Dilema Efisiensi Anggaran: Antara Makan Gratis dan Pendidikan yang Terkikis

Sumber foto: BPK RI


Cirebon, LPM FatsOeN - Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto melakukan banyak gebrakan hingga memasuki bulan keempat pasca dilantik. Berbagai program dan kebijakan dikeluarkan, seiring dengan pro-kontra dari masyarakat yang terus berkembang. 

Salah satu program yang menjadi perhatian publik adalah Makan Bergizi Gratis (MBG), yang digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia. Program ini awalnya disambut baik oleh masyarakat, mengingat pentingnya gizi dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Namun, belakangan ini program tersebut menuai kontroversi setelah terungkap bahwa pendidikan hanya dijadikan sebagai program pendukung, sementara MBG menjadi program utama. Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai prioritas pemerintah dalam mengalokasikan anggaran dan kebijakan. Setelah MBG berjalan, Prabowo menginstruksikan kebijakan efisiensi anggaran kementerian dan lembaga, melalui instruksi presiden nomor 1 tahun 2025. Hal ini bertujuan untuk menghemat anggaran dan dana negara hingga Rp 306,69 triliun.

Namun, kebijakan ini justru menimbulkan dampak besar, terutama pada sektor pendidikan. Salah satu kementerian yang terdampak adalah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek). Dilansir dari Tempo.co, Sekretaris Jenderal Kemendikti Saintek, Togar M. Simatupang, mengatakan bahwa kementeriannya mengalami pemangkasan anggaran sebesar Rp 22,5 triliun dari total pagu anggaran 2025 sebesar Rp 57,6 triliun. Meski begitu, Togar menegaskan bahwa pemangkasan tersebut tidak akan berpengaruh pada program beasiswa, seperti yang dikhawatirkan masyarakat. Namun, meskipun beasiswa tidak terdampak, pemangkasan anggaran ini tetap menimbulkan konsekuensi lain yang menghantui mahasiswa, yakni ancaman kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Pemangkasan Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) diperkirakan akan memicu kenaikan biaya UKT, yang kemudian membebani mahasiswa dan orang tua mereka. Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro, dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Jakarta, Rabu (12/2/2025), mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak dari pemangkasan anggaran ini. Dirinya juga mengusulkan agar posisi BOPTN kembali kepada pagu awal, yaitu Rp 6,018 triliun. Menurutnya, jima BOPTN dipotong separuh, maka ada kemungkinan perguruan tinggi harus menaikkan UKT.

Lantas, bagaimana nasib Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang berada di bawah naungan Kementerian Agama? Menurut Nasaruddin Umar selaku Menteri Agama RI, pagu awal anggaran pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam sebesar Rp 35,8 triliun terkena efisiensi sebesar Rp 10 triliun. Kendati demikian, seperti dilansir dari website kemenag.go.id, dirinya tetap optimis bahwa Kementerian Agama dapat menemukan solusi, walaupun mengalami efisiensi anggaran.

Nasaruddin juga menjelaskan bahwa kementeriannya sedang melakukan peninjauan dan penyisiran terhadap anggaran yang akan dipangkas. Beberapa di antaranya adalah perjalanan dinas dan sejumlah item yang sudah diatur melalui Instruksi Presiden dan Surat Menteri Keuangan. Namun, pemangkasan anggaran yang signifikan tetap berpotensi berdampak pada operasional perguruan tinggi, terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana serta kesejahteraan dosen dan tenaga pendidik.

Jika kebijakan efisiensi anggaran ini benar-benar berujung pada kenaikan biaya pendidikan di PTN dan PTKIN, maka ancaman terbesar adalah menurunnya jumlah sarjana di Indonesia. Sebab, biaya pendidikan yang mahal cenderung membuat generasi muda, terutama dari kelas menengah ke bawah, mengurungkan niatnya untuk masuk ke perguruan tinggi. Hal ini tentu bertentangan dengan amanat Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Ketimpangan akses pendidikan tersebut dapat memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia. Jika pendidikan sulit diakses oleh keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah, maka kesempatan mereka untuk meningkatkan taraf hidup melalui pendidikan akan semakin sempit. Akibatnya, mobilitas sosial pun terhambat, dan masyarakat kelas bawah akan semakin sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.

Pada akhirnya, jika segala kekhawatiran tersebut benar-benar terjadi, maka pernyataan “tidak ada makan siang yang gratis” akan terbukti. Di tengah program MBG yang digembar-gemborkan sebagai solusi peningkatan gizi nasional, mahasiswa sebagai kalangan yang tidak terkena dampak program ini, justru menghadapi ancaman kenaikan biaya pendidikan. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah benar-benar memperhitungkan dampaknya terhadap sektor pendidikan, terutama pendidikan tinggi?

Jika target bangsa ini adalah terciptanya generasi emas 2045, maka pendidikan harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar program pendukung. Program MBG jelas baik untuk generasi muda yang tengah menempuh pendidikan. Tetapi jika akses pendidikan saja sulit didapatkan, lantas untuk apa program ini diadakan?

Patut ditunggu, apakah pernyataan Togar dan optimisme Nasaruddin Umar benar-benar akan terwujud atau hanya menjadi kalimat penenang belaka. Karena jika biaya kuliah terus melonjak seperti yang dikhawatirkan Mendikti Saintek, maka bukan hanya generasi emas 2045 yang terancam sirna, tetapi juga mimpi jutaan anak muda yang tenggelam dalam nestapa.

Penulis: Fadhil Muhammad RF

Editor: Muhamad Hijar Ardiansah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama