(Source : kompasiana.com)


Literasi akhir-akhir ini menjadi kata yang tidak asing bagi sebagaian orang, salah satu penyebabnya adalah menjamurnya kegiatan literasi di daerah-daerah, gerakan literasi kadang digawangi oleh pemerintah melalui berbagai macam program literasinya, atau oleh gerakan kolektif dari masyarakat, atau mahasiswa dengan berbagai macam cara seperti membentuk komunitas, organisasi, lapak baca, klub diskusi, bahkan gerakan literasi pun ada dalam berbagai macam akun media sosial yang mereka klaim akan digunakan untuk kampanye-kampanye literasi.

Tentu hal ini kabar baik bagi kita di tengah sepinya minat baca di Indonesia gerakan-gerakan literasi ini tentu dapat menjadi harapan untuk meningkatkan minat baca di Indonesia, namun apakah gerakan literasi hanya sebatas kegiatan membaca, menulis, dan diskusi yang dilakukan berulang-ulang? Mungkin untuk menjawab ini kita telaah dulu apa makna literasi dan bagaimanakah sejarahnya.

Literasi

Menurut wikipedia literasi adalah segala sesuatu yang merujuk kepada kemampuan dan kemampuan dalam individu dalam membaca, menulis, membaca, menghitung, dan memecahkan masalah. Menurut UNESCO badan khusus PBB yang menangani urusan pendidikan, keilmuan dan kebudayaan mendefinisikan literasi sebagai seperangkat keterampilan yang nyata khususnya keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis yang terlepas di mana dan siapa pengetahuan dan keterampilan tersebut diperoleh. Menurut UNESCO pemahaman literasi ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti akademik, institusi, nilai-nilai budaya, serta pengalaman.

Jika kita lihat secara etimologi, kata literasi berasal dari bahasa latin literatus yang berarti orang yang belajar. Kemendikbud dalam Peta Jalan Gerakan Literasi Nasional menjadikan makna literasi memiliki cakupan yang lebih luas. Literasi tidak hanya diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis tetapi juga sebagai praktik sosial yang penerapannya dipengaruhi oleh konteks, proses literasi mencakup juga sebagai suatu kegiatan untuk menyelidiki, mengkritisi, dan menelaah berbagai macam gagasan, ide, pemikiran, dan produk budaya yang beredar luas di masyarakat.

Ini membuktikan bahwa literasi adalah suatu kegiatan yang kompleks dan luas yang memiliki dampak dan manfaat yang luas serta jangka panjang. Literasi dapat memengaruhi suatu karakter atau sikap dari seseorang yang menggelutinya.

Gerakan Literasi Awal di Eropa

Salah satu faktor pendukung pencerahan di Eropa adalah gerakan literasi. Pada masa itu di Eropa gerakan literasi berkembang pesat sekitar abad 17 dan 18. Gerakan literasi pada masa ini terkenal dengan sebutan Republik of Lattres suatu sebutan untuk sebuah republik imajiner di mana orang-orang yang menggeluti dunia literasi saling terhubung antara satu dengan yang lain.

Orang-orang yang menggeluti literasi pada masa itu saling berkorespondensi dengan satu intelektual dengan intelektual lain, penulis dengan pembaca, penulis satu dengan penulis lain, sastrawan dengan sastrawan, dan lain sebagainya. Mereka membentuk suatu jaringan yang luas antara satu pegiat dengan pegiat lain tanpa batas wilayah dan negara. Ini dilakukan agar khazanah pengetahuan mereka dapat berkembang secara luas. Kegiatan berkorespondensi inilah yang melahirkan suatu republik imajiner yang bernama Republic of Latterss.

Ada tiga faktor yang menjadi penyebab berkembangnya gerakan literasi di Eropa pada saat itu, salah satunya adalah ditemukannya mesin cetak oleh Johanas Gutenbreg. Penemuan ini menjadi suatu tonggak penting dalam dunia literasi. Jika dulu setiap tulisan yang ingin disebarkan harus disalin menggunakan tangan secara manual sehingga membutuhkan biaya yang cukup mahal. Namun setelah ditemukannya mesin cetak, penyalinan manual menggunakan tangan seperti ini sudah tidak digunakan karena digantikan secara otomatis oleh mesin.

Faktor yang kedua adalah adalah berkembangnya jaringan korespondensi antara satu pegiat dengan pegiat lain. Mereka berkomunikasi dan bertukar ide dengan satu dan yang lain yang melahirkan berbagai macam institusi keilmuan pada masa itu. Institusi ini digunakan untuk mengumpulkan para intelektual sesuai bidangnya masing-masing kegiatan seperti ini juga dikenal dengan masyarakat intelektual.

Ketiga adalah munculnya berbagai macam warung kopi atau caffe shop di kota-kota di Eropa. Warung kopi atau caffe pada masa itu digunakan oleh para pegiat literasi sebagai tempat pertemuan untuk berdiskusi, berdialektika, dan presentasi. Mereka saling bertukar pikiran antara satu intelektual dengan intelektual lain mereka saling menyanggah bahkan berdebat satu sama lain di warung kopi. Salah satu alasan mengapa warung kopi atau caffe menjadi sarana perkembangan intelektual adalah karena pada masa itu institusi pendidikan masih belum berkembang.

Literasi pada masa ini juga tidak sekadar kegiatan membaca atau menulis tapi sebagai suatu upaya untuk penghalusan budi pekerti, mengasah pikiran, melatih mental, menyelesaikan masalah, dan menanggapi suatu fenomena budaya. Mereka dituntut untuk menghasilkan kerangka moral menurut pemikiran mereka sendiri. Pada masa ini juga lahir banyak kritikus yang saling mengkritik satu sama lain.

Jadi dapat diambil simpulan bahwa gerakan literasi tidak sekadar gerakan untuk membaca dan menulis tapi juga sebagai suatu upaya untuk menghaluskan budi pekerti, menanamkan kepedulian, simpati dan empati, melatih fikiran kritis, mengontrol emosi, merespons berbagai macam produk budaya dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah.


Oleh: Fahmi Labibinajib

 


(IAIN Syekh Nurjati Cirebon 03/06/2021)—NATIONAL WEBINAR SERIES 2021 hari kedua yang diselenggarakan oleh English Department Student Association (EDSA) IAIN Syekh Nurjati Cirebon tetap melalui Zoom Meeting.

Pada hari kedua ini National Webinar Series 2021 yang dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 06 Mei 2021 dimulai pada pukul 08:20 WIB diisi oleh pemateri yang sangat luar biasa yaitu Dr. A Gumawang Jati, M.A., yang merupakan President of i-TELL (Indonesia Technology Enhanced Language Learning Association).

Acara Webminas 2021 pada hari kedua ini dihadiri oleh sekitar 300 lebih participant dari berbagai universitas di Indonesia. Mr. Rifai yakni Dosen ELTD IAIN Syekh Nurjati Cirebon berperan sebagai moderator di acara tersebut.



Pada acara hari kedua itu Dr. A Gumawang Jati, M.A., selaku narasumber, membawakan materi yang berjudul “Personalized Sopport System For Material Development“. Dalam materi tersebut Dr. A Gumawang Jati, M.A. memberikan dua pembahasan kepada para participant yaitu Artificial Intelligence (AI) for Teachers dan Artificial Intelligence (AI) for Student.

Acara terakhir Webminas 2021 yaitu closing yang berisi sambutan penutup dari Mr. Fajar Novtian selaku Ketua Umum English Department Student Association (EDSA), kemudian dilanjutkan dengan sambutan penutup oleh Mr. Tedy Rohadi selaku Kepala Jurusan Tadris Bahasa Inggris IAIN Syekh Nurjati Cirebon yangsekaligus menutup acara tersebut.

