(Source: Freepik.com)


Sudah sepekan peringatan hari Perempuan Internasional berlalu, hari yang diperingati untuk mengingat perjuangan perempuan yang dicetuskan oleh Clara Zekin, seorang pemikir marxis, sosialis, yang pernah menjadi anggota Komintren suatu asosiasi komunisme internasional. Pada tahun 1908 di sebuah forum konferensi perempuan sosialis II di Konpohangen, Zekin mengusulkan setiap 8 Maret diperingati sebagai hari perempuan internasinoal, tanggal ini dipilih agar dapat mengenang gerakan protes buruh garmen di New York.

Ada banyak kegiatan atau perayaan yang dilakukan oleh berbagai komunitas dan organisasi, mereka biasanya mengadakan berbagai macam diskusi, webinar, peringatan, dan pembuatan pamflet yang bertema perempuan. Tidak ada yang salah dengan cara peringatan hari perempuan dengan model seperti ini, namun apakah hanya sebatas ini saja hari perempuan itu dimaknai?

Perempuan sebagai salah satu makhluk yang memang sering terkena berbagai macam bentuk ketidakadilan gender seperti marginalisasi, kekerasan, subordinasi, stereotip, dan beban ganda. Berbagai macam problematik di atas tentu sangat perlu kita perhatikan, apalagi di tengah budaya patriarki yang semakin kuat, kesetaraan perempuan sudah mutlak untuk diperjuangkan.

Kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin memprihatinkan. Seperti yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan, terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2020. Bentuk kekerasan yang dialami oleh para perempuan itu beragam, di antaranya adalah kekerasan fisik, seksual, ekonomi, dan juga psikis.

Mayoritas pelaku kekerasan ini berasal dari orang terdekat korban seperti suami, pacar, atau teman. Kekerasan ini dapat terjadi di mana saja seperti sekolah, kampus, transportasi umum, dan berbagai macam ruang publik lainnya. Hal itu terjadi karena perempuan masih dianggap sebagai makhluk kelas dua yang lemah serta tidak memiliki kuasa untuk melawan. Masyarakat menstigmakan perempuan atas semua kejadian buruk yang menimpa, menyebabkan perempuan cenderung untuk diam bahkan menyalahkan diri sendiri. Sikap tersebut tidak terlepas dari minimnya pemahaman tentang kesetaraan pada diri perempuan itu sendiri.

Ada banyak kasus korban kekerasan yang lebih memilih diam. Hal yang melatari alasan tersebut adalah karena perempuan tidak sadar bahwa ia adalah korban kekerasan, namun ada juga yang sadar bahwa dirinya adalah korban tetapi tidak berani melapor karena menggangap bahwa hal itu adalah sebuah aib, memalukan, takut mencoreng nama baik seseorang atau instansi.

Di era kapitalisme, perempuan juga masih dianggap sebagai objek pemenuh hasrat, mereka hanya dijadikan bahan untuk pemuas pasar, yang akhirnya malah menciptakan standarisasi kecantikan perempuan. Kapitalisme mengganggap bahwa perempuan yang ideal adalah perempuan yang memiliki kulit putih, wajah bersih, badan tinggi, rambut hitam, tubuh seksi, dan lain sebagainya, padahal itu semua hanyalah sebuah fantasi yang terus menerus diproduksi oleh industri media dan kosmetik.

Seharusnnya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak pernah menjadi masalah selagi tidak ada ketidakadilan gender di dalamnya. Baik laki laki atau perempuan bebas untuk melakukan apapun selagi tidak merugikan dan mengambil hak-hak orang lain, mereka bebas hidup tanpa stigma, stereotip, marginalisasi, dan pandangan buruk yang mengikutinya.

Oleh karena itu, di hari Perempuan Internasional ini harusnya dimaknai tidak sekadar sebagai sebuah momentum untuk membuat pamflet, foto-foto, acara, kegiatan diskusi, atau perdebatan tentang kasur, sumur, dan dapur yang membosankan dan acara seremonial lainnya yang riuh hanya dalam waktu sesaat, habis itu hilang tidak berbekas. Kita juga perlu untuk mengawal berbagai macam ketidakadilan gender, kekerasan seksual, stereotip, marginalisasi, dan subordinasi yang masih banyak terjadi disekitar kita. Karena permasalahan ini tidak akan selesai hanya karena dirayakannya hari perempuan saja bukan?


Penulis : Fahmi Labibinajib


 


LPM FatsOen, Cirebon-Kami mendatangi dan menghubungi praktisi, peneliti sampai aktivis untuk mengusulkan program-program apa saja yang bisa dilakukan oleh organisasi intra kampus, khususnya Senat Mahasiswa (SEMA) dan Dewan Mahasiswa (DEMA). Mulai dari praktisi hukum, aktivis kampus, feminis sampai peneliti agraria.

Mereka semua bersepakat, bahwa mahasiswa yang menduduki jabatan organisasi intra kampus mempunyai sumber daya lebih: anggaran, waktu, tenaga, pikiran serta akses ke pemangku kebijakan untuk merancang, melaksanakan serta mewadahi ruang-ruang kritis serta menyelesaikan banyak persoalan: mulai dari persoalan kebijakan kampus, isu kekerasan seksual, terlibat dalam masalah rakyat: sempitnya akses pendidikan (putus sekolah dan kuliah), konflik agraria, misioginistiknya negara sampaiagar “melek” hukum.



Program Kesetaraan, Gender dan Isu Kekerasan Seksual

Kami memulainya dari Aisyah Nur Addly, aktivis feminis sekaligus mahasiswa angkatan 2017 Bimbingan Konseling Islam (BKI). Aisyah, panggilan akrabnya, kini sibuk di berbagai acara dalam komunitas Women March Cirebon (WMC). “Malam minggunya kita wawancara untuk Fatsoen, gak ada agenda bucin kan?” kata kami. “Ya wawancara, ya bucin juga dong,” kelakarnya via pesan daring.

Kami putuskan bertemu di warung kopi. Kami mengobrol persoalan kesetaraan gender dan isu-isu kekerasan seksual, “Di kampus gua, keramahan terhadap gender masih kurang,” katanya. Misalnya, dalam cerita Aisyah, bagaimana dosen memperlakukan perempuan dalam seminar di jurusannya. “Ada forum besar, seminar gitu,” kata Aisyah. “Pesertanya cewek-cowok, tapi banyakan cewek. Dia ngomong gini ‘wah mahasiswinya lebih banyak ya dari pada mahasiswa, ini bisa nih kalau misalnya 1:3, poligami'. Anjir, malu gua. Disitu gua kaya pengen turun dari panggung kebetulan itu gua moderator kan,” katanya kesal.

Nah dari cerita seperti itu, masih kata Aisyah, penting sekali mengenalkan kesetaraan gender dan isu kekerasan seksual pada khalayak, khususnya di lingkungan kampus. “Dia kan dosen nih, gue kesel banget, maksudnya lu itu lagi ngajar mahasiswa se-enggaknya lu tuh jaga akhlak, jaga sikap ya. Kaya kagak ada attitude-nya,” katanya geram.

Juga orang-orang merasa sudah menghargai perempuan, tapi di satu sisi sebenarnya sedang menjatuhkan perempuan. “Ya kaya tadi, niatnya bercanda dan merasa menghargai perempuan, tapi kan gak lucu dan apasih,” katanya.

