Apakah semua manusia harus membuang nalurinya untuk menjadi manusiawi?

Pertanyaan dasar inilah yang dilontarkan oleh Lee Byeong Chan seorang guru sains di sekolah SMA Hyoeson sebelum ia menjadi zombie karena terkena virus yang diciptakan oleh dirinya sendiri, All of  Us Are Dead, sebuah serial drama Korea bergenre horor yang menceritakan tentang sebuah virus yang berasal dari tikus percobaan yang mengigit jari manusia yang menyebabkan ia kejang-kejang, hilang kesadaran dan berubah menjadi zombie.

Tidak seperti serial atau film bertema zombie lainnya, All of Us Are Dead memiliki alur cerita yang kompleks, kita tidak hanya disuguhi oleh adegan kejar-kejar zombie dengan manusia saja seperti di film-film zombie biasanya, walaupun ceritanya hanya berfokus pada sekolompok siswa SMA yang berusaha menyelamatkan diri dari kejaran zombie tetapi disetiap adegannya memiliki makna yang cukup dalam, jika kita perhatikan ada beberapa topik yang diangkat dalam serial ini.

All Of Us Are Dead. Foto: Instagram allofusaredeadkr

Pada saat itu manusia menjadi wujud paling liarnya yaitu memangsa manusia lain, manusia yang tertular virus ini akan hilang kesadaran dan menyerang manusia lain tanpa pandang bulu, Lee Byeong Chan yang membuat virus ini beralasan bahwa dia muak melihat kehidupan manusia yang kuat selalu menindas yang lemah, ia menganggap bahwa ia hidup dalam sistem kekerasan sehingga bagi orang biasa sepertinya tidak bisa melakukan apa-apa. Dalam serial tersebut digambarkan bagaimana anaknya sering dibully di sekolahnya dan ia ingin membuat anaknya menjadi lebih kuat dan berani dengan menyuntikkan cairan, namun naas anaknya malah berubah menjadi zombie yang menyerang ibunya.

Jika kita kaitkan dengan teori Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa manusia adalah Homo Homini Lupus artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya tentu ini sangat relevan, dalam serial tersebut juga digambarkan bagaimana manusia mengeluarkan sisi kehewanannya hanya untuk bertahan hidup, mereka tega mengorbankan manusia lain demi keberlangsungan hidupnya.

Dalam serial yang berjumblah 12 episode ini, penggambaran wabah virus dibuat serealistis mungkin seperti wabah di dunia nyata,  mungkin karena serial ini dibuat semenjak wabah Covid-19 yang menjadi inspirasi dari beberapa scan adegan yang ada dalam serial, mulai dari orang-orang yang denial akan virus, penyebaran hoax, sampai politisi yang mencari popularitas, semuanya digambarkan hampir persis seperti pertama kali Covid-19 melanda.

Di sinilah saya kira kehebatan dari serial yang distrudarai oleh Lee Jae Kyu dan Kim Nan Su, mereka berhasil mengeksekusi bagaimana realita pandemi di dunia nyata ke dalam serial fiksi, sehingga penonton sejenak bisa berefleksi lewat layar kaca bagaimana carut-marutnya penanganan pandemi.

Adegan lain yang menurut saya bagus adalah ketika seorang jendral darurat militer melakukan pengemboman di kota Hyoseon sedangkan di sana masih banyak orang yang masih bisa diselamatkan, namun karena penyebaran wabah ini tidak terkendali dan belum ada obatnya yang akhirnya membuat ia memilih pilihan sulit yaitu memusnahkan semuanya, di sini sangat jelas dilema yang dihadapi oleh sang jendral bagaimana ia memilih untuk mengorbankan minoritas manusia untuk menyelamatkan mayoritas manusia, padahal jelas untuk urusan kemanusiaan sangat sulit jika kita pakai dengan cara kalkulasi, yang akhirnya setelah melaksankan tugas tersebut sang jendral menyesali perbuatannya lalu bunuh diri.

Walaupun serial ini bergenre horor tetapi sang sutradara masih menyelipkan sisi kehidupan remaja, setiap dialognya dibuat seperti dialog anak SMA yang belum dewasa, konflik-konflik kecil, pelecehan seksual, hingga drama percintaan tergambar jelas dalam serial ini, penonton diajak untuk memahami bagaimana permasalahan para anak remaja, orang tua kebanyakan hanya tahu luarnya saja, padahal remaja juga memiliki masalah hidup yang kompleks. Lewat sang ketua kelas, Nam Raa, kita bisa melihat bagaimana tekanan orang tua sangat berpengaruh betul terhadap kehidupan Nam Raa, ia menjadi anti sosial karena hanya ingin mengejar target orang tuanya, padahal di sisi lain hal ini malah membuat dia menjadi sangat kesepian.

Untuk keseluruhan, serial ini bagus dan cocok buat kalian yang suka genre horor, sains fiksi atau bahkan romance, apalagi ditambah dengan efek visualisasinya yang keren seperti film-film Hollywood. Namun, ada beberapa adegan juga yang terasa dibuat bertele-tele, jadi sedikit membuat bosan ketika menontonnya. Serial ini sangat tidak disarankan bagi anda yang tidak suka dengan sesuatu yang bersifat sadis, karena di sini digambarkan dengan sangat jelas seperti keluarnya usus dalam perut, tubuh terpotong, hingga mata yang tertusuk.


Penulis : Fahmi Labibinajib

Film Merindu Cahaya de Amstel. Foto: Instagram unlimited_production

Jika biasanya film yang bergenre romance selalu diidentikkan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan penampilan adegan-adegan romantis, tetapi tidak dengan film yang satu ini, film yang diadaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama, Merindu Cahaya de Amstel berkisah tentang seorang jurnalis fotografi yang bernama Nicolas, yang secara tidak sengaja memotret seorang wanita berhijab bernama Khadijah, perjalanan kisah mereka berdua berlanjut dengan hadirnya Kamala, seorang wanita Indonesia yang tidak berhijab yang pernah Nicolas tolong sekaligus teman dekat dari Khadijah.

Awalnya, saya mengira film ini seperti kisah cinta segitiga pada umumnya, namun dalam film ini kisah cinta segitiga antara Nicolas, Khadijah dan Kamala diceritakan menjadi sedemikian kompleks, Nicolas yang menyukai Khadijah, namun terhalang oleh prinsip keislaman yang kuat dari Khadijah, di film ini Khadijah diperankan sebagai seorang wanita yang sangat taat kepada Agama, ini terlihat ketika ia menghindari berjabat tangan kepada laki-laki yang bukan mahromnya, di sisi lain Kamala yang merupakan teman Khadijah diam-diam menyukai Nicolas.

Di film ini cinta segitiga mereka tidak hanya soal siapa yang berhak saling memiliki, tetapi juga dibumbuhi berbagai macam adegan yang menyimpan berbagai macam pesan moral, seperti ketika Nicolas bertanya kepada Fatimah teman dari Khadijah yang mengajaknya masuk Islam, “Mengapa dalam Islam harus memakai kerudung? Fatimah menjawab dengan menganalogikan dua buah permen yang satu sudah dibuka (tidak berhijab) dan satunya lagi belum dibuka (berhijab) dan Nicolas disuruh memilih, dan ia memilih yang belum dibuka, dan pilihan itu ia perlihatkan kepada orang yang ada disitu termasuk Kamala seorang wanita tidak berhijab tetapi menyukai dirinya, bagi sebagian orang mungkin adegan ini sangat menyakitkan hati Kamala yang tidak berhijab, tetapi tidak hanya sampai situ penonton juga diajak untuk memahami bagaimana keutamaan berhijab dalam Islam.

Saya kira di sinilah hebatnya film di tengah kisah cinta segitiga yang pelik, tetapi masih bisa menyisipkan berbagai macam ajaran Islam kepada para penonton, banyak adegan lain yang sejenis seperti ketika Nicolas mencoba untuk masuk Islam hanya karena ingin menikahi Khadijah, walaupun Khadijah sendiri sebenarnya juga memiliki rasa cinta yang sama kepada Nicolas, tetapi karena ia menghargai perasaan temannya, Kamala, dan juga agar Nicolas tidak masuk Islam hanya karena dirinya tetapi harus karena Allah, perasaan suka ini ia tahan dengan sendirinya.

Dalam hal ini penonton diajak untuk melihat keteguhan hati Khadijah yang berpegang teguh kepada keimanannya, walaupun harus mengorbankan dirinya sendiri, Kamala juga digambarkan sebagai sesosok manusia yang beragama Islam tetapi tidak taat dalam melaksanakan ajaran agamanya, namun setelah ibunya meninggal ia mencoba kembali menjadi seorang muslim yang taat, ia sangat menyesal karena pesan ibunya untuk jangan meninggalkan solat tidak ia gubris sama sekali.

Dengan premis cerita yang dibangun cukup sederhana tetapi tidak membuat penonton bosan, apalagi latar film ini di sebuah kota yang indah bernama de Amstel, Belanda. Film ini jarang ada adegan romantis, tetapi dengan alur ceritanya yang matang film ini mampu membawa emosional penonton dengan beberapa iringan soundtrack lagu serta visualisasi yang memanjakan mata, film ini sangat cocok buat kalian yang suka film romance atau cinta-cintaan tanpa ada bumbu adegan bermesraan di dalamnya.


Penulis : Fahmi Labibinajib

Film Kukira Kau Rumah yang dibintangi Jourdy Pranata dan Prilly Latuconsina. Foto: Instagram sinemaku.pictures

Dari judul saja mungkin bagi sebagian orang film ini cukup menarik karena diambil dari salah satu lagu dari grup musik dari Bandung bernama Amigdala, Kukira Kau Rumah bercerita tentang Niskala seorang mahasiswa yang menjadi pengidap bipolar disorder sebuah penyakit mental yang berhubungan dengan berubahnya suasana hati dengan cepat, seseorang yang mengidap bipolar sangat mudah untuk merasa sangat senang dan bersemangat namun bisa juga menjadi sangat sedih dan putus asa, hal ini lah yang dialami oleh Niskala, di awal film diperlihatkan bagaimana Niskala tidak bisa mengontrol emosinya saat bedebat dengan temannya ketika mereka sedang persentasi dikelas, awalnya saya mengira film ini hanya akan diisi dengan kemarahan dan teriakan saja, tetapi hal ini tidak berlangsung lama, ketika Niskala bertemu dengan Pram.

Pram seorang mahasiswa semester atas yang sering menghabiskan waktunya dengan menyendiri, ia bekerja paruh waktu disebuah café, Pram awalnya tidak mengira bahwa Niskala adalah seorang yang memiliki penyakit bipolar, ia hanya mengetahui bahwa Niskala adalah orang yang ceria dan selalu tertawa, lewat kedua teman dekat Niskala yaitu Dinda dan Oktavianus ia paham bahwa Niskala berbeda dengan yang lain.

Setelah mengetahui bahwa Niskala berbeda alur cerita mulai menjadi kompleks, dengan kondisinya yang seperti ini Niskala hanya mempunyai dua teman Dinda dan Oktavianus ditambah dengan keluarganya yang sangat posesif kepada Niskala, dalam film ini orang tua menjadi antagonis, ia digambarkan sebagai tokoh yang selalu khawatir, membatasi, dan emosional, Dedi yang merupakan bapak dari Niskala walapun dalam film ia sangat jarang muncul tetapi ia memiliki peran yang sangat penting, dengan alasan kasih sayang ia malah membatasi segala gerak gerik anaknya, puncaknya ketika ia memergoki Niskala sedang manggung bersama Pram di sebuah café, yang akhirnya membuat ia naik pitam dan langsung menarik Niskala dari panggung yang akhirnya membuat Niskala marah, sedih dan ingin bunuh diri.

Beberapa bagian di film ini memang memperlihatkan bagaimana kehidupan seseorang yang memiliki gangguan mental bipolar,  lewat tokoh Niskala kita diajak untuk merasakan bagaimana ia tidak bisa mengendalikan emosinya ketika ia menjalani kehidupan sehari hari, dalam kondisi seperti ini orang yang mengidap bipolar memerlukan orang-orang yang sangat dekat dan memahami betul kondisi seseorang yang sedang mengidap ganguan bipolar seperti Dinda dan Okvianus, mereka harus selalu bisa memahami ketika temannya tiba-tiba marah, senang, bahagia, sedih atau nangis, karena sampai saat ini gangguan mental disorder masih belum ditemukan obatnya, untuk menanggulanginya pengidapnya hanya diberi obat anti depresan dan terapi, bipolar tidak menular, kebanyakan disebabkan oleh faktor genetik atau keturunan.

