Tampilkan postingan dengan label SASTRA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SASTRA. Tampilkan semua postingan

 

Sumber Foto: Bagas Khadafi 

Dalam lorong gelap kampus yang rindang

Terlihat potret yang mengherankan

Ideal demokrasi hanyalah angan

Diterpa intrik birokrasi, politik pun memburu


Demonstrasi meronta, ketidakpuasan terbuka,

PPMU ditolak, keputusan kaku.

Pandora terbuka, menggambarkan betapa

Demokrasi terancam oleh kepentingan curang.


Birokrat turut campur, mengatur agenda

Menggerus demokrasi, tak terasa

Perjuangan mahasiswa, hanya sandiwara

Politik kekuasaan menjelma main hakim sendiri 


Konflik merajalela di arena ormawa

Rasisme menjulang, intoleransi menggema

Ironisnya, mahasiswa bertumpu dalamnya

Membenamkan harapan akan demokrasi yang sejahtera


Demokrasi kampus hanya pajangan

Di tengah struktur kekuasaan yang terbelenggu,

Kebijaksanaan terkubur, di dalam luka.

Di bawah sorotan, prasangka menghampiri


Namun pelajaran berharga terukir jelas

Dari IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang terpenjara

Demokrasi tak sekadar kata,

Melainkan praktek yang harus terus dijaga.


Partisipasi dan kepercayaan menjadi kunci

Untuk menjaga ruh demokrasi yang merdeka

Kampus menjadi arena, bukan sekadar impian

Bagi masyarakat yang haus akan keadilan.


Demokrasi kampus haruslah jadi nyata

Bukan sekadar cerita di atas kertas,

Melalui pendidikan dan tindakan tegas,

Mewujudkan demokrasi yang sejati, tanpa cela.


Penulis: Nisa Nurul Hamdiyah 

 

Sumber Foto: Pinterest 

Akhir-akhir ini waktu terasa begitu cepat, lelah rasanya namun akhirnya beberapa hal  yang dianggap sebagai beban perlahan satu persatu terselesaikan. Beberapa hal juga terasa ganjal, mata yang tidak bisa terlelap pada malam hari karena pikiran terlalu berbelit-belit mencari arah jalan pulang namun entah rutenya yang mana? Tertidur pada pukul dini hari, kemudian kembali berbenah untuk kembali menjalani aktifitas pagi sampai petang—di antara semua waktu itu terkadang tak ada jeda waktu untuk berleha-leha, rumah yang harus dibersihkan dan tugas mepet-mepet deadline harus diselesaikan, semuanya seakan memperebutkan manusia kecil dengan semangat dan tenaga pas-pasan.

Seiring dengan waktu yang semakin terasa cepat, keluhan dan rintihan menjadi bagian dari setiap hentakan kaki dalam suatu proses perjalanan. Bertemu dengan banyak orang dan bergurau ternyata cukup menghibur bagi sebagian orang, sebagian yang lainnya mungkin mencari kebahagiaan tersendiri dalam menjalani hidup. Kalau tiba waktu dihampiri lelah, rasanya ingin menyerah namun beruntung masih takut mati. "Emang dasarnya manusia," Anin bergumam dalam Hati.

“Bi, mie ayam tiga porsi ya,” Ucap Abel pada Bi Ema. 

Di sebuah warung sepi pengunjung, tiga manusia tanpa beban itu duduk dengan santai sambil iseng-iseng membuat vlog. Diam-diam masing-masing dari mereka memanjatkan harapan yang yang sama, berharap dunia mereka akan selalu baik-baik saja. Mereka bergurau sampai cekikikan hingga Bi Ema datang dengan nampan berisi mangkuk dan es teh manis masing-masing tiga porsi di sana. 

Warung ini memang seringkali terlihat sepi dan kumuh namun sejak kedatangan ketiga gadis ini suasana terasa lebih ramai, bahkan ada sedikit peningkatan pengunjung yang datang kemari karena melihat beberapa vlog gadis itu, tak disangka ternyata video itu membuat beberapa orang tergiur karena mie ayam yang dibuat Bi Ema terlihat begitu lezat. Sayangnya tak lama saat warung terpencil dengan pemandangan sawah di depan itu mulai ramai pelanggan, rupanya pandemi merenggut kembali pelanggan Bi Ema.

Gadis dengan kerudung bergo serta baju atasan yang dipadukan cardigan di sana bernama Abela Pirsya Aini. Di sebelahnya gadis dengan pashmina tanpa pentul berwarna hitam bernama Lerina Agung Darmono. Di sebelahnya lagi gadis dengan tubuh yang lebih mungil dari keduanya namun konon paling dewasa itu, bernama Sanindyah Retami Putri Jaya Ade Ayu, haha benar namanya memang cukup penjang karena itulah setiap ujian nasional tiba gadis yang kerap dipanggil Anin itu senantiasa mempersingkat namanya dengan nama Sanindyah Retami P.J.A.D.

“Udah makan belum, Bi?” tanya Abel kepada Bi Ema, kemudian Wanita paruh baya itu membalasmnya dengan anggukan serta senyum yang terlihat teduh. 
“Bi, aku mau cerita tentang mama,” ucap Abel kepada Bi Ema. 

Kemudian Bi Ema duduk di hadapan gadis yang kerap dipanggil Abel itu. Wanita paruh baya itu mendengar dan mencermati setiap kalimat yang terlontar dari gadis cantik dengan lesung pipi yang terlihat saat ia tersenyum. 

Memiliki kehidupan yang sesuai keinginan adalah dambaan bagi setiap orang namun hidup ternyata memang tidak selalu mengikuti setiap apa yang kita inginkan. Pun dengan kehidupan ketiga gadis ini, mulai dari mama Abel yang sekarang banyak melamun, orangtua Lerina yang nyaris kehilangan pekerjaan, hingga papanya Anin yang harus memutar otak agar bisnisnya terus berjalan.

Ayah Abel yang berumur 40 tahun meninggal dunia sejak satu minggu lalu, kata dokter beliau terkena Covid-19. Memang setelah pulang dari luar kota kondisi kesehatan ayah Abel menjadi buruk sampai akhirnya Abel dan mamanya pun ikut tertular. Abel masih ingat waktu ketika mereka melaksanakan karantina bersama, ketika akhirnya kondisi Abel dan mamanya yang semakin membaik namun berbalik dengan kondisi ayahnya yang semakin memburuk dan sampailah mereka pada waktu yang selama ini ditakutkan, mengiringi kepergian ayahnya dengan tangisan sesak. Ingatan Abel terus menjelajah pada masa-masa yang membuat dirinya kembali merasakan pedih di hatinya.

Hari itu ketika awal Covid-19 diberitakan, tak ada bayangan seram yang akan menyebabkan rasa perih yang ia rasakan sekarang. Bahkan ketika sekolah mengumumkan bahwa pembelajaran tidak bisa dilakukan secara tatap muka, waktu itu justru rasa senang menyeruak di dalam hatinya.

