|
Ilustrasi sesosok makhluk misterius berpangkat Iblis yang mengaku bernama Azazil dalam kisah SIRAP. Ilustrator: Dea Agustin/LPM FatsOeN |
Di malam
tanggal 30 bulan Sya’ban. Tepat tinggal beberapa jam lagi masuk bulan suci
Ramadhan. Sura tengah mengaso di teras luar yang ada di lantai kedua rumahnya.
Ia sedang menulis puisi-puisi sembari memandangi langit malam yang kebetulan
sedang digandrungi bintang-bintang saat itu.
Suasana yang
cukup hening untuk malam-malam yang biasanya berisik oleh suara bocah-bocah
yang rajin bermain rental PS setiap malam di sebelah rumahnya. Mungkin karena
malam ini adalah malam pembukaan bulan puasa, jadi mereka tidak datang dulu,
atau pemilik rental itu tidak membukanya. Entahlah, yang
jelas malam kali ini adalah malam yang cukup nikmat.
Sura telah
berhasil mendapatkan beberapa bait puisi yang ia buat. Ia kembali
mengawang-awang lagi untuk mencari kalimat-kalimat indah yang bisa ia curahkan
dalam puisinya. Sampai tiba-tiba, Sura terkagetkan oleh cahaya hitam berbalut
merah dari langit yang tiba-tiba melesat masuk melewatinya. Bagai burung elang
yang baru menukik dari angkasa, namun ini lebih cepat. Mata Sura tak cukup
fokus untuk melihat benda apa yang barusan melewatinya. Benda itu menuju kamar
Sura. Sial, ia lupa menutup pintunya.
Sura masih
tertegun, ia berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk melihat benda itu.
Sedikit-sedikit ia mengintip dan mengambil setengah langkah. Terlihat dari luar
kamarnya sebuah benda hitam berbalut cahaya merah pudar ada di samping tempat
tidurnya. Tunggu, itu bukan sebuah benda. Terlihat jelas di bawah binar lampu
tergeletak menelungkup sesosok manusia, tak beda jauh dengan Sura. Apakah itu
alien?
Dengan ragu
disusul penasaran, Sura mengambil beberapa langkah lagi, perlahan. Hingga jarak
beberapa meter, Sura menyaksikan baik-baik makhluk asing itu. Punya dua tangan, dua
kaki, sepuluh jari tangan, sepuluh
jari kaki, memiliki sepasang mata. Tapi ia masih menelungkup. Yang berbeda kulitnya berwarna hitam kemerahan.
Di kepalanya terdapat dua benda seperti tanduk kambing. Ia juga berambut
acak-acakan sebahu, mungkin dikategorikan ikal. Terlihat di punggungnya sesuatu
menonjol seperti sayap kelelawar.
Sura masih
menerka-nerka makhluk apa itu? Makhluk itu sedikit bergerak. Sura mundur
beberapa langkah karena kaget. Ia beranikan diri lagi untuk mendekatinya. Sura
berjongkok dan tangannya mulai ia julurkan dengan maksud ingin menyentuhnya.
Belum sempat jari Sura merapat dengan tubuh asing itu, makhluk asing itu menggeliat.
Wajahnya cukup pucat. Katup matanya terbuka. Matanya berwarna hitam bercampur
titik merah di tengahnya. Sura terjatuh dari posisi jongkoknya. Mulut Sura
kaku, tak berani mengeluarkan suar. Sura mundur, tapi dengan sigap makhluk itu
merambah kakinya.
“Si... Si... Siapa kau?” tanya Sura gagap.
“Kekekekekekkk,” makhluk
itu mengeluarkan suara dari mulutnya. Mungkin ia tertawa. “Assalamualaikum,” kemudian
ia mengucapkan salam.
Sura tertegun.
Makhluk itu mengucapkan salam padanya.
“Siapa... Siapa
kau?”
“Kau belum
menjawab salamku.”
Ia berdiri
tersenyum menunggu jawaban salam dari Sura. Tingginya kira-kira 10 cm
lebih tinggi dari Sura. Sayap yang mirip sayap kelelawarnya itu menelungkup ke
bawah.
Sura masih
memerhatikan tubuh makhluk asing itu. Keringat dingin mulai bercucuran.
“Ayolah, jawab
salamku. Assalamualaikum.”
“Wa...
Waalaikumussalam,” Sura
menjawab agak ragu.
“Wah, bagus.
Kuulangi sekali lagi. Assalamualaikum.”
Sura
menjawabnya lagi. Rasa takutnya mulai sedikit hilang. Walau ia masih waspada
jika makhluk itu tiba-tiba menerkamnya, Sura akan menendangnya sekuat tenaga
seperti yang telah diajarkan Abah Suja padanya.
“Katakan, siapa
kau sebenarnya?”
“Iblis.”
Sontak seketika
degup jantung Sura memompa lebih kencang dari sebelumnya. Sura masih termangu
menganga tak percaya. Degup jantungnya makin kencang.