Ketika gangguan ini kambuh, pengidapnya akan merasakan suasana mental yang sangat kacau, mudah lelah, kurang bersemangat, dan kehilangan minat dalam menjalani kehidupan, biasanya gejala ini akan berlangsung selama berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan seperti yang dialami oleh Niskala. Niskala dalam film ini diperankan oleh Prilly Latuconsina, ia memainkan perannya sebagai pengidap bipolar dengan sangat baik.

Namun, dari segi alur film ini sedikit “maksa”, konflik yang dibangun terlalu cepat bahkan terkesan terburu-buru diakhir, ayah Niskala yang jarang nongol tiba-tiba menjadi antagonis yang menyebalkan, ini digambarkan ketika ia menarik Niskala dari pangung dan memukul Pram, dengan argumen kasih sayang orang tua yang menurut saya kurang rasional, ditambah dengan adanya adegan ketika Pram mencoba untuk membujuk Niskala untuk bunuh diri tetapi malah Pramnya sendiri yang terjatuh dari gedung, sungguh plot twist yang sangat membangongkan membingungkan sekali bukan.

Mungkin bagi sebagian orang setelah menonton film ini akan langsung bercermin kepada dirinya sendiri apakah mereka terkena gangguan mental disorder, karena hanya mereka sendiri yang tahu, kadang merasa mudah badmood dan pura pura bahagia di depan orang padahal sebenarnya mempunyai kesedihan yang sangat dalam, saya rasa ketika kalian merasa seperti ini silakan kalian pahami dulu apakah yang kalian lakukan ini merupakan self diagnosis atau hanya sekedar self awarenes saja? Karena untuk persoalan mental illness atau gangguan mental tidak boleh untuk terlalu menggampangkannya juga, jadi tidak baik untuk langsung menjustifikasi bahwa mereka hanyalah kumpulan orang-orang “lebay” setelah menonton film.


Penulis : Fahmi Labibinajib

Post Truth Journalism. Ilustrasi: LPM FatsOeN/Rifki Al Wafi

Sedangkal pemahaman saya, era post-truth adalah era di mana fakta objektif dapat dikalahkan oleh emosi dan keyakinan seseorang. 

Di era post-truth ini, kita merupakan masyarakat pengguna media yang menempatkan media sebagai alat, dan masyarakat sebagai konsumen sehingga komunikasi semakin terbuka. Jurnalis hendaknya masuk di dalamnya untuk menjembatani masyarakat. Sebab, media sebagai alat komunikasi dan informasi, sarat akan kepentingan kelompok-kelompok tertentu, untuk mendesain informasi dalam bentuk opini publik.

Jurnalis harus membentengi diri dari segala bentuk informasi bohong, dengan cara meningkatkan kualitas diri demi menjaga independensi jurnalistik. Tentunya, jurnalis yang saya harapkan, adalah jurnalis yang kritis dan tanggap terhadap isu-isu yang muncul, baik isu-isu lokal, isu-isu nasional, maupun isu-isu dunia yang dipropagandakan oleh media. 

Tolok ukur sukses atau tidaknya seorang jurnalis menyampaikan informasi di media, bukan dilihat dari bagaimana dia menyampaikan pesan kepada khalayak, tetapi dilihat dari bagaimana pesan yang disampaikan olehnya, mampu diterima dengan baik, tanpa intervensi dari pihak manapun, dan tidak berafiliasi dengan golongan tertentu. Artinya, informasi yang disampaikan itu sangat transparan (nyata/jelas dan apa adanya). 

Belakangan ini, Independensi Jurnalistik mulai melemah, hal itu disebabkan oleh menurunnya minat baca dari kalangan jurnalis itu sendiri. Di zaman sebelum post-truth saja, saya rasa minat baca dan tulis bangsa kita masih kurang, malah jauh tertinggal dengan bangsa lain. Apalagi, sekarang keberadaan internet membuat semuanya terlihat lebih mudah dan praktis. Apakah mayoritas dari kita memanfaatkan internet untuk membaca, menulis, dan belajar? Entahlah, melihat tulisan yang panjang saja sudah membuat malas membaca. Sepositif apa pengaruh internet bagi kita? Apakah hanya dijadikan media untuk bermain game dan menonton vidio porno? Berapa persen minat baca tulis bangsa kita? 

Masyarakat Indonesia masih belum siap menghadapi kemajuan teknologi. Sekali mengenal teknologi, seringkali disalahgunakan. Status Facebook saja, masih banyak yang isinya tentang caci maki sesama tetangga, bahkan kerabat sendiri. 