Pengalaman buruk lainnya, Aisyah menjadi korban kekerasan seksual, saat dirinya di lampu merah, “Gua setiap di lampu merah, gua deg-degan banget. Takut ada yang nyelemot payudara gua. Takut karena sebelumnya gua dilecehkan. Jadi, setiap di lampu merah kaya ‘aduh anjir takut kan,maksudnya siapa anjir megang-megang, tanpa consent, gua lemes kaya apa. Waktunya lampu ijo gua ngga ngegas, kaya itu anjing, gua lemes banget,” katanya geram.

“Sampai sekarang gua masih ke trigger, sampai gua kalo lagi di lampu merah, gua masih bingung. Bukan cuma setiap gua berhenti di lampu merah saja. Kalau misal, palang rel kereta kan pasti berhenti juga kan, itu tuh kayak was-wasnya ‘kayak ini samping gua siapa, samping gua siapa’. Ada kemungkinan nggak ya dia tangannya nyelemot, maksudnya jadi takut mulu sepanjang jalan. Apa kabar sama yang diperkosa, apa kabar yang dipukulin sama lakinya, misalnya yang dipaksa lu, maunya ga mau pake kondom. Itu semua traumanya kayak apa sampai entar nikah bisa jadi belum selesai,” lanjutnya.

Dari berbagai masalah yang menimpa dirinya itu, bagi Aisyah penting sekali untuk mereka yang menduduki jabatan strategis kampus membuat berbagai program mengenalkan gender, isu-isu kekerasan seksual dan semacamnya. Lebih-lebih, masih kata Aisyah, kekerasan dan pelecehan seksual itu banyak dari teman-temannya telah menjadi korban. Makanya, penting mengenalkan gender dan isu kekerasan seksual.

“Orang-orang kan tidak aware karena tidak tahu, bahwa kelakuannya melecehkan dan melakukan kekerasan seksual: memperkosa,catcalling (suit-suit dll), bodyshaming (mengolok-olok tubuh kita gendut lah dll), memegang tubuh orang tanpa ada persetujuan dan lain sebagainya,” katanya. Nah, kalau tidak mengerti itu semua kan. Kaya-kaya nih, perlakuan itu semua wajar adanya. Padahal ya tidak,” lanjutnya. Makanya perlu pendidikan gender dan isu-isu kesetaraan, agar paham apa saja kekerasan seksual, bagaimana consentbekerja, apa saja gender dan lain sebagainya.

 Aisyah menawarkan program sekolah gender, kampanye isu kekerasan seksual dan kalau bisa mah sampai tahap advokasi masalah yang menimpa masyarakat kampus perihal kekerasan seksual.

Bikin program sekolah gender itu biayanya murah sekali, kata Aisyah. “Minum, makan dan jajanan bawa sendiri. Pemateri juga seabrek. Ada yang dekat banget dari kita, cuma satu langkah. Teman-teman Fahmina, ada Buya Husein, Pak Marzuki, Terh Nurul sebagai founder Cirebon Feminis, Zaki Faqih yang bikin mubadalah, dari UCC ada Mawar Balqis dan lain sebagainya. Mereka semua kan sudah berjejaring dengan kampus kita,” sambungnya.

Dalam tataran kampanye dan advokasi kekerasan seksual, bagi Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa, jika memang tidak cukup tenaga. Ya ajak institusi atau komunitas yang fokus ke sana, kolaborasi. Kan banyak institusi, komunitas dan lain sebagainya. “Kalau di Fakultas Syariah ada yang namanya Family and Mediation Center(FMC) itu ada di jurusan HKI (Hukum Keluarga Islam), PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak), WMC (Women March Cirebon), Cirebon Feminis dan lain sebagainya.

“Sebelum kita kampanye dan advokasikan kita harus punya satu perspektif yang sama, tentang gender dan kekerasan seksual. Kalau nggak ya bulshitaja, sama aja. Jangan cuma buat nyari panggung, maksud gua, elu edukasi, kampanye dan advokasi. Tetapi ternyata elu pelaku kekerasan seksual,” pungkasnya.

Mengawal kebijakan dan Isu-isu Kampus

Kami mendatangi Mohamad Yusuf Ardabili, aktivis kampus yang aktif di berbagai komunitas, salah satunya Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). “Isu-isu kampus banyak yang mesti dikawal sebanarnya, apalagi di tengah krisis karena pandemi,” kata Billy yang sedang sibuk menyusun skripsi dari Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI).

Persoalan UKT yang menjadi biang kerok putus kuliah dan semakin tahun semakin mahal, diskusi maupun pengawalannya tidak konsisten kan. Nah itu salah satu yang bisa dilakukan oleh teman-teman Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa.

Masih kata Billy, tapi sebelum jauh ke sana (mengawal UKT), dipahami dulu tuh. Apa UKT itu, bagaimana sistemnya, apa saja landasan hukumnya dan lain sebagainya. Jangan kemudian serampangan, mengawal UKT cuma teriak-teriak di aksi doang.

Lebih jauh, Billy menjelaskan bahwa sistem UKT itu sistem subsidi silang, “Makanya kenapa itu UKT ada beberapa golongan. Kalau ditingkat Universitas, ada 7 golongan. Kalau seperti kampus kita, institut itu 5 golongan. Penggolongan itu, agar golongan atas bisa mensubsidi golongan bawah. Juga selain itu, penggolongan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga.

“Kan kita selama ini belum tahu tuh, apakah di kampus kita penggolongan itu, sudah sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga serta golongan atas dan bawah sudah proporsional belum. Itu tugas mereka (SEMA dan DEMA) mencari tahu,” lanjutnya.

Lebih-lebih di tengah krisis ekonomi karena pandemi, kampus dan negara terus-terusan meminta mahasiswa membayar UKT full. Ya meski di kampus kita ada pemotongan untuk beberapa mahasiswa. Tapi kan, krisis ekonomi ini menghantam semua mahasiswa. Bukan beberapa mahasiswa saja.

Kedua, persoalan subsidi kuota dan pemenuhan hak belajar daring. “Kita kan bayar UKT full, fasilitas kampus tidak kita dapatkan. Seharusnya dialihkan ke fasilitas belajar daring: kuota, refrensi buku online, jurnal dan semacamnya. Selama ini kita tidak mendapat apa-apa,” kata Billy.

“Oh ya, persoalan UKT ini juga kan sistemnya pembayaran satu pintu. Itu kenapa namanya Uang Kuliah Tunggal. Jadi, tidak boleh ada pembayaran lagi di luar UKT. Di kampus kita banyak ya, bayar-bayar di luar UKT. Bimbingan PPTQ, yang katanya program unggulan kampus, malah disuruh bayar. Ini bukan persoalan bayarnya kecil atau besar. Tapi kelakuan menarik di luar UKT adalah pungutan liar. Belum penarikan lainnya: studi banding, KKN, ospek dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Billy juga menyoroti isu-isu yang lain, bagaimana kampus kita yang gemar sekali mengatakan untuk taat peraturan. Tapi birokrasi kampus, sering melanggar aturan. Misalnya, persoalan intensif. “Di KRS kan hanya 2 SKS, tapi realitanya lebih dari 2 SKS. Itu kan tidak taat aturan. Harusnya kalau satu SKS 50 menit, belajarnya ya 100 menit dalam satu minggu. Bukan malah 3 sampai 4 jam dua kali dalam satu minggu,” ujarnya.

“Satu lagi, aku kelupaan tadi,” katanya sebelum wawancara kami usai. “Dari tadi kan hanya persoalan mahasiswa, sedangkan masyarakat kampus kan bukan hanya mahasiswa. Ada OB (Office Boy) dan OG (Office Girl), satpam, dosen kontrak dan pegawai lainnya. Nah, disurvei itu perihal gaji layaknya, kesejahteraannya, bagaimana kontraknya dan beban kerjanya. Jangan-jangan, ada ketidakadilan di sana,” ungkap Billy.

