Subagio bercerita dalam sajaknya,

“perempuanlah yang melahirkan aku di bumi

Perempuan juga yang mengajarkan aku nafsu tak terkendali

Tapi perempuan yang membuat aku putus asa dan mendorong melakukan bunuh diri
Perempuan yang mengajak aku tidur abadi tanpa khawatir apa yang akan terjadi di esok hari

Perempuan adalah ilham untuk hidup dan ilham untuk mati”

Ku kemas bait itu menjadi sosok lelaki yang kucintai. Dari watak, hingga perawakan yang begitu mirip. Ia bukan hanya fiksi, namun nyata adanya. Tungkai kakinya panjang, dada bidang, postur tubuh sempurna yang cocok dipakaikan baju apa saja. Kala Ia tersenyum, bunga bermekaran. Saat Ia merengut, daun  berguguran.
Tapi Tuhan Maha Adil. Aku merapalnya berkali-kali, jangan jatuh, jangan jatuh, jangan jatuh hati. Ternyata wajah rupawan bukanlah tolak ukur untuk menjadi dermawan. Ia bisa memikat segala jenis wanita, dari mulai Neng Geulis sampai Cah Ayu. Dikumpulkannya dewi-dewi dunia dalam satu catatan hitam yang disebut mantan. Segala hal itu, hanya untuk memuaskan nafsunya barang satu sampai dua malam. Atau terlebih, ia mencicipi mana yang pantas, mana yang tidak, dinilainya perempuan bak jajanan pasar. Terlepas dari semua itu, segala rasa kecewa dari puan-puan menurutnya hanyalah bualan.

“Nanti juga mereka sembuh sendiri”

Ia meyakinkan semua insan, bahwa cinta dan lara hanya terjadi sementara, jika sudah menemukan pengganti, rasa itu akan segera sirna.

Sialnya, kebetulan buruk menimpaku, yang mengharuskanku berkomunikasi banyak dengannya. Ini hanya kebetulan, tapi kata Fiersa, “kebetulan, adalah takdir yang menyamar” ternyata, jahat sekali takdir ini. Sepatah kata “hai” mematahkanku jadi berbagai bentuk. Benteng yang kubangun susah payah runtuh, lagi-lagi aku berkata “jangan jatuh, jangan jatuh, jangan jatuh hati” dibagian diri yang lainnya berkata, sudah, nikmati saja rasa sakitnya.

Di segala tata letak keteraturan, hancur berkeping-keping. Kepercayaan akan iman, jadi terlupakan. Satan tertawa riang, kelemahan Adam adalah Hawa, dan juga hawa nafsunya.  Aku dan aku berselisih, pertarungan sengit melawan diri sendiri.
“Katamu, nikmati saja rasa sakitnya. Segalanya telah berlalu. Ia menempatkanmu hanya sesuatu yang sekelebat muncul bagai bintang jatuh, cahayamu sirna bahkan sebelum ia mengedipkan mata. Dan ia adalah malam panjang yang tak berkesudahan. Juga, masih banyak bintang-bintang lain yang bertebaran.”

Punggung itu masih sulit didaki, hingga aku patah kaki, sementara ia pura-pura mati. Andai ia lihat hitamnya sepi di balik punggungnya.

Jeritanku melapisi atmosfer malam. Jerit yang tak bisa di dengar siapa-siapa bahkan oleh semut merah yang berbaris di dinding. Mereka tidak mampu menatapku curiga, tidak pula bertanya.

Kisah berlanjut, ia mulai pamit kepadaku, tapi bukan untuk mencari-cari dewi. Ia bilang, ia akan menyematkan janji di jari manisnya dengan sebuah cincin. Didampingi keyakinan bulat Ia temui teman kecilnya saat di madrasah dulu.

“Sekali lagi, maaf”

Itu kalimat terakhirnya, yang menutup sabdanya sebelum nanti janur kuning melengkung. Jauh, ia pergi, semua air akan kembali ke samudra. Lalu aku bagaimana? aku adalah salah satu saksi perjalanan panjanganya. Ia terus-menerus berkelana dan berujung pada satu insan cinta pertamanya dulu. Masih melangkah, dengan air mata kudoakan semoga berbahagia di kemudian hari. Sementara aku linglung senyum-senyum sendiri.

“ternyata, cinta sejati nyata adanya”

Meski itu bukan untukku.

Penulis : Zulfa Azhar
Sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia semakin dikuasai oleh oligarki, sehingga tujuan daripada demokrasi yang pada awalnya bertujuan untuk memeratakan kekuasaan dan ekonomi nyatanya  justru berjalan kearah yang sebaliknya.

Hari ini, pembangunan Indonesia yang dikomandoi oleh Presiden Jokowi tampaknya mulai menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di banyak wilayah, pembangunan infrastruktur tidak merepresentasikan kebutuhan masyarakat kecil; petani, nelayan atau buruh.  Apa yang dilakukan Jokowi dengan menggenjot pembangunan infrastruktur walaupun menghabiskan dana yang fantastis, sebenarnya sudah tepat. Di era persaingan global yang demikian ketat, ketersediaan infrastruktur yang memadai tentu diperlukan.

Meskipun demikian, proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintahan Jokowi selama ini dinilai sejumlah kalangan mengenyampingkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam praktiknya, acapkali dilakukan dengan melanggar hak-hak dasar manusia.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) misalnya menyebut selama tiga tahun kepemimpinan Jokowi, terdapat tidak kurang dari 300 kasus pelanggaran HAM terkait konflik Sumber Daya Alam dan hak atas tanah. Kasus yang banyak ditemui adalah pengusiran paksa dan perampasan lahan yang disertai intimidasi dan tindakan represif dari oknum aparat keamanan.  Kasus tersebut diantaranya terjadi di Rembang Sukoharjo, Palembang, Sukolilo dan yang paling mutakhir di Kulon Progo. Pelanggaran itu umumnya melibatkan setidaknya tiga pihak, yakni oknum pemerintah daerah, aparat keamanan dan pihak perusahaan.

Developmentalisme & Ekowisata

Model pembangunan ekonomi Indonesia yang sedang berjalan sebenarnya merupakan adopsi dari konsep developmentalisme. Konsep tersebut pertama kali dimunculkan oleh para ahli ekonomi Barat. Salah satu ciri developmentalisme ialah pembangunan infrastruktur secara masif. Pembangunan sarana fisik diyakini akan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan konsumsi domestik dan tentunya berakibat positif pada pertumbuhan ekonomi. Developmentalisme didesain sebagai model pembangunan negara dunia ketiga agar mampu mengejar ketertinggalan ekonomi dari negara-negara yang sudah maju, sekaligus meredam potensi kembalinya ideologi sosialisme-komunisme.

Namun dalam perkembangannya, developmentalisme gagal menyejahterakan negara-negara dunia ketiga dan justru menjadi pintu masuk bagi negara-negara maju untuk mengendalikan perekonomian negara miskin-berkembang. Sebagai anak kandung kapitalisme, developmentalisme memiliki watak eksploitatif. Pembangunan fisik maupun pengolahan sumber daya alam kerapkali tidak memperdulikan perihal kelestarian lingkungan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Melalui kebijakan dan program Kawasan Startegis Pariwisata Nasional (KSPN) pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, meletakkan sektor pariwisata masuk dalam 5 besar agenda utamanya, termaktub dalam naskah NAWACITA. Merujuk beragam data resmi dari pemerintah tentang kebijakan pengembangan KSPN (Kementrian Pariwisata, Kantor Sekretariat Presiden, BAPENNAS dan Kelompok Kerja Percepatan Pembangunan 10 Destinasi Prioritas, Kementrian Pariwisata, 2016), menunjukkan lima argumen utama mengapa penting KSPN ini dilaksanakan sebagai program prioritas pemerintahan Jokowi –Jusuf Kalla ini yaitu;  (1) Pentingnya mengakhiri sumber pendapatan negara dari industri ekstraktif SDA, (2) pariwisata sebagai sumber devisa nasional yang cepat dan belum optimal, (3) pariwisata dapat untuk meningkatkan daya saing bangsa di mata global, (4) pariwisata sebagai lapangan baru investasi pertumbuhan ekonomi nasional, (5) KSPN untuk menunjang percepatan perluasan infrastrktur untuk integrasi dan interkoneksi. Dalam data ini disebutkan bahwa perolehan devisa nasional dari dari sektor pariwisata menempati rangking 4 setelah: minyak dan gas bumi, batubara, minyak kelapa sawit. Sehingga diharapkan di tahun 20120 dapat menjadi sumber devisa utama melebihi 3 komuditas lainnya.

Kebijakan ekowisata bertopeng lingkungan dan konservasi cenderung dianggap “netral” dan bebas kepentingan ekonomi-politik. Ketika disebut kebijakan pembangunan ekowisata, sebagaimana ditanyakan berulang dalam wawancara studi ini (di semua lokasi studi), masyarakat merasa program KSPN ini seolah pasti baik, dan menghormati prinsip keberlanjutan ekologis.Ekowisata dianggap jawaban model pembangunan yang tidak merusak lingkungan dan hormat pada hak kelola rakyat.Seolah urusan ekologis tidak terkait dengan kepentingan ekonomi-politik.Hal ini ditemukan di semua lokasi studi. Namun ketika dijelaskan ulang bahwa rencana pembangunan KSPN akan diprioritaskan urusan aksesibilitas berupa infrastruktur, bandara, jalan tol, hotel, dst, masyarakat langsung bertanya: oleh siapa? akan dibangun dimana, bagaimana hak masyarakat atas tanah dan sumberdaya alam mereka? Masyarakat aakan dilibatkan menjadi apa? dan seterusnya.   Praktik yang terjadi di semua lokasi studi ini meunjukkan bahwa orientsi pembangunan infrastuktur: hotel, jalan raya, bandara, penginapan, lebih utama dan tidak melibatkan kekuatan potensi ekonomi local. Terlebih seluruh desain rencana pembangunan penunjang wisata tersebut masih minim memperhatikan “rambu-rambu” (apa yang boleh dan tidak boleh) menurut masyarakat sendiri. Singkatnya, atas nama ekowisata pada praktiknya adalah pembangunan infrasturktur danperampasan ruang hidup rakyat atas nama ekowisata dan konservasi (green grabbing).

Pembangunan ekonomi yang dijalankan rezim Jokowi tidak jauh berbeda dengan pembangunan di zaman rezim Suharto. Cara-cara militeristik dipakai rezim Suharto ketika proyek pembangunannya berseberangan dengan pihak-pihak tertentu. Alhasil, pembangunan di era Suharto menyisakan sejumlah persoalan kemanusiaan.  Penggusuran, pengusiran paksa, perampasan aset disertai intimidasi dan teror adalah pola-pola klasik yang dilanggengkan rezim Jokowi. Dalam filsafat, sosok Suharto dan Jokowi bisa diklasifikasikan sebagai penganut utilitarianisme.

Oligarki Demokrasi

Widjojo Nitisastro dalam bukunya The Indonesian Development Experience menyebut bahwa pembangunan ekonomi seharusnya tidak abai pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Laju pertumbuhan ekonomi memang penting bagi sebuah negara, terlebih dalam kancah persaingan ekonomi global. Namun, peningkatan kualitas manusia melalui pembangunan di bidang kesehatan dan pendidikan mutlak jauh lebih penting. Begitupun sesuai dengan landasan nilai-nilai pancasila di ayat kedua dan kelima.
Di dalam kepemimpinannya ini, masyarakat berharap Jokowi tampil sebagai pahlawan bagi wong cilik, kelompok masyarakat yang selalu dijadikan idiom khas parpol yang mengusungnya. Apalagi hal ini diperparah oleh munculnya oligarki kekuasaan sebagai ekses negatif dari otonomi daerah. Oknum politisi yang  bersekutu dengan pemilik modal dan aparat hukum yang korup terlibat dalam persekutuan jahat yang mengangkangi hukum dan etika. Apalagi tipe oligarki yang sedang berdiri di Indonesia adalah tipe oligarki penguasa kolektif, yang memiliki kekuasaan dan berkuasa secara kolektif melalui lembaga yang memiliki norma atau aturan main. Pada kebanyakan kasus, kekuasaan kolektif dilembagakan dalam suatu badan pemerintah yang isinya oligarki semua.

Dari salah salah satu cirinya oligarki memilki jangkauan kekuasaan yang sangat luas dan sistematik. Menurut analisis Politik Northwestern Universuty, Jeffrey winters mengatakan bahwa oligarki dan elit politik di Indonesia sudah menguasai sistem demokrasi dan mengontrol, sehingga Indonesia mempunyai oligarki demokrasi.

