(Illustrator: Fauzan Alfani)

LPM FatsOeN, Cirebon- Pemilihan Ketua DEMA-I yang sudah berlangsung pada Selasa (2/02) lalu menghasilkan satu kandidat terpilih, yakni saudara Rio Maheso Jenar. Pemilihan ini berlangsung secara tertutup dengan menggunakan keterwakilan, yaitu dengan peserta dari delegasi setiap jurusan. 

Mengenai ini, Ketua Umum SEMA-I mengatakan bahwa persidangan MUDEMA-I hanya untuk internal. "Jadi, karena ini hanya untuk internal, sifatnya rahasia," Timpal Akrom pada reporter FastsOeN pada Selasa (2/02) lalu. 

Hal ini memicu pertanyaan-pertanyaan tentang pelaksanaan demokrasi di kampus IAIN Cirebon ini, Kondisi demikian dikeluhkan oleh Omar, salah satu mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang berada di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab menurutnya keterwakilan ini sistem harus  dibenahi. “Banyak teman-teman saya yang berada di PTN-PTN ini memiliki konsep pemira dan ini memiliki euforianya tersendiri juga. hal-hal yang bisa menjadi eksistensi dan esensi mereka masing-masing,” Tuturnya kepada reporter LPM FatsOeN pada Rabu (17/02) lalu

Berkaitan dengan hal ini pada Selasa (16/02) lalu, Warek III menanggapi, “Jadi keterwakilan itu sebenernya dasarnya POK dari Dirjen Pendis. Sebenernya itu sudah 2011, 2012 itu sudah ada. Cuma selama itu belum terlaksanakan, baru ketika saya Dekan Tarbiyah saya turunkan jadi POK Fakultas Tarbiyah. Kan itu amanat dari pusat seperti itu. Nah ketika jadi Warek 3 saya juga sudah menemukan dokumen itu telah dilaksanakan. Akhirnya, saya pun laksanakan sesuai POK. Itu kebijakan dari pusat,” Tuturnya

Menurutnya, system ini adalah system yang efektif untuk diterapkan di kampus yang masih membangun ini, serta dapat mengurangi perpecahan antara UKM dan kelompok-kelompok partai. 

”Nah menurut saya ketika ada alternative keterwakilan dari pusat seperti itu, Nampak lebih kondusif. Meski ada negative nya, mereka cenderung positifisme efektualisme. Efektif memang betul, tetapi kampus yang sedang membangun seperti kita memang butuh itu lebih kondusif,”

Namun, beberapa kendala mengenai teknis keterwakilan ini masih belum sempurna, seperti halnya yang dikeluhkan Omar. “cara ini efektif, tapi bukan yang paling efektif, karena menciderai nilai-nilai demokrasi kampus, karena teman-teman yang tidak menjadi delegasi tidak mempunyai hak suara, apalagi yang menjadi delegasi ini tanpa memusyawarahkan terlebih dahulu dengan jurusannya,” Tuturnya.

 Mengenai hal ini Ilman pun mengakui bahwa baik system keterwakilan maupun pemira sama-sama memiliki plus-minusnya. “Sekarang kan keterwakilan alhamdulillah kondusif, ya yang saya sebut tadi meski ada (-) nya ya. Ada semacam stagnasi pemikiran demokrasinya,” Ungkapnya. 

Untuk mengatasi stagnansi ini Warek III pernah mengadakan program diskusi terbuka dengan mengundang organisasi ekstra (Cipayung) Bersama dengan SEMA-DEMA. Namun kegiatan tersebut hanya berjalan selama satu-dua kali saja. 

Penulis : Khotimah

Reporter : Sulthoni, Dimas




Menilik Sistem Demokrasi Kampus di IAIN Syekh Nurjati Cirebon

LPM FatsOeN, Cirebon - Josiah Ober dalam The Original Meaning of Democracy (2008) dan Origin of Democracy in Ancient Greece (bersama Kurt A. Raaflaub dan Robert Wallace, 2007) mengajukan pertanyaan provokatif, jika demokrasi dirunut asal usulnya dari kata Yunani yang terdiri dari demos dan kratos, dengan demos seringkali diartikan rakyat dan kratos sebagai kekuasaan, lalu demokrasi berarti “kekuasaan oleh rakyat”. Tapi kekuasaan dalam pengertian apa? Dalam cuaca politik modern kita lantas akan tegas menjawab, kekuasaan memutus perkara dan pilihan atas dasar aturan oleh mayoritas. Jika demikian halnya, Ober meneruskan, demokrasi akan menghadapi dilema: sebagai sistem politik yang direduksi menjadi sekedar mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan voting, dan jika secara inheren voting mengandung cacat sebagai mekanisme pengambilan keputusan, maka demokrasi secara inheren juga cacat sebagai sistem politik (Kenneth Arrow,1963; Anthony Downs,1957). Karenanya kita perlu memikirkan definisi demokrasi secara lain akibat kedangkalan dan pemburukan makna ini.

