Film Joker 2019/Dok. DC Pictures
Seperti film Joker yang disutradarai Todd Phillips yang akhir-akhir ini sedang hits. Arthur Fleck sebagai tokoh utama, digambarkan menderita gangguan jiwa. Dia mengalami tekanan mulai dari terisolasi, diintimidasi dan diabaikan oleh masyarakat. Berbagai tekanan tersebut membuatnya berubah menjadi sosok Joker atau yang dikenal sebagai dalang kriminal. Dalam Joker, tindakan Fleck dipicu ketika ia marah, malu, terkejut atau gugup dalam situasi publik.
Menurut data dari World Health Organization (WHO), dalam rentang usia 15 - 29 tahun, satu orang setiap 40 detik dapat melakukan bunuh diri dan upaya bunuh diri. Jika dijumlah, tiap tahunnya hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri dan lebih dari 20 dengan upaya bunuh diri. Bunuh diri terjadi di semua wilayah di dunia. Faktanya, 79% dari bunuh diri global terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sementara hubungan antara bunuh diri dan gangguan mental seperti depresi dan gangguan penggunaan alcohol, biasanya terjangkit oleh orang-orang yang sudah mapan, dan banyak yang bunuh diri secara impulsif di saat-saat krisis.
Di Indonesia sendiri, dari data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6%. Penderita gangguan mental di Indonesia banyak yang mengalami perundungan dari orang sekita hingga tak sanggup berobat.
Setiap tanggal 10 Oktober menjadi peringatan hari kesehatan jiwa internasional, termasuk Indonesia mengikuti ketetapan World Federation for mental Health (WFMH) sebagai kepedulian global akan pentingnya meningkatkan kepedulian terhadap orang dengan gangguan jiwa. Menurut sejarah, penetapan peringatan hari kesehatan jiwa sedunia dilatarbelakangi dari sebuah program yang dirancang oleh WFMH pada tahun 1992, dengan membawa misi untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran masyarakat seluruh dunia mengenai kesehatan jiwa.
Peringatan hari kesehatan jiwa sedunia tidak sematamata untuk mengenang hari penting yang bersejarah, namun menjadi inspirasi bagi mereja yang mengalami depresi bullying, disebabkan oleh banyak faktor diantaranya faktor sosial dan tekanan dari lingkungan yang mengakibatkan resiko gangguan jiwa ringan maupun berat semakin meningkat. Selain itu, faktor pengalaman kehilangan, kesepian, diskriminasi, putusnya hubungan, masalah keuangan, sakit kronis dan penyakit, kekerasan, pelecehan, dan konflik atau keadaan darurat kemanusiaan lainnya juga menjadi risiko terkuat untuk upaya bunuh diri.
Peringatan hari kesehatan jiwa sedunia tidak sematamata untuk mengenang hari penting yang bersejarah, namun menjadi inspirasi bagi mereja yang mengalami depresi bullying, disebabkan oleh banyak faktor diantaranya faktor sosial dan tekanan dari lingkungan yang mengakibatkan resiko gangguan jiwa ringan maupun berat semakin meningkat. Selain itu, faktor pengalaman kehilangan, kesepian, diskriminasi, putusnya hubungan, masalah keuangan, sakit kronis dan penyakit, kekerasan, pelecehan, dan konflik atau keadaan darurat kemanusiaan lainnya juga menjadi risiko terkuat untuk upaya bunuh diri.
Permasalahan kesehatan mental di Indonesia masih dianggap remeh oleh masyarakat. sehingga tidak heran jika banyak orang yang memiliki masalah dengan kesehatan mentalnya diabaikan. Masyarakat Indonesia masih memberi stigma yang uruk terhadap isu-isu kesehatan mental. Penderita gangguan mental di Indonesia banyak yang menerima perlakuan diskriminatif dan tidak manusiawi. Buruknya penanganan pada penderita gangguan kejiwaan di Indonesia.
Penanganan yang salah sering terjadi. Masih banyak orang-orang dalam masyarakat tradisional yang beranggapan bahwa gangguan kejiwaan disebabkan oleh roh jahat, perbuatan dosa, hingga disebut kutukan. Dimana seharusnya diberikan terapi pendekatan psikologi, para penderita gangguan kejiwaan ini justru dibawa ke paranormal, bahkan sampai ada yang dikurung dan dipasung.