“Saya pribadi sih, sensitivitas terhadap segala kebijakan yang tidak pro masyarakat kampus. Dengan punya sensitivitas, maka keberpihakan teman-teman yang menjabat di intra kampus bisa memberikan sumbangsih dan memang untuk kemaslahatan masyarakat kampus,” katanya.

Program Isu Agraria

Setelah dua aktivis memperbincangkan konsentrasi gerakannya masing-masing, kami mendatangi Ahmad Syatori peneliti cum aktivis agraria di ruang kerjanya. Syatori, panggilan kesehariannya mengenalkan kepada kami perihal agraria.

“Manusia itu harus mengenal lingkungan yang mereka tinggal, minimal desanya lah. Agraria itu luas. Menyangkut semua hal, tanah dan teman-temannya itu agraria. Mahasiswa itu mesti mengenal agraria, lebih-lebih yang ekonominya berbasis tanah: tani. Harusnya tidak tani juga, di perkotaan pun sama. Bagaimana perumahan itu dikelola. Bagaimana proses orang memiliki rumah itu. Bagaimana hubungan antara orang-orang di situ,” ungkap Syatori yang kini menjabat Wadek 3 di Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam.

Syatori lebih jauh menjelaskan “Bahwa agraria itu kan, tanah yang di atasnya ditata dan dikelola. Banyak mahasiswa yang tidak tahu. Mahasiswa yang orang tuanya bertani, tidak tahu cara orang tuanya bertani. Itu kan menurut saya konyol, mahasiswa yang seperti itu. Minimal memahami apa-apa yang terjadi disekitarnya,” tandasnya .

Syatori mengkritisi bagaimana kampus tidak memberikan ruang secara proporsional dalam memahami persoalan-persoalan yang ada di desa. Kalau pun ada, hanya dalam program KKN. Selebihnya hanya urusan-urusan kemahasiswaan. Padahal penting sekali menerjunkan mahasiswa di desa-desa. Alasan Syatori adalah karenatidak ada mahasiswa yang tidak terlahir bukan di tengah-tengah masyarakat. Maka, karena kita berasal dari masyarakat ya hidup kita untuk masyarakat.

“Dikiranya, kalau kajian-kajian, penelitian dan pengabdian di masyarakat hanya untuk jurusan-jurusan tertentu. Ya enggak lah. Tidak ada urusannya dengan jurusan ini mah. Semua jurusan wajib memahami ini. Mau ekonomi, jurusan pendidikan, bimbingan konseling atau apapun itu,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Syatori memaparkan bahwa kalau enggak diberi ruang oleh kampus, diciptakan seharusnya. Sebab,banyak orang yang paham teori, tapi tidak mau melakukan. Mereka paham teori persoalandesa. Tapi tidak berkecimpung langsung dengan persoalan, dengan masyarakat. Coba saja perhatikan, dari mulai HMJ, SEMA dan DEMA dari Fakultas sampai Institut kegiatannya apa. Paling banter, kegiatan ke masyarakat cuma donasi saja. Dan itu siapapun bisa melakukan, bukan hanya mahasiswa. Anak punk saja, nyari donasi bantuan di jalanan, kata Syatori.

“Kalau sudah SEMA dan DEMA Institut mestinya kegiatannya jangan hanya itu (donasi). Semua juga bisa, kalau hanya minta sumbangan tanpa koordinasi ini-itu pun, siapapun bisa langsung gerak. Permasalahan masyarakat ini kan kompleks, kegiatan-kegiatan untuk memahami masalah tersebut minim sekali dari SEMA dan DEMA Institut,” kata Syatori.

“Dampak dari minimnya keterlibatan mahasiswa dalam masyarakat, pada akhirnya antara dunia kampus dan dunia nyatanya di masyarakat, gak sambung. Ini problem mendasar dari kehidupan mahasiswa,” sambungnya.

Syatori mencontohkan bagaimana bergerak dan mengorganisir di desa. Selain butuh konsistensi dan militansi yang tinggi, bukan berarti pengorganisiran di desa tidak bisa dilakukan oleh mahasiswa.

Saya punya bayangan turun di desa begini, kata Syatori memulai membuat program di desa. Setiap anggota dari lembaga: HMJ, SEMA atau DEMA kan pasti kan berasal dari desa. Nah, terjunkanlah mereka ke desanya masing-masing. Identifikasi apa saja masalah di desa. Soal pendidikan misalnya, yuk kita data ada gak sih di kampung kita yang putus sekolah. Cari anak-anak yang putus sekolah. Di data dulu, oh ternyata ada sekian. Pak kepala desa tau enggak ada ini. Warganya ada yang putus sekolah ini. Kelas 4 SD sudah tidak lanjut ini. Lalu bagaimana kita sebagai pemuda menyelesaikan masalah ini? Kan itu melakukan sesuatu. Entah bikin sekolah alternatif untuk mereka. Kalau bisa ya cari akses untuk pendidikan mereka.

Itu semua simpel, kalo mau lebih berat lagi banyak. Begitu selesai penelitian, dia bisa jadi aktivis di desanya dan mengabdi di sana. Biar di kampungnya, mahasiswa itu jadi leader semua.Agar mahasiswa bisa aktif dan produktif di kampungnya.

“Di kampus belajar teori, konsep dan metodenya. Di kampung  praktiknya: mengorganisir dan memberikan edukasi pada masyarakat. Minimal desanya sendiri,”ucap Syatori. “Sok-sokan di sini (kampus) jadi aktivis, ketua HMJ, Fatsoen, ketua DEMA dan SEMA. Begitu pulang, di kamar aja gak ngapa-ngapain.Dengan karang taruna gak gaul, dengan remaja masjid gak gaul, dengan anak-anak muda di sekitar kampungnya gak gaul. Gak bisa melakukan apa-apa.Kegiatan mahasiswa banyak yang gak mutu, orientasinya hanya hura-hura. Petantang-petenteng, di kampus jadi ketua ini dan itu. Di rumah gak jadi apa-apa. Cupu, di kamar terus, main game. Temannya itu-itu aja. Di kampungnya gak punya relasi,” pungkasnya.

Program ‘Melek’ Hukum

Terakhir, kami menghubungi praktisi hukum dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Cirebon, Diding Rahmat. “Kita ngopi-ngopi di depan kampus IAIN saja,” kata Diding, sapaan akrabnya, saat ditanya pertemuan untuk wawancara via Whatsapp.

“Sebab, hari ini laku kritis mahasiswa harus didasari hukum. Karena kalau mahasiswa tidak memahami hukum, bisa jadi nanti mahasiswa akan keseleo atau berhadapan dengan hukum,” kata Diding, yang juga dosen UNIKU. “Bahkan khawatir dikriminalisasi, seperti yang banyak terjadi diantara mahasiswa yang kritis dihadapkan pada UU ITE. Oleh karena itu, hukum sebagai dasar negara itu harus dipahami oleh mahasiswa. Sehingga ketika mahasiswa melakukan gerakan, ketika mahasiswa melakukan peningkatan kesadaran kritisnya harus berdasarkan hukum,” sambungnya.

Diding menjelaskan lebih jauh, bagaimana pemahaman hukum penting sekali untuk mahasiswa. Agar mahasiswa mengetahui hak-haknya, misalnya perihal memperjuangkan kepentingan sosial ekonomi mahasiswa. Apa kepentingan sosial ekonomi mahasiswa berkaitan dengannilai-nilai, berkaitan dengan sarana prasarana, berkaitan dengan metodologi mengajar, kualitas dosen, kurikulum, membangun kesadaran mahasiswa, memperjuangkan kepentingan-kepentingan mahasiswa, kepentingan problem mahasiswa. Apa problem kepentingan mahasiswa? Problem di  masa ini apa? Apakah kuota, apakah SPP diturunkan atau apakah mimbar akademiknya yang kurang maksimal dan lain-lainnya. Nanti dianalisa sendiri kemudian setelah dianalisa di  perjuangkan, perjuangkanlah itu.

