|
(Ilustrasi : Pinterst) |
Hari bahagiaku sebentar lagi akan terwujud. Aku sudah memantaskan diri untuk menjadi seorang belahan jiwa bagi kekasih hatiku Gabriel Alexander. Kami menjalani hubungan kasih sangat lama. Bulan lalu, kekasih hatiku melamar aku dengan suasana yang sangat romantis. Dua bulan lagi adalah hari bahagia kita berdua, kita akan mengucapkan janji sehidup semati di hadapan Tuhan.
Untuk keperluan resepsi pernikahan, kita sepakat untuk melakukannya sendiri. Seperti hari ini, aku melakukan fitting baju pengantin. Tiba-tiba ponselku berdering.
“Hallo Mas, kenapa?”, sautku menjawab telepon.“Sayang maaf, hari ini aku gak bisa nganter kamu fitting baju. Sekarang pesawat aku gak bisa landing karena kendala cuaca”, sambung Gabriel.“Yah. Serius? Terus gimana, kan kita sudah janji sama mereka. Gak enak tahu”. Jawabku padanya.“Ya sudah begini saja, kamu pergi sendirian, pilih yang kamu suka dulu, gak enak juga kan kalo kita berdua ngebatalin janji. Ntar bilang saja kalo mas lagi ada kerjaan yang gak bisa ditunda” Perintahnya.
Akhirnya aku berangkat sendirian untuk fitting baju pernikahan. Setelah sampai aku langsung diantar untuk menemui designer. Setelah aku masuk pintu dibuka: aku menatapnya, bertatap muka dengan designer tersebut dan dia ternyata. Raka.
Mata kami bertemu secara langsung. Bibir ini tak sanggup untuk hanya sekedar mengucapkan kata hallo. Kaki ini tak sanggup untuk melangkah maju atau mundur. Dan jantung ini berdebar sangat kencang. Ada apa ini?, apa yang harus aku lakukan?.
Raka adalah laki-laki pertama temanku, laki-laki pertama sahabatku, dan laki-laki pertama yang mengisi hatiku. Kenapa kita harus bertemu lagi dalam keadaan seperti ini?. Kenapa kita tidak bertemu lagi dua atau lima tahun yang lalu?. Pikiran ini berkecamuk di dalam kepala.
“Ananta Maria?”, tanya Raka. “Hai. Iya. Kamu designer di sini”, jawabku. “Iya. Kamu mau menikah?, wah selamat ya. Oh iya calon suaminya mana?, kenalin dong sama aku”.
Berbagai pertanyaan yang dilontarkan Raka seakan-akan dia tidak merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Tega-teganya dia langsung berbicara seperti itu. Apakah dia tidak sama sekali gugup seperti yang aku rasakan?
“Hmhm… calon suami lagi ada kerjaan. Mending kita langsung fitting baju saja hahaha”. Jawabku singkat.
Bagaimana mungkin aku akan bersama dia untuk melakukan fitting baju dengan perasaan seperti ini. Seolah-olah hati yang sudah diisi oleh Gabriel Alexander selama lebih dari lima tahun tersingkir oleh laki-laki pertama yang mampu membius perasaan ini. Ya tuhan bagaimana ini?. Aku tidak bisa. Aku tidak mampu. Akhirnya: “Raka, sorry sepertinya aku harus pulang tiba-tiba kepalaku sakit, nanti saja aku kesini lagi bareng calon suami aku. Maaf ya. Terimakasih”. Aku keluar dari ruangan tanpa menghiraukan Raka.
Bahkan saat aku sampai rumah perasaan ini masih tidak karuan. Ya tuhan bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi kembali dalam hidupku. Aku akan menikah ya tuhan. Aku memerlukan diri untuk berdo’a kepada-Nya agar diberikan ketenangan dan ketenteraman bathin.
Dua pekan berlalu. Aku dan Gabriel mengunjungi kembali Raka sebagai designer untuk melakukan fitting baju. Sebelumnya aku sudah meminta izin kepada Gabriel untuk ganti designer, tetapi dia menolak karena aku gak bisa ngasih alasan yang konkret menurut dia.
Akhirnya kita melakukan fitting baju pernikahan bersama Raka. Senyumnya masih sama seperti dahulu, wajah itu bukannya seharusnya sudah mulai menua, tetapi kok masih fresh seperti dulu. Astaga Ananta apa sih yang kamu pikirkan, tolong singkirkanlah pikiran dan perasaan ini.
Dia memegang tubuhku dengan meteran untuk melakukan pengukuran. Seketika aku kabur ke toilet. Aku gak kuat. “Maaf aku harus ke toilet”. Tanpa mendengar gubrisan mereka aku langsung kabur. Aku perlukan minum sampai dua botol air mineral.