 



English Department Student Association (EDSA) kembali menyelenggarakan seminar pendidikan yaitu EDSA NATIONAL WEBINAR SERIES 2021 dengan tujuan meningkatkan dan mengembangkan mutu pendidikan di abad 21. Acara ini memiliki tema “What Axioms Inform your Material Development?".Acara Webinas Series 2021 diagendakan selama dua hari yakni pada tanggal 02—03 Juni 2021.

Acara dimulai dengan opening ceremony yang dilaksanakan pada hari Rabu, 02 Juni 2021, di ruang Auditorium gedung FITK melalui media Zoom Meeting. Acara ini dihadiri oleh pengurus EDSA periode 2021—2022 dan para tamu undangan, diantaranya Wakil Dekan (Wadek) III Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) sebagai perwakilan Rektor dan Dekan (institusi), Ketua Umum DEMA FITK,  Ketua Umum SEMA FITK, Ketua Umum 9 HMJ FITK, dan peserta yang telah mendaftar melalui link yang telah disebar. Diketahui jumlah audience yang mendaftar dapat dikalkulasikan sebanyak 330 dari berbagai daerah.

Kemudian untuk upacara pembukaan atau opening ceremony acara Webinas 2021 yang didampingi oleh Idan Fakhry Wildan sebagai MC acara dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Quran oleh saudari Maylu Sakinah pada pukul 08:20 WIB. Lalu acara dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya oleh kelompok paduan suara Melodic Angel.Selanjutnya sambutan-sambutan dari Ketua Pelaksana yaitu Vishal Georgy Alpherantzi, Ketua Umum DEMA FITK yaitu M. Wahyu Amrullah, dan Wadek III yaitu Dr. H. Saefudin, M.Ag.. Opening ceremony ditutup dengan pembacaan doa oleh Saudara Wangun Adistia Galih.

Acara inti Webinas 2021 dimulai pada pukul 08:53 s.d. 12:13 WIB dengan dua tema yaitu Principles in ELT Material Development (Content) yang akan disampaikan oleh Mr. Joko Priyana, M.A., Ph.D. yang mengambil judul EFL Learning Contents for The 21th Century Indonesian Learners, dan Principles in ELT Material Development Language Learning (Pedagogy) dengan pembicara Mr. Wakhid Nashruddin, Ph.D. yang mengambil judul Principles in ELT Material Development: Pedagogy in the 21th Century. Kedua pembicara ini sama-sama didampingi oleh Mrs. Haira Rizka sebagai Moderator 1. Acara diawali dengan pembacaan CV Moderator 1 oleh MC acara, dilanjut dengan Pembacaan CV Pemateri 1 dan 2 oleh Moderator 1. Pembahasan materi diakhiri dengan sesi tanya jawab pada masing-masing bagiannya, closing remarks dari masing-masing pembicara, serta penutupan webinar oleh moderator.

 

(Sumber Gambar: Freepik.com)

Lu... luruh, seluruh harapku. Lu... luruh, semua janjimu. Ketika jalanku dan jalanmu tak bertemu

***

Perempuan itu menerawang ke segala sisi. Tempat ini sudah tidak asing lagi baginya. Tiap sudut memanggil untuk bernostalgia.

“Iced Americano sama air mineral ya.”

Renata menutup buku menu. Ia berjalan menuju sofa paling pojok, mengedarkan pandangannya lagi. Ia melipat tangan di depan dada, menyandarkan dirinya pada bantalan empuk di punggungnya. Kini ia bertransformasi jadi komentator bisu. Menilai tiap titik janggal di cafe itu. Gelas-gelas besi warna hijau muda dengan gradasi putih tersusun di atas meja, ditemani mesin ketik dan radio rusak yang  jobdesk-nya hanya pemanis belaka. Tembok di cafe itu sengaja masih batu bata merah, di beberapa sisi lumut tumbuh di sela-selanya. Sebuah pigura dengan dengan filter ala-ala 80an terpampang bertuliskan “est 2017”. Renata tersenyum kecil, senyumannya lebih tepat dibilang ejekan. Ada ketidaksingkronan antara filter 80an dan tahun yang dituliskan.