Kesenangan itu nyatanya tidak bertahan lama, bahkan sejak pembelajaran dilakukan secara daring pun rasa bosan dan mencekam mulai terasa menyiksa dan setelah itu bukan lagi hanya rasa bosan yang dirasa namun kala itu kesedihan seperti menyelimuti seluruh penjuru bumi ini. Bukan hanya perihal Abel yang ditinggalkan oleh ayahnya namun di luar sana juga banyak orang-orang yang kehilangan orang tercintanya, kehilangan pekerjaan dan kelimpungan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan rumah.

Abel menyudahi ceritanya kepada Bi Ema bersamaan dengan sesendok terakhir mie ayam yang disantapnya, begitupun dengan kedua sahabatnya. Bi Ema bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke belakang, terlihat Bi Ema mulai mengemasi bahan-bahan dagangannya. Tak ingin berkerumun terlalu lama ketiga gadis itu pun pamit pergi. Dengan membawa sepeda motor, Anin dan Lerina berboncengan sedangkan Abel menumpangi motornya sendirian, mereka berpisah di perempatan jalan pantura. Rasanya begitu pengap memakai masker begini, mungkin karena belum terbiasa. 

Di satu sisi mereka yang masih berusia 17 tahun itu amat senang saat sekolah mengumumkan libur panjang dan pembelajaran yang dilakukan jarak jauh. Sebab, mereka jadi tidak usah terburu bangun pagi-pagi lagi namun nyatanya di balik hal menyenangkan itu ternyata menjadi penderitaan untuk banyak jiwa, dan masing-masing mereka berharap bumi segera pulih. Tak apa jikalau mereka harus bangun pagi-pagi dan pulang petang daripada harus terkurung didalam rumah, ketakutan dan melihat tangisan pada setiap raga yang  merasa kehilangan.

Tiga bulan lamanya perkembangan Covid-19 belum juga membaik—yang ada hanyalah berita tentang perpanjangan Sosial distancing dan terus saja begitu. Lewat chat grup yang beranggotakan tiga orang yaitu, Anin, Abel dan Lerina. Mereka tengah bertukar cerita mengenai keluh kesah masing-masing, Ada Abel yang putus dengan pacarnya yang sudah menjalin hubungan kurang lebih dua tahun, Abel harus memikul rasa sakit bertubi karena dua dari orang tersayangnya pergi, sedangkan Lerina yang harus mendengar kabar mobil yang Amam tumpangi tewas terbakar usai tertabrak truk dan tidak ada yang selamat dalam kecelakaan tersebut. Entah ini adalah vibrasi dari rasa takut yang kemudian hinggap dan merenggut supaya kita tersadar atau karna ucapan yang tak senonoh kemudian terkabulkan? 
Sebelum pandemi Lerina dan Amam terus bertengkar, namun masing-masing keduanya enggan berpisah. Bersyukurnya Anin yang masih memiliki keluarga yang utuh, bisnis ayahnya pun tetap berjalan saat Anin mencoba memberi ide ayahnya untuk berjualan secara online.
Anin menutup ponselnya saat teman-temannya menyudahi percakapan di antara mereka. 

Kemudian Anin duduk di taman dekat rumahnya yang kini sepi, terdapat sosok pemuda dengan kaos polos dan celana panjang yang pas dipadukan dengan tubuh tinggi serta berwajah tampan. Pria itu menghampiri Anin dan duduk pada ayunan kosong di sebelahnya.

“Kenapa di luar?,” Tanya Aden sambil menengok ke arah Anin. 

Namanya Aden Dimas Mahanta, dia adalah tetangga Anin sejak dua tahun lalu dan berlajar di sekolah yang sama, hanya saja menurut Anin mereka berdua tidak cukup akrab untuk dibilang sebagai seorang teman. Berbeda dengan Aden, terlihat dari gerak-geriknya tidak ada rasa canggung sedikitpun dari pemuda itu. 
Mata elang, hidung mancung serta warna kulit tan yang membuatnya semakin terlihat menawan, Anin sedikit memujanya di dalam hati.

"Bosen di dalem terus. Keluar karena di sini sepi tapi kamu malah nyamperin,” Jawab Anin tanpa melihat ke arah Aden. 

Anin sepenuhnya tidak berbohong, saat ia duduk di balkon kamarnya dan pandangannya tertuju pada taman yang sepi walau sebelumnya amat ramai, banyak anak kecil yang bermain dan bahkan Anin dapat melihat beberapa diantara mereka yang kerap menangis berebut ayunan yang dapat ia amati dari balkon kamarnya.

Pemuda beragama Hindu tersebut hanya bisa terkekeh. 
“Ngga baik di luar kelamaan. Ayo pulang," Ajaknya 
“Dih ngatur,” Pandangan Anin masih lurus ke depan
“Yaudah kalo nggak mau,” Pemuda itu beranjak pergi dengan kedua tangan yang dimasukkan pada saku celananya. 
“Berarti lu mau terjangkit virus terus ayah ibu lu nangis?” Ucap Aden sambil kembali menengok ke arah Anin. 

Aden mengerti kelemahan terbesar Anin ada pada keluarganya. Melihat Anin yang sudah mengikutinya dari belakang membuat langkahnya terhenti, menunggu kaki pendek itu berjalan sejajar dengan kaki jenjangnya. Aden meyakini setiap ucapan adalah do’a, meski begitu dia pun berucap dalam hatinya “Jangan pernah membebani Anin, Tetaplah senantiasa menyertai Anin, Tuhan,” seolah do’a tersebut ia panjatkan untuk membatalkan perkataan yang ia ucapkan kepada Anin.

“Kalau pandemi ini berakhir hal pertama yang bakal lu lakuin apa?,” tanya Aden kepada Anin, langkahnya sengaja diperlambat meski rumah Anin sudah dekat di depan sana. 

Terlihat Anin tengah berpikir sambil melihat kearah slop berwarna putih yang ia kenakan saat ini. 

“Nulis,” Ia menjawab sambil menengadah menatap wajah Aiden yang memang jauh lebih tinggi, kemudian pandangannya turun melihat jalanan yang amat sepi. 
“Aku mau mengabadikan momen ini. Dimana aku ngga bisa main bareng Abel dan Lerina. Ayah dan ibu yang hampir bangkrut. Dan aku yang ngga bisa lihat tangisan anak-anak yang berebut ayunan di taman,” jawab Anin sambil terus melihat ke depan. 

Aiden tersenyum. Jawabannya terdengar simple, namun Anin belum pernah berbicara sepanjang itu dengannya. Hingga tak terasa dua manusia itu telah berdiri di hadapan pagar kayu
“Aku masuk,” ucapnya 
“Iya,"ucapnya sambil tersenyum, pemuda berinisial ADM itu melambaikan tangan. 

Gadis itu memasuki halaman rumahnya dan menutup kembali pagarnya hingga punggungnya tak nampak dalam penglihatan Aden. Ada sedikit penyesalan dalam benaknya mengajak Anin pulang, jadilah dia tidak dapat melihat wajah menggemaskan itu namun dari pada terus memberi makan egonya dan jikalau ada yang melihat kemudian berpikiran yang bukan-bukan. 

Sudah 5 menit dia berdiri di depan gerbang sambil berharap Anin melambaikan tangannya di atas pada balkon kamarnya. Akhirnya dengan langkah goyah dia berjalan meninggalkan tempat tersebut. 

