![]() |
Sumber foto: Muhammad Royan Fadilah |
Cirebon, LPM FatsOeN - Romantisasi masyarakat terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini ibarat fase dalam sebuah rumah tangga. Sebelum timbul kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terdapat fase yang disebut honeymoon. Pada fase ini, pelaku akan menunjukkan perhatian dan kasih sayang yang intens agar korban merasa ada harapan perubahan.
Namun, fase ini hanya bersifat sementara, karena setelah beberapa waktu, siklus akan kembali ke fase ketegangan—pelaku mulai berulah, korban merasa cemas, dan berusaha menenangkan situasi. Analogi semacam ini rasanya cocok dengan yang dirasakan masyarakat di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran.
Fase honeymoon sejak dua bulan pertama mereka berkuasa seolah memberikan angin segar bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal ini ditandai dengan kebijakan penghapusan utang bagi UMKM melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024, yang ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto pada November 2024. Meski tidak semua UMKM memenuhi kriteria, kebijakan tersebut diharapkan mampu meningkatkan daya beli dan pertumbuhan ekonomi lokal.
Selain itu, para guru juga mendapat kabar baik dengan adanya kenaikan upah yang dijanjikan Prabowo dalam pidatonya pada Peringatan Hari Guru Nasional 2024 di Velodrome Rawamangun, Jakarta Timur. Kebijakan lain seperti perluasan relasi internasional dan penurunan harga tiket pesawat juga memberikan harapan bagi masyarakat, untuk merasakan manfaat kepemimpinan yang baru.
Memasuki Februari 2025, Peneliti utama The Republic Institute (TRI) merilis hasil survei mengenai kepuasan masyarakat terhadap kinerja 100 hari pemerintahan Prabowo. Hasilnya 82,2 persen masyarakat merasa puas terhadap kinerja Presiden Prabowo dan Wakilnya, Gibran Rakabuming Raka. Namun survei tersebut bertolak belakang dengan laporan yang dirilis oleh Center for Economic and Law Studies (Celios) pada beberapa waktu sebelumnya, tepatnya 21 Januari 2025. Celios memberikan rapor merah terhadap 100 hari pemerintahan Prabowo. Dalam laporan mereka, kinerja Prabowo mendapat skor 5 dari 10, sementara Gibran hanya memperoleh skor 3 dari 10. Angka tersebut tentu tergolong buruk.
Perbedaan hasil survei ini dapat dijelaskan oleh metode yang digunakan. Berdasarkan laporan antaranews.com, TRI menggunakan metode multistage random sampling, yang sering digunakan dalam survei elektoral karena dianggap lebih representatif, sementara Celios dengan metode expert judgement memang lebih subjektif, tapi biasanya lebih kritis. Hal ini karena metode tersebut melibatkan jurnalis dengan wawasan mendalam mengenai kinerja pemerintah dari berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik.
Oleh karena itu, kedua survei ini belum bisa dijadikan acuan holistik mengenai tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Hal ini juga diperkuat dengan berbagai respons netizen yang mulai skeptis terhadap survei-survei tersebut. Sebagai contoh, komentar subjektif di konten YouTube Raymond Chin yang membahas 100 hari kabinet Prabowo, “Di Konoha, sandal jepit jadi presiden pun bakal muncul survei tingkat kepuasan 90%.” Sarkas akun FJ-Channel.
Hal ini bertolak belakang dengan komentar pemilik akun EgiNurcahyani4305 dalam segmen Bocor Alus Politik milik channel YouTube Tempo.co. "Betul, mungkin berat karena warisan kebobrokan 10 tahun sebelumnya. Tapi kami percaya Prabowo bisa." Ujarnya optimis.
Kendati menuai pro dan kontra, kita harus sepakat bahwa saat ini fase honeymoon perlahan bergeser ke fase ketegangan—Indonesia Gelap. Alasannya, mulai banyak masyarakat yang mempertanyakan, berita mana yang benar-benar membawa kebahagiaan setelah lebih dari 100 hari pemerintahan mereka berjalan?
Sebab, seakan menguji reaksi publik dengan kebijakan yang tidak pro-rakyat, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pun diluncurkan. Mengejutkan, kebijakan ini langsung menuai banyak protes, sebelum akhirnya diklarifikasi melalui akun resmi pemerintah. Selanjutnya, kebijakan tentang tabung gas LPG yang hanya dijual di pangkalan resmi Pertamina, lagi-lagi memicu amarah rakyat. Lagi-lagi layaknya pahlawan, sang pembuat kebijakan kembali meredam amarah rakyat dengan membatalkan aturan tersebut setelah empat hari diterapkan.