Berkembangnya sistem deokrasi justru memicu semakin merajalelanya oligarki. Hal demikian bukan karena sistem demokrasi yang salah, akan tetapi hukum yang lemah.
Ekonomi eksklusif, yang hanya dikuasai oleh sekelompok kecil pemilik modal, menurut Daron akan menutup akses masyarakat luas untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Menjadi wajar jika pembangunan infrastruktur kemudian hanya dirancang untuk memfasilitasi kepentingan pemilik modal. Masyarakat berharap agar ia mampu bersikap tegas pada oligarki kekuasaan lokal yang mengeksploitasi kekayaan daerah tanpa pertimbangan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan. Ia sepatutnya juga berani memberikan sangsi hukum bagi oknum korporasi nakal yang menelikung hukum demi keuntungan finansial.


Bukan perihal menolak pembangunan, akan tetapi pembangunan yang seperti apakah yang harus dibangun? Jika pembangunan yang digencarkan hanya dirasakan oleh segelintir orang, namun mengorbankan banyak darah dan tangisan dari rakyat, pembangunan tidak perlu  dilakukan. Karena Negara ini didirikan di atas dasar pengakuan pada nilai kesetaraan. Pancasila sebagai dasar negara harus diakui tidak cocok terhadap pola pikir utilitarian yang tidak peduli soal kemanusiaan. Pembangunan dalam kerangka pikir Pancasila memiliki tujuan agung; yakni terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara, dalam hal ini harus memastikan bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan dan termarginalkan (no one left behind) oleh arus pembangunan.

Penulis : Siti Khotimah


Foto : Pembukaan Acara E-Con di ICC IAIN Syekh Nurjati Cirebon. LPM FatsOeN/Fachri

LPM FatsOeN, Cirebon - English Departement Student Association (EDSA) atau HMJ Tadris Bahasa Inggris IAIN Syekh Nurjati Cirebon mengadakan E-Con (English Contest) 2019, Selasa (1/10). Acara pembukaan ini berlangsung di gedung ICC IAIN Syekh Nurjati dan diikuti oleh peserta E-Con sebanyak 111 orang.

E-Con sendiri merupakan salah satu program kerja EDSA yang dilaksanakan rutin setiap tahun. Adapun rangkaian kegiatannya antara lain Speech Contest, Debate, Essay & Story Telling. Pesertanya pun beragam mulai dari jenjang SMP hingga Universitas sesuai ketentuan lomba yang ada. Peserta yang hadir sebagian besar berasal dari wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan). Namun ada beberapa peserta berasal dari Tasikmalaya dan Subang.

Berdasarkan pantauan LPM FatsOeN di lokasi, acara ini dibuka langsung oleh Ketua Jurusan Tadris Bahasa Inggris, Tedi Rohadi. Kemudian dilanjutkan dengan penampilan tari dari Srikandi Adwitya dan One Day Dance EDSA.

E-Con digelar selama 4 hari yakni dimulai dari tanggal 1 hingga 4 Oktober 2019 (Selasa-Jumat) dan lokasi perlombaan yang bertempat di 3 tempat berbeda yakni ICC, Auditorium FUAD dan ruang kelas Pasca Sarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Acara E-Con kali ini mengusung tema yaitu "Shaping the Excellent Character and the Briliant Quality of Yaouth in the Era of Industry 4.0"

Hari pertama E-Con diisi dengan Opening Ceremony, Debate for Senior High School yang diikuti oleh 16 tim, Story Telling for Junior High School yang diikuti oleh 23 peserta, dan Speech for University yang diikuti oleh 9 peserta.

Hari kedua E-Con diisi dengan Speech for Senior High School yang diikuti 57 peserta, Essay for University yang diikuti oleh 4 peserta dan Debat for Senior High School.

Ketua umum EDSA, Muhammad Alwan berharap, event ini dapat menjadi sarana menjaga tali silaturahmi dan menjadi wadah penyaluran bakat siswa-siswi & mahasiswa se-Jawa Barat dalam bidang Bahasa Inggris, yang tentu akan dibutuhkan di masa yang akan datang.

"Event ini dapat menjadi sarana menjaga tali silaturahmi dan menjadi wadah penyaluran bakat siswa-siswi & mahasiswa se-Jawa Barat dalam bidang Bahasa Inggris," ujar Alwan.

Sedangkan, Ketua pelaksana Fattah Ali Andrio menyampaikan, acara ini bertujuan sebagai fasilitas dalam mengasah kreativitas dan bakat siswa-siswi, serta mahasiswa dalam bidang Bahasa Inggris.

"acara ini bertujuan sebagai fasilitas dalam mengasah kreativitas dan bakat siswa-siswi, serta mahasiswa dalam bidang Bahasa Inggris," ungkap Fattah.

Fattah berharap semoga acara ini dapat berjalan sukses dari hari pertama hingga hari terakhir.


Reporter : Awalia Jehan Savitri
Penulis   : Awalia Jehan Savitri




Sumber foto : Bhagavad Sambadha/Tirto

Belum juga air mata kering atas meninggalnya 3 demonstran. Bagus Hendra Saputra, pelajar 15 tahun meninggal di Jakarta dan dua lainnya di Kendari, Sulawesi Tenggara, Yusuf Kardawi dan Randi. Duka kita ditambah dengan kabar penangkapan aktivis, Dandhy Laksono pada 26 September malam hari, tepatnya sekitar pukul 11 malam. Dandhy ditangkap, karena menyebarkan konten tentang Papua di Sosmed Twitter. Kita semua tahu, bahwa kerja-kerja yang dilakukan Dandhy Laksono dijamin oleh konstitusi. Lebih-lebih, yang dibicarakan adalah perihal kemanusiaan, merawat demokrasi sekaligus agar reformasi tidak dikorupsi.

Selang beberapa jam, giliran Ananda Badudu, musisi Banda Neira diciduk aparat, karena mentransfer uang untuk membantu pengobatan kepada mahasiswa di berbagai kota, yang menjadi korban represif aparat.  Dandhy sudah keluar dari Polda Metro Jaya, tapi statusnya masih tersangka. Begitu pula dengan Ananda Babudu, statusnya masih sebagai saksi. Dengan masih melakatnya status itu, kemungkinan akan berlanjut sampai pada pemidanaan.