Melihat carut marut dinamika pergulatan demokrasi di IAIN Cirebon yang sudah terhegemoni dengan kuat, sehingga menurunkan makna demokrasi secara utuh. Kondisi demikian dikeluhkan oleh Omar, salah satu mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang berada di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab menurutnya keterwakilan ini sistem harus  dibenahi. “Banyak teman-teman saya yang berada di PTN-PTN ini memiliki konsep pemira dan ini memiliki euforianya tersendiri juga. hal-hal yang bisa menjadi eksistensi dan esensi mereka masing-masing,”

Menilik empat tahun kebelakang, IAIN Cirebon sendiri menggunakan sistem keterwakilan. Hal ini diakui oleh ketua Senat Mahasiswa Institut, “Di IAIN Cirebon sendiri menggunakan sistem keterwakilan, karena berdasarkan surat keputusan Dirjen Dikti yang menggunakan sistem keterwakilan,” ungkap Akrom

Hal itu senada dengan keterangan dari Ilman, selaku Warek III IAIN Syekh Nurjati Cirebon saat ditemui oleh wartawan FatsOeN, “Jadi, keterwakilan itu sebenernya dasarnya POK dari Dirjen Pendis. Sebenernya itu sejak 2011, kemudian di Tahun 2012 itu sudah ada. Cuma selama itu belum terlaksanakan, baru ketika saya Dekan Tarbiyah saya turunkan jadi POK Fakultas Tarbiyah. Kan itu amanat dari pusat seperti itu. Nah ketika jadi Warek 3 saya juga sudah menemukan dokumen itu telah dilaksanakan. Akhirnya, saya pun laksanakan sesuai POK. Itu kebijakan dari pusat,” ungkapnya. 

Sebab demikian, beberapa kampus yang berada dibawah naungan Kementrian Agama (Kemenag) banyak menggunakan sistem keterwakilan dalam proses pemilihan ketua SEMA-DEMA, diantaranya adalah UIN Sunan Gunung Djati, UIN Alaudin, UIN Walisongo dan lainnya.

Teknis Pemilihan yang Belum Rapih

Menurut Omar untuk melihat kedemokratisan di kampus ini, tentu berkaitan dengan sistem yang digunakan. Ia menyampaikan sesuatu apa yang tidak hanya ia sampaikan saja, melainkan dari teman-temannya juga, melalui obrolan perihal sistem keterwakilan dengan temannya yang lain. “Cara ini efektif, tapi bukan yang paling efektif, karena menciderai nilai-nilai demokrasi kampus, karena teman-teman yang tidak menjadi delegasi tidak mempunyai hak suara. Apalagi yang menjadi delegasi ini tanpa memusyawarahkan terlebih dahulu dengan jurusannya,” ungkapnya

Dia mengatakan, dalam sistem keterwakilan ini ada orang menjadi delegasi jurusan, entah itu betul-betul dipilih atau menawarkan sendiri. Delegasi tersebut seharusnya membawa suara jurusan yang sudah dikolektifkan dari jurusan masing-masing 

“Yang saya perhatikan di jurusan saya sendiri, yang menjadi ketua Senat atau Demanya tidak seringkali ada interaksi dengan keluarga besar jurusan melalui grup whatsapp atau yang lainnya. Seharusnya yang menjadi delegasi dipemilihan memusyawarahkan di jurusannya dan menanyakan kepada masing-masing individu, agar yang dia bawa adalah suara dari jurusannya, bukan atas nama pribadi karena alasan tertentu atau suatu golongan yang terkait,” tuturnya. 

Warek III pun mengatakan bahwa entah dalam sistem keterwakilan ini ada plus minusnya. “Nah sekarang kan keterwakilan alhamdulillah kondusif, ya yang saya sebut tadi meski ada plus-minusnya ya. Ada semacam stagnasi pemikiran demokrasinya. Tapi saya termasuk orang yang untuk sampai saat ini  untuk Cirebon ini lebih kondusif menggunakan ini,” tutur Ilman. 

Hak Otonomi kampus, masih berlaku kah?

 Muhammad Ali Ramdhani selaku Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam mengungkapkan “Sk dirjen ini sifatnya mengikat, untuk seluruh PTKIN. Karena model demokrasi kita juga banyak cirinya, seperti one man one vote dan keterwakilan. Dan ukuran serta kemaslahatan ada pada perwakilan. Dan seluruh PTKIN wajib menerapkan sistem ini,” Ungkapnya saat ditemui reporter LPM FatsOeN.

Meski demikian kampus mempunyai otoritas besar dalam mengatur kebijakannya sendiri, hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi pada Pasal 64 ayat 1-3, yang berbunyi :

Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagamana dimaksud pada pasal 62 meliputi bidang akademik dan nonakademik

Otonomi pengelolaan bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional sera pelaksanaan Tridharma

Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasioanl serta pelaksanaan :

Organisasi;

Keuangan;

Kemahasiswaan;

Ketenagaan, dan

Sarana dan prasarana

Mengenai hal ini Ketua Senat Mahasiswa Institut mengatakan “Mengenai hak otonom SEMA untuk merubah POK itu sebenarnya bisa, hanya saja ada beberapa proses yang harus ditempuh, mungkin waktunya tidak cukup, ditambah dengan kondisi di tengah Pandemi,” timpal Akrom

Menurutnya, untuk merubah sistem ini perlu dilengkapi dengan batasan periodisasi, pembentukan badan-badan pendukung lainnya, semacam KPU dan BAWASLU, serta pembentukan PARPOLMA (partai Politik Mahasiswa). Namun semua itu butuh Standar Operasional Prosedur (SOP) yang rapih. Sedangkan di IAIN sendiri mengenai administrasi dan keuangan masih belum tertata rapih. 

Dia juga mengatakan bahwa saat ini Warek III mengamanatkan agar memperbaiki dari SOP-nya terlebih dahulu.  Seperti SOP pembentukan UKM dan UKK belum ada aturan yang baku.

“Mungkin regenerasi selanjutnya bisa menyelesaikan hal ini,” pungkasnya

Bisakah Kampus Mencapai Tatanan Demokrasi yang Ideal?

Minimnya partisipasi mahasiswa menyebabkan kelanggengan akan stagnansi demokrasi yang ada di kampus ini. Hal itu dipaparkan oleh Omar yang mengatakan bahwa masih banyak mahasiswa yang masih awam mengenai isu ini, maka dari itu tak heran jika mereka bersikap acuh tak acuh terhadap hal ini. 

“Bahwa untuk menyoroti isu demokrasi kampus, ini tidak menjadi tanggungan satu dua mahasiswa saja, tetapi menjadi tanggungan kita bersama. Karena kita harus kritis dari masalah kita bersama,” ungkapnya. 

Menurut Tubagus salah satu Mahasiswa di UIN Jakarta mengatakan, bahwa keputusan kemenag terkait sistem keterwakilan ini adalah salah satu upaya pelemahan demokrasi di tataran kampus. Karena secara tidak langsung, dengan adanya kebijakan ini, akan banyak menyebabkan mahasiswa apatis yang tidak ingin terlibat dalam proses pembelajaran politik di kampus. Dengan ada nya SK ini, Kemenag  terlalu mengintervensi ranah-ranah kemahasiswaan yang seharusnya menyesuaikan dengan culture dan nomenklatur di setiap kampus. 

“Negara kita adalah negara demokrasi, maka jadikanlah kampus sebagai wadah pembelajaran politik dan demokrasi bagi mahasiswa. Sistem yang saat ini dipakai di Indonesia untuk mencapai good goverment, baiknya juga diterapkan dikampus. Atau minimal, masing-masing mahasiswa mendapat hak untuk dipilih dan memilih. Dengan begitu, pembelajaran politik dan demokrasi akan terasa,” Ungkapnya

  Terkait hal ini, Omar memberikan tawaran sebagai evaluasi pelaksanaan sistem demokrasi yang diadakan di kampus ini, “Sistem keterwakilan ini harus kita benahi. Saran pertama ini cukup mengganti sistem, mengganti sistem keterwakilan ini menjadi sistem pemira yah (di kampus umum pada umumnya). Dan Kembali ke pemira di sini identik dengan one man one vote yang satu orang memiliki satu suara. Justru hal ini bisa memberikan hasil yang mungkin lebih demokratis daripada sekedar keterwakilan seperti yang tadi sempat saya sampaikan juga, kan kalau keterwakilan ini kadang kala nggak bakal interaktif atau jarang banget interaktif nya gak langsung sesama semuanya bisa,” Ungkapnya

Untuk mengenai bagaimana teknis pelaksanaannya Omar menyarankan agar menggunakan sistem virtual, sistem virtual ini sudah banyak digunakan kampus-kampus lain.  Virtual akun ini digunakan untuk pemilihan dan pencoblosan, dan semuanya bisa mengakses dengan menggunakan akun masing-masing. “Sekarang di kampus kita sudah ada yang Namanya LMS (Learning Manajer System) itu sudah mulai diterapkan, kabarnya kampus kita merupakan kampus yang berbasis teknologi dan teknologi yang diutamakan. Apalagi sebentar lagi kampus kita akan menjadi UIN, memang kita harus bisa beradaptasi dan bergegas ke sana (teknologi),” tambahnya 

Cara ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan web syechnurjati.ac.id yang terhubung dengan akun email masing-masing. Tanpa perlu datang ke tempat pemilihan, dengan sistem ini kita bisa mengaksesnya di gadget masing-masing dengan pantauan panitia penyelenggara pemilihan dan dibantu dengan koordinasi kosma di setiap kelasnya masing-masing “Dengan semangat sapu lidi itu akan terjadi sebuah perubahan yang besar dari hal-hal terkecil yang kita lakukan. Besar harapan saya ini bisa diformulasikan bersama, tetap semangat menebar kebaikan,” pungkasnya. 

Penulis : Khotimah

Reporter : Khotimah, Maya, Sulthoni, Dimas, Tedi

(Ilustrasi perkuliahan daring oleh Fauzan Alfani)


 LPM FatsOen,Cirebon- Hampir satu tahun, dunia pendidikan di Indonesia menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Mulai dari tingkatan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), sampai dengan Perguruan Tinggi (PT). 


IAIN Syekh Nurjati salah satunya, institusi pendidikan yang berada di Kota Cirebon ini, telah menerapkan pembelajaran jarak jauh selama dua semester, dimulai sejak Maret 2020 lalu. 


Namun, pembelajaran jarak jauh yang sudah diterapkan oleh kampus ini, selama dua semester lalu, dinilai oleh sejumlah pihak masih belum cukup maksimal. 


Seperti yang dirasakan oleh M. Asror, mahasiswa jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial semester 4, bagi Asror pembelajaran mata kuliah secara daring, kurang dapat dipahami ketimbang kuliah secara tatap muka.  