Nah sebelum menganalisa masalah-masalah itu semua, kata Diding, kan kita membutuhkan data dan bagaimana kita bisa mendapatkan data itu. “Sebab, salah satu hak dasar sebagai warga negara adalah hak asasi terhadap informasi vide Pasal 28 F UUD 1945, terkait kebebasan mendapatkan informasi negara memberikan dasar hukum yaitu UU terkait dengan Keterbukaan Informasi Publik sebagaimana UU No.14 Tahun 2008,” tuturnya.

Memang tidak mudah untuk mendapatkan data, karena alasan-alasan tertentu. Hal itu, kata Diding, selain melalui audiensi dengan birokrat kampus, agar bisa mendapatkan data yang dibutuhkan. Bisa ditempuh melalui gugatan hukum.

“Bisa dengan mengajukan permohonan informasi disertai alasan pentingnya informasi tersebut kepada pejabat/badan publik, alhamdulillah Kota Cirebon sudah punya Komisi Informasi. Tentu,jika ada pihak yang tidak memberikan akses informasi dan dirasa akses informasi itu penting gitu ya. Maka ada upayanya, apakah nanti melakukan upaya hukum terhadap Komisi Informasi dengan cara ngajuin permohonan/keberatan terhadap pihak-pihak pejabat/badan publik yang tidak memberikan informasi, bahkan bisa melakukan laporan pidana berdasarkan Pasal 52 UU KIP terhadap badan publik yang tidak memberikan infomasi tanpa alasan yang jelas bisa di pidana dengan sanksi 1 tahun penjara dan denda 5 Juta,” ungkapnya.

Upaya menumbuhkan kesadaran akan hukum, kata Diding, harus dimunculkan dengan banyak kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada studi studi hukum seperti entah itu diskusi, pelatihan, kemudian workshop atau semacam pembentukan studi-studi hukum itu bisa menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa akan hukum.

Lebih jauh, Diding menerangkan bahwa di alam demokrasi harusnya keterbukaan informasi menjadi hak dasar warga negara. Sebab, esensi demokrasi adalah esensi transparansi, esensi partisipasi, dan kemudian adanya emansipasi. Nah kalau itu tidak ada ya sudah kemudian ada yang kurang dari nilai-nilai demokrasi.

“Jadi, semakin terbuka akan informasi, semakin bagus,” ungkapnya.

Bukan hanya persoalan di kampusnya yang menjadi fokus mahasiswa, kata Diding, mahasiswa sebagai pelopor gerakan harus peka terhadap permasalahan rakyat. Karena mahasiswa banyak punya waktu luang, banyak waktu membaca buku,waktu untuk berdiskusi. Itu yang tidak dirasakan oleh buruh dan Tani.

Buruh kapan  berdiskusinya? Kerja dari jam 05.00 pagi misalkan, baru selesai jam 5 sore sudah tunduh manten udah ngantuk duluan kan. Terus petani juga disibukan dengan mencangkul dan segala macam: mikirin bibit, tanah. Kapan berdiskusinya.

Sehingga mahasiswa lah yang punya inisiatif untuk kemudian membaca situasi nasional, membaca situasi problem-problem petani miskin, problem-problem buruh miskin dalam konteks negara kita yang kemudian banyak problem petani yang kemudian tidak punya tanah, belum lagi problem bibit, problem distribusi hasil tani, problem impor hasil pertanian.

Kemudian, belum lagi problem buruh terkait upah buruh, belum lagi buruh-buruh yangoutsourcing, buruh paruh waktu. Apalagi nanti justru ada buruh yang sifatnya per- jam, ART. Itu kan hal-hal yang kemudian harus menjadi perhatian mahasiswa untuk bagaimana mengubah kondisi-kondisi untuk kebaikan.

Kalau bahasa yang sering kita dengar adalah bagaimana yang dilakukan oleh Nabi kita Muhammad SAW, ia mampu dengan ayat Iqranya, dia bisa membaca realitas Makkah, yang pada saat itu dalam kondisi perbudakan, yang kemudian beliau melawan perbudakan itu dengan mencoba membangun konsep memanusiakan manusia. Kemudian, sering kita dengar istilah zaman Jahiliyah  bisa dihancurkan. Nah itu, mahasiswa harus paham peran, perannya adalah support, kemudian integral.

Kedua, lebih tinggi lagi integral. Integral itu ya menyatu dengan petani miskin untuk memperjuangkan nasib petani miskin, menyatu dengan buruh miskin untuk memperjuangkan nasib buruh. Dalam konteks sosiologi, kemajuan negara itu harus sejahtera buruhnya, harus maju petaninya, pasti maju ini negara. Kalo petaninya miskin, buruh upahnya rendah, apalagi buruh PRT belum ada peningkatan. Juga akan sia-sia, kita ngomongin negara yang adil, makmur dan blablabla, yang ideal gitu.

Kalau yang saya pahami itu pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Pendidikan itu bukan untuk menghasilkan pekerja-pekerja yang disiapkan untuk pasar. Tapi, pendidikan itu harus dijadikan sebagai alat untuk menyelesaikan problem bangsa, problem hutang, problem penguasaan sumber daya oleh orang asing, problem kemandirian ekonomi, problem ketidakadilan hukum, problem kesejahteraan sosial.

“Pendidikan sudah hadir ngga ke sana? Jangan-jangan kampus sebagai tempat pendidikan seperti menara gading saja. Ngomongin kemiskinan di kelas, tapi ketika sudah keluar kelas, lupa. Kemiskinan yang terjadi di lingkungannya, terjadi di daerahnya, terjadi di negaranya,” pungkas Diding.

Penulis: Sulthoni

Reporter: Sofi, Nisa, Dian, Rifaldi dan Delima.

 

(Illustrasi : Fauzan Alfani)

LPM FatsOen, Cirebon-Pusat Studi Gender dan Anak(PSGA) merupakan tim yang dibentuk dalam rangka melakukan pencegahan,penanganan serta perlindungan kepada masyarakat kampus terhadap kekerasan seksual berbasis gender yang terjadi di lingkungan IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Tim PSGA tersebut dinahkodai oleh Naila Farah, dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) yang dilantik langsung pada tanggal 16 Oktober 2020 lalu oleh Rektor. Tim yang beranggotakan 14 orang yang terdiri dari jajaran dosen tersebut dibuat untuk merumuskan kebijakan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual yang kemudian dilaunching oleh salah satu tim PSGA dalam webinar pada tanggal 30 Desember 2020.

Pembentukan tim tersebut perlu dilakukan karena setiap perguruan tinggi di Indonesia harus mempunyai peraturan rektor tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual, apapun itu kampusnya. Sebagai pimpinan tim, Naila mengakui bahwasanya kampus IAIN sendiri sudah tertinggal dari kampus lain dalam penetapan peraturan rektor, karena sebenarnya himbauan mengenai hal tersebut sudah lama dilayangkan namun baru terealisasi. Mengenai awal mula terbentuknya PSGA sebenarnya sudah ada sangat lama, bahkan sejak kampus IAIN berdiri, namun eksistensi PSGA sendiri baru tercium akhir-akhir ini.

Pembentukan PSGA merupakan tuntutan dari pemerintah pusat, karena pada realitanya selama ini banyak terjadi praktik diskriminasi yang menjadikan perempuan sebagai obyeknya. Komnas perempuan menyatakan bahwa “Setiap universitas, lembaga, organisasi, itu tidak boleh ada diskriminasi perempuan”. Berdasarkan hal itu maka dibentuklah tim PSGA sebagai garda terdepan dalam menangani kasus diskriminasi khususnya terhadap perempuan. Bukan hanya untuk menangani kasus diskriminasi, namun PSGA juga turut menyuarakan kesetaraan gender.

Didirikan PSGA itu ya untuk menekankan bahwa laki-laki dan perempuan itu harus sama, bukan laki-laki saja yang bisa jadi Dekan, perempuan juga bisa selama dia mampu.  Bukan hanya laki-laki saja yang bisa jadi Rektor, perempuan juga bisa. Jadi disini, Komnas perempuan menginginkan setiap lembaga atau organisasi apapun itu 30% dari 100% harus ada perempuannya.Dan salah satu bukti kampus kita mendukung peraturan Komnas perempuan dan pemberdayaan perempuan, itu dengan menempatkan posisi-posisi di universitas, fakultas, atau bahkan di Rektorat itu ada perempuannya, tukas Naila.



Setelah resmi dilantik, tim PSGA segera bertindak cepat mengingat kekerasan seksual merupakan sesuatu yang urgent. Tim PSGA sendiri tanpa menunggu lama segera merumuskan Surat Keterangan yang berisi kebijakan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di kampus. Setelah hampir setengah bulan, akhirnya surat tersebut mendapat persetujuan dari pihak Rektor.

Sebelum dibuatnya peraturan rektor mengenai PPKS (Pencegahan Penanggulangan Kekerasan Seksual).Berangkat dari survey melalui google form yang selanjutnya diisi oleh seluruh masyarakat kampus dan sekitarnya, seperti mahasiswa, dosen, hingga karyawan cleaning service bahkan pedagangpun tak dilewatkan. Setelah data terkumpul, hasilnya menunjukan bahwasanya banyak sekali terjadi kasus kekerasan seksual di sekitar kampus, mayoritas yang membuat aduan tersebut ialah dari kalangan mahasiswa dan korbannya didominasi oleh mahasiswi.

Untuk memperjelas arah langkah serta penerapan standar operasional PSGA, maka diperlukan Standar Operasional Prosedur (SOP). Namun untuk SOP sendiri belum mendapat persetujuan dari pimpinan.

Jadi tinggal nunggu di-acc oleh pimpinan, tim PSGA bekerja dengan baik jadi peraturan rektor bisa langsung jadi, dan dari peraturan itu ada pertemuan di Jogja dengan Komnas perempuan dan PSGA Cirebon diundang untuk mempunyai peraturan tentang PPKS.Dari situ, Komnas HAM perempuan sudah mengeluarkan peraturan rektor itu adanya SOP. Dan untuk kedepannya mudah-mudahan tahun ini Ibu sudah konsultasi dan lapor ke pimpinan untuk adanya ruang konsultasi tentang kekerasan seksual.Jelas Naila.

Dalam perjalanannya, SOP tersebut tidak secara sim salabim jadi dan ditetapkan. Berdasarkan yang disampaikan oleh Ketua LP2M, Ahmad Yani, SOP yang telah diajukan pada bulan Januari tersebut perlu dibedah terlebih dahulu oleh pimpinan, lalu ditimbang tepat atau tidaknya. Namun faktanya hingga saat ini SOP tersebut belum kunjung dibedah. Naila sebagai pimpinan PSGA sendiri mengaku telah mengajukan permohonan pembedahan SOP di awal bulan februari, namun sampai saat ini belum jugaa mendapat fasilitas akan hal tersebut.

Selain itu, Naila mengungkapkan bahwa sejak November lalu PSGA sudah mengajukan fasilitas berupa ruangan. Namun hingga saat ini belum diberikan sehingga konsultasi dengan korban kekerasan seksual yang sejauh ini dilakukan hanya sebatas melalui pesan pribadi kepada pimpinan atau tim PSGA. Hal ini menunjukkan bahwasanya pihak kampus belum begitu serius dalam mendukung perkembangan PSGA yang pada dasarnya memberikan banyak pengaruh bagi marwah kampus sendiri.

SOP yang belum ditetapkan tentu berimbas pada gerak langkah PSGA. Hal ini membuat PSGA lambandalam merespon kasus diskriminasi/kekerasan yang telah terjadi. Naila sendiri mengungkapkan beberapa motif yang kerap dilakukan oleh pelaku kekerasan seksual, diantaranya ialah kasus yang dilakukan oleh dosen yang menggunakan relasi kuasa dalam melancarkan aksinya, seperti memberikan ancaman berupa nilai, jika tidak mau mengikuti kehendak yang diinginkan.Penggunaan relasi kuasa tersebut pada akhirnya membuat korban bungkam atas kejadian yang menimpanya.

Terdapat pula kasus yang dilakukan oleh pasangan korban, dimana korban diberikan minuman sehhingga korban tidak sadarkan diri. Perilaku kekerasan tersebut tidak hanya melalui fisik, namun bisa juga melalui verbal atau pesan seluler.

Jika SOP telah ditetapkan, maka langkah bijak yang diambil oleh PSGA ialah membentuk dewan etik. Dewan etik tersebut bertugas memanggil pelaku dan korban, namun tim mengaku akan berkomitmen dalam menjaga kerahasiaan korban. Hal ini tentu perlu dilakukan, agar privasi korban tetap terjaga.

Dalam menyuarakan eksistensinya, tim PSGA sendiri telah menggaet beberapa mahasiswa dan dosen yang aktif dari berbagai fakultas. Kemudian mahasiswalah yang apada akhirnya berperan  dalam mensosialisasikan pencegahan serta penanganan kasus kekerasan seksual tersebut.

Dengan dibentuknya tim PSGA diharapkan dapat mencegah serta menangani kasus diskriminasi atau kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus yang mana sebagian besar korbannya ialah perempuan.

“PSGA harus membumi, harus memberikan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat kampus. Menjadikan kampus tercinta bebas dari kekerasan seksual. Kita jihad bareng-bareng ya, memerangi kekerasan seksual,” pungkas Naila.

Penulis: Deda

Reporter: Maya, Zulva

 

(Illustrasi : Fauzan Alfani)

LPM FatsOen, Cirebon-8 Maret ditandai sebagai hari perempuan internasional (IWD). Adalah pagelaran besar dengan tujuan menghormati peran perempuan. Apakah penghormatan terhadap perempuan hanya dilakukan pada 1 hari saja? Tentu tidak, penghormatan terhadap perempuan harus kita laksanakan setiap hari, karena penindasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi 1 hari.

Penindasan terjadi terus menerus, bertubi-tubi dan berhari-hari. 8 Maret hanyalah tanda, bahwa perlawanan akan terus dikobarkan, bahwa tuntutan tetap terus dilayangkan, bahwa harapan tak pernah henti untuk diperjuangkan.

Perjuangan perempuan sangat berkaitan dengan perjuangan kelas. Yang tentunya, tak hanya terfokus pada isu-isu keperempuanan. Cakupannya lebih jauh daripada itu, memperjuangkan kesetaraan hak, keadilan, membersamai mereka yang termarjinalkan serta menghapuskan penindasan serta ketimpangan.

