LPM FatsOen, Cirebon-Kami
mendatangi dan menghubungi praktisi, peneliti sampai aktivis untuk mengusulkan
program-program apa saja yang bisa dilakukan oleh organisasi intra kampus,
khususnya Senat Mahasiswa (SEMA) dan Dewan Mahasiswa (DEMA). Mulai dari
praktisi hukum, aktivis kampus, feminis sampai peneliti agraria.
Mereka
semua bersepakat, bahwa mahasiswa yang menduduki jabatan organisasi intra kampus
mempunyai sumber daya lebih: anggaran, waktu, tenaga, pikiran serta akses ke
pemangku kebijakan untuk merancang, melaksanakan serta mewadahi ruang-ruang
kritis serta menyelesaikan banyak persoalan: mulai dari persoalan kebijakan
kampus, isu kekerasan seksual, terlibat dalam masalah rakyat: sempitnya akses
pendidikan (putus sekolah dan kuliah), konflik agraria, misioginistiknya negara
sampaiagar “melek” hukum.
Program Kesetaraan, Gender dan Isu Kekerasan Seksual
Kami
memulainya dari Aisyah Nur Addly, aktivis feminis sekaligus mahasiswa angkatan
2017 Bimbingan Konseling Islam (BKI). Aisyah, panggilan akrabnya, kini sibuk di
berbagai acara dalam komunitas Women
March Cirebon (WMC). “Malam minggunya kita wawancara untuk Fatsoen, gak ada
agenda bucin kan?” kata kami. “Ya wawancara, ya bucin juga dong,” kelakarnya
via pesan daring.
Kami
putuskan bertemu di warung kopi. Kami mengobrol persoalan kesetaraan gender dan
isu-isu kekerasan seksual, “Di kampus gua, keramahan terhadap gender masih
kurang,” katanya. Misalnya, dalam cerita Aisyah, bagaimana dosen memperlakukan
perempuan dalam seminar di jurusannya. “Ada forum besar, seminar gitu,” kata
Aisyah. “Pesertanya cewek-cowok, tapi banyakan cewek. Dia ngomong gini ‘wah
mahasiswinya lebih banyak ya dari pada mahasiswa, ini bisa nih kalau misalnya 1:3,
poligami'. Anjir, malu gua. Disitu gua kaya pengen turun dari panggung
kebetulan itu gua moderator kan,” katanya kesal.
Nah
dari cerita seperti itu, masih kata Aisyah, penting sekali mengenalkan
kesetaraan gender dan isu kekerasan seksual pada khalayak, khususnya di
lingkungan kampus. “Dia kan dosen nih, gue kesel banget, maksudnya lu itu lagi ngajar mahasiswa se-enggaknya lu tuh
jaga akhlak, jaga sikap ya. Kaya kagak ada attitude-nya,”
katanya geram.
Juga
orang-orang merasa sudah menghargai perempuan, tapi di satu sisi sebenarnya
sedang menjatuhkan perempuan. “Ya kaya tadi, niatnya bercanda dan merasa menghargai
perempuan, tapi kan gak lucu dan apasih,” katanya.
Pengalaman
buruk lainnya, Aisyah menjadi korban kekerasan seksual, saat dirinya di lampu
merah, “Gua setiap di lampu merah, gua deg-degan banget. Takut ada yang
nyelemot payudara gua. Takut karena sebelumnya gua dilecehkan. Jadi, setiap di
lampu merah kaya ‘aduh anjir takut kan,maksudnya siapa anjir megang-megang,
tanpa consent, gua lemes kaya apa. Waktunya
lampu ijo gua ngga ngegas, kaya itu anjing, gua lemes banget,” katanya geram.
“Sampai
sekarang gua masih ke trigger, sampai
gua kalo lagi di lampu merah, gua masih bingung. Bukan cuma setiap gua berhenti
di lampu merah saja. Kalau misal, palang rel kereta kan pasti berhenti juga kan,
itu tuh kayak was-wasnya ‘kayak ini samping gua siapa, samping gua siapa’. Ada
kemungkinan nggak ya dia tangannya nyelemot, maksudnya jadi takut mulu
sepanjang jalan. Apa kabar sama yang diperkosa, apa kabar yang dipukulin sama
lakinya, misalnya yang dipaksa lu, maunya ga mau pake kondom. Itu semua traumanya
kayak apa sampai entar nikah bisa jadi belum selesai,” lanjutnya.
Dari
berbagai masalah yang menimpa dirinya itu, bagi Aisyah penting sekali untuk
mereka yang menduduki jabatan strategis kampus membuat berbagai program
mengenalkan gender, isu-isu kekerasan seksual dan semacamnya. Lebih-lebih,
masih kata Aisyah, kekerasan dan pelecehan seksual itu banyak dari
teman-temannya telah menjadi korban. Makanya, penting mengenalkan gender dan
isu kekerasan seksual.
“Orang-orang
kan tidak aware karena tidak tahu,
bahwa kelakuannya melecehkan dan melakukan kekerasan seksual: memperkosa,catcalling (suit-suit dll), bodyshaming (mengolok-olok tubuh kita
gendut lah dll), memegang tubuh orang tanpa ada persetujuan dan lain
sebagainya,” katanya. Nah, kalau tidak mengerti itu semua kan. Kaya-kaya nih,
perlakuan itu semua wajar adanya. Padahal ya tidak,” lanjutnya. Makanya perlu
pendidikan gender dan isu-isu kesetaraan, agar paham apa saja kekerasan
seksual, bagaimana consentbekerja,
apa saja gender dan lain sebagainya.
Aisyah menawarkan program sekolah gender,
kampanye isu kekerasan seksual dan kalau bisa mah sampai tahap advokasi masalah
yang menimpa masyarakat kampus perihal kekerasan seksual.
Bikin
program sekolah gender itu biayanya murah sekali, kata Aisyah. “Minum, makan
dan jajanan bawa sendiri. Pemateri juga seabrek. Ada yang dekat banget dari
kita, cuma satu langkah. Teman-teman Fahmina, ada Buya Husein, Pak Marzuki,
Terh Nurul sebagai founder Cirebon Feminis, Zaki Faqih yang bikin mubadalah, dari UCC ada Mawar Balqis dan
lain sebagainya. Mereka semua kan sudah berjejaring dengan kampus kita,”
sambungnya.
Dalam
tataran kampanye dan advokasi kekerasan seksual, bagi Senat Mahasiswa dan Dewan
Mahasiswa, jika memang tidak cukup tenaga. Ya ajak institusi atau komunitas
yang fokus ke sana, kolaborasi. Kan banyak institusi, komunitas dan lain
sebagainya. “Kalau di Fakultas Syariah ada yang namanya Family and Mediation Center(FMC) itu ada di jurusan HKI (Hukum
Keluarga Islam), PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak), WMC (Women March Cirebon),
Cirebon Feminis dan lain sebagainya.
“Sebelum
kita kampanye dan advokasikan kita harus punya satu perspektif yang sama,
tentang gender dan kekerasan seksual. Kalau nggak ya bulshitaja, sama aja. Jangan cuma buat nyari panggung, maksud gua,
elu edukasi, kampanye dan advokasi. Tetapi ternyata elu pelaku kekerasan
seksual,” pungkasnya.
Mengawal kebijakan dan Isu-isu Kampus
Kami
mendatangi Mohamad Yusuf Ardabili, aktivis kampus yang aktif di berbagai
komunitas, salah satunya Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam
(FNKSDA). “Isu-isu kampus banyak yang mesti dikawal sebanarnya, apalagi di
tengah krisis karena pandemi,” kata Billy yang sedang sibuk menyusun skripsi
dari Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI).
Persoalan
UKT yang menjadi biang kerok putus kuliah dan semakin tahun semakin mahal,
diskusi maupun pengawalannya tidak konsisten kan. Nah itu salah satu yang bisa
dilakukan oleh teman-teman Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa.
Masih
kata Billy, tapi sebelum jauh ke sana (mengawal UKT), dipahami dulu tuh. Apa
UKT itu, bagaimana sistemnya, apa saja landasan hukumnya dan lain sebagainya.
Jangan kemudian serampangan, mengawal UKT cuma teriak-teriak di aksi doang.
Lebih
jauh, Billy menjelaskan bahwa sistem UKT itu sistem subsidi silang, “Makanya
kenapa itu UKT ada beberapa golongan. Kalau ditingkat Universitas, ada 7
golongan. Kalau seperti kampus kita, institut itu 5 golongan. Penggolongan itu,
agar golongan atas bisa mensubsidi golongan bawah. Juga selain itu,
penggolongan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga.
“Kan
kita selama ini belum tahu tuh, apakah di kampus kita penggolongan itu, sudah
sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga serta golongan atas dan bawah sudah
proporsional belum. Itu tugas mereka (SEMA dan DEMA) mencari tahu,” lanjutnya.
Lebih-lebih
di tengah krisis ekonomi karena pandemi, kampus dan negara terus-terusan
meminta mahasiswa membayar UKT full. Ya meski di kampus kita ada pemotongan
untuk beberapa mahasiswa. Tapi kan, krisis ekonomi ini menghantam semua
mahasiswa. Bukan beberapa mahasiswa saja.
Kedua,
persoalan subsidi kuota dan pemenuhan hak belajar daring. “Kita kan bayar UKT
full, fasilitas kampus tidak kita dapatkan. Seharusnya dialihkan ke fasilitas
belajar daring: kuota, refrensi buku online, jurnal dan semacamnya. Selama ini
kita tidak mendapat apa-apa,” kata Billy.
“Oh
ya, persoalan UKT ini juga kan sistemnya pembayaran satu pintu. Itu kenapa
namanya Uang Kuliah Tunggal. Jadi, tidak boleh ada pembayaran lagi di luar UKT.
Di kampus kita banyak ya, bayar-bayar di luar UKT. Bimbingan PPTQ, yang katanya
program unggulan kampus, malah disuruh bayar. Ini bukan persoalan bayarnya
kecil atau besar. Tapi kelakuan menarik di luar UKT adalah pungutan liar. Belum
penarikan lainnya: studi banding, KKN, ospek dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Billy
juga menyoroti isu-isu yang lain, bagaimana kampus kita yang gemar sekali
mengatakan untuk taat peraturan. Tapi birokrasi kampus, sering melanggar
aturan. Misalnya, persoalan intensif. “Di KRS kan hanya 2 SKS, tapi realitanya
lebih dari 2 SKS. Itu kan tidak taat aturan. Harusnya kalau satu SKS 50 menit,
belajarnya ya 100 menit dalam satu minggu. Bukan malah 3 sampai 4 jam dua kali
dalam satu minggu,” ujarnya.
“Satu
lagi, aku kelupaan tadi,” katanya sebelum wawancara kami usai. “Dari tadi kan
hanya persoalan mahasiswa, sedangkan masyarakat kampus kan bukan hanya
mahasiswa. Ada OB (Office Boy) dan OG
(Office Girl), satpam, dosen kontrak
dan pegawai lainnya. Nah, disurvei itu perihal gaji layaknya, kesejahteraannya,
bagaimana kontraknya dan beban kerjanya. Jangan-jangan, ada ketidakadilan di
sana,” ungkap Billy.
“Saya
pribadi sih, sensitivitas terhadap segala kebijakan yang tidak pro masyarakat
kampus. Dengan punya sensitivitas, maka keberpihakan teman-teman yang menjabat
di intra kampus bisa memberikan sumbangsih dan memang untuk kemaslahatan
masyarakat kampus,” katanya.
Program Isu Agraria
Setelah
dua aktivis memperbincangkan konsentrasi gerakannya masing-masing, kami
mendatangi Ahmad Syatori peneliti cum aktivis agraria di ruang kerjanya.
Syatori, panggilan kesehariannya mengenalkan kepada kami perihal agraria.
“Manusia
itu harus mengenal lingkungan yang mereka tinggal, minimal desanya lah. Agraria
itu luas. Menyangkut semua hal, tanah dan teman-temannya itu agraria. Mahasiswa
itu mesti mengenal agraria, lebih-lebih yang ekonominya berbasis tanah: tani.
Harusnya tidak tani juga, di perkotaan pun sama. Bagaimana perumahan itu
dikelola. Bagaimana proses orang memiliki rumah itu. Bagaimana hubungan antara
orang-orang di situ,” ungkap Syatori yang kini menjabat Wadek 3 di Fakultas
Syariah dan Ekonomi Islam.