Minim kesadaran akan pentingnya membaca dan menulis sudah sangat meluas, bahkan di seluruh Indonesia. Hal ini menyebabkan negeri kita masih kekurangan jurnalis dengan kualitas terbaik. Sehingga para jurnalis masih rawan terkena intervensi dari pihak luar. 

Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi stimulus bagi kita, agar semakin giat membaca dan menulis, demi keutuhan independensi jurnalistik terlebih di era post-truth ini. 

Selamat Hari Pers Nasional.


Penulis: Burhannudin

  

Surat Keputusan Mentri Agama (KMA) yang dikeluarkan pada tanggal 30 Januari 2022, surat didapatkan dari SEMA-I. Ilustrasi: LPM FatsOeN/Denisa Nazwa Alaida

IAIN, LPM FatsOeN- Turunnya Keputusan Menteri Agama (KMA) NO 84 Tahun 2022 pada Jumat (30/1/22) merupakan pertanda baik bagi para mahasiswa dalam mendapatkan keringanan UKT. 

"Turunnya KMA ini menjadi harapan besar semua mahasiswa PTKIN se-Indonesia. Karena KMA ini adalah salah satu landasan utama kampus-kampus memberikan kebijakan dan penetapan perihal Keringanan UKT,  jelas ini juga sangat ditunggu-tunggu dan juga harus ditindaklanjuti dalam bentuk pengawalan terhadap Rektorat," tutur Fatihul Fauzi dalam menanggapi KMA tahun 2022.

Ia pula menjelaskan tentang harapannya setelah turunya KMA ini. Kampus bisa menetapkan kebijakan yang maslahat juga tidak merugikan mahasiswa. 

Fatihul pula memaparkan, ada beberapa tindakan yang akan dilakukan setelah turunnya KMA, yaitu pertama pengawalan, kemudian konsolidasi, setelah konsolidasi baru akan dilayangkan audiensi perihal kebijakan-kebijakan yang mana nantinya akan ditetapkan oleh Rektor itu sendiri. 

"Yang jelas kami berharap mahasiswa pun ikut andil dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh  pihak Rektorat. Jadi bukan hanya penetapan sepihak. Menurut saya harus ada masukan-masukan baik itu perwakilan dari kitanya dari DEMA dan juga dari SEMA-nya dan beberapa perwakilan  dari mahasiswa itu sendiri". Ujar Fatihul Fauzi. 

Mengenai kevalidan dari KMA pihak DEMA Institut telah menghubungi Warek II dan III untuk mengkonfirmasi KMA ini. 

"Alhamdulliah tadi sudah dikonfirmasikan oleh Warek-II, dan juga Warek-III. Bahwasanya KMA ini benar turun, dari Kementerian Agama langsung" Ujar Fauzi dalam wawancara via daring. 

Menanggapi KMA yang baru Ketua Umum Senat Mahasiswa Institut (SEMA-I), Rifqi Fadhillah mengatakan pihaknya masih mengupayakan audiesi kepada para pimpinan kampus, karena mereka masih sulit untuk ditemui. 

Ia juga mengajak kepada para mahasiswa agar menunda pembayaran UKT terlebih dahulu, agar mendapatkan keringanan UKT yang mekanismenya masih ia susun.

"Jadi dimohon kesabarannya sebentar sampai ada kebijakan dari lembaga" ujarnya. 

Namun ia juga menyayangkan akan keterlambatan terbitnya KMA. Bahwa turunnya KMA di akhir masa pembayaran UKT, tidak di awal-awal. Padahal menurutnya, KMA dari Kemenag ini sangat ditunggu oleh para Mahasisiwa.


Penulis : Fahmi Labibinajib dan  Dea Mariyana

Editor : Zulva Azhar

(Ilustrasi: LPM FatsOeN/Denisa Nazwa Alaida) 



IAIN, LPM FatsOeN - Kabar pasti akan adanya keringanan UKT di semester genap masih menjadi keresahan mahasiswa. Ketua Umum Senat Mahasiswa Institut (SEMA-I), Rifqi Fadhillah menanggapi akan hal tersebut. Rifqi mengatakan akan berkomunikasi terlebih dahulu dengan para Senat dari kampus lain. Ia pula telah menginstruksikan kepada DEMA-I untuk melakukan survei mengenai masalah UKT kepada para mahasiswa. Selasa (25/1/22) ia melakukan konsolidasi untuk menampung aspirasi mahasiswa. Hasil konsolidasi ini yang nantinya akan ia bawa sebagai bahan audiensi kepada para pimpinan lembaga kampus.