Belum lagi pelajar, mahasiswa jurnalis dan tim medis, yang mengalami represif aparat. Jumlahnya sampai ratusan. Beberapa mahasiswa, juga masih hilang pasca demonstrasi di Jakarta 23-25 September. Kabar dari YLBHI, ada 93 mahasiswa, warga dan pelajar yang masih hilang.

Pasca itu semua, giliran kawan-kawan mahasiswa yang di Makassar, yang mengalami kebrutalan aparat pada 28 September 2019. Dua orang, Dicky Wahyudi, Mahasiswa Universitas Bosowa Makassar dan Irfan, seorang driver ojek online ditabrak Barracuda, kendaraan taktis aparat kepolisian.

Rentetan kejadian yang dialami oleh aktivis beberapa hari kebelakang, sangat menggores nurani. Orang-orang yang sedang memperjuangkan Indonesia, agar menjadi lebih baik, agar tak dikuasai segelintir elit beserta oligarkinya. Negara, melalui aparatusnya menyikapi dengan biadab! Yakni diganjar dengan peluru, pukulan, injakan, penangkapan, penculikan dan penabrkan pada demonstran.

Tragedi yang menimpa aktivis secara sadis dan bengis adalah sikap rezim hari ini lebih memilih penanganan yang represif, brutal dan aragon, daripada humanis dan persuasif.  Tentu saja, hal seperti ini adalah watak otoritarian, watak rezim fasis. Yang tujuan utamanya adalah menciptakan ketakutan, agar suara kritis lekas bungkam.

Kami, sebagai individu yang merdeka, yang tak bersepakat terhadap kekerasan, penangkapan bahkan pembunuhan atas nama pencitraan, melanggengkan pengkhianatan pada korupsi, berpaling pada keadilan dan menjauh dari keinginan rakyat. Sudah sepatutnya melawan, mengecam dan mengutuk atas tindakan nir-kemanusiaan!

Bertambahnya masalah ini, kami masih merawat apa yang kami perjuangkan dalam dua pekan, yakni menuntut:

1. Membatalkan dan menolak regulasi ngawur

Menjelang berakhirnya masa jabatan. DPR RI mengebut pembahasan sekaligus pengesahana perihal RUU, yang tidak memihak hajat rakyat. Kami menuntut untuk membatalkan UU KPK, yang menguntungkan koruptor dan kroni-kroninya; RUU SDA, yang hanya menguntungkan investor; dan UU MD3, yang fasis dan diskriminatif.

Menolak RKHUP yang akan menjebloskan kita semua ke penjara; menolak RUU Pertanahan, yang menindas rakyat, terutama petani dan nelayan; menolak RUU Minerba, yang akan memperpanjang kerusakan lingkungan dan membunuh masa depan; menolak RUU Ketenagakerjaan, yang akan memperpanjang perbudakan; dan menolak RUU Pemasyarakatan.

Juga segara mengesahkan RUU PKS, yang menjamin perempuan dari kekerasan seksual; RUU Pekerja Rumah Tangga, yang menjamin PRT lebih sejahtera; RUU Perlindungan Data Pribadi, yang melindungi data pribadi; RUU Masyarakat Adat, yang menjamin otonomi masyarakat adat dan terakhir, terbitkan Perppu untuk menyelamatkan KPK!

Tidak hanya perihal regulasi, kami juga menuntut apa yang dijamin oleh demokrasi, yakni:

2.  Hentikan aksi militerisme di Papua dan daerah lain, dan bebaskan tahanan politik Papua segera!

Pasca rasisme terjadi di Surabaya, Malang dan Surabaya. Alih-alih menangkap dan mengadili aparat yang melakukan rasisme. Pemerintah malah mendatangkan ribuan aparat ke Papua. Pendudukan aparat di Papua membuat warga Papua ketakutan, trauma berkepanjangan dan aktivitas harian terhalang, sebab penuh dengan pengintaian.

Bukan hanya ruang gerak warga Papua dipersempit. Juga, demonstrasi di Papua disikapi brutal. Yang terbaru, pada 23 September 2019. Saat siswa Papua di Wamena melakukan demonstrasi atas rasisme yang dilakukan guru, sebanyak 26 meninggal dunia dan puluhan lainnya, luka-luka.

Juga, beberapa pendudukan militerisme. Entah di Urut Sewu, Kebumen; Pasuruan, Jawa Timur dan lain sebagainya.

3. Bebaskan aktivis pro-demokrasi.

Dandhy Laksono dan Ananda Badudu adalah segelintir aktivis, yang dikriminalisasi atas nama menebar ketakutan. Ada juga yang lain, misalnya Veronica Koman dan Surya Anta yang lantang menyuarakan, bagaimana Papua ditindas dari berbagai sisi, juga dikriminalisasi.

Juga, bebaskan aktivis, 24 mahasiswa dan 15 pelajar yang telah divonis bersalah, pada 23-25 September 2019 di Polda Metro Jaya. Sekaligus, hentikan kriminalisasi aktivis!

4. Hentikan pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera yang dilakukan oleh korporasi, pidanakan korporasi pembakar hutan, dan cabut izinnya!

Pembakaran hutan, yang membuat warga Kalimantan dan Sumatera menderita adalah dampak dari pembiaran korporasi dalam mengeksploitasi lingkungan. Alih-alih menindak, pemerintah terus memberi karpet merah atas ekpsloitasi. Pemerintah lebih mementingkan investasi, ketimbang peduli terhadap warga negaranya sendiri.

5. Batalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR

Selain pelemahan KPK melalui UU-KPK yang baru. DPR juga melakukan pelemahan melalui mekanisme dan capim-capim yang terpilih sarat dengan masalah.

Maka, sudah sepatutnya untuk membatalkan pimpinan KPK terpilih!

6. Hentikan represifitas aparat terhadap massa aksi

Sejak 23 sampai 30 September aksi di berbagai kota, aparat selalu menyikapi demonstran dengan brutal. Tak hanya Jakarta, di banyak kota pun sama.

Aparat, tak pernah mempunyai komitmen, bagaimana seharusnya demonstran diperlakukan layaknya warga negara! Sebab, ketika ada demonstan tertangkap, selalu diserbu: ditendang, dipukul, dipentung dan perlakuan biadab lainnya.

7. Tuntaskan pelanggaran HAM berat dan kekerasan yang telah dilakukan negara melalui aparatusnya, serta tangkap dan adili yang terlibat di dalamnya. Termasuk orang-orang yang berada di lingkaran Istana.