Di sisi lain, Anin tahu Dimas sudah berdiri di sana sambil melihat kemari cukup lama, namun alih-alih menampakkan diri dan dan melambai seperti harapan Dimas—gadis itu hanya mengamati dari dalam dengan semangkuk sereal ditangannya.


Penulis: Siti Maemuna
Editor: Meina Maspupah 

 

Sumber Foto: Pinterest 

Setelah kekalahannya, Fathur meninggalkan Pit dan kembali kepada timnya. Raut mukanya terlihat sedih sekaligus kecewa karena kalah dalam pertandingan dan gagal membawa nama baik timnya. Glorius Hunter Race, itulah nama tim atau klub motor yang Fathur dirikan saat berusia 25 tahun. Di klub itu, dia mempunyai teman bernama Ramhan. Ramhan adalah teman Fathur yang sudah dianggap seperti saudara sendiri. Ramhan merupakan orang yang selalu ada di saat Fathur diacuhkan oleh orang-orang.

Fathur dan timnya bertanding di stadion Linggar. Salah satu stadion terbesar kedua di Bandung, dan merupakan stadion motor balap ke-2 di Indonesia. 

Dari cahaya lampu yang menyorot, Fathur berjalan menuju Ramhan. Ramhan berdiri dan berkata, “Tidak apa-apa, kau sudah berusaha keras,”
“Aku tidak berpikir bahwa aku akan kalah,” ujar Fathur sambil memeluk Ramhan. 

Ramhan mengerti keadaan Fathur. Dia tahu Fathur sedang berjuang mati-matian untuk
mendapatkan uang. Ekonomi keluarga Fathur sedang kacau, sehingga membuatnya harus menjadi tulang punggung keluarga. 

“Jika aku kalah, bagaimana dengan mereka? Bagaimana dengan lu?” kata Fathur dengan pelukan yang semakin erat sampai membuat Ramhan sedikit terangkat.
“Jangan terlalu dipikirkan begitu, rileks sejenak. Ini masih pertandingan pertama, kita masih punya banyak waktu dan kesempatan," ucap Ramhan.

Master Champion merupakan perlombaan balap motor yang diminati banyak orang. Hadiah dari perlombaannya tidak main-main. Uang tunai sebesar 23 juta rupiah untuk yang berhasil mencapai garis finish dengan waktu tercepat. Perlombaannya sudah berjalan 2 tahun. Sudah memiliki 2 master atau pemenang perlombaan juga.

"Selamat siang pemirsa, bertemu lagi dengan saya, Rotana, pembawa acara pada hari ini, Selasa 23 Maret 2019. Sebagai informasi, Master Champion lap ke-2 akan segera dimulai, bisa terlihat pada stadion Linggar yang sudah semakin ramai. Dipenuhi oleh lautan manusia. Bahkan jalanan di seberang stadion pun macet karena banyaknya pengunjung yang ingin menonton
pertandingan ini," katanya. 

Di salah satu daerah di kota Bandung, terdapat sebuah wilayah yang isinya para jagoan. Mereka adalah orang-orang yang bertarung untuk mendapatkan uang hanya untuk
makan. Di situ, terdapat sebuah bengkel yang merupakan bengkel tunggal di wilayah tersebut. Seorang mekaniknya bernama Fandi. Dia sedang mengobrak-abrik sebuah mesin dari salah satu motor pelanggannya. 

“Fan, gua mau istirahat dulu, belum makan dari pagi,” ujar salah seorang montir.
“Ohh oke, kalau gitu biar gua handle sementara," jawab Fandi sambil memperlihatkan senyum pepsodentnya. 

Sebagai seorang montir, Fandi sudah sangat paham bagian-bagian mesin motor. Sudah lama ia memahami motor karena hobi bermotornya. Tidak heran jika motornya pun penuh dengan modifikasi unik dan terlihat keren. 

Sambil menghela nafas, Fandi termenung dan berkata, “Setelah selesai ini, gua bujuk dia lagi
deh.”

Seorang montir lain menepuk pundak Fandi dan tersenyum, “Dia pasti akan senang.”

Di lain tempat, dalam sebuah mobil berwarna oranye yang bergerak keluar stadion Linggar, Fathur masih memikirkan
kekalahannya, “Han, Gua kan punya tim, kalo gua gagal di satu pertandingan, mereka nggak bakal dapet apa-apa kan?”
“Maksudnya nggak dapet apa-apa itu gimana? Kita kan sudah diskusi kalau lu kalah ya it's oke, kalah itu wajar dalam sebuah pertandingan bukan?" ucap Ramhan bingung. 

“Gua mikirin uangnya,” Fathur
"Owhh, lagi ngomongin gaji toh, kirain apaan," Ramhan
“Kirain apaan, eh gaji itu masalah serius tau!” Fathur ngegas.
“Iya tau, tapi ya nggak usah terlalu serius gitu loh mikirinya. Santai, rileks,” Ramhan
menepuk-nepuk paha Fathur.

Mobil yang mereka naiki sampai di rumah Fathur. 

“Sudah, istirahat saja sana, jangan dipikirkan," Ucap Ramhan sambil tersenyum.
“Okelah, makasih banyak ya sudah mau mengantar sampai ke rumah,” ucap Fathur.
“Aman-aman, ya sudah, gua balik yaa!” Ramhan mengangkat tangannya.
“Ya, hati hati!" Fathur balas mengangkat tangan.

Fathur tinggal di rumah yang sederhana, tidak terlalu bagus dan tidak terlalu jelek. Dia hidup
bersama sang adik karena orang tuanya sedang dalam proses penceraian. Sejak kecil, Fathur selalu manjadi pelampiasan orang tuanya hingga tangan kirinya patah dan harus menggunakan gips. Namun, itu adalah cerita lama, sekarang tangan kiri Fathur sudah pulih. 

“Assalaamualaikum,” ucap fathur sambil mengetuk pintu.
“Waalaikuumusallam,” balas Shantika, adik Fathur sambil membuka pintu.
“Eh, Mas Fathur sudah pulang,” lanjutnya dibarengi dengan pelukan erat dan tangisan.

Fathur sudah paham dengan keadaan adiknya yang tidak bisa ditinggalkan jauh oleh
dirinya karena Shantika trauma dengan masa lalu keluarga mereka. Fathur selalu
menjadi pelampiasan sang ayah saat kalah dalam judi dan sang ibu saat pekerjaannya selalu digagalkan olehnya tanpa sengaja.

“Sudah, aku sudah di sini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," Fathur mengusap
rambut adiknya. 
“Tadi di sekolah aku dibully lagi sama Chealsea, Mas!” Shantika merenge
Mendengar hal itu Fathur kaget dan marah. Saat itu juga Shantika langsung
menggenggam tangan kakaknya. Walaupun pernah trauma, Fathur memang tidak pernah
membiarkan sang adik menangis karena suatu hal.

“Tapi aku tidak apa apa Mas," ucap Shantika sambil tersenyum.
“Kau yakin?”kata Fathur.
"Iya, lagi pula dia hanya usil,” Shantika merenggangkan pelukannya.
“Sudah Mas, Mas baru pulang pasti capek kan? Aku sudah masak Mas air panas. Mandi dulu ya, abis itu baru kita makan,” Shantika melepaskan pelukannya sambil tersenyum.