Benar kata orang-orang, zaman sekarang ada lahan kosong dikit dibikin coffeshop buat tempat tongkrongan. Ia bukan pecinta kopi dan mengutuk cafe-cafe yang membuat Vietnam Drip dengan Arabica yang masam, ia pula bukan anak aestetic yang cari spot bagus untuk memenuhi feed Instagram. Renata hanya butuh cafein untuk mendongkrak matanya, ia pula butuh memenuhi janji pada seorang pria yang mengiriminya pesan semalam.

“Renata yang bukan Chef, lama nunggu ya? Sori gua telat”

Seorang pria masuk membuka pintu kayu, ia mampu membuat seisi cafe berpaling dari HP-nya masing-masing. Alis tebal yang tegas dipadu dengan postur tubuh yang menjulang yang dibalut dengan setelan berwarna navy dengan tekstur kain yang berserat. Renata melihat ponselnya, pukul 2 siang.

“Kamu lagi break, atau memang pulang kerja?”

“Kabur sih lebih tepatnya. Lagian lu ga bisa kan, nunggu gua closing dulu. Bakalan lembur.”

“Oh”

Renata hanya ber-oh panjang. Jawabannya menunjukkan raut tidak peduli. Ia masih menunggu pesannanya yang belum juga rampung di meja.

“Ada apa nyariin saya?”

Renata langsung bicara ke inti.

“Gimana kabarlu?”

Reuben membuka sekelibat pertanyaan yang terdengar seperti basa-basi.

“Mau saya jawab apa? Kabar baik?”

Mendadak, hawa pembicaraan di ruangan itu menjadi dingin tak terkendali.

“Gua mau ngasih ini”

Reuben menyodorkan lembaran karton gold yang dibungkus rapih dari saku jasnya. Undangan pernikahan. Renata menelan ludah terdiam

“Mana sih pesenan saya belom dateng

Ia bingung apa yang harus ia lakukan, ia jadi salah tingkah. Renata berdiri menghampiri meja barista. Meninggalkan Reuben yang gugup dan memainkan jemarinya. Benar dugaannya, bagaimanapun menyatakan kabar yang harusnya gembira ini, menjadi bagian terberat dalam hidupnya. Sosok Renata Haryanto selalu menjadi hantu dari rasa penyesalan di sudut pikirnya. Dan kini Reuben harus menghadapi hantu itu sendiri, dengan selembar kertas yang bertuliskan undangan pernikahan.

Renata kembali dengan segelas Americano-nya. Ia menyesal telah memesan sesuatu yang pahit. Harusnya ia membeli segudang gula untuk kegetiran yang Reuben bawa.

“Maaf Re”

Reuben bingung harus bilang apa.

“Maaf buat?”

“Buat tiga tahun kita.”

“Bukannya seharusnya kamu bahagia ya?”

“Apa yang bikin gua bahagia karena lu belum nikah.”

Reuben tidak menyadari perkataannya. Renata menengguk minumannya. Pahit.

“Ben. Apa salah, kalau saya belom nikah?”

“Salah. Bikin rasa bersalah gua tambah lama.”

“Kalau begitu berlama-lamalah sama rasa bersalah itu.”

Renata ingin Reuben tenggelam lebih lama, kehabisan nafas, dan berjuang keras untuk menghirup udara segar. Renata ingin Reuben melakukan apa yang dulu ia lakukan.

“Re, lu udah kepala tiga.”

“Terus?”

“Gua jadi orang yang paling nyesel saat lu belom nikah”

“Gara-gara?”

“Kenapa masih nanya?”

“Gara-gara kita pernah having sex? Gara-gara lu mikir lu ngambil keperawanan saya? Gara-gara lu mikir Damn, Renata masih belom bisa move on dari seorang Reuben”

Ia memperjelas semuanya. Reuben berdecak kesal.

“Apasih yang bikin lu kayak gini Re? Apa susahnya sih, buat ngelupain semua itu? Kita ngelakuin berdua, sama-sama mau. Tapi kesannya gua doang yang salah!”