Lebih jauh lagi, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusung sebagai kebijakan unggulan justru menuai kontroversi. Bahkan di beberapa daerah seperti Papua, para siswa justru menolak program ini. Ironis, mereka yang menolak justru mendapat tindakan tidak pantas dari Aparatur Sipil Negara (ASN). Tindakan represif tersebut sempat ramai di media sosial.
Kontroversi dari masyarakat tentu bukan tanpa sebab. MBG yang dicanangkan akan diterapkan di seluruh penjuru negeri, jelas membutuhkan biaya yang besar. Oleh sebabnya, Prabowo memberlakukan kebijakan yang tak kalah mengejutkan; efisiensi anggaran terhadap beberapa sektor kementerian dan lembaga. Kebijakan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, nenyebabkan banyak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai instansi. Dikutip dari Tempo, Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai menyatakan pemangkasan anggaran sebesar 54 persen membuat gaji pegawai KY hanya cukup hingga Oktober 2025. Jika tidak ada tambahan anggaran, operasional lembaga ini terancam lumpuh.
Kebijakan kontroversial lainnya mencakup polemik seputar Undang-Undang Minerba dan sengketa terkait proyek Danantara, semakin memperlihatkan bahwa kebijakan publik yang diambil sering kali tidak berbasis riset ilmiah maupun berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Kembali membahas efisiensi anggaran, kebijakan ini memaksa berbagai kementerian diantaranya Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), yang menaungi Pendidikan Tinggi Negeri (PTN) dan Kementerian Agama (Kemenag) yang menaungi Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), untuk merelakan anggarannya dipangkas secara masif.
Dampaknya bagi kedua kementerian ini, Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi tiap-tiap kampus terancam naik, dan pengelolaan fasilitas kampus juga terancam keberadaannya. Disisi lain, pemerintah justru membentuk kabinet yang gemuk dengan banyak jabatan tidak esensial, serta pengangkatan staf khusus yang dinilai kontroversial. Hal ini menimbulkan gejolak perlawanan di berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Bandung, Makassar, Palembang, dan banyak daerah lain melakukan demonstrasi.
"Yang dikasih makan anak sekolah, yang gemuk malah kabinet." Bunyi orasi seorang demonstran di Kota Cirebon.
Perlawanan tidak hanya terjadi di jalanan kota. Media sosial kian membara, tren #KaburAjaDulu semakin menegaskan pergeseran dari fase honeymoon ke fase ketegangan. Pemerintah pun berusaha mengubah narasi dengan mengganti tagar tersebut menjadi #PergiMigranPulangJuragan.
Menurut penulis upaya itu diibaratkan seperti sebuah rumah yang sedang terbakar, tetapi masyarakat dilarang berteriak “Selamatkan diri!” dan justru disarankan untuk mengatakan, “Mengambil jarak sekadar merenungi situasi.” Alih-alih memadamkan api, pendekatan yang dilakukan lebih berfokus pada mengubah persepsi agar situasi terasa lebih positif.
Realitas ini menunjukkan bahwa fase honeymoon pemerintahan Prabowo-Gibran semakin pudar. Masyarakat yang semula berharap akan perubahan kini mulai menghadapi kenyataan bahwa kebijakan yang diambil tidak melulu berpihak pada rakyat. Dengan berbagai tantangan yang ada, pertanyaannya kini bukan lagi apakah fase ketegangan akan datang, tetapi seberapa lama masyarakat dapat bertahan sebelum siklus ini kembali berulang.
Pemerintah boleh saja terus membangun narasi optimisme, menenangkan keresahan publik dengan survei tingkat kepuasan yang tinggi, atau menggiring opini bahwa kritik adalah bentuk pesimisme yang tidak membangun. tapi sayangnya, fakta di lapangan tak bisa disulap dengan kata-kata manis.
Ketika harga kebutuhan pokok melambung, pajak naik, lapangan kerja makin sempit, dan pendidikan justru dipangkas, lalu di mana kebahagiaan yang dijanjikan? Kalau ini masih fase honeymoon, jangan-jangan yang akan datang bukan cuma fase ketegangan, tapi luka yang makin dalam, atau bahkan perpisahan?. Tapi tenang saja, mungkin nanti akan ada survei baru yang bilang semuanya baik-baik saja.