Syatori
lebih jauh menjelaskan “Bahwa agraria itu kan, tanah yang di atasnya ditata dan
dikelola. Banyak mahasiswa yang tidak tahu. Mahasiswa yang orang tuanya
bertani, tidak tahu cara orang tuanya bertani. Itu kan menurut saya konyol,
mahasiswa yang seperti itu. Minimal memahami apa-apa yang terjadi disekitarnya,”
tandasnya .
Syatori
mengkritisi bagaimana kampus tidak memberikan ruang secara proporsional dalam
memahami persoalan-persoalan yang ada di desa. Kalau pun ada, hanya dalam
program KKN. Selebihnya hanya urusan-urusan kemahasiswaan. Padahal penting
sekali menerjunkan mahasiswa di desa-desa. Alasan Syatori adalah karenatidak
ada mahasiswa yang tidak terlahir bukan di tengah-tengah masyarakat. Maka,
karena kita berasal dari masyarakat ya hidup kita untuk masyarakat.
“Dikiranya,
kalau kajian-kajian, penelitian dan pengabdian di masyarakat hanya untuk
jurusan-jurusan tertentu. Ya enggak lah. Tidak ada urusannya dengan jurusan ini
mah. Semua jurusan wajib memahami ini. Mau ekonomi, jurusan pendidikan,
bimbingan konseling atau apapun itu,” ungkapnya.
Lebih
lanjut, Syatori memaparkan bahwa kalau enggak diberi ruang oleh kampus,
diciptakan seharusnya. Sebab,banyak orang yang paham teori, tapi tidak mau
melakukan. Mereka paham teori persoalandesa. Tapi tidak berkecimpung langsung
dengan persoalan, dengan masyarakat. Coba saja perhatikan, dari mulai HMJ, SEMA
dan DEMA dari Fakultas sampai Institut kegiatannya apa. Paling banter, kegiatan
ke masyarakat cuma donasi saja. Dan itu siapapun bisa melakukan, bukan hanya
mahasiswa. Anak punk saja, nyari donasi bantuan di jalanan, kata Syatori.
“Kalau
sudah SEMA dan DEMA Institut mestinya kegiatannya jangan hanya itu (donasi).
Semua juga bisa, kalau hanya minta sumbangan tanpa koordinasi ini-itu pun,
siapapun bisa langsung gerak. Permasalahan masyarakat ini kan kompleks,
kegiatan-kegiatan untuk memahami masalah tersebut minim sekali dari SEMA dan
DEMA Institut,” kata Syatori.
“Dampak
dari minimnya keterlibatan mahasiswa dalam masyarakat, pada akhirnya antara
dunia kampus dan dunia nyatanya di masyarakat, gak sambung. Ini problem mendasar dari kehidupan mahasiswa,” sambungnya.
Syatori
mencontohkan bagaimana bergerak dan mengorganisir di desa. Selain butuh
konsistensi dan militansi yang tinggi, bukan berarti pengorganisiran di desa
tidak bisa dilakukan oleh mahasiswa.
Saya
punya bayangan turun di desa begini, kata Syatori memulai membuat program di
desa. Setiap anggota dari lembaga: HMJ, SEMA atau DEMA kan pasti kan berasal
dari desa. Nah, terjunkanlah mereka ke desanya masing-masing. Identifikasi apa
saja masalah di desa. Soal pendidikan misalnya, yuk kita data ada gak sih di
kampung kita yang putus sekolah. Cari anak-anak yang putus sekolah. Di data
dulu, oh ternyata ada sekian. Pak kepala desa tau enggak ada ini. Warganya ada
yang putus sekolah ini. Kelas 4 SD sudah tidak lanjut ini. Lalu bagaimana kita
sebagai pemuda menyelesaikan masalah ini? Kan itu melakukan sesuatu. Entah
bikin sekolah alternatif untuk mereka. Kalau bisa ya cari akses untuk
pendidikan mereka.
Itu
semua simpel, kalo mau lebih berat lagi banyak. Begitu selesai penelitian, dia
bisa jadi aktivis di desanya dan mengabdi di sana. Biar di kampungnya,
mahasiswa itu jadi leader semua.Agar mahasiswa bisa aktif dan produktif di
kampungnya.