“Tunggu...
tunggu... kau benar iblis ketua para setan itu?”
“Ya,” jawabnya
singkat
“Kau yang
menggoda Bu Hawa itu?”
“Ya.”
“Yang menolak
sujud pada Pak Adam itu?”
“Ya.”
“Kau paham
bahasaku?”
“Namaku saja
Iblis, sebelum dunia ini ada, aku sudah ada.”
“Lalu untuk apa
kau ke sini?”
“Memangnya
kenapa?” tanyanya sambil mengeprak-ngeprak badannya seperti manusia
membersihkan pakaian yang sedang dikenakannya.
“Hei, jangan
mengotori kamarku. Kemari di luar saja,” Sura berdiri
dan mengajak Iblis keluar kamarnya menuju ke teras tempat tadi ia sedang membuat
puisi.
“Tidak.
Maksudku, untuk apa kau datang kemari. Di malam hari pertama bulan Ramadhan
lagi,” sambung Sura.
“Ya, tidak ada
apa-apa. Aku sedang ingin menyambangi orang saja,” jawab
Iblis sembari melanjutkan mengeprak-ngeprak badannya lagi.
Melihat
kelakuan Iblis yang cukup ramah padanya, hati Sura agak tenang. Walaupun agak
sedikit merasa aneh karena di sebelahnya adalah makhluk yang mengaku sebagai
Iblis. Mereka akhirnya memutuskan untuk sedikit berbincang dan duduk sila
bersampingan.
“Kenapa harus
aku?” kembali Sura melontarkan pertanyaan pada Iblis. “Tunggu, kau suka
kopi? Mau kubuatkan?”
“Boleh.”
Kemudian Sura
pergi menyeduh dua cangkir kopi untuk menjadi teman berbincang mereka berdua.
Setelah dua cangkir kopi itu tersaji indah di antara mereka, Iblis melanjutkan
menjawab pertanyaan dari Sura.
“Aku hanya
iseng saja. Saat aku di antara awan, mataku melihat cahaya lampu dari sebuah
rumah. Dan kebetulan pintunya terbuka. Ya aku mendarat masuk saja.”
Mendengar jawaban itu dari Iblis, Sura berpikir “Jawaban yang sangat sederhana
sekali. Kukira akan layaknya film-film Hollywood yang sudah terjadi peperangan
di atas awan.”
“Ada yang ingin
kutanyakan padamu, Iblis.”
“Panggil saja
aku Azazil. Iblis itu nama pangkatku.”
“Baiklah,”
kemudian Sura melanjutkan bertanya “Apakah benar pada saat dulu kau menentang
Gusti Allah?”
“Kata siapa aku
menentang?” jawab Azazil sambil menyeruput kopi miliknya.
Seketika Sura
menekuk keningnya alih-alih merasa bingung.
“Lha,
terus bagaimana yang sebenarnya terjadi?”
“Aku tidak
pernah menentang Allah. Aku hormat pada-Nya. Aku tidak berani pada-Nya. Dosaku
waktu itu hanya satu, aku hilang kendali. Lalu secara spontan aku membandingkan
diriku dengan Adam.”
“Lalu,
bagaimana dengan kau yang tidak sujud pada Adam?” Sura melontarkan pertanyaan
lagi pada Azazil sembari ia menyesap kretek yang baru saja ia bakar yang ia
ambil di sakunya. “Kau mau rokok?”
“Tidak usah,” tolak
Azazil yang kemudian kembali menyeruput kopinya disambung dengan jawaban dari
pertanyaan Sura. “Soal itu, aku di-briefing oleh Allah sendiri untuk tidak sujud pada Adam mana kala ia
menyuruhku bersujud pada Adam. Terlepas dari itu juga, aku sebenarnya memang
punya prinsip mutlak. Aku tidak akan sujud pada siapapun kecuali pada Allah.
Meskipun Allah sendiri yang memerintahkannya.”
“Wah, begitu
ya. Aku baru tau. Tapi kau memang benar. Aku salut.”
“Ya. Tidak
seperti kebanyakan manusia di bumi ini. Mereka dengan santainya menggadaikan
Tuhannya hanya karena uang dan jabatan. Cih, sungguh miris.”
Detik jam
dinding berbunyi mengisi kesunyian sepi. Jarumnya menunjukkan
angka dua belas lewat empat puluh enam menit. Tidak terasa pertemuan mereka
sudah berlangsung setengah jam lebih. Ditemani dua cangkir kopi yang sudah
tinggal ampas, mereka berdua tenggelam dalam obrolan perihal banyak hal.
“Hei, aku lupa
bertanya. Siapa namamu?”
“Asura
Sastrawirya.”
“Dewa
kejahatan?”
“Bukan. Itu diambil
dari bulan Asyuro. Bulan kelahiranku.”
“Begitu.”
“Bisakah kita
berteman?” tiba-tiba Sura menanyakan hal yang konyol.
“Di
tengah-tengah orang lain menganggapku musuh?” Azazil tersenyum. “Kau yakin?”
“Itu kan hanya
anggapan. Tidak semua manusia berfikir kau jahat. Lagian, tidak ada yang
benar-benar baik. Begitupun sebaliknya tidak pula ada yang benar-benar salah. Justru
karena hal itu dan keanehan detik ini, yang tidak lain adalah bertemu dengan
kau, aku jadi ingin bisa mengetahui kebenaran-kebenaran yang belum kuketahui.
Yang di mata orang lain hal-hal itu adalah tabu.”
“Kekekekekekkk,”
Azazil kembali tertawa setelah beberapa menit ia tidak melakukannya lagi.
“Baiklah.”
Kretek keempat Sura
habis. Sura membakar kretek kelimanya, kemudian menyambung pertanyaan lagi.
“Tadi kau
bilang, kau di-briefing oleh Allah?”
“Ya.”
“Kenapa bisa?”
“Kau bertanya
kenapa? Kau lupa aku adalah makhluk istimewa kedua setelah Muhammad. Aku punya
akses lebih kepada Allah, dan kau juga lupa jika aku tak menolak sujud pada
Adam, seisi manusia tidak akan di dunia yang kau tempati ini. Peradaban manusia
tidak akan pernah ada.”
“Waaahhh...
Benar juga,” Sura menepuk keningnya.
“Dari setelah
peristiwa itu, aku dikenal dengan nama Iblis. Tapi itu adalah nama jabatan
saja. Seperti: Presiden, Mentri, Briptu, Kiai, Ustadz, dan lainya, jika di
dunia manusia. Allah tidak membenciku. Mana mungkin. Allah sangat menyayangiku,
namun ia punya cara sendiri untuk melakukannya. Ia memberiku misi-misi yang
hanya mampu dilakukan olehku. Maka dari itu aku juga sangat mencintai-Nya.”
Waktu terus
berjalan, udara pagi buta mulai mengawang. Sayup-sayup suara kentongan mulai
terdengar dari sudut desa. Pertanda alarm sahur tahap satu tengah berlangsung.
Jam satu pagi. Begitupun seterusnya suara kentongan yang dimainkan oleh warga
akan terus dimainkan menyeluruh mengelilingi desa setiap satu jam sekali. Azazil
berdiri dari bersilanya, memandang ke arah langit.
“Hei,
sepertinya kuharus kembali.”
“Karena suara
kentongan itu?”
“Tidak. Kau tak
perlu tahu alasannya.”
“Ke mana?
Memangnya sekarang kau tinggal di mana?
“Itupun kau tak
perlu tau.”
“Baiklah.” Sura
menunduk. “Tapi apakah kita akan bertemu lagi? Aku sudah mulai biasa dengan
wujud cukup mengerikanmu itu. Hehe.”
Seketika wujud
Azazil berubah menjadi seutuhnya bentuk manusia. Berwajah cukup tampan. Bermata
tajam. Berdagu lancip. Dan berhidung mancung. Kemudian ia menatap Sura.
“Maksudmu begini?”
“Hah?... Kenapa
tak kau lakukan sejak awal.”
“Kekekekekekkk...
Kau tak bilang kalau kau anggap wujudku cukup menakutkan di matamu.”
“Benar juga.
Tapi sudahlah. Lupakan. Kau belum menjawab, apa kita akan bertemu lagi?”
“Pasti,” jawab
Iblis tegas. “Tunggu saja. Kedatanganku akan selalu tiba-tiba.”
“Baiklah,” setidaknya
Sura menganggap ini adalah janji.
Kembali Azazil
ke wujud awalnya. Ia melompat dari lantai dua sebelum ia membeberkan sayapnya. Menjatuhkan
diri dahulu sebelum akhirnya ia mengepakkan sayap pekatnya itu. Kemudian di
ketinggian satu meter di atas rumah Sura, Azazil melihat Sura yang tengah
berdiri di teras luar lantai duanya itu sedang melambaikan tangan pertanda
ucapan sampai jumpa. Dengan harapan mereka berdua akan bertemu kembali untuk
membicarakan hal-hal random yang tengah terjadi.
Di kejauhan, Azazil
membalas lambaian tangan Sura. Ia mengangkat tangan kanannya sembari
mengucapkan, “Sampai jumpa, kawan,” dengan
berbisik. Namun suara bisikan itu terdengar jelas di telinga Sura. Sura
menyadarinya, namun kini ia sudah tak mengambil opsi untuk merasa kaget, dan
ingat apa yang dikatakan sang Azazil itu.
“Namaku saja
Iblis, sebelum dunia ini ada, aku sudah ada”
Tak heran
memang. Senyum kini tersemat di bibir Sura. Setelah itu, Azazil alias Iblis
melesat dengan sekali kepakan kedua sayapnya. Kemudian menghilang melintas ke
atas.
Pertemuan dan
pembicaraan yang berlangsung hanya sekitar satu jam lebih itu membuahkan sebuah
hubungan aneh antara dua makhluk yang berbeda. Yang mereka sebut sebagai
‘teman’.
Ari Surya, 2021