Kesehatan mental memegang peranan penting dalam diri khususnya bagi para remaja, di mana merupakan fase peralihan dari anak menuju dewasa sehingga terjadi banyak perubahan. Mulai dari perubahan secara fisik, hormon, kecerdasan, emosi dan perilaku. Tuntutan sosial semakin tinggi, situasi juga semakin kompleks. Perubahan gaya hidup dapat memicu terjadinya kebingungan dan stres yang jika tidak tertangani dapat mengarah pada terjadinya suatu gangguan.
Dengan proses masa transisi tersebut, remaja biasanya dinilai sebagai kelompok usia sehat. Namun ternyata, kurang lebih 20% remaja mengalami masalah kesehatan mental. Jenis masalah kesehatan mental yang umum terjadi adalah depresi dan kecemasan. WHO menyatakan bahwa 75% gangguan mental emosional memang umum terjadi sebelum usia 24 tahun. Dalam berbagai kasus, bunuh diri merupakan akibat dari permasalahan kesehatan remaja.Tidak hanya pada remaja, menurut pikiranrakyat.com. Sekitar 78% mahasiswa, selama mejalani studi pernah mengalami masalah gangguan kesehatan mental atau mental health (MH). 40 persen di antaranya selain menimbulkan penderitaaan juga mengganggu prestasi akademisnya‚ dan 33,2% serius memikirkan tindakan bunuh diri. Bunuh diri 3 orang mahasiswa selama 3 bulan di sebuah perguruan tinggi adalah puncak gunung es dari permasalah MH di perguruan tinggi. Hal itu diungkapkan oleh dokter spesialis kejiwaan dr Teddy Hidayat dalam Pelatihan Penanggulangan Pertama terhadap Gangguan Jiwa di Kalangan Mahasiswa (Mental Health First Aid (MHFA) Perguruan Tinggi) yang digelar di Gedung Sate, Jalan Diponegoro Kota Bandung, Sabtu 24 Agustus 2019.
Dunia perkuliahan adalah masa transisi yang menuntut seseorang untuk mulai hidup mandiri dan dapat mengatur segala sesuatunya sendiri, terlebih jika harus tinggal jauh dari orangtua. Stres berat yang diterima selama masa kuliah, baik dari segi tuntutan pembelajaran maupun lingkungan yang beradaptasi, dapat memengaruhi kesejahteraan mental seorang mahasiswa. Tuntutan sosial semakin tinggi, situasi juga semakin lebih mempengaruhi.
Permasalahan kesehatan mental pada mahasiwa di perguruan tinggi, sampai saat ini belum mendapat perhatian lebih. Sehingga masalah mental health pada mahasiswa tidak terdeteksi, tidak diobati, menjadi kronis‚ menambah jumlah yang gangguan kesehatan mental bahkan hingga kematian.
Selain itu, bunuh diri dan krisis mental yang berhubungan dengan kesehatan jiwa meningkat, prestasi akademis rendah dan droup out. Akibatnya mahasiswa berkurangnya kesempatan mengembangkan skill maupun kemampuan dan kehilangan hari-hari produktif. Perubahan gaya hidup dapat memicu terjadinya kebingungan dan stres yang jika tidak teridentifikasi dan tidak tertangani dapat mengarah pada terjadinya suatu gangguan.
Kesehatan mental sampai saat ini masih belum dianggap penting atau prioritas, padahal kemungkin mereka itu adalah orang terdekat. Pengetahuan dan pemahaman yang terbatas mengenai kesehatan mental menyebabkan banyak masyarakat yang tidak mengetahui apa yang harus mereka perbuat.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengajak kepada setiap pemerintah di berbagai negara untuk ikut terlibat dalam permaslahan sosial, kesehatan, serta edukasi kesehatan terutama pada generasi muda. Karena mereka yang masih muda merupakan penerus bangsa di masa depan.
Sebagai mahasiswa, seharusnya memilliki kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Salah satunya dengan merangkul, mendengarkan mereka yang sedang depresi agar sedikit mengurangi beban pikiran yang sedang dialaminya. Selain itu kita sebagai mahasiswa juga dapat memberi pemahaman yang tepat kepada masyarakat bahwa kesehatan mental bukan sebuah hal buruk dan mistis. Apalagi tantangan dan pengaruh kemajuan teknologi yang bisa menimbulkan efek negatif apabila salah dalam menyikapi.
“The worst part of having a mental illness is people expect you to behave as if you don’t.” - Arthur Fleck (Joker)
"Bagian terburuk dari memiliki gangguan mental adalah orang-orang mengharapkan kamu untuk bertingkah seolah kamu tidak memiliki gangguan mental."
Penulis : Zainab Muazzaroh