Hari pun mulai berganti malam, di bagian kota adalah tempat yang paling sering di kunjungi
banyak orang, sehingga tempatnya selalu ramai. Berbeda dengan di
pinggir kota, kumuh, kotor, tidak terurus sehingga menjadi kandang kuman. 

Seseorang pria brewokan berjalan dengan santai sambil menghisap rokok bermerk Magnum Filter. Pria itu bernama Nugraha Ali, seorang mantan ketua preman di salah satu wilayah di Bandung.

Ali berjalan menuju seseorang di ujung jalan “Apa kalian anak buah Remi?" tanya Ali dari
kejauhan. 

Mereka tidak menjawab ataupun merespon dan hanya melihat. Ali geram dan langsung menggerakan kakinya "Braaakk!!!!’ satu orang terjatuh dan disusul dua orang
berhasil ditumbangkan.

“Kalian jangan macam-macam sama gua, yang kalian keroyok tadi siang itu anak buah gua!” kata Ali sambil menarik baju salah satu dari mereka.

“Kami hanya dibayar untuk melakukan tugas, tidak lebih dari itu," ucap salah seorang lagi.

“Kalau kalian masih mengganggu gua atau anak buah gua, kalian akan terima
konsekuensinya,” kata Ali.

Ali pun beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut. Di pinggir kota yang berantakan, 
ternyata tempat sarang dari para begal dan gank motor brandal. Ali berjalan menuju motor kesayangannya, Kawasaki W 175, lalu pergi. Tanpa ia sadari, seseorang memperhatikannya dari jauh.

“Huaaa, capek juga ya,” ucap gio mengucak mata
“Wajar capek mah, jalani saja,” Balas Fandi.
“Ini motor terakhir kan ya,” Gio melihat keadaan sekitar.
“Iya, selesaikan ini setelah itu kita pulang,” kata Fandi.

Di kota, malam tak terasa semakin larut. Di depan mall Huyi, salah satu mall di
kota bandung, seorang anak muda berbadan besar meminum Coca-Cola berjalan menuju salah satu toko handphone. Anak muda tersebut bernama Hafiz.

“Punten Om, mau nyari HP untuk main game," tanya Hafiz sambil meneguk Coca Cola.
“Mangga, nyari tipe apa mas?" balas penjaga Konter.
“Yang paling murah saja Om, hehe, uangnya pas pasan,” kata Hafiz.

Penjaga counter langsung menunjuk HP yang baru saja keluar, “Ini Mas, baru turun nih."

“Berapa harganya ini Om?" tanya Hafiz
“Kita jual harga 2,5 juta aja mas, lagi ada promo,” jawab penjaga Konter.
“Ram internalnya ada yang berapa aja Om?" Hafiz bertanya lagi.
“Yang 128 harganya 2,3 juta, kalau yang 256 pas di 2,5 juta aja Mas," ujar penjaga Konter.

Kemudian Hafiz mengecek saldo yang ada di e-bankingnya, berharap ada saldo lebih agar sisanya bisa ia belikan casing HP yang bagus untuk HP barunya ini. Dan ternyata saldonya cukup bahkan lebih banyak.

“Kok bisa ya?" Hafiz terheran-heran.
“Kenapa Mas?" penjaga Konter ikut bingung.
“Eh, tidak apa-apa om, cuma dapat notif minta maaf dari pacar,” Hafiz tersenyum.
“Langka itu Mas, jarang-jarang loh cewek minta maaf duluan," ujar penjaga Konter.

Hafiz termenung dan memikirkan, apa ini semua ulah abangnya atau ini adalah hadiah dari dia karena berhasil menang turnamen?

“Eee Om, beli HP-nya besok besok saja ya, makasih,” ucap Hafiz terburu-buru dan
bergegas pergi dari Konter tersebut.

Di tempat berbeda, Fandi dan Gio berhasil menyelesaikan motor pelanggan terakhirnya dan mereka segera bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.

“Yosshh, kita ketemu lagi besok,” Gio mengulurkan tangannya.
“Sampai jumpa besok sobat," Fandi balas mengulurkan tangan.

Bersambung.....

Penulis: Daffa
Editor: Ega Adriansyah 

 

Sumber Foto: Pinterest 

Dimasa perkuliahan ini
Para pemimpin terdiam kembali
Di depan rektorat mahasiswa menanti
Tolak kebijakan yang anti hati nurani

Suara lantang di kanan, suara melenting di kiri
Seperti alunan suara yang tak pernah mati
Kau gores dengan noda yang pilu 
Demi sekejap kenikmatan yang tabu

Kau curi hak kami
Kau biarkan kami menderita
Tapi kau?
Seakan menari-nari diatas penderitaan kami

Lihat kami!

Apa tak kau lihat perjuangan kami?
Ah, sang petinggi kampus. ingatkah akan janji?

Ooo... Sungguh! Petinggi kampus sedang sakit

Keletihan kami 
Hanya demi sebuah demokrasi 

Lihat kampus ini!
Sudah tiada kah hati?
Sudah tiada kah mata?
Hingga tak pernah kau lihat kami

Lalu, kami harus kemana ?
Kami memang tak mampu balas dirimu
Karena sang Kuasa yang akan balas dirimu
Sejarah tak pantas mencatat hadirmu

Penulis: Maldini

 

Ilustrasi Foto: Canva.com 

Di tengah hutan yang sunyi, terdapat sebuah kerajaan binatang yang dikenal dengan nama Kerajaan Greenthopia. Di sini, sinar matahari menembus dedaunan lebat dan membuat riak-riak cahaya yang bermain-main di antara rerimbunan. Namun, di balik kedamaian alam, terdapat plot dan plot tersembunyi yang mengancam keharmonisan Kerajaan Greenthopia.

Kerajaan Greenthopia dipimpin oleh sebuah aliansi rahasia yang disebut Konsorsium, yang terdiri dari singa-singa pemberani, harimau-harimau kuat, dan serigala-serigala licik. Mereka telah lama memonopoli kekuasaan dan memerintah kerajaan dengan cara yang tidak kasat mata. Di tengah Konsorsium, ada sosok yang dihormati oleh banyak binatang, Raja Leo, seekor singa yang pemberani dan karismatik.
Saat fajar menyingsing, suasana di daam hutan menjadi sangat tenang. Di kediaman Raja Leo, anggota Konsorsium berkumpul untuk menyusun strategi mereka dalam menghadapi masa pemilihan pemimpin baru di Kerajaan Greenthopia.
"Kita harus memastikan bahwa kekuasaan tetap di tangan kita," kata Raja Leo dengan tegas. "Kita tidak bisa membiarkan siapa pun mengancam posisi kita."
"Benar sekali, Raja Leo," sahut Rajawali Rupert dengan suara tegasnya. "Kita harus mengendalikan jalannya pemilihan, agar hanya kita yang memenangkan hasilnya."
Serigala Silver mengangguk setuju. "Kita harus menjaga agar semua binatang tetap percaya bahwa mereka memiliki suara dalam proses ini, meskipun sebenarnya kita yang memegang kendali di belakang layar."
Sementara itu, di bagian hutan lain terdapat sebuah gerakan perlawanan diam-diam yang bertujuan untuk menggulingkan dominasi Konsorsium dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sejati di Kerajaan Greenthopia. 