Kekerasan-kerasan yang terjadi hari ini, entah di Papua, Jakarta, Bandung, Makassar, Kendari dan berbagai kota adalah dampak dari lemahnya penegakan hukum.

Meski secara legal, negara belum memberikan impunitas. Tapi secara tidak langsung, impunitas telah dan sedang terjadi. Dengan bukti, pelaku yang terduga melanggar HAM masih berkuasa di lingkaran istana.

Negara, alih-alih mengadili itu semua. Malah memberikan tempat kepada mereka yang melanggar HAM. Bahkan, tak ada tanda-tanda signifikan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM.

Maka, dengan gegabah aparat sampai hari ini terus berlaku brutal, entah saat mengawal demonstrasi hari ini atau dalam mengawal penggusuran. Sebab penegakan hukum yang lemah.

Dari tujuh tuntutan itu, tak ada skala prioritas. Semua tuntutan harus dikabulkan. Tujuh tuntutan itulah yang akan membawa Indonesia lebih baik!

Kami bersama #ReformasidiKorupsi akan terus berjuang. Mari terlibat untuk menjadikan Indonesia, rumah yang ramah bagi kaum papa; rumah yang sejuk bagi kita semua. Agar Indonesia menjadi tempat yang sejahtera, menjunjung tinggi demokrasi sekaligus keadilan.

Dukung dan bersama gerakan #ReformasidiKorupsi!

Cirebon, 30 September 2019

Foto : LPM FatsOeN/Fathnur Rohman

“Jadi aktivis tapi anarkis, melanggar hukum namanya,” kata mahasiswa berbaju batik yang menyaksikan para demonstran itu seraya menghirup es teh di warung kopi pinggir jalan.

Rupanya, sinar matahari yang menimpa ubun-ubun para demonstran tidak membuat aksinya tersebut gusur, bahkan itu seoleh menjadi energi bahan bakar semangat atas bentuk kepedulian mereka, barangkali. Aksi mereka membuat jalanan macet.

Para mahasiswa yang berlalu lalang sekedar memasang wajah polos. Barangkali,mereka baru pertama kali melihat para demontsran—aktivis mahasiswa—berdialek dengan pengeras suara di tangannya. Banyak yang mengabaikan tapi ada juga yang sedikit simpatik meski hanya memotretnya menggunakan handphone untuk dokumentasi pribadi.

“Barangkali itu satu-satunya cara mereka menyampaikan kepedulian, rasa keadilaan, untuk kepentingan kampus kita,” sanggah mahasiswa berkemeja yang duduk di depan mahasiswa berbatik itu.

Bukan hanya di depan gerbang yang terjadi kemacetan, juga di dalam gerbang. Pintu gerbang disegel hingga membuat para mahasiswa yang ingin keluar tidak diberi kesempatan. Salah seorang demonstran melemparkan batu kekaca mobil bis kampus itu.

“Sekarang bukan zaman tahun sembilan delapan. Mereka berdemo tapi suara mereka bisa merubah keadaan. Nah ini, hanya merusak fasilitas, suara mereka ingin didengar yang memembuat decak kagum dan tepuk tangan yang melihatnya. Tapi setelah semuanya selesai, mereka pasti lupa apa yang telah diucapkan mereka itu,” ujar mahasiswa baju berbatik itu bernada sinis.

Sepertinya aksi para demonstran itu tidak ada yang meredam. Para satpam hanya terdiam. Diamnya itu seolah memberi dukungan—atau tidak berani menghentikannya karena jumlah mereka kalah banyak. Beberapa polisi juga terlihat sudah berjaga-jaga tapi hanya berdiam dan melihat aksi mereka seperti melihat balita marah berteriak meminta mainan baru.

“Kamu jangan memandang dari sisi yang berbeda saja,” sahut mahasiswa berkemeja lagi. “Kalau mereka tidak melakukan demo-demo tersebut, sama saja menyilakan ‘para tikus’ di kantor menjilat uang sesukanya.”

Mang, si empunya warung kopi itu, hanya menyimak aksi para demonstran tersebut sambil menguncer secangkir es kopi di warung kopinya yang dipesan mahasiswa berkemeja itu—tidak jauh dari tempat kejadian. Teriakan-teriakan para demonstran terdengar keras mengalahkan riuk-pikuk kendaraan.

Bukan hanya menyalurkan melalui suaranya yang melengking itu, tapi juga beberapa tulisan spanduk menggunakan pilok hitam, terlebih lagi, mereka menyoret-nyoret di dinding pagar gerbang yang baru dicat kemarin. Di antaranya tertulis; “Kembalikan Hak-hak Mahasiswa”, “Dasar Pejabat Rektor Korupsi Sialan”, juga tulisan yang membuat menyita perhatian “—Kampus Ini—DISEGEL TUHAN!”

“Saya lebih menyukai para penulis dari pada para demonstran. Para demonstran hanya berteriak-teriak tak jelas. Sedang para penulis, mereka berdomo dengan menggunakan tulisan yang bisa dibaca dan disaksikan di mana pun,” kritik mahasiswa berbatik lagi.

Di depan gerbang, asap-asap terus mengepul dari ban-ban yang dibakar. Asap hitam itu terlihat mengerikan layaknya asap api neraka yang dibayangkan oleh para pendosa; ganas menyebar seantero atmosfer kampus dan jalanan di sekitarnya. Dan, seolah-olah memberi peringatan bahwa ‘manusia yang berpenyakit paru-paru dilarang lewat’ di sekitar para demonstran dalam aksi yang katanya dalam bentuk kepedulian hak-haknya tersebut.

“Untuk melihat dunia bukan hanya membaca dan menulis, mereka memiliki jiwa sosial yang baik yang bisa terjun ke lapangan, bukan hanya duduk-duduk membaca buku saja kerjaannya. Memang kamu itu penulis?” sanggah mahasiswa berkemeja itu yang pemikirannya sangat bertolak dengan mahasiswa berbaju batik di hadapannya.

“Bukan! Terus kenapa kamu juga tidak ikut terjun bersama mereka. Kamu aktivis?”

“Bukan!”

“Apa yang telah mereka lakukan itu hanya membuat masalah baru, bukan menyelesaikan masalah. Apa yang mereka lakukan itu seperti anjing yang tak kebagian makanan lalu menggonggong, nanti juga giliran dilempar tulang mereka diam. Lagian, toh di negeri kita kan sudah ada penegak hukum, biar saja mereka yang bekerja.”

Bukan hanya para demonstran yang memanas, kedua mahasiswa berbeda prosfektif ini pun beradu pemikirannya. Sampai kapan pun, sepertinya perdebatan kedua mahasiswa ini yang belum jelas latarbelakangnya—hingga bisa bicara seperti itu—tak akan ada buntunya.

Si Mang, menyimak apa yang mereka obrolkan. Bagi orang awam sepertiMang, yang hanya sebagai pedagang kopi di pinggir jalan itu. Tentu pemandangan seperti itu sungguh membosankan. Rupanya, orang-orang yang hidup di kota jauh lebih keras dari pada mereka di kampung. Di kota, bukan hanya raganya yang bergerak, pemikiran idealis yang tidak dipahamidan dimengerti oleh si Mang juga lebih keras di keluarkan. Tapi, mau tidak mau,pedagang kopiitu harus melihat arus yang bergelombang dan berusahatanpa harus mengikutinya.
Es kopi yang dipesan mahasiswa berkemeja ituiataruh di mejanya, lalu mencoba masuk dalam pembicaraan mereka, “di kampung saya, kalau ada pertikaian atau masalah apa pun, mereka datang dengan baik-baik, membicarkannya dengan kepala dingin sambil menghirup kopi di warung kopi saya dulu sebelum saya pindah ke kota ini. Mereka membicarakan langkah-langkah dan risiko-risikonya. Beres tanpa anarkis dan tulis menulis.”

“Ini lagi si Mang ikut campur saja kritik sana kritik sini tanpa ingin campur tangan,” mahasiswa berkemeja kembali bersuara. “Kalau di kampung itu bisa menyelesaikan masalah kenapa si Mang susah-susah cari makan di kota orang ini.Bukannya di kampung juga si Mang bisa hidup, makan dan menjadi wadah mereka yang disebut si Mang tadi. Berarti mereka sudah tidak bisa lagi menyelesaikan masalah sambil ngopi di warung kopinya si Mang dong.”

“Nah kalian berdua, aktivis bukan, penulis pun bukan, juga hanya bisa kritik sana kritik sini, suara kalian juga tak jauh berbeda seperti mereka, tak mengubah apapun!” kata si Mang sambil bergegas kembali ke dalam warung kopinya.

Tak lama seorang perempuan berjilbab datang memesan es teh kepada si Mang seraya berkata, “Mang, ada apa sih ribut-ribut?”

“Biasa, pertunjukan drama di pinggir jalan!”

Penulis : Ari Irawan
Banyak orang yang menjalin cinta, tapi tak mengerti apa itu cinta. Katanya, cinta itu bisa buat orang buta, bahkan sampai gak pakai logika. Tapi apalah kata orang, aku tak peduli. Setahuku, cinta itu tidak memerlukan ribuan untaian kata yang mengalun indah. Ya, untuk apa kata-kata, jika perilaku tidak menunjukkan bahwa aku jatuh cinta.

Malam ini, rasa rindu membangunkan tidurku yang lelap. Rasa malas begitu pekat menyelimutiku, tapi rindu itu terus saja mengusik nadiku. Ah, rindu benar-benar menyiksaku. Haruskah aku terbangun tengah malam seperti ini hanya untuk merindukannya? Dia, ya dia, lelaki yang selalu saja hadir di dalam pikiranku.

“Astaghfirullah ya Allah, jam berapa ini?” desahku.

Suara detakan jam dinding di luar kamar ini terdengar begitu jelas setiap detiknya. Lampu-lampu rumah pun masih padam. Ku lihat langit di celah kaca kamarku; masih gulita. Terduduk aku termenung di tempat tidurku. Apa yang terjadi dengan hati ini? Ah, begitu lemah hati ini jika sudah disandingkan dengan problematika percintaan.

Ku coba untuk menenangkan diri. Kupejamkan mata secara perlahan. Mencoba bernapas dengan irama yang teratur. Menyenangkan. Angin berhembus begitu pelan, menyentuh kulitku dengan genitnya. Aku tersenyum. Udara malam begitu hangat menyapaku.
***
“Tuuuut,” ku beranikan diri untuk menghubunginya.

“Assalammu’alaikum,” suara di sebrang jalan sana terdengar begitu jelas.

“Wa’alaikumussalam,” jawabku gugup. Spontan saja telepon genggam ini ku berikan kepada Putra selaku pimpinan latihan. Aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi, yang ku tahu jantungku masih berdegup kencang. Ini kali pertamanya aku menghubunginya. Meskipun karena alasan latihan dan dia ‘aktor utamanya’, tapi entah mengapa, jantung ini berdegup tak karuan.

“Ini na,” suara Putra tiba-tiba meredakan detakan jantungku.

“Ah, udah tah?” tanyaku.

“Iya udah,” jawabnya singkat.

“Gimana katanya? Rizal mau ke sini?”

“Iya, katanya lagi di jalan,”

Sungguh, aku tak dapat menutupi rasa bahagia ini. Rasa, yang entah mengapa begitu menggebu-gebu, terasa bergejolak dan ah, sungguh tak karuan. Sepertinya pengadaan drama kelas ini akan memperpanjang waktu kebersamaanku dengannya. Ya meskipun kami tak pernah saling bicara, tapi aku bahagia. Bahagia melihatnya baik-baik saja.

“Hai zal!” suara Raka menyita penuh perhatianku. Spontan saja aku menengok ke arahnya. Tak kuasa dan tak bisa ditahan lagi, bibir ini terus saja menyunggingkan senyumnya. Aku bahagia melihatnya datang ke tempat ini. Lihatlah, ia berjalan ke arahku dengan membalas senyumanku. Dan aku? Entah mengapa kepala ini tiba-tiba mengangguk. Sorot mataku terfokus pada matanya. Ia terdiam sebentar dan membalas anggukanku dengan senyuman manisnya yang begitu meneduhkan hati. Ya, hanya dengan sebuah anggukan, kami pun sama-sama mengerti apa artinya itu. Mungkin orang lain tak tahu karena tak ada yang memperhatikan tingkah kami. Tapi inilah kenyataannya, bahwa kami bicara melalui isyarat.