"Intinya kuliah daring itu belajarnya kurang maksimal, dibandingkan kuliah tatap muka bersama dosennya," ungkap Asror, saat diwawancara via WhatsApp. 


(Infografis oleh Fauzan Alfani)


Kuliah online tentu saja bukan hanya kurang maksimal. Di satu sisi,  saat pelaksanaan kuliah daring seperti ini, kuota internet sudah menjadi kebutuhan pokok bagi mahasiswa. 


Namun, di tengah kebutuhan terhadap kuota internet meningkat, tak jarang pula masih ada sebagian mahasiswa yang kesulitan dalam membeli kuota internet, baik karena akses membeli kuota internet yang sulit dijangkau ataupun karena faktor ekonomi.  


Seperti yang dialami oleh Romsiyah, mahasiswi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, dirinya mengalami kesulitan saat ingin membeli kuota internet dan harus menuju ke desa tetangga terlebih dahulu. 


"Akses membeli kuota di sini lumayan jauh, harus menempuh perjalanan ke desa tetangga," ungkap mahasiswa asal Desa Gombong, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang itu, saat diwawancarai via WhatsApp.  


Masih menurut Romsiyah, selain akses yang jauh dalam membeli kouta internet, persoalan jaringan sinyal pun menuai kendala. Hal tersebut membuat dirinya mengalami kesulitan dalam belajar secara daring. 


"Dan di desa ini jaringan sinyal sangat lemah sehingga menyulitkan untuk belajar dengan metode daring ini, terkadang telat masuk kelas dan pembelajaran sering kali tertinggal, karena kendala keduanya tersebut," ungkapnya.  


Tidak hanya persoalan kuota internet dan jaringan sinyal, sebagian mahasiswa pun mengeluhkan terkait dengan fasilitas yang diberikan kampus. Misalnya, subsidi kuota yang diberikan oleh kampus kepada mahasiswa, masih dirasa kurang maksimal. Sebab, pihak institusi tidak memberikan kuota internet secara rutin kepada para mahasiswa, dan pembagian kuota tersebut pun tidak merata.  


Moh. Minanur Rohman, mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam mengaku hanya menerima pemberian subsidi kuota dari kampus sebanyak satu kali. Dia mengaku hanya memperoleh kuota internet sebesar 4 gb.


"Kendala yang paling penting tentunya kuota, karena selama kuliah daring kuota menjadi kebutuhan pokok bagi mahasiswa. Dan herannya, kenapa pihak kampus hanya memberi bantuan satu kali dan itupun tidak merata," ujar Rohman.


Hal yang berbeda ketika kuliah daring datang dari Rosita, mahasiswi jurusan Tadris Biologi. Dirinya merasakan bahwa pembelajaran kuliah daring yang selama ini sudah diterapkan, sangat kurang menyenangkan. Misalnya, ada sebagian dosen yang hanya memberikan materi saja, tanpa menjelaskan.  


"Jadi, kendala dalam kuliah daring selama dua semester ini, itu banyak banget.Terus kurang menyenangkan, karena selama kuliah online ada beberapa dosen yang hanya meng-share materi saja tanpa menjelaskan isi materi tersebut," ungkap Rosita saat diwawancarai.


Bukan saja mahasiswa, namun sebagian dosen pun kerap kali menemui kendala saat mengajar.Seperti yang disampaikan oleh Hartati, salah satu dosen di jurusan Ilmu Hadist, Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah.


Pihaknya mengatakan, kerap kali banyak menemui kendala saat proses kuliah daring berlangsung. Salah satunya terkait dengan kuota internet. Suatu hari, saat sedang mengajar,Hartati pernah kehabisan kuota ditengah proses pembelajaran berlangsung. 


"Di rumah, kuota abis gak ketahuan karena asik ngajar. Karena ngajar kalo udah asyik suka lupa, udah gak inget kuota tinggal berapa lagi. Tau-tau pas ibu ngetik ko ini gak bisa ya, oh ternyata abis," ungkap Hartati, saat diwawancarai di ruang kerjanya.  


Bagi Hartati, saat kuliah daring berlangsung, pihaknya tidak dapat mengontrol perkembangan mahasiswa yang diampunya, menurut beliau proses belajar secara tatap muka dengan daring sangat berbeda jauh, hal ini terkait dengan pola psikologis yang dibangun saat mengajar.  


"Iya. Walaupun secanggih apapun IT itu enggak bisa memutuskan hal seperti ini yang positif, yang positif itukan harusnya tatap muka, ngelihat," imbuhnya. 


Hal serupa juga disampaikan oleh Rana, salah satu dosen di Fakultas Syariah Ekonomi Islam.Pihaknya mengaku berupaya untuk lebih maksimal saat menjalankan proses pembelajaraan kuliah daring. Selain itu, saat kuliah daring berlangsung, ia perlu menyesuaikan dengan para mahasiswanya. Sebab, tak jarang pula banyak sebagian mahasiswa yang saat kuliah daring justru mengalami penurunan semangat dalam belajar.


“Ya banyak sekali penyesuaian-penyesuaian ya, mungkin kalau awal-awal mahasiswa masih semangat ya, tapi ketika menjelang pertengahan semester itu jadi banyak yang mengalami penurunan semangat,” ungkap Rana.


Apa Kata Pimpinan?

Permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan kuliah daring selama dua semester sebelumnya di IAIN Cirebon patut menjadi pekerjaan rumah yang perlu ditangani bersama, baik oleh mahasiswa ataupun dosen, termasuk pihak birokrasi kampus yang berwenang dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di instansi perguruan tinggi tersebut.


Muslihudin, selaku Wakil Dekan II FITK, menuturkan bahwa pandemi yang melanda global membuat pendidikan menerapkan kebijakan emergency yang merupakan respon cepat terhadap berbagai macam kondisi saat ini.


“Memang kalo ada hal yang sifatnya teknis ditemukan kendala itu pasti bisa ditemukan di lembaga mana pun di institusi mana pun di—apa istilahnya itu, baik dalam level regional maupun dalam level nasional bahkan mungkin global,” ujarnya dalam sesi wawancara.


Wadek II FITK juga mengungkapkan bahwa beberapa kendala yang terjadi dalam realisasi penyaluran kuota internet untuk mahasiswa pada masa kuliah daring di semester sebelumnya ada padapengkompilasian atau pengkapitalisasian nomor telepon seluler milik mahasiswa dan kerja sama denganprovider jaringan internet. “Meskipun ada di database, itu terkadang, mungkin kita tidak bisa memastikan mana yang aktif dan mana yang tidak aktif,” ungkapnya.


Pihaknya juga menuturkan bahwa pada tahun 2021 ini kuota internet untuk dosen dan mahasiswa sudah dianggarkan. Kuota internet tersebut kemungkinan akan diberikan melalui injeksi langsung ke nomor telepon seluler masing-masing dosen dan mahasiswa yang akan didata ulang, dengan alokasi pemberian berjumlah dua sampai tiga kali injeksi untuk semua jenis kartu. 


“Tiga kali injek atau mungkin dua kali injek, nanti kita lihatlah itunya. Antara dua dan tigalah ya,”ungkapnya.


Suteja selaku Wadek I FITK menanggapi persoalan dosen yang hanya membagikan materi tanpa memberikan dosis khusus dalam pembelajaran. Ia mengungkapkan bahwa dalam peningkatan sistem pembelajaran daring dosen juga akan dipantau dan dievaluasi.


“Tapi mau ada evaluasinya loh, jangan lupa, sistem belajar begini tuh. Misalkan saya mengajar pakai Google Classroom. Itu tiap hari ada pantauan. Ada pantauan, otomatis ketauan. Absen tiap hari, jumlah mahasiswa, semua serba online. Dipantau oleh pusat data,” ujarnya dalam sesi wawancara.


Wadek I FITK mengungkapkan bahwa teguran persuasif telah dilakukan.“Ketahuan, ketahuan. Saya bisa tau. Dosen ini, ini, ini. Ya tidak sih teguran, tidak ya. Cuma ya ngobrol. Kalau yang sepuh-sepuh ya diobroli. Kalau yang muda-muda ya ditanyai. Tapi ya beberapa. Nggak banyak. Itu jangan lupa generasi yang lainnya tahun 60-an, yang saya bilang bisa maca hape ga untung,” jelasnya.


Ia mengaku sering berpesan melalui ormawa, SEMA-DEMA, kepada mahasiswa untuk konsultasi kepada Ketua Jurusan masing-masing jika memiliki masalah dengan dosen.


“Kalau belum puas, ketemu saya langsung,” pungkasnya.



Reporter : Rifqi Al Wafi dan Rifaldi

Penulis : Rifaldi

Editor : Alfarabi dan Dea Agustin Nuraisyah


Ilustrasi (Fauzan Alfani)


Jakarta (11/02). Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) di Resto Abu Nawas Jakarta, IAIN Syekh Nurjati dinyatakan lolos penilaian Kementerian Agama bersama dua IAIN lainnya, yaitu IAIN Bukittinggi dan IAIN Batusangkar. Keputusan tersebut sesuai dengan hasil penilaian para penguji pada proposal dan kelengkapan administrasi alih status IAIN menjadi UIN. IAIN Syekh Nurjati seperti disampaikan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdhani, S.TP., M.T. telah memenuhi seluruh persyaratan alih status menjadi UIN berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 tahun 2020. Hal ini sekaligus menempatkan IAIN Syekh Nurjati bersama dua IAIN lainnya menggungguli 7 IAIN pengusul lainnya. 

Lebih lanjut Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdhani, S.TP., M.T. juga menegaskan bahwa alih status IAIN Syekh Nurjati menjadi UIN harus pula diikuti dengan reorientasi visi mewujudkan universitas Islam kelas dunia dengan varian program studi yang tersedia. “Tentu tidak boleh pula melupakan kekhasan perguruan tinggi Islam Indonesia yang tetap konsisten mengusung moderasi beragama dan Islam Washatiyah,” tegas Guru Besar UIN Bandung tersebut.

Senada dengan hal tersebut, Direktur PTKI Prof. Dr. Suyitno, M.Ag. menuturkan bahwa UIN Syekh Nurjati bersamaan dengan proses transformasinya akan menjadi Pilot Project Universitas Islam Siber Indonesia (UISI). Sebagai Universitas Islam Siber pertama, UIN Syekh Nurjati akan menjadi pioner Open Islamic Educational Resources (OIER) di dunia dengan teknologi Digital Multimedia University (DMU). “UIN Syekh Nurjati akan mendorong perubahan paradigma lama Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) dari konvensional menjadi re-creation and connecting knowledge pada open space. Ke depan, UIN Syekh Nurjati akan menyelenggarakan pendidikan jarak jauh (PJJ) berbasis teknologi,” ungkap Suyitno.