Gerakan ini dipimpin oleh Seekor Burung Hantu yang bijaksana bernama Profesor Hoot, Seekor Kuda Nil yang berani bernama Captain Nile, dan Seekor Kancil yang cerdik bernama Kancil Kepala Tiga.
Para pemimpin gerakan perlawanan tersebut telah lama menyusun rencana rahasia untuk menghadapi Konsorsium. Mereka percaya bahwa kekuasaan sejati seharusnya berada di tangan seluruh binatang di Kerajaan Greenthopia, bukan hanya segelintir anggota Konsorsium.
"Kita harus bertindak cepat sebelum Konsorsium menciptakan kekacauan yang lebih besar," kata Profesor Hoot dengan suara seraknya.
Captain Nile mengangguk setuju. "Kami harus mempersiapkan binatang-binaang lain untuk melawan tirani Konsorsium. Mereka harus tahu bahwa ada harapan untuk perubahan."
Namun, perjalanan mereka tidaklah mudah. Konsorsium selalu waspada terhadap setiap tindakan perlawanan. Mereka menggunakan kekuatan dan pengaruh mereka untuk menekan dan membungkam siapa pun yang berani menentang mereka. Bahkan, dalam anomali yang jelas, beberapa calon konsorsium tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan.
 
Namun, dengan cara yang mencerminkan ketidakjujuran dan manipulasi, mereka membiarkan calon-calon yang muncul di antara mereka sebagai calon pemimpin, dengan arti bahwa mereka dapat mempertahankan kekuasaan meskipun calon tersebut tidak memenuhi standar mereka. Mereka merancang sedemikian rupa sehingga hanya mereka yang dapat mencaainya, dan pada saat yang sama menciptakan hambatan-hambatan yang tidak dapat diatasi oleh gerakan perlawanan.
Tak hanya itu, Konsorsium juga menggunakan berbagai cara licik lainnya untuk menghalangi upaya gerakan perlawanan. Mereka menyebar desas-desus palsu tentang pemimpin perlawanan, mencoba untuk mencoreng citra mereka di mata publik. Mereka memanfaatkan kekuatan dan pengaruh mereka untuk menekan dan membungkam pendukung gerakan perlawanan, serta menggunakan berbagai cara licik lainnya untuk menekan semangat perlawanan.

Situasi semakin tegang ketika kedua belah pihak bertemu di lapangan terbuka di tengah hutan untuk memilih pemimpin baru. Binatang-binaang berkumpul di sana dengan perasaan cemas dan tak sabar.
"Kita harus membuat suara kita didengar," kata Kancil Kepala Tiga kepada para pendukungnya. "Inilah saatnya untuk berdiri bersama melawan tirani Konsorsium!"
Namun, dalam kekacauan dan kebingungan, seringkali suara gerakan perlawanan tidak terdengar jelas. Konsorsium terus bekerja keras untuk memastikan bahwa hasil pemilihan akan sesuai dengan keinginan mereka.
Pemilihan pemimpin baru diumumkan di Kerajaan Greenthopia, dan suasana hutan menjadi ramai oleh pembicaraan binatang-binatang yang antusias. Namun di balik layar, Konsorsium membuat rencana lanjutan.
Di hari pemilihan, lapangan terbuka di tengah hutan dihiasi dengan berbagai macam binatang yang berkumpul untuk memberikan suara mereka. Raja Leo, Rajawali Rupert, dan Serigala Silver menyaksikan dengan seksama dari balik rerimbunan pepohonan.

*Kita harus memastikan bahwa semua berjalan sesuai rencana," bisik Raja Leo, matanya melihat ke sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mencurigakan.
"Tenang saja, Raja Leo. Kita telah menyiapkan segalanya," jawab Serigala Silver dengan senyuman licik di wajahnya.
Namun, situasi menjadi semakin rumit ketika beberapa binatang mulai menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap proses pemilihan. Suara-suara protes mulai terdengar, dan ketegangan mulai menguasai udara di hutan itu.
"Kita harus menenangkan situasi ini," kata Rajawali Rupert dengan cepat. "Kita tidak boleh membiarkan kekacauan terjadi dan merusak rencana kita."

Dengan bantuan beberapa anggota Konsorsium yang lain, mereka berhasil meredakan ketegangan dan memastikan bahwa proses pemilihan berlangsung dengan lancar. Namun, di balik layar, manipulasi dan intrik terus berlangsung.
Hasil pemilihan akhirnya diumumkan, dan tidak ada yang terkejut ketika Raja Leo kembali terpilih sebagai pemimpin. Binatang-binatang lain merasa senang dan percaya bahwa mereka telah berhasil menjalankan proses demokrasi. Namun, mereka tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban dari intrik dan manipulasi yang dirancang dengan baik oleh Konsorsium.
Setelah pemilihan, Kerajaan Greenthopia menjadi semakin terpecah belah. Banyak binatang yang merasa kecewa dan tidak puas dengan hasilnya, tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka telah ditipu oleh Konsorsium. Kekuasaan tetap berada di tangan mereka, dan mereka terus memerintah dengan cara licik dan manipulatif.

Namun, semangat perlawanan tidak padam begitu saja. Profesor Hoot, Captain Nile, dan Kancil Kepala Tiga bersumpah untuk terus berjuang hingga titik terakhir. Mereka yakin bahwa suatu hari nanti, keadilan dan demokrasi sejati akan merajai di Kerajaan Greenthopia.

Penulis: Andini Rohmah

 

Picture by: @/11hr11minv2 on X


Dalam taman kehidupan, aku memilih memetik bunga yang mekar,

Menjaga kebun hati dari angin yang beracun, menyembunyikan luka yang tak terlihat.

Toksin yang mengalir dalam kata-kata berduri,

Aku membuat pagar, menjauh dari mereka yang meracuni udara.

Batas yang aku hiasi dengan batu kehati-hatian,

Membawa hening, menyembunyikan luka, dan mengepulkan asa.

Dalam bayang keheningan, kukenang langkah-langkah yang berdebar,

Menahan detak jantung yang bergoncang, menyembuhkan luka-luka cemas.

Di balik tembok yang teguh, kesehatan mentalku bersemi,

Menyirami bunga-bunga rindu akan kedamaian, merayakan kebebasan dari kecemasan yang menyiksaku.

Dalam kecilnya tubuh yang hampir tak terlihat, ia adalah goresan kehidupan,

Orang-orang menilainya sebagai musibah semesta, tapi benarkah itu kebenaran yang abadi?

Melangkah di tengah cercaan sebelah kanan, pukulan sebelah kiri, dan tamparan dari depan,

Tubuh yang rapuh tak sengaja terjatuh, dan semua menertawakannya, adakah kekejaman dalam tawa itu?

Hatinya yang rapuh terasa setengah hancur, tetapi siapakah yang bersedia memungut serpihan-serpihan itu?

Mungkin ada seseorang yang sudi, yang melihat keindahan dalam langkah-langkah kecilnya, mengumpulkan sejumput harapan dalam sunyi.


Penulis: Tina Lestari 



Ilustrasi terkait Overthinking
canva.com/Akhmmad J.


Waktumu habis,

Diganyang berkian hasutan sesat!