“Di
kampus belajar teori, konsep dan metodenya. Di kampung praktiknya: mengorganisir dan memberikan
edukasi pada masyarakat. Minimal desanya sendiri,”ucap Syatori. “Sok-sokan di
sini (kampus) jadi aktivis, ketua HMJ, Fatsoen, ketua DEMA dan SEMA. Begitu
pulang, di kamar aja gak ngapa-ngapain.Dengan karang taruna gak gaul, dengan
remaja masjid gak gaul, dengan anak-anak muda di sekitar kampungnya gak gaul.
Gak bisa melakukan apa-apa.Kegiatan mahasiswa banyak yang gak mutu,
orientasinya hanya hura-hura. Petantang-petenteng, di kampus jadi ketua ini dan
itu. Di rumah gak jadi apa-apa. Cupu, di kamar terus, main game. Temannya
itu-itu aja. Di kampungnya gak punya relasi,” pungkasnya.
Program ‘Melek’ Hukum
Terakhir,
kami menghubungi praktisi hukum dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Cirebon,
Diding Rahmat. “Kita ngopi-ngopi di depan kampus IAIN saja,” kata Diding,
sapaan akrabnya, saat ditanya pertemuan untuk wawancara via Whatsapp.
“Sebab,
hari ini laku kritis mahasiswa harus didasari hukum. Karena kalau mahasiswa
tidak memahami hukum, bisa jadi nanti mahasiswa akan keseleo atau berhadapan dengan hukum,” kata Diding, yang juga dosen
UNIKU. “Bahkan khawatir dikriminalisasi, seperti yang banyak terjadi diantara
mahasiswa yang kritis dihadapkan pada UU ITE. Oleh karena itu, hukum sebagai
dasar negara itu harus dipahami oleh mahasiswa. Sehingga ketika mahasiswa
melakukan gerakan, ketika mahasiswa melakukan peningkatan kesadaran kritisnya harus
berdasarkan hukum,” sambungnya.
Diding
menjelaskan lebih jauh, bagaimana pemahaman hukum penting sekali untuk
mahasiswa. Agar mahasiswa mengetahui hak-haknya, misalnya perihal memperjuangkan
kepentingan sosial ekonomi mahasiswa. Apa kepentingan sosial ekonomi mahasiswa
berkaitan dengannilai-nilai, berkaitan dengan sarana prasarana, berkaitan
dengan metodologi mengajar, kualitas dosen, kurikulum, membangun kesadaran
mahasiswa, memperjuangkan kepentingan-kepentingan mahasiswa, kepentingan problem
mahasiswa. Apa problem kepentingan mahasiswa? Problem di masa ini apa? Apakah kuota, apakah SPP
diturunkan atau apakah mimbar akademiknya yang kurang maksimal dan lain-lainnya.
Nanti dianalisa sendiri kemudian setelah dianalisa di perjuangkan, perjuangkanlah itu.
Nah
sebelum menganalisa masalah-masalah itu semua, kata Diding, kan kita
membutuhkan data dan bagaimana kita bisa mendapatkan data itu. “Sebab, salah
satu hak dasar sebagai warga negara adalah hak asasi terhadap informasi vide Pasal 28 F UUD 1945, terkait
kebebasan mendapatkan informasi negara memberikan dasar hukum yaitu UU terkait
dengan Keterbukaan Informasi Publik sebagaimana UU No.14 Tahun 2008,” tuturnya.
Memang
tidak mudah untuk mendapatkan data, karena alasan-alasan tertentu. Hal itu,
kata Diding, selain melalui audiensi dengan birokrat kampus, agar bisa
mendapatkan data yang dibutuhkan. Bisa ditempuh melalui gugatan hukum.
“Bisa
dengan mengajukan permohonan informasi disertai alasan pentingnya informasi
tersebut kepada pejabat/badan publik, alhamdulillah Kota Cirebon sudah punya
Komisi Informasi. Tentu,jika ada pihak yang tidak memberikan akses informasi
dan dirasa akses informasi itu penting gitu ya. Maka ada upayanya, apakah nanti
melakukan upaya hukum terhadap Komisi Informasi dengan cara ngajuin permohonan/keberatan terhadap
pihak-pihak pejabat/badan publik yang tidak memberikan informasi, bahkan bisa
melakukan laporan pidana berdasarkan Pasal 52 UU KIP terhadap badan publik yang
tidak memberikan infomasi tanpa alasan yang jelas bisa di pidana dengan sanksi
1 tahun penjara dan denda 5 Juta,” ungkapnya.