Hampir 100% persiapan pernikahan kami sudah rampung. Tetapi, hati ini masih belum juga rampung 100% untuk siap membina rumah tangga bersamanya. Gabriel pria yang sangat baik. tetapi kenapa hati ini belum saja pulih semenjak pertemuan kembali aku dengan Raka.
Segala cara sudah aku lakukan seperti aku tidak ada hentinya memohon kepada tuhan agar ditetapkan hati ini untuk memilih dia (Gabriel), sudah berusaha sebisa mungkin tidak pernah mengingat kenanganku bersama Raka dan lain-lain. Tetapi, hati ini tetap saja tidak bisa.
Rasa cinta dan sayang kepada Gabriel semuanya hilang dalam sekejab. Aku tidak pernah menyalahkan siapa-siapa atas gejolak hatiku ini. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri. Menyalahkan hati ini. Aku pikir kembalinya perasaan pada laki-laki pertama yang berhasil menaklukan hatiku ini hanya beberapa hari saja ada di dalam hatiku. Tatapi, sampai sekarang perasaan itu masih melekat dan terus menghantui aku.
Kurang lebih satu bulan lagi pernikahan kami akan dilaksanakan. Dengan perasaan seperti ini? Perasaan ragu. Aku tidak bisa!. Aku tidak bisa menikah dan menjalani hidup dengan perasaan mencintai laki-laki lain selain suamiku nanti. Aku tidak bisa. Tidak sanggup.
Setelah menjernihkan pikiran selama berhari-hari. Aku beranikan diri untuk menemui semua anggota keluargaku termasuk keluarga calon suamiku. Aku kumpulkan mereka semua, aku siap dicaci maki, bahkan aku sudah mempersiapkan sejumlah uang untuk mengganti rugi semua kerugian persiapan pernikahan.
“Maaf. Aku tidak bisa menikah dengan Gabriel”. Ucapku mengawali pembicaraan.
Suasana hening. Tidak ada yang berbicara. Semuanya heran. Ada apa dengan wanita bodoh di depan ini. Apakah dia sudah gila. Ya. Aku gila. Gila karena perasaan tak karuan ini.
“Apa maksud kamu nak?”, ucap mama dengan nada mendayu-dayu.“Maafkan aku. Mama, papa, Gabriel, dan keluarga. Aku tidak bisa menikah dengan laki-laki sebaik kamu (Gabriel), aku gak bisa. Jujur ada separuh bahkan lebih hatiku tidak untukmu. Ini terjadi begitu cepat. Aku tidak bisa mengontrol semua ini. Carilah wanita yang jauh lebih baik dari aku. Aku percaya banyak di luar sana wanita baik yang akan mencintaimu dengan sepenuh hati. Maafkan aku sekali lagi”.
“Apakah kamu mencintai laki-laki lain”?, jawab Gabriel. “Itu tidak bisa diungkapkan, karena tidak pantas untuk didengar dan disampaikan”. Tegasku.
Dari raut wajah seluruh keluargaku aku dapat melihat mereka sangat kecewa dan malu atas perbuatan diriku ini. Aku mungkin manusia yang tidak dapat termaafkan. Mama dan papa tidak bisa berkata apa-apa. Mereka diam. Diam nya mereka aku sangat tahu. Mereka sangat kecewa terhadap putrinya yang sudah memalukan nama keluarga besar.
Persiapan pernikahan sudah mendekati 100% undangan sudah jadi, cetering, gaun, sanak-saudara yang jauh sudah dikabari perihal hari bahagia ini. Hanya hatiku yang belum siap. Gabriel menepuk pundakku dan memeluku dan tidak bisa berkata-kata. Betapa baiknya laki-laki ini. Sampai teganya aku mempermalukan dia dan keluarganya. Hanya karena perasaan sialan ini.
Setelah aku memberanikan diri dengan tindakanku. Apakah aku akan mengemis cinta kepada pujaan hatiku yang sebenarnya si Raka itu?, jawabannya tidak. Dan tidak akan pernah. Aku mengetahui fakta bahwa Raka sudah berkeluarga. Dia memiliki dua anak laki-laki kembar dan seorang istri yang sangat cantik. Tentu keluarga yang bahagia. Aku tidak sanggup untuk merusaknya.
…
Satu tahun berlalu dengan sangat cepat. Suatu hari aku membicarakan keputusan terpenting keduaku kepada orang tua.
“Mama dan Papa. Izinkanlah putrimu yang sangat memalukan ini untuk menjadi hamba seutuhnya Tuhan. Aku ingin mengabdikan seluruh hidupku untuk tuhan. Maafkan putrimu ini wahai mama dan papa”.
Mereka mengerti maksudku. Mereka memelukku dan aku rasai mereka masih sangat mencintai putrinya yang sangat mengecewakan ini. Aku pamit. Untuk meninggalkan gemerlapnya dunia dan mengabdi kepada Tuhanku. Inilah pilihanku. Aku pamit.
Penulis : Isah Siti Khodijah