"Untuk masalah pengurangan UKT mungkin semester ini akan cukup sulit karena tidak adanya payung hukum yang berlaku, KMA dari nomer 81 Tahun 2021 dari Kemenag sudah tidak berlaku di tahun ini. Hal inilah yang menurutnya pengurangan UKT menjadi sangat sulit, tidak adanya regulasi atau konstitusi yang bisa kita jadikan landasan untuk adanya pengurangan UKT,” ujar Rifqi. 

Namun menurutnya pihaknya akan mencoba untuk mendesak para pimpinan untuk mengeluarkan kebijakan yang memihak kepada mahasiswa. Ia juga berharap agar Kemenag mengeluarkan KMA terbaru mengenai UKT di tahun ini.

Ketika diwawancari mengenai survei UKT, Formatur terpilih DEMA-I, Fatihul Fauzi mengatakan bahwa ada sekitar  89,4% mahasiswa yang mengalami kendala pembayaran UKT di semester genap, serta 99,2% yang mengiginkan keringanan bagi yang ekonominya terdampak pandemi.

"Hingga sekarang sudah ada sekitar 4285 orang yang mengisi survei ini, jumlah ini masih jauh dari target yang direncanakan yaitu sekitar 50% mahasiswa, “ Tutur Fatihul. 
Ia menegaskan bahwa hal ini menjadi amanah untuk disampaikan kepada pihak rektorat yang mengiginkan keringanan UKT. 

Fatihul juga berharap kebijakan keringanan UKT akan datang, baik dari pihak Rektorat ataupun Kemenag.

“Semoga kampus menimbang strata sosial keluarga mahasiswa yang terkendala, tetapi memiliki keinginan kuliah yang tinggi dikampus kita,” pungkasnya. 


Penulis: Fahmi Labibinajib dan Dea Mariyana
Editor : Zulva Azhar


 

(Ilustrasi: LPM FatsOeN/Denisa Nazwa Alaida) 

IAIN, LPM FatsOeN - Tenggat waktu pembayaran UKT semakin dekat. Sesuai kalender akademik 2021-2022, bahwa jadwal pembayaran UKT semester ini dimulai pada tanggal 17 Januari kemarin, hingga 04 Februari 2022. Terhitung tinggal satu minggu lagi menuju batas akhir pembayaran, namun masih banyak mahasiswa yang belum membayar karena ketiadaan kabar keringanan UKT seperti halnya semester kemarin. 

Alvi Nur Amali, salah satu mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon dari jurusan Tadris Bahasa Inggris pula mengalami kendala dalam pembayaran UKT tahun ini.

"Terkait pembayaran UKT tentunya saya dan teman-teman yang lain memiliki kendala. Apalagi masih di masa pandemi seperti ini. Untuk saya sendiri kendalanya yaitu UKT saya dibayarkan oleh wali (kakak), yang mana dia baru mulai bekerja lagi di bulan November. Di lain sisi kakak saya juga memiliki tanggungan lain yaitu hutang yang harus dibayarkan tiap bulannya. Untuk itu saya merasa jika UKT semester ini tidak ada keringanan, maka akan sangat memberatkan bagi kami," ujar Alvi dalam wawancara via WhatsApp.

Alvi mengharapkan kepada para pejabat kampus untuk bisa memenuhi tuntutan mahasiswa dan untuk persyaratan pengajuan keringanan pembayaran UKT tidak memperberat mahasiswa.

"Jadi harapan saya kepada para pejabat kampus untuk bisa memenuhi tuntutan yang dirumuskan saat konsolidasi yang sudah dilakukan oleh SEMA dan teman-teman lainnya. dan juga, apabila dipenuhi saya sangat mengharapkan untuk persyaratan atau berkas-berkas yang harus dipenuhi oleh mahasiswa tidak memberatkan," pungkas Alvi. 

Ia pula mendoakan semoga perjuangan teman-teman mahasiswa tentang kebijakan keringanan UKT membuahkan hasil. 


Penulis : Fahmi Labibinajib  dan Dea Mariyana

Editor : Zulva Azhar