Seperti yang dilakukan oleh Clara Zetkin (penggagas gerakan perempuan internasional). Ia merupakan teoritisi juga aktivis yang memperjuangkan pembebasan perempuan melalui perjuangan kelas pekerja. Melihat fenomena yang terjadi di dunia. Seringkali kita jumpai bahwa peran laki-laki lebih dominan dibanding perempuan. Di dinding-dinding sekolah misalnya, begitu sesaknya dipenuhi oleh poster-poster pahlawan laki-laki, kalaupun ada perempuan jumlahnya hanya beberapa. Para teoritisi serta intelektual yang dimunculkan kepublik, sebagian besarnya pun adalah laki-laki.

Hal-hal semacam itu semua diperparah dengan asumsi yang dibangun bahwa perempuan hanya mampu melakukan pekerjaan domestik. Perempuan kemudian diatur dan dikontrol sehingga hanya terlibat pada kerja-kerja domestik tidak dibayar. Sementara pekerjaan yang sifatnya mencari penghasilan hanya dilakukan oleh laki-laki, dibayar dan dihargai. Adapun perempuan yang juga mencari penghasilan, sifatnya hanya membantu laki-laki untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

Keadaan ini diperburuk dengan masih banyaknya kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan. Kemudain daripada itu, anggapan semacam ini yang menyebabkan sempitnya ruang publik bagi perempuan, perempuan hanya memiliki sedikit ruang untuk mempelajari banyak hal, akibatnya perempuan rentan akan kemiskinan. Inilah mengapa perjuangan perempuan mempunyai kaitan yang erat dengan perjuangan kelas.

Kemudian bagaimana partisiapasi mahasiswa dalam menjaga eksistensi perjuangan? Mahasiswa harus menjadi penggerak rakyat. Karena hanya ia yang mempunyai waktu mempelajari berbagai macam teori, berdiskusi, hingga melakukan aksi. Para pekerja tak mempunyai kesempatan untuk itu. Waktunya telah habis dipabrik-pabrik, sawah, hingga lautan.

Mahasiswa harus bisa mendobrak asumsi lama bahwa perempuan hanya berada dalam bayang-bayang laki-laki. Mengaplikasikan semua teori yang sudah dipelajari, dan membuat paradigma baru untuk mencapai kesetaraan, keadilan, dan kemaslahatan dimasa yang akan datang. Memperjuangkan hak-hak perempuan adalah perjuangan merawat kehidupan. Karena perempuan adalah penerus peradaban.

Penulis: irfkifluda

 

(Illustrasi : Fauzan Alfani)

LPM FatsOeN, Cirebon - H adalah seorang aktivis kampus yang berkecimpung di berbagai organisasi intra maupun ekstra kampus. Hubungan H dengan penyintas yang selanjutnya kami panggil Mawar ini, adalah teman dekat. Mawar mengakui bahwa pelaku adalah seseorang yang mudah melakukan interaksi dengan orang baru. “Aku akui memang, dia orang yang punya kelebihan dalam komunikasi dengan orang baru, bikin orang baru nyaman. Membuat orang lain bisa percaya, bisa klop sama dia,” tutur Mawar kepada LPM FatsOen.

“Dulu itu waktu awal-awal semester kan engga banyak ikut kegiatan. Jadi ketemu orang, langsung percaya. Nah, ketemulah aku dengan H. Itu percaya banget, kemana-mana sama dia dan kebetulannya satu jurusan tapi beda kelas. Dari ngerjain tugas, orang tua dia sakit, orang tua aku sakit sama-sama faham dan berkabar,” kata Mawar menambahkan.

Mawar menceritakan awal kedekatannya dengan H. Namun tindakan H yang tadinya lembut dan menghargai Mawar perlahan berubah. H sering memaki dan melontarkan pelecehan verbal. Dari mulai ejekan fisik seperti “Ih dasar pendek, tapi payudara gede.” Sampai menghina sikap Mawar “Mana mungkin kamu gak pernah.(berhubungan seksual). 

“Singkat cerita waktu itu mau dianterin pulang ke rumah di arah Sumber, kalau dari Majasem, lurus ngelewatin bawah jembatan, tapi kalau belok lampu merah pertigaan,” ungkap Mawar.

Jalan yang Mawar maksud adalah jalan alternatif perkampungan yang minim penerangan jika malam. Mawar menceritakan kejadian itu seperti baru merasakannya kemarin. Ketakutan masih terasa di nada bicaranya. “Di situ berhenti (bawah fly over), terus dipaksa buat ‘kamu jongkok! kamu cium kemaluan (oral seks)!’” kata Mawar.

“Masih selamatnya itu karena ada orang. Posisinya emang udah malem, kegiatan pulang malem. Kegiatan organisasi ekstra. Pada saat itu engga cerita ke siapa-siapa karena malu.”Imbuhnya. Peristiwa ini bisa dibilang miris. Sebab, kejadian ini tidak berlangsung hanya sekali.

Kejadian selanjutnya, saat Mawar menolak untuk diantarkan pulang, H terus menerus memaksanya. Bahkan Mawar memberanikan diri untuk loncat dari motor H yang masih melaju. “Aku pernah nolak dianterin, tapi dia maksa buat aku duduk di motornya. Aku minta turun padahal udah mau sampe gang. Tapi dia nolak. Udah wae aku loncat dari motornya.” ucap Mawar.

Kejadian serupa, sambung Mawar, kembali terulang di kantor kesekretariatan tempatnya berorganisasi. H memfoto Mawar dengan men-zoom bagian dadanya. H mengancam bahwa foto itu akan ia sebar luaskan apabila Mawar enggan melakukan apa yang H minta. Namun dengan segala pemaksaan, Mawar menolak dan lagi-lagi berhasil kabur dari tangan H.

“Pemaksaannya kaya yang dia lakukan di bawah jembatan itu. Tapi aku keras kepala. Nolak mah nolak aja.” jelas Mawar.

Meski berhasil selamat dari beberapa kejadiaan ini, hal tersebut membawa dampak buruk bagi kondisi psikologis Mawar. Ia menjadi pribadi penakut, tidak seaktif dan sekritis yang dulu. Sampai seorang dosen menyadari perubahan tingkah lakunya, dan memberikan konseling kepada Mawar.

“Dalam proses pendampingan itu kan aku didampingi oleh satu dosen yang bener-bener telaten, sabar untuk engga papa nangis, gapapa marah. Pokoknya sampe emosi itu terbuang, jadi kalau inget nama itu (nama pelaku), inget orang itu engga terbawa emosi lagi.” paparnya.

Dalam proses pendampingan, dosen tersebut mengenalkan Mawar dengan salah satu penyintas yang mengalami hal serupa.“Disuruh nemenin seseorang, dengerin cerita dari orang. Ternyata orang itu mendapat perlakuan yang sama.Aku tanya, ‘Siapa orang (pelaku) itu?’ ternyata dengan satu orang (pelaku) yang sama, dan dari beberapa cerita juga ada beberapa orang (penyintas) juga,” ujarnya.

“Orang yang melecehkan itu, sampai sekarang malah semakin mendapatkan panggung dan dikenal oleh banyak orang. Buktinya memang begitu, sampai sekarang dia masih menjadi pembicara, masih aktif di organisasi, aktif sana sini.” tambah Mawar.

Meski beban psikis yang dirasakannya begitu berat, bertahun-tahun dirasakannya sendiri. Saat kami menanyakan hukuman apa untuk pelaku, Mawar tak menanggapi. Mawar, berpesan pada siapapun yang mengalami kekerasan seksual untuk bersuara.

“Aku berharap lebih banyak orang yang bisa speak up. Banyak orang yang peduli mereka, jangan langsung menjudge kalau ada orang yang bercerita. Banyak orang yang menemani, meyakinkan kalau mereka tidak sendiri.” pungkas Mawar.

 

Catatan:

- Nama penyintas dan pelaku dirahasiakan, sebab itu keinginan penyintas.

