Subagio bercerita dalam sajaknya,
“perempuanlah yang melahirkan aku di bumi
Perempuan juga yang mengajarkan aku nafsu tak terkendali
Tapi perempuan yang membuat aku putus asa dan mendorong melakukan bunuh diri
Perempuan yang mengajak aku tidur abadi tanpa khawatir apa yang akan terjadi di esok hari
Perempuan adalah ilham untuk hidup dan ilham untuk mati”
Ku kemas bait itu menjadi sosok lelaki yang kucintai. Dari watak, hingga perawakan yang begitu mirip. Ia bukan hanya fiksi, namun nyata adanya. Tungkai kakinya panjang, dada bidang, postur tubuh sempurna yang cocok dipakaikan baju apa saja. Kala Ia tersenyum, bunga bermekaran. Saat Ia merengut, daun berguguran.
Tapi Tuhan Maha Adil. Aku merapalnya berkali-kali, jangan jatuh, jangan jatuh, jangan jatuh hati. Ternyata wajah rupawan bukanlah tolak ukur untuk menjadi dermawan. Ia bisa memikat segala jenis wanita, dari mulai Neng Geulis sampai Cah Ayu. Dikumpulkannya dewi-dewi dunia dalam satu catatan hitam yang disebut mantan. Segala hal itu, hanya untuk memuaskan nafsunya barang satu sampai dua malam. Atau terlebih, ia mencicipi mana yang pantas, mana yang tidak, dinilainya perempuan bak jajanan pasar. Terlepas dari semua itu, segala rasa kecewa dari puan-puan menurutnya hanyalah bualan.
“Nanti juga mereka sembuh sendiri”
Ia meyakinkan semua insan, bahwa cinta dan lara hanya terjadi sementara, jika sudah menemukan pengganti, rasa itu akan segera sirna.
Sialnya, kebetulan buruk menimpaku, yang mengharuskanku berkomunikasi banyak dengannya. Ini hanya kebetulan, tapi kata Fiersa, “kebetulan, adalah takdir yang menyamar” ternyata, jahat sekali takdir ini. Sepatah kata “hai” mematahkanku jadi berbagai bentuk. Benteng yang kubangun susah payah runtuh, lagi-lagi aku berkata “jangan jatuh, jangan jatuh, jangan jatuh hati” dibagian diri yang lainnya berkata, sudah, nikmati saja rasa sakitnya.
Di segala tata letak keteraturan, hancur berkeping-keping. Kepercayaan akan iman, jadi terlupakan. Satan tertawa riang, kelemahan Adam adalah Hawa, dan juga hawa nafsunya. Aku dan aku berselisih, pertarungan sengit melawan diri sendiri.
“Katamu, nikmati saja rasa sakitnya. Segalanya telah berlalu. Ia menempatkanmu hanya sesuatu yang sekelebat muncul bagai bintang jatuh, cahayamu sirna bahkan sebelum ia mengedipkan mata. Dan ia adalah malam panjang yang tak berkesudahan. Juga, masih banyak bintang-bintang lain yang bertebaran.”
Punggung itu masih sulit didaki, hingga aku patah kaki, sementara ia pura-pura mati. Andai ia lihat hitamnya sepi di balik punggungnya.
Jeritanku melapisi atmosfer malam. Jerit yang tak bisa di dengar siapa-siapa bahkan oleh semut merah yang berbaris di dinding. Mereka tidak mampu menatapku curiga, tidak pula bertanya.
Kisah berlanjut, ia mulai pamit kepadaku, tapi bukan untuk mencari-cari dewi. Ia bilang, ia akan menyematkan janji di jari manisnya dengan sebuah cincin. Didampingi keyakinan bulat Ia temui teman kecilnya saat di madrasah dulu.
“Sekali lagi, maaf”
Itu kalimat terakhirnya, yang menutup sabdanya sebelum nanti janur kuning melengkung. Jauh, ia pergi, semua air akan kembali ke samudra. Lalu aku bagaimana? aku adalah salah satu saksi perjalanan panjanganya. Ia terus-menerus berkelana dan berujung pada satu insan cinta pertamanya dulu. Masih melangkah, dengan air mata kudoakan semoga berbahagia di kemudian hari. Sementara aku linglung senyum-senyum sendiri.
“ternyata, cinta sejati nyata adanya”
Meski itu bukan untukku.
Penulis : Zulfa Azhar
“perempuanlah yang melahirkan aku di bumi
Perempuan juga yang mengajarkan aku nafsu tak terkendali
Tapi perempuan yang membuat aku putus asa dan mendorong melakukan bunuh diri
Perempuan yang mengajak aku tidur abadi tanpa khawatir apa yang akan terjadi di esok hari
Perempuan adalah ilham untuk hidup dan ilham untuk mati”
Ku kemas bait itu menjadi sosok lelaki yang kucintai. Dari watak, hingga perawakan yang begitu mirip. Ia bukan hanya fiksi, namun nyata adanya. Tungkai kakinya panjang, dada bidang, postur tubuh sempurna yang cocok dipakaikan baju apa saja. Kala Ia tersenyum, bunga bermekaran. Saat Ia merengut, daun berguguran.
Tapi Tuhan Maha Adil. Aku merapalnya berkali-kali, jangan jatuh, jangan jatuh, jangan jatuh hati. Ternyata wajah rupawan bukanlah tolak ukur untuk menjadi dermawan. Ia bisa memikat segala jenis wanita, dari mulai Neng Geulis sampai Cah Ayu. Dikumpulkannya dewi-dewi dunia dalam satu catatan hitam yang disebut mantan. Segala hal itu, hanya untuk memuaskan nafsunya barang satu sampai dua malam. Atau terlebih, ia mencicipi mana yang pantas, mana yang tidak, dinilainya perempuan bak jajanan pasar. Terlepas dari semua itu, segala rasa kecewa dari puan-puan menurutnya hanyalah bualan.
“Nanti juga mereka sembuh sendiri”
Ia meyakinkan semua insan, bahwa cinta dan lara hanya terjadi sementara, jika sudah menemukan pengganti, rasa itu akan segera sirna.
Sialnya, kebetulan buruk menimpaku, yang mengharuskanku berkomunikasi banyak dengannya. Ini hanya kebetulan, tapi kata Fiersa, “kebetulan, adalah takdir yang menyamar” ternyata, jahat sekali takdir ini. Sepatah kata “hai” mematahkanku jadi berbagai bentuk. Benteng yang kubangun susah payah runtuh, lagi-lagi aku berkata “jangan jatuh, jangan jatuh, jangan jatuh hati” dibagian diri yang lainnya berkata, sudah, nikmati saja rasa sakitnya.
Di segala tata letak keteraturan, hancur berkeping-keping. Kepercayaan akan iman, jadi terlupakan. Satan tertawa riang, kelemahan Adam adalah Hawa, dan juga hawa nafsunya. Aku dan aku berselisih, pertarungan sengit melawan diri sendiri.
“Katamu, nikmati saja rasa sakitnya. Segalanya telah berlalu. Ia menempatkanmu hanya sesuatu yang sekelebat muncul bagai bintang jatuh, cahayamu sirna bahkan sebelum ia mengedipkan mata. Dan ia adalah malam panjang yang tak berkesudahan. Juga, masih banyak bintang-bintang lain yang bertebaran.”
Punggung itu masih sulit didaki, hingga aku patah kaki, sementara ia pura-pura mati. Andai ia lihat hitamnya sepi di balik punggungnya.
Jeritanku melapisi atmosfer malam. Jerit yang tak bisa di dengar siapa-siapa bahkan oleh semut merah yang berbaris di dinding. Mereka tidak mampu menatapku curiga, tidak pula bertanya.
Kisah berlanjut, ia mulai pamit kepadaku, tapi bukan untuk mencari-cari dewi. Ia bilang, ia akan menyematkan janji di jari manisnya dengan sebuah cincin. Didampingi keyakinan bulat Ia temui teman kecilnya saat di madrasah dulu.
“Sekali lagi, maaf”
Itu kalimat terakhirnya, yang menutup sabdanya sebelum nanti janur kuning melengkung. Jauh, ia pergi, semua air akan kembali ke samudra. Lalu aku bagaimana? aku adalah salah satu saksi perjalanan panjanganya. Ia terus-menerus berkelana dan berujung pada satu insan cinta pertamanya dulu. Masih melangkah, dengan air mata kudoakan semoga berbahagia di kemudian hari. Sementara aku linglung senyum-senyum sendiri.
“ternyata, cinta sejati nyata adanya”
Meski itu bukan untukku.
Penulis : Zulfa Azhar