Upaya
menumbuhkan kesadaran akan hukum, kata Diding, harus dimunculkan dengan banyak
kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada studi studi hukum seperti entah itu
diskusi, pelatihan, kemudian workshop atau semacam pembentukan studi-studi
hukum itu bisa menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa akan hukum.
Lebih
jauh, Diding menerangkan bahwa di alam demokrasi harusnya keterbukaan informasi
menjadi hak dasar warga negara. Sebab, esensi demokrasi adalah esensi
transparansi, esensi partisipasi, dan kemudian adanya emansipasi. Nah kalau itu
tidak ada ya sudah kemudian ada yang kurang dari nilai-nilai demokrasi.
“Jadi,
semakin terbuka akan informasi, semakin bagus,” ungkapnya.
Bukan
hanya persoalan di kampusnya yang menjadi fokus mahasiswa, kata Diding, mahasiswa
sebagai pelopor gerakan harus peka terhadap permasalahan rakyat. Karena
mahasiswa banyak punya waktu luang, banyak waktu membaca buku,waktu untuk
berdiskusi. Itu yang tidak dirasakan oleh buruh dan Tani.
Buruh
kapan berdiskusinya? Kerja dari jam
05.00 pagi misalkan, baru selesai jam 5 sore sudah tunduh manten udah ngantuk duluan kan. Terus petani juga disibukan
dengan mencangkul dan segala macam: mikirin bibit, tanah. Kapan berdiskusinya.
Sehingga
mahasiswa lah yang punya inisiatif untuk kemudian membaca situasi nasional,
membaca situasi problem-problem petani miskin, problem-problem buruh miskin
dalam konteks negara kita yang kemudian banyak problem petani yang kemudian
tidak punya tanah, belum lagi problem bibit, problem distribusi hasil tani,
problem impor hasil pertanian.
Kemudian,
belum lagi problem buruh terkait upah buruh, belum lagi buruh-buruh yangoutsourcing, buruh paruh waktu. Apalagi
nanti justru ada buruh yang sifatnya per- jam, ART. Itu kan hal-hal yang
kemudian harus menjadi perhatian mahasiswa untuk bagaimana mengubah kondisi-kondisi
untuk kebaikan.
Kalau
bahasa yang sering kita dengar adalah bagaimana yang dilakukan oleh Nabi kita
Muhammad SAW, ia mampu dengan ayat Iqranya, dia bisa membaca realitas Makkah,
yang pada saat itu dalam kondisi perbudakan, yang kemudian beliau melawan
perbudakan itu dengan mencoba membangun konsep memanusiakan manusia. Kemudian, sering
kita dengar istilah zaman Jahiliyah bisa
dihancurkan. Nah itu, mahasiswa harus paham peran, perannya adalah support,
kemudian integral.
Kedua,
lebih tinggi lagi integral. Integral itu ya menyatu dengan petani miskin untuk
memperjuangkan nasib petani miskin, menyatu dengan buruh miskin untuk
memperjuangkan nasib buruh. Dalam konteks sosiologi, kemajuan negara itu harus
sejahtera buruhnya, harus maju petaninya, pasti maju ini negara. Kalo petaninya
miskin, buruh upahnya rendah, apalagi buruh PRT belum ada peningkatan. Juga
akan sia-sia, kita ngomongin negara yang adil, makmur dan blablabla, yang ideal
gitu.
Kalau
yang saya pahami itu pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Pendidikan
itu bukan untuk menghasilkan pekerja-pekerja yang disiapkan untuk pasar. Tapi,
pendidikan itu harus dijadikan sebagai alat untuk menyelesaikan problem bangsa,
problem hutang, problem penguasaan sumber daya oleh orang asing, problem
kemandirian ekonomi, problem ketidakadilan hukum, problem kesejahteraan sosial.
“Pendidikan
sudah hadir ngga ke sana? Jangan-jangan kampus sebagai tempat pendidikan
seperti menara gading saja. Ngomongin kemiskinan di kelas, tapi ketika sudah
keluar kelas, lupa. Kemiskinan yang terjadi di lingkungannya, terjadi di
daerahnya, terjadi di negaranya,” pungkas Diding.
Penulis:
Sulthoni
Reporter:
Sofi, Nisa, Dian, Rifaldi dan Delima.