Nada bicara Reuben makin tinggi. Mata Renata terasa hangat. Ada yang ia bendung di balik kelopak matanya, meski pandangannya sudah mulai kabur. Ia mengerjap dan mengusap. Berusaha menarik nafas sedalam mungkin, berharap air yang mengalir bisa ia kembali masuk.

“Ben. 30 tahun saya hidup di dunia yang menganut steriotip patriarkis. 30 tahun saya dicekoki pemikiran bahwa wanita dilihat dari masa lalunya, kehormatan wanita ada di alat klaminnya, wanita yang sudah tidak perawan tidak pantas untuk dicinta. Kalau saya menghantui sudut pikirmu gara-gara sampai detik ini saya belom bisa nerima siapa-siapa di hidup saya, maka yang jadi hantu di sudut pikir saya adalah diri saya sendiri, bahwa saya tidak pantas untuk dicintai.”

Renata berusaha tenang, walau satu persatu sungai di pipinya mengalir deras. Ia berbicara pelan dan menjelaskan. Tentang seberapa besar ketakutannya sendiri. Tentang seberapa tinggi benteng yang ia bangun untuk orang lain. Reuben membuka jasnya, ia berpindah duduk di samping Renata. Menutupi wajah wanita itu dengan jasnya, memeluknya, membenamkan wajah cinta pertamanya pada dadanya yang bidang. Tangis Re pecah sesenggukan.

“Gua minta maaf, gua minta maaf, apa pun itu gua minta maaf.”

Tenggelam di lautan, pikiran dan amarahku. Tenggelam  di samudra, terhempas ku tak menentu.

Reuben mengelus kepala Renata. Ada kehangatan yang merambat di sana. Ada beban yang luruh di antara mereka berdua. Ada waktu yang terhenti dan dunia yang membisu. Yang terdengar hanya satu, degup jantung yang beradu.

Luruh. Kau dan aku

 

Penulis: Zulva Azhar

Nb. Luruh, Isyana Saraswati dan Rara Sekar

Mengeluhlah kalau ingin mengeluh. Lepaskan rasa sakit di dada yang mulai riuh. Akui saja bahwa hatimu juga punya sisi yang sangat rapuh. Yang perlahan-lahan akan terkikis, walau kau jaga dengan sungguh-sungguh.

Bersedihlah kalau harus bersedih. Tulis siapa dan apa saja yang membuat lukamu terasa semakin perih. Percayalah bersedih takkan membuat harga dirimu tersisih. Karena sejatinya kau hanya membenarkan bahwa kini jiwamu sedang begitu letih.

Teriaklah kalau merasa patut berteriak. Luapkan segala emosi di dalam dada yang saat ini sedang bergejolak. Keluarkan kekesalan itu sebelum semakin lama dan akan meruak. Terimalah saja sedikit rasa pahit atas harapan-harapanmu yang telah koyak.

Menangislah kalau ini sudah waktunya menangis. Terima semua kekalahan-kekalahan itu yang perlahan menjadikan batinmu teriris. Tumpahkan semua air matamu sampai habis. Kau pun tahu masalah-masalah yang datang tak akan bisa selalu kau tepis.

Tak perlu takut untuk terlihat lemah. Bilang saja kalau kau sedang resah. Beri izin dirimu sendiri untuk merasakan apa yang membuatmu gundah. Kau tak perlu khawatir akan kalah. Mungkin saat ini keteguhan hatimu sedang diasah.

Sediakan ruang untuk dirimu sendiri. Biarkan kekeruhan ini terus mengalir hingga perasaanmu jernih kembali. Pahami kesedihan mana yang harus kau ganti. Cari tahu kebahagiaan sebesar apa yang harus kau cari untuk membuatmu hidup lagi.