Lebih lanjut secara teknis Kasubdit Kelembagaan dan Kerja sama, M. Adib Abdushomad, Ph.D. menyempurnakan tahapan transformasi yang akan dilakukan oleh IAIN Cirebon. Menurutnya, visitisasi lapangan oleh tim Kementerian Agama akan dilakukan pada akhir Februari tahun 2021, selanjutnya oleh Kementerian PAN-RB untuk memberikan rekomendasi kelayakan pungkas transformasi tersebut. “Setelah semua proses visitasi lapangan dilakukan, selanjutnya Menpan-RB akan mengajukan izin prakarsa kepada Sekretariat Negara untuk kemudian diputuskan oleh Presiden Joko Widodo,” terang Adib.

Keputusan tersebut disambut baik oleh civitas academica IAIN Cirebon. Dalam kesempatan yang berbeda, Dr. Sumanta Hasyim, M.Ag. merasa bersyukur atas capaian dan amanah yang diberikan kepada lembaganya. Menurutnya, transformasi menjadi UIN Cirebon memang menjadi keniscayaan mengingat kiprah kampus ini yang memiliki segudang prestasi, termasuk minat warga Jawa Barat dan sekitarnya untuk belajar. “Kami merasa mendapat anugerah yang tak ternilai, selain lolos dalam tahap awal transformasi UIN, juga diberi amanah untuk menjadi kampus Islam Siber pertama. Hal ini tentunya akan kami respon dengan sebaik mungkin dalam menyiapkan segala yang dibutuhkan,” tegas Sumanta.

Persiapan tersebut didukung penuh oleh seluruh stakeholder IAIN Syekh Nurjati. Seperti disampaikan Dr. Syaifudin Zuhri, M.Ag. bahwa kampusnya telah membentuk tim khusus untuk melakukan berbagai persiapan, kaitannya dengan transformasi dan kampus Islam Siber. Program-program telah dirancang dengan matang, baik pada aspek penyiapan SDM, infrastruktur digital, sarana dan prasarana, serta perangkat legalitas lainya. “Tahun ajaran baru mendatang IAIN Syekh Nurjati akan membuka kelas siber internasional perdana pada program studi PAI, sekaligus menanti Peraturan Presiden soal alih status UIN Syekh Nurjati,” pungkasnya.

Penulis: M Andi Hakim


   
Ilustrasi (Fauzan Alfani)


Beberapa hari kemarin muncul sebuah pemberitaan yang dibuat oleh LPM Fatsoen. Pemberitaan tersebut berisi tentang informasi jaringan nama-nama pejabat organisasi intra-kampus serta latar belakang organisasinya, mulai dari SEMA, DEMA, sampai ketua HMJ, yang kesemuanya merujuk pada salah satu organisasi ekstra kampus yang identik dengan warna “ kuning”.

Ada banyak tanggapan atas informasi tersebut: beberapa mungkin ada yang marah dan jengkel. Hal ini sangat wajar, selagi tidak melakukan ujaran kebencian yang menyebabkan perpecahan. Karena mau bagimanapun pemberitaan itu masuk ranah identitas organisasi. Tetapi saya sendiri sebagai salah satu bagian dari yang mereka sebut dengan “kuning” menanggapinya dengan biasa saja (walaupun namaku juga dalam pemberitaan itu). Malah menganggap hal seperti ini sebagai dinamika dalam demokrasi, di tengah keapatisan mahasiswa yang akut, sedikit pemantik diperlukan.

Banyaknya kader “kuning” yang menduduki berbagai posisi di intra-kampus, tentu tidak dapat sepenuhnya disalahkan kepada mereka, toh masih banyak juga jurusan yang tidak dipegang oleh orang “kuning”. Bahkan mereka mampu menjalankan demokrasi dengan baik dan lebih dewasa, tentu hal ini dapat menjadi penegasan bahwa kampus ini memang bukan kampus “kuning”, karena masih memberi ruang kepada yang lain, walaupun tidak sebanyak yang dimiliki oleh orang “kuning”.

Tentu sangat tidak pantas juga, jika menjustifikasi orang “kuning” sebagai orang yang paling bernafsu “kekuasaan”. Karena hal ini terjadi karena sistem politik di kampus belum mendukung sepenuhnya terjadinya dinamika, dialektika, perdebatan, ide dan gagasan, karena sejatinya hal seperti inilah yang menjadi esensi dari pesta demokrasi itu sendiri. Ketika hal ini sudah terjadi maka niscaya panggung politik tidak hanya sekedar mencari siapa yang menang setelah itu selesai, tetapi lebih dari itu, yaitu terciptanya gagasan atau ide segar untuk mencapai kemaslahatan yang lebih luas.

Karena sejatinya orang “kuning” sendiri terjun dalam organisasi intra-kampus bukan hanya sekedar perebutan kekuasaan tetapi sebagai sarana untuk setiap kadernya melakukan pengabdian, pembelajaran serta turut andil dalam berbagai macam problem yang ada di kampus, karena kampus sebagai contoh negara kecil (miniatur state), karena dengan terjun dalam organisasi kampus, harapannya setiap kader dapat mengaktualisasikan dirinya dengan secara maksimal, karena kampus tidak hanya semata-mata sebagai ruang akademis yang hanya berorientasi pada angka saja, tetapi juga sebagai ruang untuk mencari jaringan dan pengalaman.