- Jika teman-teman melihat atau menjadi korban kekerasan seksual di kampus, bisa bercerita ke email fatsoen redolfatsoen@gmail.  Kami juga akan mendampingi penyintas kekerasan dalam pemulihan psikis sampai mendapatkan keadilan.

Penulis: Zulva

Reporter: Zulva dan Maya

 

(Illustrator: Fauzan Alfani)

LPM FatsOeN, Cirebon- Pemilihan Ketua DEMA-I yang sudah berlangsung pada Selasa (2/02) lalu menghasilkan satu kandidat terpilih, yakni saudara Rio Maheso Jenar. Pemilihan ini berlangsung secara tertutup dengan menggunakan keterwakilan, yaitu dengan peserta dari delegasi setiap jurusan. 

Mengenai ini, Ketua Umum SEMA-I mengatakan bahwa persidangan MUDEMA-I hanya untuk internal. "Jadi, karena ini hanya untuk internal, sifatnya rahasia," Timpal Akrom pada reporter FastsOeN pada Selasa (2/02) lalu. 

Hal ini memicu pertanyaan-pertanyaan tentang pelaksanaan demokrasi di kampus IAIN Cirebon ini, Kondisi demikian dikeluhkan oleh Omar, salah satu mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang berada di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab menurutnya keterwakilan ini sistem harus  dibenahi. “Banyak teman-teman saya yang berada di PTN-PTN ini memiliki konsep pemira dan ini memiliki euforianya tersendiri juga. hal-hal yang bisa menjadi eksistensi dan esensi mereka masing-masing,” Tuturnya kepada reporter LPM FatsOeN pada Rabu (17/02) lalu

Berkaitan dengan hal ini pada Selasa (16/02) lalu, Warek III menanggapi, “Jadi keterwakilan itu sebenernya dasarnya POK dari Dirjen Pendis. Sebenernya itu sudah 2011, 2012 itu sudah ada. Cuma selama itu belum terlaksanakan, baru ketika saya Dekan Tarbiyah saya turunkan jadi POK Fakultas Tarbiyah. Kan itu amanat dari pusat seperti itu. Nah ketika jadi Warek 3 saya juga sudah menemukan dokumen itu telah dilaksanakan. Akhirnya, saya pun laksanakan sesuai POK. Itu kebijakan dari pusat,” Tuturnya

Menurutnya, system ini adalah system yang efektif untuk diterapkan di kampus yang masih membangun ini, serta dapat mengurangi perpecahan antara UKM dan kelompok-kelompok partai. 

”Nah menurut saya ketika ada alternative keterwakilan dari pusat seperti itu, Nampak lebih kondusif. Meski ada negative nya, mereka cenderung positifisme efektualisme. Efektif memang betul, tetapi kampus yang sedang membangun seperti kita memang butuh itu lebih kondusif,”

Namun, beberapa kendala mengenai teknis keterwakilan ini masih belum sempurna, seperti halnya yang dikeluhkan Omar. “cara ini efektif, tapi bukan yang paling efektif, karena menciderai nilai-nilai demokrasi kampus, karena teman-teman yang tidak menjadi delegasi tidak mempunyai hak suara, apalagi yang menjadi delegasi ini tanpa memusyawarahkan terlebih dahulu dengan jurusannya,” Tuturnya.

 Mengenai hal ini Ilman pun mengakui bahwa baik system keterwakilan maupun pemira sama-sama memiliki plus-minusnya. “Sekarang kan keterwakilan alhamdulillah kondusif, ya yang saya sebut tadi meski ada (-) nya ya. Ada semacam stagnasi pemikiran demokrasinya,” Ungkapnya. 

Untuk mengatasi stagnansi ini Warek III pernah mengadakan program diskusi terbuka dengan mengundang organisasi ekstra (Cipayung) Bersama dengan SEMA-DEMA. Namun kegiatan tersebut hanya berjalan selama satu-dua kali saja. 

Penulis : Khotimah

Reporter : Sulthoni, Dimas




Menilik Sistem Demokrasi Kampus di IAIN Syekh Nurjati Cirebon

LPM FatsOeN, Cirebon - Josiah Ober dalam The Original Meaning of Democracy (2008) dan Origin of Democracy in Ancient Greece (bersama Kurt A. Raaflaub dan Robert Wallace, 2007) mengajukan pertanyaan provokatif, jika demokrasi dirunut asal usulnya dari kata Yunani yang terdiri dari demos dan kratos, dengan demos seringkali diartikan rakyat dan kratos sebagai kekuasaan, lalu demokrasi berarti “kekuasaan oleh rakyat”. Tapi kekuasaan dalam pengertian apa? Dalam cuaca politik modern kita lantas akan tegas menjawab, kekuasaan memutus perkara dan pilihan atas dasar aturan oleh mayoritas. Jika demikian halnya, Ober meneruskan, demokrasi akan menghadapi dilema: sebagai sistem politik yang direduksi menjadi sekedar mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan voting, dan jika secara inheren voting mengandung cacat sebagai mekanisme pengambilan keputusan, maka demokrasi secara inheren juga cacat sebagai sistem politik (Kenneth Arrow,1963; Anthony Downs,1957). Karenanya kita perlu memikirkan definisi demokrasi secara lain akibat kedangkalan dan pemburukan makna ini.

Melihat carut marut dinamika pergulatan demokrasi di IAIN Cirebon yang sudah terhegemoni dengan kuat, sehingga menurunkan makna demokrasi secara utuh. Kondisi demikian dikeluhkan oleh Omar, salah satu mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang berada di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab menurutnya keterwakilan ini sistem harus  dibenahi. “Banyak teman-teman saya yang berada di PTN-PTN ini memiliki konsep pemira dan ini memiliki euforianya tersendiri juga. hal-hal yang bisa menjadi eksistensi dan esensi mereka masing-masing,”

Menilik empat tahun kebelakang, IAIN Cirebon sendiri menggunakan sistem keterwakilan. Hal ini diakui oleh ketua Senat Mahasiswa Institut, “Di IAIN Cirebon sendiri menggunakan sistem keterwakilan, karena berdasarkan surat keputusan Dirjen Dikti yang menggunakan sistem keterwakilan,” ungkap Akrom

Hal itu senada dengan keterangan dari Ilman, selaku Warek III IAIN Syekh Nurjati Cirebon saat ditemui oleh wartawan FatsOeN, “Jadi, keterwakilan itu sebenernya dasarnya POK dari Dirjen Pendis. Sebenernya itu sejak 2011, kemudian di Tahun 2012 itu sudah ada. Cuma selama itu belum terlaksanakan, baru ketika saya Dekan Tarbiyah saya turunkan jadi POK Fakultas Tarbiyah. Kan itu amanat dari pusat seperti itu. Nah ketika jadi Warek 3 saya juga sudah menemukan dokumen itu telah dilaksanakan. Akhirnya, saya pun laksanakan sesuai POK. Itu kebijakan dari pusat,” ungkapnya. 

Sebab demikian, beberapa kampus yang berada dibawah naungan Kementrian Agama (Kemenag) banyak menggunakan sistem keterwakilan dalam proses pemilihan ketua SEMA-DEMA, diantaranya adalah UIN Sunan Gunung Djati, UIN Alaudin, UIN Walisongo dan lainnya.

