Ilustrasi : Freepik

Alarm yang bersua cukup riang itu memenuhi setiap sudut ruangan pribadi milikku. Suaranya terdengar sampai ke ruang tengah dan dapur. Di mana aku berada saat ini, tengkurap di sopa panjang tepat di depan televisi. Aku cukup terganggu dengan nada klasik itu, namun apalah daya pendengaranku teramat peka terhadap suara-suara bergenre 'pengganggu' tidur di pagi hari tersebut. Radarku menendang bantal sopa, mendengus panjang sebelum akhirnya memanggil lirih nama sang pemilik alarm tersebut, "Rayaa."

Percuma. Adalah satu kesimpulan yang selalu diperoleh dari keluhanku ini. Dan Raya, perempuan itu mana mungkin bangun meski ia sudah berkali-kali menyetel ulang alarm-nya.  Ia tetap terlelap di ranjangku yang empuk dengan pengatur udara yang menghangatkan tubuhnya. Bahkan, Raya tidak pernah mengasihaniku dengan berusaha mematikan alarm di ponselnya. Suara alarm, hujan dan petir sekalipun tidak berpengaruh terhadap kepulasan tidur Raya. Ia tetap terlelap. Terkadang, aku sampai hati mengomel mengenai suara itu, membangunkan Raya dan mengusirnya dari tempat tinggalku. Meski akhirnya aku tidak tega dan mengalah untuk mengantarkan ia pulang ke rumahnya.

Ketika seperti ini, aku paling benci melihat jam. Mataku masih perih, masih berat untuk dibuka dan aku menebak ini baru masuk jam kedua saat aku memutuskan untuk tidur. Tepatnya, saat ini jam enam pagi. Aku lagi-lagi membuang nafas kesal karena alarm Raya masih menyala. Dan tidurku tidak akan kembali nyenyak kalau tidak aku yang menghentikan bunyi suara menyebalkan itu. Akhirnya, aku benar-benar pergi ke kamarku dengan langkah yang gontai dan mata yang mengantuk, aku menghiraukan apapun yang ada termasuk ketidak-sadaranku tentang keberadaan Raya yang lenyap bak di telan bumi. Aku malah menghempaskan tubuhku di ranjangku. Sudah berapa lama aku tidak tidur di kamarku sendiri sejak Raya merengek padaku untuk membiarkannya menginap, kurasa hampir seminggu.

Mungkin, menghilangnya Raya kini ia pergi ke kamar mandi atau hanya sekedar menyikat gigi. Dan, aku tegaskan sekali lagi bahwa aku benci kebiasaan Raya yang tidak mematikan alarm-nya. Terserah ia mau melakukan apa di kamarku, tapi aku selalu meminta Raya agar ia mematikan alarm-nya, itu pun tidak pernah bisa ia sanggupi. Dasar payah!

Aku berhasil melanjutkan tidurku dengan bau tanah yang perlahan-lahan kuhirup kenikmatannnya. Memang, saat ini hujan sedang berlangsung di luar. Cukup deras karena setahuku bulan Oktober sudah memasuki musim penghujan. Berbahagialah bagi pengagum hujan dan rindu. Kalian akan merasakan kerinduan yang tak beralasan saat hujan turun. Tapi bagiku, setelah menarik kesimpulan dari konotasi negatif mengenai hubungan hujan dan rindu dengan orang-orang yang mengenang dua nama itu adalah suatu pengalihan kata-kata bahwa mereka semua tidak mampu mengungkapkan semua perasaan yang berkecambuk di dalam hatinya. Termasuk aku, sial! Ya, mereka tidak mengakui bahwa mereka telah kalah.

Lupakan hujan dan rindu. Karena aku baru tersadar bagaimana aku bisa menghirup bau hujan ini? Fentilasi dan jendela tidak mungkin dapat menghantarkan bau hujan seperti ini kalau dua benda itu tidak terbuka. Dan siapa yang membuka jendela balkon sepagi ini? Dengan terpaksa aku membuka mataku. Melihat Raya berada di balkon bersama hujan. Aku bangun, menggelengkan kepala dan mengucek-ucek mata. Sekali lagi aku melihat bahwa Raya benar-benar berada di balkon bersama hujan dan udara sejuk nan dingin. Aku menguap dahulu, sebelum melangkah ke arah balkon dan akhirnya mengambil jaket levis milik Raya.

Aku menyembulkan kepalaku keluar kamar, mendapatkan Raya dengan tatapan mengawang menatap pot bunga kecil yang berbunga aster cukup indah dengan warna-warni yang ada padanya. Aku berhenti berniat memarahinya di pagi hari ini, karena kudapatkan kembali Raya berwajah sedih. Tidak ada guratan kebahagiaan di mata atau bibirnya dan ia seperti itu sejak datang ke tempat tinggalku beberapa hari lalu. Dengan dalih, ayah dan ibunya sedang keluar kota, sementara ia malas berargumen dengan kakak laki-lakinya mengenai tugas akhir kuliahnya yang entah kapan selesai. Padahal aku mengetahui mengapa Raya seperti itu -yang mungkin mengakibatkan terhambatnya tugas akhir kuliah Raya- tapi tidak pernah aku sampaikan pada salah satu keluarganya. Aku menjadi bisu saat Raya menampakan kemurungannya padaku. Aku tidak pernah mampu menasehati Raya untuk bangkit dari rasa sakit hati karena dikhianati oleh sang pangerannya.

"Raya,"

Ia menoleh ketika aku memanggilnya sekali. Dengan sahutan dagu ia bertanya padaku, "Ada apa?"

"Aku rasa kamu butuh jaket, diluar dingin."

Aku menyodorkan jaketnya, ia melihatnya, tapi ia hanya diam. Gerak tubuhku memang tidak pernah menampakan bahwa aku tertarik padanya. Aku teramat cuek pada sesuatu yang menurutku bukan milikku, bukan siapa-siapa aku.

Tapi untuk Raya, dia lebih dari itu. Dia adalah perempuan yang kutemui sedang menangis setelah dipukul sang kakak karena tidak mau disuruh membeli rokok dan kopi untuk teman-teman kakaknya yang sedang main, termasuk aku. Dia adalah perempuan yang aku ketahui menyukai teman sekelasku sewaktu kuliah namun tidak pernah digubris. Dia adalah perempuan yang baru saja patah hati karena dikhianati oleh sang kekasih. Dia adalah alasanku untuk tidak pernah berkencang dengan perempuan lain. Dia adalah perempuan yang diam-diam aku sukai, aku kagumi tapi tak pernah aku kasihi. Ya, aku tidak pernah mengasihaninya. Aku selalu
bersikap cuek dan tidak tertarik padanya, agar Raya tidak mengetahui bahwa aku menyukainya.

Raya mengembangkan senyumannya, aku terpanah, namun dapat aku kendalikan gejolak dalam hatiku. "Udaranya sejuk dan dingin tapi kalau tidak memakai pakaian hangat ternyata bisa membunuh juga." katanya masih enggan melunturkan senyuman.

Aku tersinggung dengan kalimat Raya. Sepertinya ia berhasil menancapkan panah di titik hitam dalam sanubariku. Seakan-akan ia memberitahu bahwa sebuah hubungan tanpa ikatan itu tidak berarti apa-apa. Aku tersenyum getir menanggapi itu, sebelum akhirnya menjawab, "Makanya kamu pakai jaket biar ga dingin, nih." kataku menggerakan jaket di tanganku agar Raya cepat mengambilnya.

Dia diam, menatapku kosong dan malah bersuara, "Ka Evan.. Aku mau pulang."

Raya malah memintaku untuk mengantarnya pulang ke rumahnya, membuatku menarik jaket levis milik Raya itu ke dalam pelukanku. Aku menatapnya sebentar, penuh penat aku mencoba memahami sikap Raya. Tak pernah bisa menyatu dengan sikap egoku yang tidak mau mengalah, sampai-sampai aku menghembuskan nafas dalam-dalam.

"Ahhh.. Baiklah. Aku mau mandi dulu."