“Ayo kita mulai latihannya!” suara Putra begitu jelas dan lantang. Ia memang selalu semangat setiap kali memimpin latihan. Tak salah kami memilih putra sebagai pimpinan latihan.
***
Detik berlalu begitu cepat. Suara adzan menghentikan latihan kami di sore hari ini; sudah waktunya istirahat. Ya, semua kesibukan terhenti begitu saja. Kini semua orang mengganti kesibukannya masing-masing. Ada yang langsung menyambar tasnya dan pergi ke Masjid, ada yang mendekati warung makan terdekat, ada pula yang hanya diam di tempat semula.

Rizal sudah menghilang. Ia lebih memilih untuk pergi ke Masjid. Aku hanya duduk di atas tembok yang sengaja dibangun untuk dijadikan tempat duduk ini. Sambil senderan aku memulai kebiasaanku; melamun.

Sekitar sepuluh menit sudah waktu istirahat ini berlalu. Rizal pun sudah kembali di tempat latihan. Ya, aku melihatnya datang dari gerbang. Dan lagi, senyum tersungging di bibirku saat melihatnya kembali.

Aku memperhatikannya dari sini, dari kejauhan. Ia datang dan meletakkan tasnya di tempat semula. Kemudian ia memulai percakapan bersama Raka. Entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti mereka terlihat asyik dengan percakapan itu. Namun percakapan mereka tidak berlangsung lama. Ku lihat Raka pergi meninggalan Rizal. Sambil melambaikan tangan, ia pun melangkah menuju arah Masjid.

Tak lama dari kepergian Raka, Rizal menoleh ke arahku. Ah, ia baru sadar bahwa aku memperhatikannya sedari tadi. Sungguh, aku salah tingkah saat itu. Ya, walaupun jarak kami jauh, tapi tetap saja aku salah tingkah saat ia menoleh ke arahku.
Ia tersenyum. Kemudian ia melangkahkan kakinya. Entah ke mana ia akan pergi sekarang. Aku tetap di tempat. Mataku sudah tak lagi memperhatikannya. Aku malu jika ketahuan terus memperhatikannya dari sini.

Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang duduk tak jauh di tempat aku terdiam. Langsung saja kepala ini menoleh ke arahnya. “Rizal?” jerit hatiku kegirangan. Dia benar-benar Rizal. Ia duduk sekitar setengah meter dari tempat dudukku. Ah, begitu bahagianya mengetahui ia berada di sampingku seperti ini.

Orang-orang mulai berdatangan kembali. Tapi kami, kami hanya diam di tempat ini. Tanpa suara, kami menikmati setiap udara yang berhembus. Tanpa bicara, aku bisa merasakan bahwa ia pun bahagia berada di tempat ini.

“Oh Tuhan, aku bahagia berada di dekatnya,” batinku, “biarkan kami menikmati rasa ini dalam diam. Dengan cara seperti ini pun aku sudah bahagia Tuhan,”

Waktu latihanku sebagai seorang pemusik sudah selesai. Begitupun dengan Rizal selaku aktor utama. Kami hanya ‘menonton’ teman-teman yang lain latihan dari sini. Jarang sekali kami bisa duduk berdua lama-lama seperti ini. Sungguh, hatiku bahagia.

Matahari mulai bergeser dari tempat asalnya. Sekarang cahayanya mulai menyorotiku melalui celah kecil yang terbentuk dari lubang genting bangunan ini. Aku mulai kepanasan.

“Ya Allah panas. Tapi gak mau pergi dari tempat ini,” keluhku dalam hati. Aku bertahan dari semua rasa panas ini. Aku bertahan, karena ingin di sampingnya hingga latihan ini harus usai.

Keringat pun mulai bercucuran dari kulitku. Memang, sorotan cahayanya tak seberapa mengenai tubuhku. Tapi panasnya begitu menyengat. Ada teriakan-teriakan marah dalam jiwaku; aku kepanasan.

Namun itu tak berlangsung lama. Sekarang aku bisa merasakan kesejukan kembali. Sejuk? Ya, ini memang terasa aneh. Tapi itulah kenyataannya. Ku lirikkan mataku ke arah sang mentari. Ah, pantas saja sejuk. Dia sengaja menengadahkan tangannya ke arah cahaya yang menyorotiku sedari tadi.

“Oh Tuhan, dia benar-benar pengertian. Terima kasih ya Allah,” ucap syukurku dalam hati.

Dia, sosok lelaki yang penuh pengertian. Bahkan tanpa diminta pun ia bisa mengerti apa yang aku butuhkan saat ini. Ah, hatiku penuh bunga-bunga. Rasa sayangku padanya semakin bertambah besar.
***
Tiba-tiba telepon genggamku berdering begitu keras, membuyarkan lamunanku yang menyenangkan ini. Dengan dahi yang berkerut, ku paksakan tangan untuk meraba-raba tempat tidurku. “Aha! Akhirnya ku dapati juga telepon genggam itu”.

“Aih, ternyata suara alarm,” ujarku pada diri sendiri, “alarm?” ucapku sekali lagi. Ku perhatikan baik-baik layar kecil telepon genggam yang sudah mulai ‘tertidur’ kembali. Ku nyalakan telepon genggam itu dan mengecek kembali alarm yang tadi berbunyi.

“Ulang tahun Rizal?” ucapku setengah kaget, “untuk itukah Engkau membangunkan tidurku Tuhan?”. Langsung saja kaki ini bergerak menuju kamar mandi yang letaknya tidak begitu jauh dari kamarku. Entah mengapa hati ini begitu ringan dan bahagia malam ini. Bayang-bayang lelaki itu terus saja melayang-layang di dalam proyeksi otakku.

Air yang mengalir di atas kulit ini terasa begitu dingin. Mengalir pelan seiring dengan gerakan tanganku. Mengalir, membasuh wajahku yang kering tanpa polesan bedak, membasuh tanganku yang juga kering tanpa sentuhan lotion, menyentuh sela-sela kulit kepalaku yang masih ditumbuhi rambut, dan terakhir, membasuh kakiku yang sama-sama kering tanpa sentuhan lotion.

Di hari yang masih gulita aku mengaduh; mengganti setiap tatanan rindu yang menggebu-gebu menjadi tatanan doa yang berjuntaian begitu indah. Malam ini rasa rindu itu datang dengan mengetuk pintu hati. Ah ya, sudah lama sekali aku tak berjumpa dengannya. Namun biarlah, biarkan Tuhan yang tahu aku tengah merindunya.