Kau tak perlu memaksa untuk terus terlihat ceria. Hidup selalu punya rasa pahit sebelum rasa manis tercipta. Ambillah jeda untuk bersedih, selagi kau bisa. Selanjutnya, silakan kau berbahagia. Jadikan dirimu insan yang paling kaya akan makna. Kau yang paling memahami dirimu dibanding seluruh isi dunia.

Penulis: Toufa Rizkyah

(Ilustrator: Fauzan Alfani)


Tidak terasa tengah semester sudah saya lalui, begitupun dengan janji manis kampus tercinta yang masih terngiang dalam pikiran saya, kurang lebih seperti ini “Pengumpulan Nomor Telepon  yang akan disubsidi kuota terakhir pekan ini,” begitu kiranya setelah hampir 20 pekan lebih. Namun ternyata ungkapan tersebut hanyalah bualan semata, hanya janji manis pria saat pertama kali jatuh cinta pada kekasihnya.

Sampai pada tulisan ini ditulis kuota pembelajaran yang “mereka” janjikan tidak terlihat batang hidungnya, bahkan informasinya tenggelam bagai Titanic di lautan terdalam. Baik, saya akan mulai. Saya adalah salah satu mahasiswa kampus UIN Cirebon (masih dalam rencana UIN). Saya tidak ingin tulisan ini mewakili teman-teman mahasiswa lainnya. Adapun jika memiliki masalah yang sama, saya kira benar teori yang diungkapkan dalam buku Sapiens, “Semakin mengerucut masalah seseorang maka semakin umum pula.” 

Mahasiswa seperti saya mungkin harus bekerja ekstra untuk mendapat suplai kuota internet, saya rela memotong jadwal libur demi 1gb kuota yang habis dalam 3 hari untuk mengakses Google Meet,Google Classroom, WhatsApp Group, dan media pembelajaran lainnya. Terlepas dari itu berbagai macam upaya telah dilakukan DEMA dan SEMA, buktinya dengan adanya petisi yang disebarluaskan dalam snap WA, entah itu ditindaklanjuti atau tidaknya saya tidak tahu.

“Daftar Nomor Telepon yang akan disubsidi kuota” sebuah file yang dikirimkan dalam grup kelas hanyalah penenang bagai sabu yang dihisap untuk melupakan masalah sejenak bahkan mungkin membuat lupa selamanya. Ironi memang, padahal saya membayar UKT dengan Full Service tanpa potongan sedikitpun, karena persyaratan yang terlalu rumit.

Lupakan sejenak masalah subsidi kuota, mari beralih pada beasiswa, pada saat promosi kampus digencarkan program beasiswa ikut digaungkan, namun pada kenyataannya setelah masuk, info beasiswa hanya berkeliaran diseputar ormawa tidak sampai pada mahasiswa tukang tidur seperti saya, kalaupun sampai kepada saya dan saya ikut mendaftar beasiswa tersebut pasti akan tertahan oleh surat yang menyatakan “Surat Rekomendasi dari Kampus”.

Saya kira mungkin ini curhatan saya sebagai mahasiswa yang memiliki kebiasaan tidur, makan, dan main game, dan dengan diakhir dengan kata,“KAMPUS INI MILIK KITA,” tapi jangan kau bertanya apakah saya termasuk kita.

Penulis: Inisial A

Oleh: Nirwan Maulana


Seperti tak ada rasa bila tak diperlihatkan

Seperti Kebohongan bila ia tak diwujudkan

Entah mengapa air matanya berlinang

Jangan, jangan salahkan Aku

Apalagi mereka

Tanyakan padanya mengapa ia bersedih

Tanyakan sendiri mengapa ia menanggis


Air mata itu terbuang sia-sia

Waktunya terbuang saja 

Hanya karena rasa yang sedang diresapi

Jangan, jangan tanyakan apa yang ia pikirkan

Kesedihan, Amarah, Kebahagian, Kebencian

atau bahkan dendam

Telah merasuki jiwanya


Air matanya tak berharga

Jika tak ada makna didalamnya

Apakah ia berakting

dan mengelabui kalian

Air mata itu mungkin tipuan

Anggap saja ini sandiwara