Jadi sangat wajar jika berbagai macam organisasi saling berlomba-lomba untuk menempatkan setiap kadernya dalam dunia kampus, sehingga menciptakan suatu sistem perpolitikan yang sangat sehat sudah menjadi sebuah keharusan, dengan terciptanya sebuah sistem yang baik yang akhirnya mampu untuk membuka ruang partisipasi publik dengan seluas-luasnya.

Sehingga agenda pesta demokrasi tidak dipahami sebagai sarana persaingan politik, tetapi juga sebagai sebuah sarana untuk mencari figur intelektual yang layak dan mumpuni serta memiliki jiwa kepemimpinan yang baik. 

Harapannya marwah organisasi baik kuning, pink, hijau, merah, dan lain sebagainya dapat terangkat dengan hadirnya setiap kader mereka yang menampilkan citra kader yang berintelektual, profesional, berwawasan luas, memiliki jiwa empati dan simpati, tidak membedakan, arif, serta loyal dalam berbagai macam organisasi yang sedang di gelutinya, bukan malah sebaliknya.

Mungkin hal ini terkesan terlalu “ngawang” tetapi semangat, optimisme, harapan, itu  harus tetap ada diperjuangkan, mungkin saya ingin menyudahi tulisan saya ini dengan sebuah kutipan dari Mahbub Djuanidi yang saya sandur dari situs islamlib.com “Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala, pemimpin monyet monyet lain di kandang itu, Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu bisa disebabkan beberapa faktor, bisa karna dia paling tua, bisa juga karena paling pintar, tetapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling mampu membanting monyet monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah yang membuatnya bisa menjadi pemimpin, Monyet tidak pernah mengenal sistem pemilihan seperti halnya bangsa manusia, ini kedunguan warisan.”

Fahmi Labibinajib

LPM Fatsoen, HMJ SKI, PMII Rayon An Nahdloh dan Warta Senja (Wadah Literasi Semesta)





“Katakanlah yang benar, walaupun kebenaran itu pahit.” 

(HR. Ahmada At Tabrani, Ibnu Hibban dan Al Hakim dalam kitab Syarah Misykatul Mashobih)

Edisi kali ini, kami mengeluarkan liputan Merangkum Pemilihan SEMA dan DEMA, bisa baca di sini dan sini. Liputan kali ini, barangkali akan mengagetkan banyak pihak. Sebab, dalam sepanjang sejarah peradaban manusia hal-hal baru selalu mendapatkan respon yang luar biasa bisingnya. Bahkan tak sedikit yang beradu fisik sampai penghilangan nyawa, lebih-lebih perihal mengoreksi kekuasaan. 

Sejarah telah mengajarkan mengenai itu. Misalnya penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, disikapi dengan brutal oleh kaum Quraisy; penolakan warga atas laku jahat pejabat dan pemodal yang tanahnya akan dirampas, malah dibunuh: Salim Kancil, Poro Duka dan lainnya atau hal yang terbaru adalah terlibatnya pelajar dalam demonstrasi, banyak yang mencibirnya. Hal baru yang mengoreksi dan menggugat status quo, di setiap zamannya selalu memunculkan gejolak. Kami menyadari betul akan hal itu.

Dalam konteks kampus kita tercinta, jabatan-jabatan strategis di kampus, yang menguasai dari bendera mana adalah rahasia umum. Namun informasinya sayup-sayup, berbisik-bisik di warung-warung kopi, di pojok parkiran kampus atau di kamar kos-kosan. Maka, yang sudah menjadi rahasia umum itu, kami munculkan ke publik. Pemunculan siapa menguasai apa dari bendera apa ini lah, barangkali hal baru. 

Kami memercayai bahwa esensi dari demokrasi adalah pelibatan publik seluas-luasnya (partisipatif). Salah satu cara agar publik bisa terlibat, adalah dengan memunculkan isu ini ke publik. Agar publik bisa secara objektif mengoreksi, mengkritik, menawarkan dan berpartisipasi lebih jauh dalam kancah perpolitikan di kampus. 

Kita telah lama kehilangan otonomi: pendiktean di berbagai sisi oleh birokrasi Kampus dan Negara. Pada akhirnya, ruang untuk bereksperimen dalam mengelola, mengatur dan menciptakan tatanan yang ideal sesuai imajinasi kita sempit, terkadang malah buntu. Pendiktean itu diselundupkan diberbagai aturan, salah satunya Keputusan Dirjen Pendidikan Islam nomor 4961 tahun 2016 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam dan turunannya.

Juga minimnya keterlibatan publik dalam percaturan perpolitikan di kampus diperparah oleh mandulnya organisasi ekstra lain. Sebagai oposisi, alih-alih lebih garang, suaranya semakin tahun semakin parau. Organisasi ekstra lain, sebagai organisasi gerakan mempunyai tanggung jawab moral dalam menyuntik gairah perpolitikan di kampus. Bisa dibayangkan, organisasi gerakan, yang berbusa-busa berbicara perihal perpolitikan saja melempem, bagaimana civitas akademis lain yang apatis?