Melamun,

Menggambar suram dalam pikiran

Sesak, penuh debu, dan abu bekas pembakaran otak

Meninggalkan ampas, lagi nihil dan nirguna

Sembab, membanjiri muka dengan air mata

Menghayal juga percuma

Jadi apa diri ini niscaya?

Yang ada hanyalah halusinasi belaka

Sebab, sudah buang waktu yang tiada akhirnya


Penyesalan, juga terlampau tiada berakhiran

Menyusul pula lirih pedih dalam kebimbangan

Kala mengasah diri dengan nestapa

Masa depan bak gubuk derita!


Penulis: Aji Harka 

(Foto: Myla Lestari/ LPM FatsOen)


Sang Jelata

Meronta dibawah kaki penguasa

Kita sang jelata

Dianggap hina mengemis ruang untuk hidup disebelah sana

Kita meraba dalam kegelapan. 


Mengipas daun kering di tengah hutan

Lihat! Disebelah sana sang penguasa bertumpuk kaki menikmati secangkir kopi dan semilir angin seraya berseri seri

Kita yang katanya sang jelata berlari kesana kemari mencari kehidupan. 

Bagai hidup dalam jajahan


Mengerikan! 

Katanya tanah kita tanah surga, katanya unggul dan terkemuka

Katanya dan katanya hanyalah sebuah kata

Tuan! Sang jelata ini tidak mengemis

Sang jelata ini hanya meminta hak nya yang semakin teriris


Penulis: Tinales


                                        (Foto : Alisa Wilani/ Anggota Magang LPM FatsOeN)

Hujan menemani Tiara ditengah perpustakaan kota, ia menatap rintik hujan yang tak bersekat itu dengan pikiran kosong. Air matanya lolos begitu saja tanpa bisa dicegah.

Apalagi yang harus aku harapkan, hidup terombang-ambing ombak di lautan. Antara bertahan atau tenggelam saya tidak bisa memilihnya.

Tuhan jujur saja aku sangat lelah, kapan ia  kan datang? Aku hadir karena ambisi mereka, aku ditinggalkan pula karena keegoisan mereka. Apa aku salah jika menginginkan secuil kebahagiaan untuk diriku ini? Tuhan jika engkau mendengarkan aku tolong berikan aku jawaban atas hidupku ini.”

Tiara tersadar dan buru-buru menghapus air matanya, untuk apa ia menangis toh mereka tetap tidak akan peduli kepadanya walau sebanyak apapun air mata yang ia keluarkan. Tiara membereskan buku-bukunya lalu bergegas pulang. Ia berjalan keluar dengan percaya diri memasang wajah ceria saat teman-teman kampusnya menyapa lalu bergegas menaiki taksi yang sudah dipesan. Sungguh melelahkan hari ini.

------------

Shenna mematut dirinya di depan cermin, Dia tak menyangka jika penampilannya yang sekarang sangat berubah drastis. Awalnya ia tak tahu merk skincare dan cara menggunakannnya. Jika dulu ia mempunyai banyak acne dan kulit kusam, kini telah tergantikan dengan kulit yang lebih sehat. Ini semua berkat bantuan Tiara yang merubahnya menjadi sosok yang percaya diri. Dulu awal masuk kuliah tidak ada yang mau menemaninya, lalu Tiara duduk disampingnya dan mengajak berkenalan, Tiara teman sekaligus sahabat pertama yang Shenna temukan. Shenna kemudian bergegas berangkat menuju kampus dikarenakan ada mata kuliah pagi.

“Araaaaaaaaaa.” Teriakan Sherly menggema di koridor menghampiri Venna yang tengah membaca informasi di mading.

“Hai Shen, Kenapa si? Pagi-pagi udah teriak-teriak kek di hutan, apa jangan-jangan lu spesies yang ilang itu yah?.” Tiara terkikik geli melihat ekspresi Shenna yang hidungnya sudah kembang kempis.

“Ih Tiara mah bego, udah jelas Shenna cantik gini dikatain gitu.” Shenna  berpura-pura seolah menghapus air mata.

“Hehehe maaf yah cantik, ada apa sih.” Tanya Tiara dengan senyum yang dipaksakan.

“Kalo gamau senyum jangan dipaksain deh mbak. Cepetan duduk.” Titah Shenna

“Lu kok ngga buka wa dari gue? Lu ga buka twitter? Lu ga buka instagram? Lu ga buka hmpppp..” mulut Shenna dibekap Tiara karena menghujaminya dengan banyak pertanyaan, padahal dia baru akan menjawab sudah ditimpa pertanyaan lagi.

“heh emak-emak ngasih pertanyaan tuh satu-satu kek, kesian kuping gue, mana suara lu kek knalpot rombeng.” Tiara mendengus sambil menoyor kepala Shenna.

“Sakit iih, kalo gue jadi bego lu tanggung jawab ya kerjain semua tugas gue.”

“CEPETAN MAU NGOMONG APA?.” Tiara sudah gregetan dengan Shenna

“jawab dulu petanyaan gue, apa lu ga buka pesan dari gua semalem?

“kaga emang penting gitu? Paling lu curhat tentang si Vero  lagi si vero lagi. Bosen gue dengernya.” Jawab Tiara sambil mengedikan bahunya.

“Shitt bukan itu, DEYSIK NGADAIN KONSER DI INDO ANJIR, WAKTU MALEM TIKETNYA LANGSUNG ABIS PADAHAL BARU 2 MENIT!!.” Shenna dengan suara toanya

Tiara tampak bengong dengan ucapan shenna barusan. Pasalnya Deysik merupakan Grup Band favoritnya dengan Shenna.

“OMG GUE LUPA ANJIR, KENAPA LU GA INGETIN GUE.”

Tiara tak menyangka akan kehabisan tiket padahal sudah jauh-jauh hari dia menabung dan membuat alarm pengingat. Dengan terpaksa dia harus membeli tiket dari calo dengan harga yang lebih mahal.

“GUE UDAH INGETINLU YAH, TAPI LU NYA AJA YANG PELUPA.”

Mereka berbicara dengan suara yang tinggi hingga semua orang yang berada dekat dengan mading memandang mereka aneh. Tiara yang merasa malu langsung berjalan menarik Shenna ke kantin, karena ia mendadak haus.

“Bu es teh nya 2 banyakin es batunya yah bu.” Tiara memberikan uang kepada ibu kantin.

“Nih es nya shen.”

“gila sih, parah gue udah nungguin dari jauh-jauh hari kenapa bisa lupa coba.” Tiara menggerutu sambil menggetok kepalanya sendiri.

“Gimana ceritanya kok lu bisa gakebagian tiket juga?” tanya Tiara

“Gue kira gabakal cepet abis, gue sibuk telponin lu kaga diangkat angkat pas gue check out tuh tiket udh closed.” Jelas Shenna.

“Yaudah mau gimana lagi, terpaksa deh beli di calo.” Tiara mendengus dengan muka melas.

“yaudah cepetan cari,takut kehabisan lagi, belinya yang posisi di depan yah.” Titah Shenna

Tiara menurut saja langsung mengeluarkan smartphone nya lalu mencari calo tiket. Setelah 5 menit ia sudah menemukan calo tiket dengan harga yang menguras kantong.

“ketemu nih, ini gue udah nego harga mati-matian.” Tiara menunjukkan chatnya dengan calo.

“yaudah gapapa kita wujudkan Wishlist ini bareng-bareng. Nanti gue transfer ya.”

-----------------------------------------------------

Hari ini adalah hari yang mereka tunggu, apalagi jika bukan mereka akan menonton konser Deysik dipenuhi dengan segala macam drama dari mulai baju, makeup dan pernak pernik lainnya.

“RA GUE JEMPUT YA SEKARANG.” Teriak Shenna disebrang sana

“Iyaa cepetan.”

Tak lama Shenna pun tiba di rumah Tiara, yang langsung disapa oleh bi nati.

“neng Tiara nya ada di kamar teh, katanya teh shenna masuk aja langsung ke kamarnya teh”

“iya bi makasih ya” Shenna bergegas ke kamar Tiara, namun saat menaiki tangga ia memikirkan bagaimana mungkin Tiara bisa bertahan sendirian di rumah sebesar ini.

“Araaaa yok gas berangkat, poster ini gue yang bawa, eh ini lightband jangan sampai ketinggalan.” Cerocos Shenna saat memasuki kamar Tiara

“iya-iya yok berangkat.”

Mereka berdua sudah berada di stage paling depan, lalu Band Deysik mulai menyanyikan lagunya. Mereka semua larut dalam indahnya petikan gitar, drum, bass, dan piano yang beradu jadi satu. Ditambah dengan lirik lagu yang semuanya relate dalam kehidupan mereka. Riuh suara dan tepuk tangan penonton saat lagu berhenti.

Mereka pulang malam hari setelah makan malam di restoran favorit Tiara. Entah kenapa Tiara ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Shenna malam ini, karena baginya Shenna sudah seperti adiknya sendiri.

“Shen kita jajan di taman dulu yuk? Kangen jajanan waktu kecil ih.” Pinta Tiara dengan tatapan puupy eyes miliknya.

“Baru aja makan raa yaampun itu perut kaga kenyang apa ya, yaudah deh bentar.” Shenna memberhentikan mobilnya di parkiran taman. Lalu mereka membeli beberapa jajanan dan duduk di kursi taman.

Shenna merasa ada yang aneh dengan sahabatnya ini, padahal beberapa jam yang lalu mereka have fun, namun sekarang Tiara terlihat lebih murung.

“Tiara kangen kak Tiyo yah? Besok kita jenguk dia yuk.” Tanya Shenna sambil memakan cilor

“Ngga Shen gue gapapa kok. Gue Cuma terharu aja bisa dateng ke konser ini,seneng banget rasanya.” Tiara mengadahkan kepalanya menatap langit namun, air matanya meluncur tanpa permisi.

“kalo lu mau cerita jangan sungkan yah, cerita aja ke gue meski gue gabisa ngasih saran setidaknya gue bisa jadi pendengar yang baik.”

“udah malem balik yu gue takut dicariin mamah nih.” Ajak Shenna kemudian Tiara mengangguk

Setelah Shenna mengantarkan Tiara pulang ke rumahnya. Tiara sudah menyiapkan mental untuk memasuki rumah, iya rumah atau neraka mungkin?

Dari luar pintu saja sudah terdengar suara keributan di dalam rumah, ia segera menaiki tangga menuju kamarnya, namun ibunya berteriak kesakitan. Tiara menghela nafas berat ia kembali menuruni tangga menuju kamar orang tuanya.

Semua barang yang berada dikamar sudah berserakan. Terdapat pecahan kaca yang mengenai tangan mamah nya. Tiara sudah tidak kaget lagi ibunya selalu marah-marah karena kondisi mental ibunya tidak stabil terkadang setiap hari. Semuanya terjadi bahkan sebelum kematian Tiyo. Ya Tiyo merupakan kakak dari Tiara yang meninggal dengan cara bunuh diri karena tertekan dengan sikap kedua orang tuanya.

“Mah udah yah Tiara obatin dulu luka nya, nanti klo udah sembuh mamah boleh marahin aku lagi.” Tiara hendak mengobati lengan ibunya namun, saat hendak menyentuh bagian yang terluka ibunya menepis.

“jangan pernah sentuh saya anak sialan. Harusnya kamu yang mati bukan Tiyo. Tiyo anak kesayangan saya matii gara-gara kamu.” Ibunya Tiara berteriak kesetanan sambil melemparkan barang yang pecah.

“Tiara keluar cepetan. Tiara saya bilang keluar jangan ganggu mamah kamu anak sialan. Gara gara kamu emosinya ga stabil pergi sana dari rumah ini.” Teriak papah Tiara yang berapi-api.

Tiara tak bergeming tiba-tiba sebilah pisau telah menancap di perutnya. Ia jatuh berlumuran darah.

Semuanya usai bukan? Tuhan memanggilnya, Tuhan sayang padanya, Tuhan menjawab semua doa-doanya. Inilah waktunya ia bahagia, terlepas dari neraka dunia menuju surga.

--------

Shenna menatap nanar nisan di depannya dua orang yang menjadi korban keegoisan kedua orang tua mereka. Air matanya terus mengalir, Tiara dan Tiyo adalah adik kaka yang berjarak 2 tahun. Tiyo merupakan sosok laki-laki yang penyayang dan penurut dia disayangi kedua orang tuanya karena akan mewarisi seluruh harta kakeknya. Sedangkan Tiara merupakan anak yang tidak diharapkan, mamahnya tak mau merawat nya sedari bayi. Pikirnya punya anak perempuan itu merepotkan dan manja. Tiyo mengalami banyak tekanan, dia dituntut untuk sempurna agar bisa dibanggakan dimata keluarga besar kakeknya. Dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi semuanya penuh dengan aturan, jika sekali melanggar maka adiknya Tiara yang akan menerima hukuman.

Setiap kali Tiyo melihat Tiara dihukum dia akan mengikuti semua hukumannya secara diam-diam dikamar, kenapa? Karena ia tak tega melihat adiknya dihukum padahal bukan kesalahannya. Tiyo ingin merasakan sakitnya hukuman yang diberikan mamahnya pada adiknya. Hingga akhirnya Tiyo depresi dia kehilangan akal ingin membunuh ibunya, tapi Tiara menghentikannya. Tiara memeluk Tiyo dengan bercucuran air mata, hingga Tiyo menjatuhkan pisaunya.

Tiyo membalas pelukan erat Tiara

“Maafin kak yang ngga becus jagain kamu dek. Kakak ga pantes jadi kakak kamu, kamu pasti menderita banget ya dek.” Tangis Tiyo pecah dipelukan Tiara.

“kakak ngga salah kok, akunya aja yang nakal kakak pasti bisa laluin itu semua tapi ngga dengan kekerasan ya ka, Tiara sayang kakak.”

Mereka berdua larut dalam kesedihan masing-masing, mereka saling menguatkan satu sama lain.

Saat hari dimana Tiyo lulus Sekolah Menengah Atas, ibunya memaksa agar Tiyo mengambil Study di luar negri, namun Tiyo menolak mentah-mentah. Dia ingin melanjutkannya disini sambil menjaga adiknya, dia tak ingin Tiara terluka lagi.

Namun lagi-lagi Tiara mendapatkan hukuman di cambuk, di pukuli hingga tak diberi makan selama tiga hari. Tiyo sungguh menyesal membuat adiknya dihukum lagi, depresinya kambuh dia meminum obat penenang dengan dosis yang sangat banyak, tak ada yang mengetahuinya selain Tiara, karena bagi Tiyo adiknya adalah rumah ketika ia pulang. Tak ada yang menyayanginya dengan tulus selain adiknya itu. Lalu malam itu dia memutuskan untuk mengakhiri penderitaan adiknya.

Disebuah kamar nuansa hitam putih seseorang terbujur kaku dengan memeluk foto. Dia Tiyo mengakhiri hidup dengan tenang meminum cairan desinfektan dengan memeluk foto sang adik. Semuanya terpukul dengan kematian Tiyo, tapi ibunya menyalahkan Tiara atas kematian yang menimpa Kakanya itu. Tiara menjelaskan bahwa Tiyo mempunyai depresi yang disebabkan oleh ibunya. Tiara diamuk oleh ibunya hingga ibunya mengalami penyakit kejiwaan.

Tiara yang malang, sendirian menjalani kejamnya kehidupan kini ia sudah tenang disana, bertemu dengan sang kakak tercinta, menjalani indahnya kehidupan di surga. Biarlah semua menjadi rahasia

Shenna begitu terpukul karena tidak bisa menjadi sahabat yang baik untuk Tiara. Beberapa Wishlist yang dulu sempat ia dan Tiara buat telah tercapai dan yang terakhir itu baru saja kemarin ia lewati bersama. Menonton konser band yang sangat ingin ia datangi.

Tii sekarang udah ga kesepian lagi yah udah ada disurga bareng kak Tiyo, dulu kamu bilang Awan putih itu melambangkan kelembutan dan ketenangan. Sekarang hari dimana kamu tiada awan putih itu datang raa. Berarti kamu udah tenang disana kamu udah bebas dan bahagia seperti yang kamu impikan.

Depression are confusing. Kita  tidak tahu apakah sedih atau senang, bahagia atau kecewa. What you feel are just paint. Dan kamu mulai berpikir bagaimana mengakhiri rasa sakit.

Ketika orang-orang yang depresi menyadari bahwa orang-orang disekitarnya hanya ingin tahu saja, it lead to more deep depression.

 Penulis : Alisa Wilani/ Anggota Magang LPM FatsOeN


(Foto : Zakariya/ Anggota Magang LPM FatsOeN)

Pagi yang cerah untuk kembali melaksanakan rutinitas dan menghadapi realitas. Rohman, seorang mahasiswa semester enam, yang konon disebut mahasiswa pertengahan yang sedang menghadapi quarter life crisis. Ia seorang yang rajin pergi ke kampus saat masih perkuliahan masih offline. Bahkan, meski libur, ia kadang sesekali pergi ke kampus, mungkin melepas rindu, atau sekedar menghabiskan waktu.

Rohman yang selama ini baru merasakan kuliah secara offline sepenuhnya selama satu semester, kembali mulai merasakan kuliah secara offline setelah menunggu hampir 2 tahun. Meski tidak sepenuhnya, tapi akhirnya ia bisa menikmati kembali fasilitas kampus, seperti kursi yang sudah lama berdebu.

Kawan yang ia kenal dan akrab masih sedikit, bahkan bisa dibilang hanya satu orang. Rohim. Ia kawan beda kota yang dipertemukan di ruang kelas yang kadang ber-AC, kadang tidak. Berbincang intensif selama perkuliahan awal semester dahulu. Dan untuk sekian tahun, ia baru lagi bertemu. Meski begitu, Rohim selalu tau apa yang terjadi di kampus, meski ia sendiri berada di rumahnya.

“Man, tau kantin baru enggak?” tanya Rohim, kawan Rohman.

“Kantin KOPMA?” Rohman menanyakan balik.

“Bukan, itu, loh, kantin yang di belakang gedung O, deket Taman Mini IAIN Indah (TMII),” jelas Rohim.

“Enggak tau, tuh. Kantin apa emang?”

“Kantin BSI. Cuma, ya, emang sampe sekarang engga tau, belum ada yang jualan di situ. Padahal enak tempatnya, sih, adem, ada tempat duduk ama mejanya luas. Cocok, lah buat diskusi ama nyemil di situ.”

“Ko gua gatau, ya, Him. Tapi menarik, sih. Jadi pengen liat.”

“Yaudah, ntar kita liat ke sana beres MK, deh.”

Setelah mendengar penuturan Rohim, Rohman agak terheran, kenapa bisa sebuah kantin dibiarkan kosong begitu saja. Benaknya, ketika mendengar kantin, langsung membayangkan keramaian pembeli, beragam makanan dan minuman, dan riuhnya orang berebut tempat duduk. Tapi sepertinya itu tidak berlaku di kantin ini. Kantin yang katanya tidak menjual apapun. Kantin yang hanya diisi lalu lalang mahasiswa. Yang duduk, sebentar diskusi lantas kemudian pergi lagi. Datang dengan perut kosong, pulang dengan perut kosong.

Jam MK selesai, sesuai janji, mereka pergi ke kantin tersebut. Memang benar adanya. Kantin tersebut hanya seperti bangunan kosong tanpa kehidupan jual beli. Jika diingat-ingat, sebelum dibangun lahan tersebut hanya sebuah lahan kosong yang merupakan parkiran motor.

“Lah, iya, sih, gada penjual satu pun.”

“Iya, dengar-dengar, sih, memang ditujukan buat PKL di depan kampus. Cuma entah bagaimana kelanjutannya.” Rohim menjelaskan.

“Kalau terus-terusan seperti ini, kemungkinan bangunan ini bakal dibiarkan kosong atau dirobohkan, ya?”

“Entah, siapa yang tahu. Bukan wilayah kita sebagai mahasiswa biasa memutuskan hal itu, Man.”

Mereka kemudian duduk sejenak di kantin tersebut, membayangkan riuhnya jika memang kantin tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Menikmati sajian lezat, enak nan paripurna dari kantin tersebut. Tapi, itu hanya di bayangan saja, sebab kantin ini tidak menjual apapun.

Penulis: Rifki Al Wafi/FatsOeN

 


 


                                                (Foto : Denisa/Pengurus LPM FatsOeN)


 Balariung

Ketika mendengar namamu akupun tersenyum

Manusia yang tidak bisa hidup ditempatmu

Ia pernah menangis sampai meraung-raung

 

Balariung

Kau tempat dimana berkumpulnya beragam anak bangsa

Yang banyak perbedaan budaya dan agama

Dan akan menjadi sebuah cita-cita untuk gadis kecil agar bisa berdiri disana

 

Balariung

Kau memang menolakku sebagai tiga

Namun hatiku untukmu tidak pernah ada dua

 

Balariung

Kau tau aku ini keras kepala

Dengan mengatakan kau tetap menjadi sesuatu yang kupuja

Sampai nantinya aku bangga memakai toga

Di tempat indahmu yang penuh dengan suka cita

 

Balariung

Semoga kau tetap berjaya dan sabar menungguku disana

 Penulis : Fitri Nurimaniah/ Anggota Magang LPM FatsOeN

Previous PostPostingan Lama Beranda