Aku, Evan Qiandra. Laki-laki yang baru saja melambaikan tangan kepada Bayu, teman sewaktu smp. Bayu adalah kakak kandung dari Raya. Usia kami sudah menginjak 25 tahun tapi kami masih betah sendiri. Masih asik dengan dunia pekerjaan dan begadang, enaknya menjadi aku dan Bayu ketika hanya tunjangan keluarga sajalah yang membebani pengeluaran bulanan gaji kami. Selebihnya, aku dan Bayu memakainya untuk bersenang-senang dan sedikit menabung. Dan saat ini Bayu sedang berdiri di depan gerbang rumahnya, sengaja menyambut aku dan Raya. Melihat sang kakak, Raya malah menunjukan wajah mendung padaku. Sepertinya Raya kesal karena aku menghubungi Bayu untuk menyambut kepulangannya. Alhasil, Raya tidak mengucapkan terima kasih dan tidak ada senyuman manis seperti biasanya. Perempuan itu langsung turun dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya.

Tersisa aku dan Bayu. Kami mengobrol sedikit mengenai Raya yang menginap di apartemen milikku dan aku selaku teman baik Bayu meminta maaf karena tidak memberitahu keberadaan Raya. Dan Bayu memaklumi, ia hanya mengangguk mengerti setelah aku menjelaskan maksud Raya menginap di tempat tinggalku.

"Raya tumbuh menjadi gadis yang manja." kata Bayu memberitahuku.

"Tapi, terkadang dia juga dewasa." tambahku.

"Gue ga tahu itu."

"Karena kalian selalu bertengkar, cobalah untuk mengalah. Lo adalah seorang kakak bagi Raya, dia butuh tempat berkeluh kesah."  

Bayu diam, kemudian bicara, "Kan ada lo..."

"Gue cuman teman kakaknya, ga lebih."

"Tapi lo suka Raya 'kan?"

"Itu bukan nilai plus selama Raya cuman biasa aja ke gue."

"Payah lo! Apa harus gue yang bilang ke Raya?"

"Ngga perlu."

"Buat Raya jatuh cinta mudah kok.."

"Tapi sekarang waktunya ga tepat, Raya harus pulih dulu dari permasalahannya.."

Bayu hanya menaikan kedua bahunya kemudian menjatuhkannya dengan cepat. Bayu juga menepuk-nepuk pundakku pertanda ia selalu mendukung semua usahaku meski dengan cara salah sekali pun seperti bersikap tidak tertarik pada Raya. Entahlah, apa yang sesungguhnya terjadi. Sejak dahulu aku selalu menunggu Raya sembuh dari luka hatinya, luka-luka yang ia keluhkan saat bersamaku. Penderitaan cinta bertepuk sebelah tangan atau dikhianati kekasih itu selalu menjadi topik perbincangan aku dengan Raya. Entah sudah berapa laki-laki yang telah Raya ceritakan padaku sebagai laki-laki yang ia taksir, selama itu pula aku menahan perih di lubuk hati. Rasanya nyeri dan tidak karuan, ingin marah namun tak pernah kesampaian. Terkadang, aku bosan dengan cerita-cerita Raya tentang lakiaki yang ia taksir. Aku  mengira dengan bersikap cuek, Raya bisa menjaga jarak dan tidak bercerita lagi, tapi yang ada Raya malah menangis-nangis di depanku saat waktu berpisah dia dan kekasihnya tiba.

Berikutnya, ponselku bergetar pertanda ada pesan masuk dan itu dari Raya. Isinya sangat singkat, padat dan jelas. Hanya satu kalimat yang terdiri dari beberapa kata dan itu membuat hatiku mencelos begitu saja tanpa pembedahan terlebih dahulu. Sehingga aku dapat membayangi sedang apa Raya saat ini di dalam kamarnya.

Pesan masuk dari Raya:

"Ka Evan.. Aku benci semua laki-laki."

Kemudian, Raya mengirim pesan kembali:

"Aku benci ayah, Ka Bayu, Jeno, Ka Rafly, semuanya. Dan baru saja aku putus dengan Roy!"

Kata Raya menyebutkan nama laki-laki yang ia benci. Aku tersentak ketika Raya menuliskan kata 'semuanya' pertanda aku pun termasuk laki-laki yang dibencinya. Cukup tahu aku bagaimana perasaan Raya saat ini. Entah masalah apa sehingga ia sangat menaruh dendam pada semua laki-laki, terlebih ayah dan kakaknya. Seharusnya Raya tidak begitu, seharusnya Raya masih memberi maaf pada Ayah dan kakaknya sekalipun dua laki-laki itu teramat sering mematahkan hatinya.

Dengan sigap aku membalas pesan Raya:

"Besok kita bicara, dek. Kamu istirahat dulu, jangan memikirkan apapun."

Besoknya aku tidak bertemu dengan Raya, kucari di rumahnya ia tidak ada. Ponselnya tidak aktif dan Bayu juga tidak mengetahui keberadaan adiknya. Sudah hampir tiga bulan Raya menghilang. Aku kalang kabut dibuatnya khawatir. Kutinggalkan semua pekerjaan dan keperluan hanya untuk mencari Raya. Hingga pada waktunya tiba, teman dekat Raya menghubungiku bahwa ia melihat Raya bekerja di sebuah restaurant dan ia menjadi seorang pelayan. Pikiranku langsung bertuju untuk menemuinya, tidak berpikir untuk apa Raya bekerja sebagai pelayan? Bahkan keluarga Raya cukup mampu untuk menghidupi Raya sampai dua puluh tahun ke depan tanpa Raya bekerja sekali pun.
Aku mendatangi tempat kerja Raya tapi tidak menemuinya. Aku melihat Raya dari kejauhan, melihat bagaimana ia menjalani hidupnya selama beberapa bulan belakangan ini. Dengan kungkungan aturan yang perlu dipatuhi ia mondar mandir melayani para pembeli, menghiraukan orang-orang yang mengenalnya. Tapi Raya tidak mendapatkanku telah mengunjunginya. Malang sekali!

Aku tidak pulang. Sebaliknya, aku menunggu Raya keluar dari penjara pekerjaan yang ia buat sendiri. Raut wajahnya letih, jalannya tidak bergairah, entah kemana Raya akan merebahkan tubuh lelahnya itu. Sampai pada persimpangan jalan, Raya disambut oleh anak-anak jalanan yang meminta jatah makanan. Kisaran usia 12 tahun ke bawah, beberapa anak jalanan itu menyapa Raya. Aku jadi mengetahui alasan Raya membeli banyak bungkus nasi di warung makan sederhana tadi. Dengan beralihnya detik setelah raungan anak-anak jalanan itu Raya menarik dua sudut bibirnya. Mencoba menampakan wajah sumringah meski lelah. Kemudian, Raya menghamparkan dirinya bersama kerumunan anak-anak jalanan tersebut. Membagikan nasi bungkus dan makan bersama mereka di kolong jembatan.

Aku mengerutkan dahiku -tidak habis pikir. Maghrib menemaniku memandangi Raya dari kejauhan. Sampai sejauh ini aku masih tidak mempunyai alasan mengapa Raya memutuskan mengambil kehidupan seperti itu. Raya meninggalkan kehidupan mewahnya, menelantarkan tugas akhir kuliahnya dan membiarkan keluarganya khawatir. Ingin rasanya aku menarik pergi Raya dari sana, namun sekali lagi tidak bisa. Apalagi ketika aku melihat ada seorang laki-laki  -mungkin seusiaku- menghampiri Raya. Baik Raya dan laki-laki itu sepertinya sudah cukup akrab, mereka tersenyum ramah. Akhirnya, Raya mengajak laki-laki itu bergabung bersama mereka.

Aku tertawa sekali sebelum akhirnya menggelengkan kepalaku masih tidak menyangka. Bayu benar, untuk membuat adiknya jatuh cinta sangat mudah bahkan ia tidak perlu penawar rasa sakit untuk mengobati hatinya. Dan aku keduluan lagi dengan laki-laki entah siapa di sana, entah bagaimana latar belakangannya. Cukup puas aku mendapatkan kabar dari Raya, entah mau seperti apa Raya mendikte hidupnya. Aku sama sekali tidak mengerti, sesuka hati ia memporak-porandakan perasaanku selama ini. Terserah Raya tapi aku tetap kembali pada kehidupan normalku. Yang menunggu perempuan itu entah sampai kapan.

Suatu hari dan ini masih pagi, aku baru tidur dua jam. Suara alarm yang kurindukan terdengar, kali ini bukan berasal dari kamarku karena aku sendiri berada di sana dan tanpa kehadiran Raya. Aku acuhkan rasa kantukku, mencoba mengembalikan titik kesadaranku. Aku tidak mau ini hanya mimpi lagi, aku tidak mau Raya hanya menjadi bayang-bayangku saja. Aku hampir menjadi orang gila tanpa Raya yang sesekali mengusik hidupku. Dengan suara 'pengganggu' tidur di pagi hari itu terdengar, aku berharap Raya berada di apartemenku saat ini. Berharap, berharap, karena aku sangat merindukannya.