“Allah Tuhanku, malam ini, di sini, aku ingin mengadu padaMu. Di hari kelahirannya saat ini, rasa
rindu itu datang membangunkan tidurku. Tak apalah bagiku, karenanya aku bisa terbangun dan mendoakannya di sini. Tuhan, pintaku hanya satu, cintailah ia selalu dengan cintaMu yang begitu agung, agar setiap hembusan napasnya hanya bertasbihkan namaMu. Tuhanku yang Maha Bijaksana, lindungilah ia selalu di sana. Tegurlah ia dengan teguranMu yang lembut jika ia berbuat salah. Ampuni segala dosanya. Aku menyayanginya, menyayanginya karenaMu ya Allah, Engkau yang telah menumbuhkan rasa ini di dalam dadaku. Semoga Engkau memberikan keberkahan atas umurnya saat ini. Aamiin yaa Rabbal ‘alamiin,” ucap doaku sepanjang malam ini.


Penulis : Tira Nazwa Aliyyah
Ilustrasi : Merdeka.com
Ingatlah suatu saat kalian tetap haus berjuang
Sampai titik darah penghabisan
Sampai kalian tak merasakan gerak tulang kalian
Sampai kalian tak merasakan tegap atau membungkuk
Sampai pada saat itulah kalian berjuang bukan berceai-berai.

2002
Ibuku sudah tiada semenjak 4 tahun yang lalu. Itu kali pertamanya aku merasakan kehilangan yang begitu dalam. Kini aku tinggal hanya bersama ayah dan abangku saja. Melanjutkan kuliah dan bergaul nakal, sama seperti mahasiswa lainnya.

Pagi itu, kala angin masih sedingin malam. Kala daun masih merangkul embun bagai basah dahan kayu atas hujan. Terlebih lagi kala mata ini baru saja terbit. Pada saat itu mungkin sejenak akan ada. Pada saat itu suasananya masih asri, aroma khas mampu dicium hingga sehatnya memenuhi paru paru. Membiarkan telapak kaki menyentuh jalan dingin pun terasa segarnya pula. Membiarkan helaian rambut menyapu muka dengan manja, sedangkan dada sesak dengan kekaguman. Gerakan itu mulai terulang, berjalan, merentangkan tangan, mengangkat bahu, dan menghirup udara. Segar! Memang tak pernah sesegar ini sebelumnya. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya aku melewati jalan ini dan kini aku tersenyum bagai janggal karena jarang dirasa sehingga membuncahlah rasa itu menakjubkan bagai merasa bebas!
“Dulu juga pernah lewat sini”, dialogku dalam hati. Di sini, Jl. Jend. S. Parman. Namun, ya, aku tahu kala itu suram, sehingga tak dilanjutkannya dialog itu demi untuk tidak merusak suasana hatiku saat ini.

Aku berbalik ketika jalan sudah habis kutapaki, merenungkan kelakuanku kembali. Aku terduduk kala itu, membuka pandang bahwa pada saat ini sudah bukan aku yang dulu lagi. Tapi ya sudah saja, bedanya hanya dulu aku memiliki emosional yang sering naik turun. Tetapi hatiku tetap sama sampai saat ini, tetap rindu. Kemudian aku berlalu dengan doa mulia dari bibirku, teruntuk ibuku.
Pada saat itu pula suatu pandang yang lain bercakap pula tentang hidup ini. Seseret asa menggiring langkah kakiku untuk kembali pada kehidupan yang kini adanya. Lagi, aku akan senang jika harus mengulangi aktivitas baruku itu. Yaitu, menikmati setiap tarikan hela nafas dan desir aliran darah serta denyut yang berirama itu.

Sudah lama semenjak sepeninggal ibuku, aku merasa berjuang seterpa kulit saja. Bekerja sambilan yang tak kunjung untung dan menekuni hobi menulisku yang juga tak pernah rampung, pun tak pernah diterima oleh penerbit. Tetapi tetap saja ku menulis setelah aku menjadi salah satu korban yang lolos atas tragedi Trisakti, dan aku memutuskan menjadi wartawan.
1998

Pada saat itu, aku telah bergabung dengan gerakan mahasiswa. Melakukan aksi demonstrasi demi perubahan negeri ini. Ibu yang sedang sakit menelfon kala pagi sebelum aku mulai aksi demonstrasi. Beliau berpesan agar aku pulang saja ke rumah, tetapi aku menolak dengan lembut maksud hati ibuku. Ku pikir Ibu tentu khawatir, namun atas solidaritas dan demi merubah nasib negeri ini, aku tak bisa tinggal diam menyaksikan porak poranda di bawah pemerintahan Soeharto.

“Kita harus menyusun strategi matang untuk pergerakan ini, benar benar sampai titik darah penghabisan”. Dewan Ketua pemimpin rapat berkata dengan kilat semangat di matanya, dan dada yang degupnya membuncah sampai ke dinding ruang rapat. Kami para anggota mendengarkan dengan seksama untuk aksi yang tidak bisa dibilang main-main ini, misi menggulingkan Soeharto dari. Tahun 1998, menorehkan sejarah lembar hitam pada negeri Indonesia ini.
2019

“Sampai titik darah penghabisan!”. Kata kata itu masih terngiang sampai saat ini. Aku tak pernah berhenti bersyukur atas hidupku saat ini, menyaksikan perkembangan dari satu generasi ke generasi lain, menanamkan sikap nasionalis yang ku bungkus sedari dulu dalam benihnya. Kelak di tabur pada jiwa jiwa anak bangsa Indonesia. Pagi yang cerah, digelarlah sebuah perlombaan menulis cerita untuk tingkat SMA sederajat. Aku datang pada acara yang diselenggarakan di sebuah hotel itu, datang sebagai narasumber ulik sejarah pahlawan nasional. Dan aku, tak datang sekadar jadi seorang narasumber.
Mulai! ku mulai aba-aba itu, memenuhi seluruh ruangan memimpin perlombaan menulis cerita, sedang aku melihat seorang bocah berkeringat dingin. Ini kompetisi pikirku, semua orang berpikir dan berusaha untuk menjadi juaranya. Kira kira seperti itu. Namun lain dengan aku yang juga berkeringat dingin di sini. Mengenang sebuah tema yang ku ciptakan sendiri, tema kali ini REFORMASI.
 selesai

Penulis : Mahabatis Shoba