga sebagai korban dengan salah satu upaya pendekatan
penyelesaian perkara pidana yang lebih mengutamakan pemulihan kembali keadaan
korban ke keadaan semula dengan melibatkan berbagai pihak.
Penulis: Fadlih Abdul Hakim