Aku terkesiap ketika baru saja melewati bibir pintu kamarku, mendapatkan suara alarm menyebalkan itu semakin kentara aku dengar dan Raya terkapar di sopa panjangku. Ternyata ia masih hafal kode apartementku, karena sengaja aku tidak menggantinya, aku berharap Raya datang tiba-tiba seperti saat ini. Aku menghela nafas sesak, rasanya sedikit perih mendapatkan Raya tertidur pulas di sana. Pelan-pelan aku terjatuh di lantai, tidak kuat menahan lemahnya lututku untuk tetap berdiri. Aku terjatuh di depan Raya. Diam diam mengamati wajah Raya, mencengkram semua penyesalan yang pernah dirasakan. Raya benar-benar kembali, ia mengalah dengan egoku yang tidak pernah menyerah menyakitinya. Raya mengalah!

Sulit aku mengatur nafas saat ini, ingin menangis tapi tak mau Raya pun mengetahui. Selama ini sudah cukup aku menyiksa Raya dan diriku sendiri. Aku mempertuhankan ego hingga membuat aku dan Raya saling tidak karuan merasa. Aku menyukai Raya namun gengsi untuk memperjuangkannya. Egoku selalu berkata bahwa Raya-lah yang harus memperjuangkan aku. Mudah bagi aku membuat Raya jatuh cinta karena melihat Raya pun sangat mudah pindah ke lain hati. Tapi untuk mencapai itu, Raya tidak pernah menampakkan tanda-tanda bahwa ia jatuh cinta. Hingga aku hanya bisa bersikap biasa saja padanya. Sudah cukup, aku lelah dengan egoku sendiri.

Alarm Raya berhenti dan perempuan itu tiba-tiba membuka matanya. Aku mematung tidak sanggup melakukan apapun meski hanya menghembuskan nafas. Raya menatapku heran, dahinya berkerut. Akhirnya, ia beranjak duduk seraya menguap dan kembali melihatku.

"Ka Evan?"

Panggilnya dengan nada serak. Aku menghembuskan nafas kencang, mencoba mengumpulkan energi untuk mengungkapkan perasaan yang mendominasi sejak Raya menghilang hampir dua tahun lamanya.

"Lupa kamu untuk pulang?!" tanyaku sedikit memarahi. "Tega ya kamu tidak menghubungi
ayah-ibu dan Bayu? Kemana saja, hah?" lanjutku kesal.

Raya melongo dahulu, mungkin ia terkejut karena tiba-tiba saat ia terbangun mendapatkan banyak hujatan dariku. "Aku bilangkan besok kita bicara, bukan berarti aku menyuruhmu diam dan pasrah. Aku suruh kamu istirahat, bukan malah menghilang.." jelasku mengungkit kejadian hampir dua tahun lalu. "Kamu menelantarkan skripsimu dan membuatku khawatir. Kamu sadar tidak, banyak orang yang berharap atas hidup kamu, kamu malah pergi entah kemana. Aku khawatir Raya!" tambahku mengomelinya.

Raya kali ini tersenyum, sekarang aku yang bingung. "Sudah mengomelinya?"

"Belum."

"Tapi aku boleh menanggapi kamu dulu, kaa?"

"Silahkan.."

Raya kembali tersenyum. Posisi kami masih seperti awal, Raya duduk di sopa sedang aku di lantai. Masih menengadah jika aku ingin melihat wajahnya.
"Dulu, bukan jawaban 'kita harus bicara' yang aku butuhkan. Saat aku mengirim pesan seperti itu aku ingin sekali ada yang memelukku, aku ingin berteriak, aku ingin pergi yang jauh dari rumah." katanya memulai. "Ka Bayu bukan seperti kaka yang mau memdengarkan keluhanku. Ayah dan ibu sibuk bekerja, aku benci mereka." tambahnya.

"Tapi menghilang tanpa kabar bukan alasan, Raya!"

"Selama hampir dua tahun ini, aku hanya tidak menghubungi ka Evan.."

"Apa?" tanyaku terkejut. "Apa maksud kamu?" tanyaku lagi sampai-sampai berdiri.

Raya yang sekarang menengadah, tapi dengan sigap ia memegang tanganku untuk kemudian ditariknya dan menyuruhku untuk duduk.

"Duduk kaa.."

Aku pun duduk di sampingnya.

Raya tersenyum dahulu karena aku menurut, "Ka Evan tahu.. alasanku bergonta ganti pasangan?"

Aku diam.

"Alasanku adalah kaka. Aku memutar otak bagaimana bisa aku membuat kaka cemburu, tapi ternyata kaka malah bersikap tidak tertarik padaku. Hatiku hancur ka.. mempermainkan hati banyak laki-laki.."

"Kamu bohong, kan?"

"Meskipun ka Evan meyakini bahwa itu kebohongan, tapi aku melakukannya berkali-kali dan mungkin bisa menjadi sebuah kebenaran. Dan itulah kebenarannya.. aku menyukai kaka sejak pertama kali kita bertemu. Ketika hanya satu orang yang melihatku iba saat ka Bayu memukulku karena aku tidak menurut dan orang itu adalah ka Evan."

Aku diam. Mendengar Raya bercerita keluh seperti itu seakan-akan hati dan otakku remuk seketika. Aku menyesali sikapku karena tidak pernah memahami maksud Raya selama ini. Bodoh karena terlambat mengerti. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada Raya.
"Sekalipun kaka menyuruhku menunggu agar kita bisa bicara besok. Kaka ga pernah datang dan bicara padaku, meski aku tahu kaka sudah menemuiku, 'kan? Beruntung ka Bayu bilang kalau kaka menyukaiku juga, jadi aku tetap menunggu.'

Untuk perkataan Raya yang satu ini aku merasa sangat bersalah. Aku seperti penjahat yang memutilasi kepercayaannya. Raya diam-diam menungguku, tanpa aku ketahui, tanpa aku melihat Raya dengan rasa. Ternyata dia yang paling menderita.

"Maafkan aku, dek."

"Berdamailah dengan diri kaka, aku tidak suka kaka terlalu berpikir menggunakan ego."

"Ingatkan aku karena itu, dek."

"Aku tidak mau mendikte hidup kaka, belajarlah untuk mandiri."

"Dampingi aku, dek."

Raya tersenyum sembari menutup telinganya sepertinya ia merasa geli dengan sahutan
sahutanku.

"Selanjutnya, kamu harus wisuda."

"Aku sudah wisuda setahun lalu, aku juga sudah mengajar di sebuah sekolah."
"Serius? Aku kok gatau.. Bayu juga ga bilang sih."

"Aku pergi dari rumah juga karena diusir oleh ka Bayu, dia ga bilang juga?"

"Badjingan."


Ilustrasi : Shuterstocks

Suara angin menderu cukup kental di tengah-tengah hamparan air biru. Warna hijau dari pohon dan bukit kecil seakan-akan menyelimuti alam semesta ini. Perahu-perahu nelayan yang berserakan di bibir pantai berkerlap kerlip menunjukan warna warni pelangi. Ketentraman menjadi gambaran luas di pantai Baron,  wisata dari Gunungkidul,  Yogyakarta.

Kurang lebih ada empat puluh remaja baik lelaki maupun perempuan yang sedang menikmati liburan di pantai Baron ini. Mereka dari sebuah Universitas yang cukup populer di Jogja, datang untuk berlibur karena mereka akan menyambut liburan semester untuk waktu yang cukup panjang -sebelum akhirnya melaksanakan kegiatan kampus yaitu KKN- serta merayakan pertemanan mereka yang terjalin sejak tiga tahun ke belakang akibat mendapatkan kelas yang sama.

Ini adalah hari Selasa. Beruntung sekali karena kondisi pantai cukup sepi jika di hari kerja seperti sekarang. Dari mereka ada yang bermain di bibir pantai, seperti menulis nama mereka di sana atau bermain air.  Pun,  ada yang lebih memilih mencicipi seafood yang ditawarkan oleh wisata pantai Baron itu dahulu, sebelum akhirnya menikmati fasilitas lainnya.  Mereka berpoto bersama,  bercanda gurau,  dan bahagia.

