Sumber Foto: Pinterest 

Anda tau tokoh pendidikan Brasil yang terkenal? benar sekali yakni Paulo Freire. Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Namun, ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas. 

Freire mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Ia terkenal dengan gagasan serta karyanya yang berjudul "Pendidikan Kaum Tertindas". 

Inti dari buku itu ialah bagaimana cara pandang ia kepada dunia pendidikan, dimana orang kuat merendahkan masyarakat lemah melalui cara-cara halus namun menindas. Ia juga mengkritik keras model pendidikan gaya bank barat yang disebutnya sebagai alat penindasan. Sebagai gantinya ia mempunyai konsep pendidikan hadap-masalah yang ia sebut sebagai alat pembebasan.

Selain Freire, ada tokoh besar Indonesia yang menurut saya cara pandang serta keberpihakannya kepada masyarakat di bidang pendidikan sangatlah tinggi, beliau adalah Bapak Republik yakni, Datuk Sutan Malaka. Kata-kata beliau tentang hakikat esensi pendidikan yang sangat melekat dibenak saya yakni " Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan."

Tetapi, realitanya tidak seperti itu. Bukan malah ketajaman kecerdasan yang terbentuk, tetapi ketajaman emosional pemarah yang terbentuk. Bukan memperhalus perasaan, tetapi memperhalus jalan untuk kenikmatan pribadi. Pertanyaannya, apakah orang pintar di Indonesia itu sedikit? Nampaknya itulah yang menjadi asumsi sebagian masyarakat, percuma sekolah tinggi tapi hanya untuk membodohi orang lain. 

Saya pernah berfikir serta membayangkan, bagaimana jika Paulo Freire dan Tan Malaka hidup kembali. Rasanya, pasti mereka berdua terkejut melihat segala kekacauan pendidikan di negeri ini. Rasanya akan seru sekali, jika Tan Malaka dan Paulo Freire mengisi pembelajaran di kampus dengan mengampu mata kuliah 
Filsafat Pendidikan. Saya kira mereka pasti bisa memberi angin segar untuk kualitas pendidikan di Indonesia, tetapi, semua itu memang agaknya mustahil terjadi. 

Untuk mengganti apa yang saya bayangkan itu, maka saya lebih membayangkan bagaimana peran mahasiswa atau kaum terdidik bisa mendiasporakan pendidikan untuk mencapai amanat undang-undang dasar mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena realita di lapangan tidak semua masyarakat bisa mengakses pendidikan yang layak, oleh karena itu, saya berharap akan lebih banyak peran mahasiswa dan kaum terdidik hadir sebagai alternatif memfasilitasi pendidikan untuk masyarakat dibawah garis kemiskinan.

Sebagaimana kita tahu mahasiswa atau kalangan terdidik memiliki tanggung jawab pada 3 prinsip yang tertuang dalam tri darma perguruan tinggi, pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Maka, mari membuat ruang-ruang belajar yang tak berbayar sebagai bentuk tanggung jawab pengabdian kita kepada masyarakat. 

Penulis: Sulton Azizan Zanuar
Editor: Ega Adriansyah

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama