![]() |
Layouter: Fadhil Muhammad RF |
Idealnya, dunia perkuliahan yang telah kita bayar mahal melalui Uang Kuliah Tunggal (UKT) adalah ruang diskusi atau bertukar pikiran. Tidak hanya sesama mahasiswa, namun juga melibatkan dosen sebagai pengajar di kampus. Namun, pernahkah kita membayangkan membayar jutaan rupiah hanya untuk ditinggalkan dosen sepanjang semester?
Sebagai mahasiswa, kita tentu sering menjumpai dosen yang datang ke kelas sekadar mendengarkan presentasi mahasiswanya, lalu setelahnya menambahkan atau meluruskan materi. Namun pada beberapa kasus, ternyata ada yang lebih buruk dari itu: Dosen yang jarang masuk ke kelas.
Di lingkungan prodi penulis, terhitung sejak penulis duduk di semester satu, tercatat ada beberapa dosen yang jarang mengajar di kelas. Beberapa dari mereka hanya menggelar perkuliahan secara daring, beberapa lagi bahkan hanya melaksanakan perkuliahan kurang dari 50%. Tak heran, stigma buruk dari mahasiswa pun melekat terhadap dosen-dosen tersebut. Istilah seperti “Makan gaji buta” hingga “Dosen malas mengajar” tak jarang terdengar menjadi umpatan familiar terhadap mereka.
Setelah ditelusuri lebih jauh, salah satu penyebab dari fenomena tersebut adalah kesibukan dosen di luar statusnya sebagai pengajar. Beberapa dosen diketahui memiliki jabatan lain, baik di dalam maupun di luar kampus. Selain itu, ada juga beberapa dosen yang sedang menempuh pendidikan doktor (S3) sehingga fokusnya harus terbagi antara mengajar dan belajar.
Mendengar alasan tersebut, mungkin sekilas terasa wajar apabila dosen jarang masuk kelas. Namun, bila ditelaah lebih dalam, tetap saja tidak adil jika dosen dapat meninggalkan kewajibannya sesuka hati, sedangkan mahasiswa bisa terancam nilainya apabila dia tidak masuk kelas.
Salah satu contoh yang cukup membekas bagi penulis adalah salah satu dosen yang tercatat hanya mengadakan perkuliahan hingga UTS, dan menghilang begitu saja tanpa kejelasan. Hal ini tentu meninggalkan kesan buruk, tidak hanya bagi mahasiswa, tetapi juga bagi kualitas akademik secara keseluruhan.
Fenomena ini, jika dibiarkan berlarut-larut, berpotensi merusak kultur akademik di lingkungan kampus. Mahasiswa akan terbiasa berpikir pragmatis: yang penting lulus, tanpa memperdulikan kualitas pembelajaran yang sesungguhnya. Lambat laun, kampus bukan lagi menjadi tempat tumbuhnya intelektualitas, melainkan sekadar pabrik ijazah.
Parahnya lagi, beberapa dosen bahkan mencoba “mengkompensasi” ketidakhadiran mereka dengan memberikan nilai A kepada seluruh mahasiswa. Padahal, ini tetap merugikan mahasiswa, sebab mereka telah membayar biaya kuliah untuk mendapatkan proses belajar-mengajar yang layak, bukan sekadar selembar nilai.
Lebih jauh dari itu, kompensasi nilai ini mencerminkan praktek korupsi akademik. Apabila nilai diberikan tanpa proses pembelajaran yang adil dan jelas, maka tindakan tersebut termasuk penyalahgunaan otoritas, yang tentu merusak integritas dunia pendidikan.
Tak hanya itu, ketidakhadiran dosen juga mempersempit kesempatan mahasiswa untuk berkembang. Banyak keterampilan penting seperti berpikir kritis, berargumen dengan logis, serta membangun kepercayaan diri yang hanya dapat diasah melalui interaksi aktif dengan dosen di ruang kelas. Tanpa bimbingan langsung, mahasiswa kehilangan pengalaman penting yang semestinya menjadi bekal di dunia kerja nantinya.
Bagaimana pun, pengalaman belajar dan berdiskusi langsung di kelas adalah sebuah privilege yang tidak dapat digantikan. Tidak hanya soal ilmu pengetahuan, namun juga tentang membangun kesan dan esensi dari proses pembelajaran itu sendiri. Terlepas dari nilai akademik yang memuaskan, proses pembelajaran yang utuh tetap menjadi hal yang paling penting.
Maka dari itu, penting bagi kampus dan pihak-pihak terkait untuk memastikan kualitas pendidikan tetap terjaga. Evaluasi terhadap kinerja dosen harus dilakukan secara tegas, agar memastikan hak mahasiswa mendapatkan pendidikan yang layak, tidak sekadar menjadi wacana. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah memperketat sistem evaluasi dosen berbasis feedback dari mahasiswa. Evaluasi ini harus dilakukan secara objektif dan digunakan sebagai dasar dalam menilai kinerja dosen setiap semester. Apabila ditemukan kelalaian, maka sanksi tegas harus diberikan.
Lebih jauh lagi, dibutuhkan kesadaran bersama bahwa dunia perkuliahan adalah arena pembentukan karakter dan intelektualitas. Setiap pihak, baik dosen maupun mahasiswa, memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga marwah pendidikan tinggi. Pendidikan seharusnya bukan sekadar memenuhi formalitas, melainkan benar-benar menghadirkan proses belajar yang bermakna.
Mahasiswa pun harus diberikan ruang untuk menyuarakan keluh kesah akademiknya tanpa takut akan adanya tekanan dari dosen atau pihak kampus. Transparansi dan dialog terbuka antara mahasiswa, dosen, dan pihak administrasi kampus menjadi kunci utama dalam membangun atmosfer akademik yang sehat dan konstruktif.
Pada akhirnya, sebaik apa pun alasan yang dimiliki dosen, ketidakhadiran yang berulang tanpa solusi konkret hanya memperkuat budaya “asas suka suka dosen” di dunia kampus. Sebab sejatinya, yang diharapkan mahasiswa bukan sekadar pemberian tugas dan nilai instan, melainkan ruang diskusi, interaksi, dan pembelajaran yang bermakna. Jika prinsip akademik terus dikalahkan oleh kepentingan pribadi, maka dunia perkuliahan tak ubahnya menjadi ajang formalitas tanpa makna.
Penulis: Fadhil Muhammad RF
Editor: Muhamad Hijar Ardiansah