Mereka tiba di siang hari,  menghabiskan waktu sampai mentari hampir tenggelam. Meski datang dan akan pulang bersama,  ke empat puluh remaja itu bermain dengan kelompok mereka masing-masing.  Sudah tidak diragukan lagi jika remaja jaman sekarang lebih suka bergeng-geng,  dan sepertinya sudah menjadi budaya.  Ya,  tentunya mereka akan berkumpul dengan orang-orang yang mereka sukai. Tidak usah dipermasalahkan terlalu serius karena itu adalah sebuah hak dalam menjalani kehidupan.

Seorang perempuan mengenakan setelan long jeans berwarna biru langit dipadukan dengan t-shirt putih agak kebesaran,  juga kaos itu bertuliskan Yogyakarta di bagian dadanya, dan sengaja ia masukan ujung baju ke celananya. Begitulah fashionnya!  Rambut panjangnya terurai bergelombang di kedua bahu perempuan itu. Semua itu cocok dipakai olehnya,  dikarenakan kulit putih bersih miliknya itu cukup mendukung dan menambah keindahan pada dirinya. Dan perlu diketahui bahwa teman kelasnya memanggil perempuan itu, Sena.

Sena menyapu bersih pandangan di sekitarnya, ada banyak teman temannya yang ia berhasil temui tapi tidak dengan satu orang. Perempuan itu mencari seorang lelaki yang sudah menjadi sahabatnya sejak di sekolah menengah atas.  Namanya Keanu,  teman satu kelasnya.

"Ada yang lihat Keanu tidak?" tanyanya entah pada siapa,  yang pasti ia bertanya kepada teman temannya yang bergerombol.

Ada yang menggeleng,  ada juga yang bilang tidak tahu mengenai keberadaan Keanu,  sebelum akhirnya ada yang menyahut, "Tadi terakhir gue lihat,  sih,  dia naik ke menara mercusuar, tapi sekarang gatau deh."

"Oh gitu,  ya. Oke,  makasih ya semua."

"Iyaaa,"

Setelah itu,  Sena melihat ke arah langit di mana puncak mercusuar itu berada.  Sejujurnya,  ia ragu akan menemui Keanu atau tidak.  Pasalnya,  sudah seminggu ini baik Sena dan Keanu tidak saling menghubungi. Mereka sempat bertengkar hebat pada suatu malam di kelas.

Waktu itu Sena lupa meninggalkan buku diary-nya di kelas.  Akhirnya,  ia kembali ke kelas setelah meninggalkannya hampir satu jam. Dan betapa terkejutnya ia menemukan Keanu masih menetap di kelas seorang diri bersama buku diary di genggamannya. Tepatnya,  lelaki itu sedang membaca isi buku tersebut.
"Keanu?" panggil Sena terkesiap.

Leaki itu terdiam dahulu,  menatap mata syok Sena dari kejauhan,  sebelum akhirnya perempuan itu berlari ke arah Keanu untuk merebut buku diary itu,  namun Keanu lebih sigap hingga ia masih berhasil menutup buku diary Sena di tangannya.

"Kembalikan!" kata Sena penuh kekhawatiran,  suaranya mendadak terdengar sangat parau.

Keanu masih melihat Sena, sedikit mengerutkan dahi akibat rasa kecewa yang didapatkan setelah membaca buku itu,  dan mulai membuka suaranya,  "Ternyata kau yang menghancurkan kejutanku di hari ulang tahun Raya. Kau menukar kertas jawaban Raya dan isinya salah semua. Kau juga hampir menyelakakan Raya saat ujian praktek. Dan apa maksudnya kau lebih suka aku putus dengan Raya?"

Raya adalah kekasih Keanu. Sama mengambil jurusan kimia murni namun berada di kelas berbeda dengan Keanu. Untuk itu Sena bersyukur.

Sena mengedipkan mata beberapa kali,  sebelum ia membuang udara kecil dari mulutnya,  dan pada akhirnya ia tergagu tidak tahu harus menjelaskan darimana,  "Be..gini.." Sena terbata.

Keanu lekas menepis tangan Sena saat perempuan itu berhasil menyentuhnya. Perempuan itu terdorong,  seketika lututnya lemas, wajahnya memerah,  dan tubuhnya bergetar cukup kencang, rasanya ia ingin terjatuh saja. Sementa,  Keanu tidak henti hentinya melontarkan sumpah serapah yang sangat menyayat hati Sena. Lelaki itu tidak memberi ruang untuk Sena menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku tidak habis pikir kau bisa melakukan itu semua. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi setelah ini dengan persahabatan kita. Aku kecewa. Kalau pun kau tidak suka dengan Raya,  jangan pernah berpikir untuk melakukan semuanya."

Sena hanya bisa menggelengkan kepala waktu itu.
"Dan! semalam aku baru putus dengan Raya!  Kau senang?!  Aku akan menyelidiki apakah ini juga karenamu Raya memutuskan hubungan denganku."

Untuk kabar itu,  Sena terkejut bukan main. Bagaimana bisa Raya memutuskan Keanu?
"Apa?  Kau putus dengan Raya?  Bagaimana bisa?"

Keanu malah berdecih tidak percaya dengan pertanyaan Sena yang menurutnya sangat konyol, "Aku kira kau yang menyebabkan kami putus."

Kemudian, Sena mencoba bangkit. Perempuan itu sudah cukup sakit hati dengan perkataan menusuk dari Keanu. Ia sengaja mengumpulkan keberanian untuk menyahuti Keanu meski mungkin hasilnya terkesan memaki.

"Dengar Keanu,  terserah kau mau berpikir apa tentangku. Tapi dengar ini,  aku! tidak tahu apa apa mengenai buku itu,  karena itu bukan milikku. Kau bisa periksa tulisannya dengan tulisanku. Beda!"

"Kau masih mau mengelak?  Ada banyak nama kau dan namaku di buku itu. Aku tidak tahu apa maksudmu menuliskan begitu banyak nama kita."

"Terserah!" seru Sena akan pergi, namun Keanu menahan.

"Kau mau kemana,  ha?"

"Lantas untuk apa aku di sini jika tidak didengarkan. Percuma!"

"Setidaknya kau tanggung jawab."

"Ya!! Secepatnya aku akan menyelesaikan masalah ini,  tanpa perlu kau bantu!"

Setelah itu Sena pergi dan Keanu  masih kesal dengan apa yang terjadi.  Lelaki itu berteriak,  menendang bangku dan meninju apapun termasuk udara agar emosinya tersalurkan. Dan Sena tanpa diketahui kembali menangis di luar kelas mendengar apa yang Keanu lakukan di dalam sana.

Waktu bergulir begitu cepat. Pada akhirnya, Keanu mengetahui siapa  pelaku rusaknya hubungan persahabatan dirinya dengan Sena. Itupun Sena yang memberitahunya. Pelakunya adalah teman dekat Raya,  namanya Anggita yang diam diam menyukai Keanu sama seperti Sena.

 Anggita yang membuat buku diary itu lalu sengaja ditaruh di kelas agar siapa pun bisa membacanya. Sena pun baru mengetahui akibat Raya memberitahu bahwa Anggita lah dalang semua ini. Maka dari itu,  Sena cukup terkejut saat Keanu mengatakan bahwa ia putus dengan Raya,  karena Raya tidak memberitahu apapun saat menghubunginya.

Ya, diam diam Sena suka pada sahabatnya sendiri. Siapa yang tidak suka pada Keanu? Ia pandai dalam belajar,  shuffle, humoris,  dan manis. Sepertinya perempuan lain akan gila jika hanya menjadi sahabat Keanu. Bukan membicarakan sesempurna apa Keanu saat berhasil kau miliki, tapi membicarakan seberapa banyak Keanu menerimamu. Karena Keanu mudah bergaul, ia sangat care pada siapa pun, dan berbicara dengan siapa pun itu mudah baginya.

Jadi,  apakah Sena menemukan Keanu di puncak mercusuar?

Jawabannya adalah iya. Perempuan itu tanpa Keanu ketahui sudah berada di sampingnya. Berdiri di sisi kanan Keanu,  menyandar ke besi penjaga mercusuar, dan rambutnya saat ini berterbangan di tiup angin laut.  Sena tersenyum melihat Keanu tersenyum dalam tidurnya. Sebenarnya, tidak benar benar tidur  hanya memejamkan mata, saja. Menyaksikan itu rasanya Sena ingin berteriak, mensyukuri bahwa ialah yang paling beruntung selalu berada di dekat seseorang seperti Keanu. Apalagi setelah kejadian yang sudah mereka lewati bersama.