Teknis Pemilihan yang Belum Rapih

Menurut Omar untuk melihat kedemokratisan di kampus ini, tentu berkaitan dengan sistem yang digunakan. Ia menyampaikan sesuatu apa yang tidak hanya ia sampaikan saja, melainkan dari teman-temannya juga, melalui obrolan perihal sistem keterwakilan dengan temannya yang lain. “Cara ini efektif, tapi bukan yang paling efektif, karena menciderai nilai-nilai demokrasi kampus, karena teman-teman yang tidak menjadi delegasi tidak mempunyai hak suara. Apalagi yang menjadi delegasi ini tanpa memusyawarahkan terlebih dahulu dengan jurusannya,” ungkapnya

Dia mengatakan, dalam sistem keterwakilan ini ada orang menjadi delegasi jurusan, entah itu betul-betul dipilih atau menawarkan sendiri. Delegasi tersebut seharusnya membawa suara jurusan yang sudah dikolektifkan dari jurusan masing-masing 

“Yang saya perhatikan di jurusan saya sendiri, yang menjadi ketua Senat atau Demanya tidak seringkali ada interaksi dengan keluarga besar jurusan melalui grup whatsapp atau yang lainnya. Seharusnya yang menjadi delegasi dipemilihan memusyawarahkan di jurusannya dan menanyakan kepada masing-masing individu, agar yang dia bawa adalah suara dari jurusannya, bukan atas nama pribadi karena alasan tertentu atau suatu golongan yang terkait,” tuturnya. 

Warek III pun mengatakan bahwa entah dalam sistem keterwakilan ini ada plus minusnya. “Nah sekarang kan keterwakilan alhamdulillah kondusif, ya yang saya sebut tadi meski ada plus-minusnya ya. Ada semacam stagnasi pemikiran demokrasinya. Tapi saya termasuk orang yang untuk sampai saat ini  untuk Cirebon ini lebih kondusif menggunakan ini,” tutur Ilman. 

Hak Otonomi kampus, masih berlaku kah?

 Muhammad Ali Ramdhani selaku Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam mengungkapkan “Sk dirjen ini sifatnya mengikat, untuk seluruh PTKIN. Karena model demokrasi kita juga banyak cirinya, seperti one man one vote dan keterwakilan. Dan ukuran serta kemaslahatan ada pada perwakilan. Dan seluruh PTKIN wajib menerapkan sistem ini,” Ungkapnya saat ditemui reporter LPM FatsOeN.

Meski demikian kampus mempunyai otoritas besar dalam mengatur kebijakannya sendiri, hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi pada Pasal 64 ayat 1-3, yang berbunyi :

Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagamana dimaksud pada pasal 62 meliputi bidang akademik dan nonakademik

Otonomi pengelolaan bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional sera pelaksanaan Tridharma

Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasioanl serta pelaksanaan :

Organisasi;

Keuangan;

Kemahasiswaan;

Ketenagaan, dan

Sarana dan prasarana

Mengenai hal ini Ketua Senat Mahasiswa Institut mengatakan “Mengenai hak otonom SEMA untuk merubah POK itu sebenarnya bisa, hanya saja ada beberapa proses yang harus ditempuh, mungkin waktunya tidak cukup, ditambah dengan kondisi di tengah Pandemi,” timpal Akrom

Menurutnya, untuk merubah sistem ini perlu dilengkapi dengan batasan periodisasi, pembentukan badan-badan pendukung lainnya, semacam KPU dan BAWASLU, serta pembentukan PARPOLMA (partai Politik Mahasiswa). Namun semua itu butuh Standar Operasional Prosedur (SOP) yang rapih. Sedangkan di IAIN sendiri mengenai administrasi dan keuangan masih belum tertata rapih. 

Dia juga mengatakan bahwa saat ini Warek III mengamanatkan agar memperbaiki dari SOP-nya terlebih dahulu.  Seperti SOP pembentukan UKM dan UKK belum ada aturan yang baku.

“Mungkin regenerasi selanjutnya bisa menyelesaikan hal ini,” pungkasnya

Bisakah Kampus Mencapai Tatanan Demokrasi yang Ideal?

Minimnya partisipasi mahasiswa menyebabkan kelanggengan akan stagnansi demokrasi yang ada di kampus ini. Hal itu dipaparkan oleh Omar yang mengatakan bahwa masih banyak mahasiswa yang masih awam mengenai isu ini, maka dari itu tak heran jika mereka bersikap acuh tak acuh terhadap hal ini. 

“Bahwa untuk menyoroti isu demokrasi kampus, ini tidak menjadi tanggungan satu dua mahasiswa saja, tetapi menjadi tanggungan kita bersama. Karena kita harus kritis dari masalah kita bersama,” ungkapnya. 

Menurut Tubagus salah satu Mahasiswa di UIN Jakarta mengatakan, bahwa keputusan kemenag terkait sistem keterwakilan ini adalah salah satu upaya pelemahan demokrasi di tataran kampus. Karena secara tidak langsung, dengan adanya kebijakan ini, akan banyak menyebabkan mahasiswa apatis yang tidak ingin terlibat dalam proses pembelajaran politik di kampus. Dengan ada nya SK ini, Kemenag  terlalu mengintervensi ranah-ranah kemahasiswaan yang seharusnya menyesuaikan dengan culture dan nomenklatur di setiap kampus. 

“Negara kita adalah negara demokrasi, maka jadikanlah kampus sebagai wadah pembelajaran politik dan demokrasi bagi mahasiswa. Sistem yang saat ini dipakai di Indonesia untuk mencapai good goverment, baiknya juga diterapkan dikampus. Atau minimal, masing-masing mahasiswa mendapat hak untuk dipilih dan memilih. Dengan begitu, pembelajaran politik dan demokrasi akan terasa,” Ungkapnya

  Terkait hal ini, Omar memberikan tawaran sebagai evaluasi pelaksanaan sistem demokrasi yang diadakan di kampus ini, “Sistem keterwakilan ini harus kita benahi. Saran pertama ini cukup mengganti sistem, mengganti sistem keterwakilan ini menjadi sistem pemira yah (di kampus umum pada umumnya). Dan Kembali ke pemira di sini identik dengan one man one vote yang satu orang memiliki satu suara. Justru hal ini bisa memberikan hasil yang mungkin lebih demokratis daripada sekedar keterwakilan seperti yang tadi sempat saya sampaikan juga, kan kalau keterwakilan ini kadang kala nggak bakal interaktif atau jarang banget interaktif nya gak langsung sesama semuanya bisa,” Ungkapnya

Untuk mengenai bagaimana teknis pelaksanaannya Omar menyarankan agar menggunakan sistem virtual, sistem virtual ini sudah banyak digunakan kampus-kampus lain.  Virtual akun ini digunakan untuk pemilihan dan pencoblosan, dan semuanya bisa mengakses dengan menggunakan akun masing-masing. “Sekarang di kampus kita sudah ada yang Namanya LMS (Learning Manajer System) itu sudah mulai diterapkan, kabarnya kampus kita merupakan kampus yang berbasis teknologi dan teknologi yang diutamakan. Apalagi sebentar lagi kampus kita akan menjadi UIN, memang kita harus bisa beradaptasi dan bergegas ke sana (teknologi),” tambahnya 

Cara ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan web syechnurjati.ac.id yang terhubung dengan akun email masing-masing. Tanpa perlu datang ke tempat pemilihan, dengan sistem ini kita bisa mengaksesnya di gadget masing-masing dengan pantauan panitia penyelenggara pemilihan dan dibantu dengan koordinasi kosma di setiap kelasnya masing-masing “Dengan semangat sapu lidi itu akan terjadi sebuah perubahan yang besar dari hal-hal terkecil yang kita lakukan. Besar harapan saya ini bisa diformulasikan bersama, tetap semangat menebar kebaikan,” pungkasnya. 

Penulis : Khotimah

Reporter : Khotimah, Maya, Sulthoni, Dimas, Tedi