Perpolitikan di kampus, sering kali direduksi hanya perihal perebutan kekuasaan. Padahal lebih luas dari itu: bagaimana mengawal kebijakan kampus yang tidak pro-mahasiswa? Misalnya, di tengah masa krisis karena pandemi, kampus dan Negara tidak punya empati dengan terus memalak UKT; bagaimana pemenuhan hak mahasiswa, disaat infrastruktur perkuliahan online banyak yang belum dipenuhi (kuota, akses refrensi online: jurnal, buku dan lain sebagainya); bagaimana transparansi UKT beserta subsidi dari negara? yang pengeluarannya sedikit karena serba online, tapi membayar UKT secara penuh; bagaimana hak-hak buruh di kampus? dan sederet masalah lainnya.

Implikasi dari direduksinya makna perpolitikan menyebabkan, bisingnya hanya saat pemilihan ketua-ketua belaka dan sebatas merebutkan kekuasaan. Pasca itu, kembali adem ayem. Situasi ini tidak asing dengan perpolitikan di negara kita. Elit-elit partai politik cum pemodal hanya memanfaatkan demokrasi (baca: pemungutan suara) untuk mendapatkan sekaligus melanggengkan kekuasaan. Selebihnya, disaat rakyat protes: mengoreksi, mengkritisi dan menawarkan solusi malah disemprot gas air mata, dibui bahkan sampai hilangnya nyawa. 

Maka jangan meniru laku biadab elit-elit Parpol di Indonesia. Mari bersama-sama terlibat dalam merebut otonomi: melepas pendiktean dari elit serta mementingkan golongannya belaka, sesering mungkin mendengarkan keresahan, sekaligus berpihak pada akar rumput: mahasiswa, buruh, OB, dosen kontrak atau non-PNS, satpam dan kaum yang terpinggirkan lainnya. Juga, jauhi konflik-konflik horizontal yang menguras waktu, pikiran dan tenaga. Singkatnya, apapun benderanya: pink, hijau, biru, merah, hitam atau lainnya; apapun ideologinya: kiri, kanan, tengah, atas atau bawah; apakah seorang wibu, pencinta drakor, penyuka tea jus atau nutrisari, penganut bubur diaduk atau tidak, pecinta sholawat, pendukung keras band-band indie, pengamat video 19 detik-an atau (si)apapun itu, harus mendapatkan akses yang sama untuk belajar di organisasi intra tanpa memandang dari bendera mana. Sebab, selain demokrasi mensyaratkan kita semua setara dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik. Juga, saat menjadi pejabat publik bukan lagi kita sebagai pink, kuning, hijau, merah atau lainnya. Melainkan mengabdi untuk kemaslahatan publik, bukan untuk bagi-bagi kekuasaan untuk golongannya sendiri. Selamat mengemban amanah, selamat bekerja!

Redaksi


Musyawarah besar (MUBES) Ormawa SEMA (Senat Mahasiswa), DEMA (Dewan Mahasiswa) IAIN Syekh Nurjati Cirebon dilaksanakan pada tanggal 2 Februari 2021, di Auditorium FITK lantai 5. Kegiatan tersebut dihadiri oleh anggota SEMA dan DEMA sebagai peserta penuh (calon anggota SEMA DEMA - Institut), sedangkan beberapa ketua dari masing-masing HMJ sebagai tamu undangan (peserta peninjau). 

Infografis (Ilustrator : Fauzan Alfani) 


Dari hasil musyawarah, didapat keseluruhan anggota SEMA-I berjumlah 21 orang, 81% diantaranya mahasiswa berorganisasi ekstra PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan 19% lainnya tidak mengikuti organisasi ekstra. Sedangkan, seluruh ketua SEMA dan DEMA-F merupakan anggota PMII. Ketua HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) berjumlah 24 orang 59% diantaranya berorganisasi ekstra PMII, 33% tidak mengikuti organisasi ekstra dan 8% berorganisasi ekstra HMI (Himpunan Mahasiwa Islam).

Infografis (Ilustrator : Fauzan Alfani) 


Kegiatan tersebut bertujuan untuk memilih ketua SEMA dan DEMA-I. Berdasarkan POK (Pedoman Organisasi Kemahasiswaan) yang tercantum dalam BAB V pasal 13 tentang keanggotaan, syarat dan wewenang SEMA IAIN Syekh Nurjati Cirebon bahwa Keanggotaan SEMA - Institut dan BAB VI pasal  19 tentang DEMA IAIN Syekh Nurjati Cirebon bahwa kepengurusan SEMA dan DEMA Institut ditetapkan pada bulan Februari.


Berdasarkan data yang ada, anggota SEMA, DEMA dan HMJ didominasi oleh mahasiswa yang berorganisasi ekstra PMII.  

Infografis (Ilustrator : Fauzan Alfani)


Catatan: Data yang terangkum di sini, kami menggunakan dua metode: wawancara dan observasi. Kami melakukan observasi melalui aplikasi online Getcontact dan Instagram. 

Penulis: Nisa Nurhasanah dan Maya Noviyanti

Tim Riset: M. Rizal Aryo Seno, Tedi Satrio, Delima, Elisa Juliani, Maya Noviyanti, Zulva Azhar dan Siti Nur Azizah