Setelah mengetahui Sena tidak bersalah. Keanu meminta maaf pada Sena tapi selanjutnya mereka saling diam kembali dan sesekali hanya memerhatikan dari kejauhan. Namun, sekarang Sena memberanikan diri menemui Keanu untuk menghancurkan dinding pemisah ini.  Perempuan itu ingin seperti dulu, tidak peduli Keanu tidak mengetahui mengenai perasaannya. Itu sama sekali tidak penting,  baginya!

Dari seorang Sena mengajarkan bahwa jika kau menyukai seseorang,  tidak perlu terlalu ingin memiliki.  Kau boleh mengatakan bahwa kau suka, tapi jangan mencoba menuntutnya menyukaimu juga. Jangan memaksa!  Karena jika memaksa,  kau sudah lancang pada hidupnya.  Karena kau datang di kehidupannya itu tanpa diundang sama sekali, kemudian kau malah mengemis hal hal yang tidak bisa ia sanggupi. Kau pencuri bertopeng bidadari atau apa? Apalagi saat kau menuduh dia bersalah?  Karena rasamu itu tidak dibalas. Percayalah, setelah itu seleksi alam terjadi,  kau bukan apa-apa baginya!

Dan jika tidak ingin mengatakan rasa sukamu itu adalah urusanmu. Jaga sikapmu baik-baik! Jangan ada iri dikemudian hari saat dia dengan yang lain. Itu konsekuensimu, harus kau telan pahit pahit sebagai pil kehidupanmu. Berbahagialah karena dia cukup bahagia tidak diusik denganmu. Dan jangan lupa do'akan dia selalu karena dia adalah salah satu cara Tuhan mengajarkan kebahagiaan dari kata mencintai.

Keanu membuka mata,  cukup terkejut karena keberadaan seseorang di sampingnya.  Apalagi saat Sena orangnya. Sebagai respon awal mereka hanya saling tersenyum kecil untuk diri masing-masing karena sudah berani untuk tersenyum.

"Kau sedang apa?" tanya Sena memecah suasana menjadi sedikit renyah.

"Sedang memberi kabar pada laut." sahut Keanu diikuti kekehan.

"Kabar siapa yang kau beritahu?"
"Kabarku."

"Apa bunyi pasal kabarmu saat ini?"

"Tidak pakai pasal-pasalan, sih,  cuman memakai sebait puisi."

"Apa isinya?"

"Kataku: ut,  hai laut! dengarkan aku ingin memberi kabar, bahwa diriku saat ini sedang
bersedih,  akibat masalahku dengan orang orang yang dekat denganku."

"Ha ha ha,  terus laut jawab apa?"

"Katanya: tidak apa apa!  semua akan baik baik saja, orang orang yang dekat denganmu akan kembali, karena mereka mencintaimu,  mereka pasti membutuhkanmu."

"Memang siapa orang orang yang dekat denganmu?"

"Salah satunya kau."

"Wah senangnya."

"Kau suka ya dengan aku?"

"Eh?" terdengar,  namun umpatku,  "Kok dia tahu."

"Sok tahuu." tambahku.

"Kata laut begitu,  katanya orang-orang di dekatku akan kembali karena mereka mencintaiku,  mereka membutuhkanku,  dan kau datang, ha ha ha."

"Ha ha ha, selamat ya dapat jawaban langsung dari laut."

"Eh,  jadi serius kau suka ke aku?"

"Baru tahu,  ya?"

Keanu diam.

Penulis : Poni Rahayu 

Ilustrasi : Shuterstocks

Bedug maghrib bergema se-antero penjuru sudut kampung. Matahari tenggelam yang sering disebut senja itu masih menghiasi langit di ufuk barat. Rerumputan yang sejajar tingginya dengan padi yang menguning milik petani kini sedang berayun-ayun ditiup angin yang datang dari laut.  Dalam beberapa menit ke depan  potret human interest yang beraktivitas di sudut kampung akan lenyap,  disebabkan oleh kebiasaan penduduk sekitar yang mempersepsikan bahwa ketika hari berganti malam maka waktu istirahat telah tiba. 

Anak-anak pun digiring masuk ke rumah oleh orang tua masing-masing, kesibukan itu bereaksi seperkian detik saat teriakan ibu atau kakak perempuan dari anak-anak itu menyeruak menyuruh mereka untuk segera pulang. Biasanya sehabis itu anak-anak akan berhamburan untuk kembali pada tempat ternyaman mereka bersemayam di malam hari bersama sanak keluarga. Rumah.
Di trotoar jalan ditemani bebatuan krikil yang tersebar di sepanjang jalan ini aku dan satu laki-laki -yang sudah kuterima menjadi pendamping hidup- berjalan gontai. Sebetulnya,  tidak teramat lelah juga langkahku karena aku keasikan mengambil potret kampung ini. Sementara suamiku itu terus saja bergerutu sebab ia terdampar di perkampungan ini, "Macam kambing saja mereka diperlakukan." ketus Alvin -suamiku- yang memakai setelan pantai.

Aku menengok ke samping kiriku, sedikit tidak setuju, "Bedalah mas,  anak-anak itu cukup di arahkan sekali  saja dan mereka langsung menurut. Tidak sama dengan kambing yang harus dipukul dulu baru berjalan." belaku sembari beralih kepada kamera slr yang mengalung di leherku.
"Tau apa kamu tentang mereka? Kampung ini asing buat kamu dan kamu gak tau apa apa." kesalnya,  mungkin karena kami tak kunjung menemukan pertolongan.

Aku tersenyum, "Mas, potret kampung itu sama saja. Kamu yang berbeda dengan mereka, karena kamu terlahir di kota." sahutku kembali membela kampung ini.

"Kamu kok bela mereka Del," singgung Alvin mengerutkan dahinya.

"Kali-kali aku bela mereka,  mas,  karena aku juga kan gak sering main ke kampung gini,  hehe."

Alvin mendengus mendengar jawabanku karena biasanya aku selalu menurut dan sepakat atas perkataannya. "Kamu kenapa sih? Aku capek ah,  mau duduk bentar!" tanya Alvin di awal, sebelum ia mengeluh di akhir kalimatnya.

Alvin duduk. Aku tak ikutan,  ia menengadah,  "Kamu gak capek? Sini duduk.." seru Alvin.
Aku membuang nafas sembari meletakan tangan di pinggang -bertolak pinggang,  "Jadi,  kamu mau disamakan kaya kambing ya mas? Dipukul dulu baru jalan. Ayo lanjut masa baru jalan satu kilo meter saja udah capek.  Payah!" ledekku.

"Delfi..." panggil Alvin setengah bergumam. "Kita itu korban karena jalanan terjal yang gak diaspal kaya gini nih,  mobil kita juga mati karena ada jalanan bolong di sana tadi. Kemana sih uang otonomi daerahnya? Bukannya bangun jalanan yang bagus. Jadi,  nyusahin orang kan!" katanya kesal sendiri, aku terkekeh, lucu sekali melihatnya.

"Mas, kamu seriusan capek? Kalau serius ya kita istirahat dulu,  tapi kalau masih kuat jalan 500 meter lagi di depan itu kayanya ada kantor kelurahan, deh.  Nanti kita bisa minta pertolongan atau nggak barangkali di sana ada sinyal buat hub orang di kota bantu kita." saranku duduk menyamainya.
Alvin bukannya menjawab, ia malah menatapku lekat,  sesekali membuang nafas dalam-dalam. Aku berfikir di sela-sela itu,  apakah aku salah bicara? Apakah Alvin tidak suka caraku bersikap saat ini? Alvin kelihatan marah,  deh.

"Sikap kita kenapa jadi terbalik gini, sih? Biasanya aku yang dewasa,  tegas,  dan benar." herannya menerka-nerka.

Aku tertawa, "Kenapa? Kamu suka ya aku begini?"

"Aku jadi tahu,  bagaimana kamu sangat mengagumiku selama ini? Ternyata aku keren,  haha." katanya mulai melentur,  "Aku kaya ngaca deh jadinya, hehe.." tambah Alvin.

"Aku jadi tahu juga,  bagaimana pedulinya kamu untuk selalu melindungiku,  karena selama ini aku terlalu gemas dan lucu kan?" sahutku terkekeh, "Aku bahagia deh hari ini walaupun capek,  mas." kataku lagi.

"Kita harus saling mengerti ya Del,"

"Iya mas, makasih ya selama ini selalu mengerti aku."

Penulis : Poni Rahayu
Ilustrasi Kegiatan Tambang. Sumber : okezone.com

Ada perbedaan sangat besar terkait pengelolaan kekayaan alam Indonesia di zaman Soekarno dengan zaman Harto dan para pewarisnya. Soekarno bersikap, “Biarkan kekayaan alam kita, hingga insinyur-insinyur Indonesia mampu mengolahnya sendiri.” Sedangkan Harto dan para pewarisnya hingga sekarang bersikap, “Biarkan kekayaan alam kita dijarah oleh orang-orang asing, silakan Mister…”

Merupakan fakta sejarah jika di awal kekuasaan Harto, kekayaan alam Indonesia yang melimpah-ruah digadaikan kepada blok imperialisme Barat yang dipimpin Amerika Serikat. Sebelumnya Harto dan Washington agaknya telah memiliki “MOU” bahwa jika Soekarno berhasil dikudeta maka Harto yang menggantikannya akan “membalas budi” kepada Washington berupa penyerahan negara dan bangsa ini tanpa syarat agar bisa dieksploitasi sepuasnya oleh para tuan bule di Washington.

Tragedi pertemuan Mafia Berkeley dengan Rockefeller dan kawan-kawannya di Jenewa-Swiss di bulan November 1967 menjadi bukti tak terbantahkan tentang permufakatan iblis tersebut. Di saat itulah, rezim Jenderal Harto mencabut kemerdekaan negeri ini dan menjadikan Indonesia kembali sebagai negeri terjajah. Ironisnya, penjajahan asing atas Indonesia diteruskan oleh semua pewarisnya termasuk rezim yang tengah berkuasa hari ini yang ternyata “jauh lebih edan” ketimbang Jenderal Harto dulu.

Tragedi pembunuhan Kennedy terletak pada warisan yang tertinggal setelah ketidakhadirannya. Tanpa dukungan itu, bayi Indonesia melangkah menuju kenyataan, kemerdekaan ekonomi yang hancur. Soekarno memang bukan orang suci dan banyak masalah, namun ia tetap berusaha memastikan bahwa transaksi bisnis Negara Indonesia  dengan orang asing harus meninggalkan beberapa manfaat bagi orang Indonesia. Soeharto, dalam kontras yang mengerikan, malah memungkinkan orang asing untuk memperkosa dan menjarah Indonesia untuk kepentingan pribadi mereka, dengan gaya hidup dan mewah dan kebanggaan, merampok sumber daya yang tak tergantikan milik Indonesia. Pada Oktober 1965, Soekarno digulingkan, dalam kudeta yang didukung oleh CIA, dan digantikan oleh Presiden Soeharto yang terbukti jauh lebih mementingkan kepentingan bisnis AS ketimbang pendahulunya.

Setelah jatuhnya Soekarno dari kekuasaan, pada tahun 1967. Saat Undang-Undang Penanaman Modal Asing di Indonesia disahkan, kontrak Freeport adalah yang pertama yang akan ditanda tangani.  Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan Nomor 11/1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.

Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041.


Pertambangan Grasberg Freeport di Indonesia adalah salah satu dari cadangan tembaga dan emas terbesar di dunia. Tetapi perusahaan yang berbasis Amerika itu memiliki 82% saham keuntungan perusahaan, sementara pemerintah Indonesia dan perusahaan swasta Indonesia hanya berbagi sedikit persen yang tersisa.

Tambang Grasberg adalah tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar di dunia. Tambang ini terletak di provinsi Papua di Indonesia dekat latitude -4,053 dan longitude 137,116, dan dimiliki oleh Freeport yang berbasis di AS(67,3%), Rio Tinto Group (13%), Pemerintah Indonesia (9,3%) dan PT Indocopper Investama Corperation (9%). Operator tambang di atas gunung sebesar 3 miliar dollar AS. Pada 20004, tambang ini diperkirakan memiliki cadangan 46 juta ons emas. Pada 2006 produksinya adalah 610.800 ton tembaga; 58, 474.392 gram emas; dan 174.458.971 gram perak.

Seberapa besar Freeport membawa pengaruh di Indonesia? Dapatkah mereka benar-benar mengatakan bahwa mereka memiliki kepentingan terbaik Indonesia di hati?

Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya (sepanjang 700 km).

Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara pun mengalami kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara sangatlah kecil jika dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport.

Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.

Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah, wilayah Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot Soesanto, merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin (47,99 %).

Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya Emaspura. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru menggalinya dengan sangat mudah. Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Grasberg-Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru di mana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan langsung mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika. “Perampokan legal” ini masih terjadi sampai sekarang.

Kisah Freeport merupakan salah satu dari banyak sekali kisah sedih tentang bagaimana kekayaan alam yang diberikan Allah SWT kepada bangsa Indonesia, oleh para penguasanya malah digadaikan bulat-bulat untuk dirampok imperialisme asing, demi memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Kenyataan memilukan ini masih berlangsung sampai sekarang hingga rakyat menjadi sadar dan menumbangkan penguasa korup.

Penulis : Siti Khotimah

"Kau tahu, tuan? Hakikat perasaan seorang perempuan ibarat bibit bunga dalam pot, jika ia sampai mengungkapkan perasaannya padamu itu berarti ia sengaja memberikan bibit bunga itu padamu. Kau boleh merawatnya hingga tumbuh menjadi bunga-bunga yang indah atau kau boleh membuangnya saja jika kau malas merawat bibit bunga itu. Karena hal itu tidak akan menjadi masalah bagi perempuan, hanya saja kau terkesan mempermainkan perempuan jika kau menerima bibit bunga itu tetapi tak pernah merawatnya, kau biarkan mati di jendela kamarmu. Apakah kau menerima analogi ini, tuan?"

***

1.

Sayup-sayup terdengar suara musik era 70an, lagu dari band legendaris dunia The Beatles—Let It Be terdengar kuat di ruang keluarga rumah berdesain segiempat itu dengan taman outdoor yang berada di tengah-tengah rumah tersebut, lalu kamar dan ruang-ruang yang ada berperan mengelilinginya. Pasti ibu yang menyetel lagu di pagi buta seperti ini, untung ayah tidak ada di rumah sejak seminggu lalu. Jika ada, mereka bisa adu mulut di pagi hari hanya karena pemutaran lagu-lagu favorit yang ingin mereka dengar sangatlah berbeda genrenya. Tapi jujur saja aku lebih suka selera musik ibu daripada ayah yang rock and roll itu, membuat hatiku berdegup kencang dan otakku serasa mau pecah saat musik kesukaan ayah mendominasi rumah.

Udara terasa sejuk sejak kemarin siang, selama itu pun langit mendung. Pagi datang dengan udara segar, menyelinap lewat jendela kamar. Dan ibu mempersilahkan udara itu lebih banyak masuk lewat pintu kamarku yang dibuka. Sebelum ibu bersua nyaring, aku lebih dulu membuka mata untuk mengabari bahwa aku sudah terjaga, hanya saja aku masih ingin dimanjakan oleh balutan selimut. Ibu membiarkan aku begitu saja, masuk ke kamarku untuk mematikan lampu dan membuka gorden jendela secara keseluruhan. Aku mengendurkan otot-otot tubuhku dengan merentangkan kedua tangan.

"Bangun, mandi, sarapan, kalah terus sih sama adikmu yang sudah membantu ibu membuat sarapan, cepet bangun," sindir ibu dengan intonasi lembut seraya menarik selimutku.

Aku menahan selimut yang ibu tarik, lalu menggelengkan kepala, "Masih ngantuk, Bu, gak mau ah, mau lanjut tidur lagi," kataku dengan suara yang terdengar parau.

Setali tiga uang, ibu menatapku kesal di pagi-pagi begini, belum lagi tangannya yang sudah bertolak pinggang, apalagi umpatannya yang sebentar lagi akan pecah di telingaku, aku buru-buru beranjak dan terkekeh, "Hehehe, iya, Bu, iya. Bangun nih, mandi nih, habis itu sarapan," ledekku turun dari ranjang dan segera mengambil handuk berwarna hijau.

"Beresin kasurmu dulu. Kamu tuh anak perawan, masa bangun jam segini? Sholat subuh juga harus di seret-seret dulu ke sumur," ibu memang seperti itu —sarkastis.

Benar 'kan? Aku diomelin, untung sudah terbiasa, sudah kebal. Aku berdeham panjang dan memasang wajah malas. "Habis mandi langsung ke ruang tamu dulu baru sarapan," seru ibu melihatku yang sedang melipat selimut.

Aku menoleh, "Ngapain ke ruang tamu? Kan sarapan adanya di dapur," tanyaku kebingungan.

"Kalau mau ngundang teman ke rumah ya bilang dulu, coba? Biar ibu masakin yang spesial," sahutan ibu itu jelas membuatku mengerutkan dahi.

"Teman siapa?"

"Ya teman kamu lah. Cowok, lagi,"

"Cowok?"

"Pacar kamu ya?"

"Heh?"

***

Sudah setengah jam sejak ibu memberitahu bahwa ada temanku yang berkunjung di pagi hari. Aku sudah mandi, sudah rapi dengan balutan jeans dan t-shirt putih bertuliskan Damn, I Love Bandung yang ku beli di kampung halaman ibu tahun lalu. Setahun yang lalu saat hanya aku, ibu dan adik, pulang ke Bandung untuk menghirup udara segar dari penat ibu kota yang memuakkan. Waktu itu ibu tetap tinggal di rumah nenek, sedang aku mengajak adikku pergi ke sebuah pasar tradisional yang ada di daerah Leuwipanjang tepatnya di bawah jalan layang.  Aku ingat aku membayar t-shirt itu dengan pecahan seratus ribu yang dikembalikan enam puluh ribu, adikku minta dibelikan barang yang sama waktu itu tapi aku tidak pernah mengasihaninya.

Saat ini aku masih duduk di depan cermin, memikirkan aku akan bersikap bagaimana saat bertemu dengan temanku di ruang tamu nanti? Teman yang ku ketahui adalah laki-laki yang masih menetap di hatiku ini membuat aku ingin lebih lama mengumpat di dalam kamar saja —rasanya. Bagaimana jika nanti aku hanya mematung saja di depan sana? Ah, bodoh. Jujur saja aku lupa bagaimana menyapanya? Karena sudah lebih dari seminggu aku berdiam diri, bukan menjauhi, hanya memberi kesempatan diri untuk berpikir. Lalu untuk apa sih dia datang ke sini? Darimana juga dia mengetahui rumahku? Ah, menyebalkan sekali.

Layar ponselku menyala, ada satu pesan WhatsApp yang masuk, aku meliriknya cepat, itu dari dia yang mengabari bahwa ia masih menunggu di ruang tamu. Ia juga menambahkan di pesan terakhirnya ungkapan rindu.

Katanya :

"Aku masih di ruang tamu. Aku nunggu kamu,"

"Aku kangen kamu tau,"

Aku membalasnya cepat, "Oh iya. Hehehe. Sebentar ya aku lagi mengeringkan rambutku dulu," dalihku. Yang langsung dibaca oleh laki-laki itu dan membalasnya lagi dengan satu kata, "Siaaapp,"

Duuh, bagaimana ini? Aku sama sekali tidak bisa menghindarinya. Aku yakin ada begitu banyak pertanyaan dan pernyataan yang ingin dia sampaikan dan dari aku sendiri pun harus ada penjelasan dan klarifikasi kepada dirinya sebab sikapku yang berubah dan menghilang begitu saja. Ayolah! Ini mudah, kok, dilakukan. Aku hanya perlu siap jika dia kecewa padaku.

Tapi tidak mungkin laki-laki itu bisa marah dan membentak. Dia adalah laki-laki baik, dia selalu mengalah, dia tidak pernah marah sekalipun kamu mencampakkannya lalu kamu kembali dan meminta maaf padanya. Dia selalu melakukan itu, dia selalu memaklumi, dia menerima siapa pun. Dia memang orang baik.

2.

Aku yang salah sepertinya, dari awal memang aku yang salah. Aku selalu saja salah dalam melangkah. Pikiranku yang mengarahkan aku untuk begini dan begitu, membohongi hati yang ingin sebaliknya. Tapi saat aku berpikir berulang-ulang kali sepertinya aku yang benar tapi perasaanku tidak berkata demikian, hatiku tak enak, aku merasa aku yang salah telah mendiami laki-laki itu, telah memperlakukan ia seperti itu.

Apakah aku benar-benar salah?

Suatu hari aku tak sengaja bertemu dengan laki-laki itu. Di taman kampus kala sore telah menyapa, aku tak mengenal dia siapa, pun sebaliknya. Hanya tahu, mungkin dia juga salah satu mahasiswa di kampus ini. Hari-hariku berlanjut, pun dengan dia, kami tidak pernah saling sapa, hanya saling tahu bahwa dia adalah dia dan aku adalah aku. Kami hanya mengetahui nama masing-masing saja, tak lebih.

Diam-diam aku menyukainya berbarengan aku menyukai orang lain juga. Aku menyukai orang lain lebih lama dari pada aku menyukainya. Ini perasaan yang tidak boleh aku miliki dalam satu waktu, aku juga tidak suka aku begini. Pada akhirnya, aku lebih memilih mengungkapkan perasaanku padanya dan menjauhi orang lain itu, aku memilih untuk melupakan orang lain itu saja.

Aku merasa dari dua laki-laki itu, dia memang berhak menerima bibit bunga perasaan dariku, aku hanya ingin dia tahu ada satu pot berisi bibit bunga khusus untuk dia. Terserah dia mau menerima atau menolak. Yang pasti aku telah memberitahu padanya.

Dia pun menanggapiku dengan senang hati. Apalagi aku yang dibuatnya bahagia karena hanya memiliki sebuah perasaan saja. Kami mengenal satu sama lain karena didekatkan oleh kesempatan. Aku yang mengambil kesempatan itu dan dia tertarik untuk selalu berbincang denganku. Aku senang selama itu, tidak tahu dengan dia. Atau dia hanya suka saja berbicara denganku tapi hatinya tidak atau hatinya pun senang berbicara denganku juga. Ah, terserah. Yang pasti aku tidak menghawatirkan hal itu.

Aku menikmati setiap kedekatan dengannya.
Tapi ada banyak hal yang kupikirkan, aku ini banyak kekurangan, aku tidak punya apa-apa untuk dibanggakan, keluargaku kacau, aku melakukan kesalahan dalam hubungan pertemanan, ada banyak orang yang kukecewakan. Sepertinya aku tak pantas tetap selalu dekat dengannya apalagi berpikir lebih dari itu. Iya 'kan? Tidak pantas.

Terkadang aku merasa menyesal telah mengungkapkan perasaanku, harusnya aku mencintai dalam diam saja seperti yang sudah kulakukan sebelum-sebelumnya pada dia. Terkadang aku juga merasa tidak menyesal karena aku senang dia mengetahui perasaanku. Aku ini memang perempuan labil. Yang ku khawatirkan sekarang adalah aku tak tahu pandangan banyak orang padaku, termasuk dia. Apakah setelah aku menghilang selama ini, dia berpikiran yang tidak-tidak? Padahal aku sedang berpikir banyak hal, tentang aku dan dia, mana yang baik untuk kita, aku tidak hanya berdiam diri saja, aku memikirkan banyak hal karena aku tahu aku tak pantas untuknya. Entah sampai kapan aku ingin berdiam diri, sepertinya sampai aku benar-benar pantas untuknya, baru aku kembali. Harus begitu, 'kan?

Sebenarnya, ada hal yang ku takutkan saat aku menghilang, aku takut dia menyangka selama ini aku tidak tulus padanya, aku hanya main-main saja, padahal tidak seperti itu, aku terpenjara oleh keadaan, oleh rasa bersalah, oleh kegagalan. Padahal aku juga ingin selalu berada di dekatnya. Ingin selalu!

Entah dengan dia? Aku benar-benar payah memikirkannya.

Pernah suatu ketika aku menangis di depannya. Karena dia, sungguh. Saat itu aku berada dalam satu keadaan yang sangat tidak enak, sangat-sangat menyebalkan, aku tidak menceritakan masalahnya dan ia sempat kesal padaku. Tiba-tiba aku menangis sebab perkataanya, "Jangan nampakin wajah kaya gitu kalo gak mau nyeritain masalahnya," aku tersentak, langsung menangis di tempat.

Padahal saat itu bukan sebuah kata-kata yang ingin aku dapatkan darinya, saat itu aku hanya butuh pelukan darinya, untuk menenangkan pikiranku, karena saat itu aku sedang malas membahas apapun, karena waktu itu aku sedang kesal dengan diri sendiri dan keadaan, karena saat itu waktunya tidak tepat untuk menceritakan masalahnya, aku hanya ingin pelukannya saja tidak yang lain.

Setelah melihatku menangis yang sesungguhnya menangis, ia merasa sangat bersalah. Entah menyadari kesalahannya atau merasa bersalah karena cerita dari masalahku. Dia baru memelukku, meminta maaf dan menenangkanku tanpa sebuah ceramah panjang. Itu adalah satu dari beberapa hal yang membuatku ragu padanya. Apakah dia benar-benar merawat bibit bunga pemberianku itu? Atau aku hanya butuh pendewasaan dan dia butuh banyak pemahaman tentangku? Tapi jika pada akhirnya bibit bunga itu tidak tumbuh juga seharusnya aku tidak marah. Memang itu sudah menjadi hak dia akan memperlakukan bagaimana, sebab pot yang berisi bibit bunga itu sudah menjadi miliknya seutuhnya. Sekali pun bibit bunga itu mati di jendela kamarnya, aku harus menerimanya dengan lapang dada.

Tapi kenyataannya adalah dia tetap baik. Dia benar-benar baik, selama ini pikiranku saja yang salah, fungsi otakku memang rusak. Selalu mencurigai banyak orang, selalu harus begini dan begitu menurut kebaikan yang telah aku pikiran matang-matang. Atau apakah kebaikannya itu hanya sebuah penghargaan untukku? Oh ayolah aku mulai mencurigainya, lagi.

Dia memang orang baik. Aku bilang semua orang baik, termasuk dia, tapi tidak denganku, karena aku selalu melakukan kesalahan. Itulah mengapa aku bukan orang baik. Jadi, orang baik seperti dia tidak pantas 'kan dengan orang tidak baik sepertiku ini? Sudah jelas jawabannya.

3.

Aku sudah duduk di sampingnya, di sebelah kanannya, di sofa panjang yang cukup untuk tiga orang. Aku melayangkan senyuman saat pertama kali melihatnya, lalu ia membalas senyuman itu. Dia masih sama. Menarik dan manis. Aku paling suka dengan deretan giginya saat ia tersenyum, menarik kerutan-kerutan di bawah matanya, hingga membuat tatapannya menjadi tajam namun indah. Hatiku menyelus saat ia masih bersikap baik seperti itu, padahal aku sering mencurigainya. Aku mencoba menutupi kegugupanku, ada senang, ada takut, ada semuanya bergabung menjadi satu. Membuat jiwaku tak karuan saja, "Pasti sudah lama ya? Maaf membuatmu menunggu," kataku.

Dia menggeleng cepat, "Nggak kok, gak papa. Wajar aja, perempuan kan emang lama kalau urusan mandi dan siap-siap," sahutnya. "Apalagi aku lama banget kan?" tanyaku mencairkan ketegangan dalam diriku.

"Lama sih tapi gak sampe buat aku lumutan kok, hehehe,"

"Bilang aja kamu tuh, aku lama gitu, huh,"

"Tuh kan, aku bilang udah gak papa kok, berartikan gak ada masalah buat aku,"

"Yaudah iya,"

"Hahaha, kebiasaan tuh," sahutnya berharap aku mengakui kebiasaanku, tapi aku malah mengubah topik lain, "Kok tahu rumah aku? Ngapain pagi-pagi ke sini?"

"Mau ikat kamu biar gak hilang terus,"

"Emang aku kambing apa diikat-ikat,"

"Sapi, domba, juga diikat kok,"

"Dih yaa, tahu ah,"

"Hubungan juga harus diikat 'kan?"

"Ya harus itu mah,"

"Naaah gitu dong,"

Eh, sebentar. Apa maksudnya? Hubungan siapa yang mau diikat dan dengan siapa diikatnya? Ah, sial aku ketakutan. "Emang mau diikat pake apa?" tanyaku.

"Pake status,"

"Ooohh.. eh, aku bikinin minuman buat kamu dulu ya? Mau apa? Teh? Kopi? Atau jus jeruk?" seruku mengalihkan percakapan, padahal aku dan dia sudah sama-sama tahu di depan kita sudah tersajikan teh manis hangat dan beberapa gorengan pisang yang disediakan oleh ibu tadi sewaktu aku mandi.

Salting? Wah ya jelas lah.

"Aku mau kamu aja di sini, duduk sama aku, ngobrolin kita berdua,"

Tuh kan!

Aku diam tak bisa berkata apa-apa. Dia juga diam. Lantunan lagu-lagu The Beatles sudah berganti dengan Westlife, sekarang terdengar lagu Westlife yang berjudul Beautiful In White. Ibu ada di dalam kamarnya sedang melipat baju setahuku, adikku sudah pergi ke sekolah, kami duduk berdua di sofa ruang tamu. Hanyut dalam iringan musik Westlife yang romantis. Hatiku sudah berdegup kencang, apalagi saat ia menyentuh tanganku. Rasanya seperti ada ribuan sengatan listrik yang mengalir di dalam darahku. Aku meliriknya malu, dia menyunggingkan senyuman padaku, "Jangan merasa bersalah lagi, kita sudah saling memaafkan tempo hari. Kenapa masih berpikiran yang aneh-aneh, sih? Aku cuman mau kamu, aku ingin terus didekat kamu, jangan ngilang-ngilang lagi," katanya tepat di depan wajahku, dekat sekali.

Aku menelan air liurku susah payah, sulit bernafas saat posisi seperti ini. Aku takut nafasku terdeteksi olehnya seperti nafasnya yang terdeteksi olehku sejak awal ia bicara. Aku menggigit bibir bawahku dulu sebelum bersuara, "Eum... Begini.. Aku.."

Belum aku menyelesaikan kalimatku dengan kegugupan, ia perlahan maju lebih dekat. Tangan kanannya masih menyentuh tanganku, seperti menjagaku agar tidak kabur, sekarang tangan kirinya bergerak menarik tekukku untuk mendekat ke arahnya. Ia menyentuh bibirku lembut, aku melotot terkejut. Tapi ia masih terus mencoba, aku diam, merasakan pergerakan di dalam mulutku, aku merasa geli dibagian daun telinga, ia berhasil membuatku hanyut dan mabuk kepalang, aku menutup mataku karena takut, tapi ia memberiku ruang untuk bernafas dahulu, yang aku tidak tahu dia diam-diam ternyata tersenyum melihatku saat aku terpejam dan ketakutan, lalu melanjutkan kembali, menyentuh bibirku dengan lembut, bermain di sana, mengajariku perlahan-lahan agar aku bisa membalasnya. Mengikuti ritmenya. Saling bertukaran dan menikmati. Aku benar-benar tenggelam. Hingga akhirnya aku menepuk-nepuk pundaknya, menyuruh agar kami selesai. Kami pun berhenti berciuman.

"Kenapa?" tanyanya.

"Mati aku kalau ibu melihat,"

Dia tertawa, "Terus kita mau ngapain dong?"

"Peluk aja kalau mau, ibu masih bisa menerima kalau anak perempuannya dipeluk oleh laki-laki,"

"Hahaha, yaudah sini peluk,"

Aku menarik nafas dahulu sebelum akhirnya masuk ke dalam pelukannya, dia menerimaku, punggungku dielus-elus olehnya, tenang sekali rasanya. Sedamai ini rasanya mendapat pelukan dari seseorang yang kusukai. Serasa aku dilindungi dari kejahatan dunia yang kejam. Tapi aku tidak tahu bagaimana perasaan seorang laki-laki saat ia memeluk perempuan yang disayanginya, apakah ia juga merasa seperti malaikat pelindung?

"Kalau ada apa-apa tuh bilang, jangan ngilang,"

"Hehehe iya iyaa, aku salah."

"Nggak papa, aku maklumi,"

"Kamu memang yang terbaik,"

"Pacaran yuk?" tanyanya tiba-tiba.

"Nggak mau ah, gini aja, temenan aja," kataku masih nyaman di dalam pelukannya.

"Kenapa?" Katanya sedikit kecewa.

"Kalau putus nanti jadi mantan, terus pasti nanti musuhan, gak mau ah, aku gak mau begitu nanti jauh dari kamu,"

"Ya itu sih kamu, aku gak begitu kok," serunya sambil tertawa. Aku keluar dari pelukannya, "Siapa yang tahu, kan, wlee," ledekku sambil menjulurkan lidah.

"Hahaha yaudah iya, teman tapi mesra, gimana?" ajaknya.

"Terserah deh namanya apa, yang penting unsur kita adalah aku dan kamu, tidak ada orang lain," kataku serius.

"Hehehe setuju deh setuju, setuju banget aku," sahutnya, mengakhiri semuanya dengan pelukan dan ciuman di keningku.

Tiba-tiba suara ibu terdengar di pendengaran kami, "HEH!! Apa yang kalian lakukan?!"

Selesai
Penulis : Poni Rahayu