Ilustrator: Zakariya Robbani
Tahun 2024 kiranya menjadi tahun yang panas. Sebagaimana kita ketahui, tahun ini menjadi puncak dari segala peralihan kepemimpinan politik, di mana pion-pion catur, mulai dari papan atas sampai papan bawah, orang lama sampai orang baru, hingga kelas teri dan kakap. Disadari atau tidak, peta politik di Indonesia terkesan hanya dikuasai oleh genggaman jari jemari segelintir orang saja, dan kesannya seperti sangat jauh dari sistem kenegaraan yang dianut, yakni demokrasi.
Dalam urusan politik, para penguasa yang sedang menjabat pastinya berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya. Contohnya dengan cara mendiasporakan keluarga serta kerabat-kerabatnya untuk menempati kedudukan atau posisi tertentu di lingkungan politik yang strategis.
Ketika pemilu dan pilkada mulai digelar, banyak topeng-topeng kebaikan bermunculan. Entah itu dalam bentuk pendekatan kepada pemuda, bakti sosial masyarakat, blusukan ke desa terpencil, atau bahkan masuk gorong-gorong sekalipun, yang kemudian didokumentasikan. Di tahapan awal menjelang pemilihan, biasanya banyak sekali orang-orang yang mendadak baik dengan peci di kepala dan baju partai kebanggaan di tubuhnya.
Apakah itu salah? Sejatinya tidak sama sekali. Tetapi, yang sangat disayangkan ialah masih banyak kebaikan yang mereka lakukan hanya untuk memperoleh empati dan suara masyarakat (elektabilitas), serta kebaikannya hanya berlaku ketika sampai terpilih saja. Ketika pemilu selesai, selesai juga kebaikan yang mereka lakukan. Seakan-akan menghilang di luar jangkauan, seperti sinyal ketika di atas Gunung Ciremai.
Sebenarnya, jika memang siapapun berencana untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat, maka harus siap dengan konsekuensi melayani rakyat. Ketika rakyat mulai berpendapat dan berbicara, realitanya, masih banyak di antara pemimpin dan wakil rakyat kita yang tidak pernah mendengarkan.
Mereka seakan lupa bahwa ada adagium yang berbunyi "vox populi, vox dei" yang berarti suara rakyat, suara Tuhan. Selain itu, para pemimpin seyogyanya harus tau apa keinginan, permasalahan, dan keluhan rakyatnya. Coba kita sama-sama merenungi puisi yang ditulis oleh Lao Tzu, salah satu tokoh filsafat, penyair, dan pendiri aliran Taoisme dari Cina (Tiongkok).
Datangilah rakyat
Hiduplah bersama mereka
Belajarlah dari mereka
Cintailah mereka
Mulailah dari yang mereka tahu Bangunlah dengan apa yang mereka milik
Ketahuilah pemimpin yang terbaik ialah ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan
Serta rakyat berkata, "Kami sendirilah yang mengerjakannya."
Dari puisi di atas, kita dapat mengambil hikmah serta belajar tentang hakikat seorang pemimpin, serta kesadaran bahwa menjadi pemimpin harus banyak berkorban melayani, bukan malah memperkaya diri sendiri. Sudah lupakah mereka dengan sosok Harun al-Rasyid, Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz? Yang benar-benar menunjukan karakter sejati seorang pemimpin rakyat, yang melayani, bukan malah mengkhianati atau menyusahkan rakyat. Yang paling saya ingat ialah ketika malam hari Khalifah Umar bin Khatab memastikan turun langsung ke masyarakat, mendengar suara tangisan anak kecil, seketika dia berhenti dan menyelidiki apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Alhasil, ketika dia sampai tepat di depan pintu rumah yang menjadi sumber tangisan anak kecil tadi, tak terasa, dia meneteskan air mata, dikarnakan melihat peristiwa seorang ibu yang memasak batu untuk mengelabui anaknya supaya lapar yang dirasanya berkurang. Setelah itu, dia langsung bergegas lari, membawa makanan pokok dari gudang penyimpanan (baitul mal), untuk diberikan kepada ibu dan anak tadi.
Pertanyaannya, apakah masih ada karakter pemimpin kita di Indonesia yang seperti Khalifah Umar bin Khattab? Jika tidak, seharusnya ini dapat menjadi evaluasi bersama dan membuat para pemimpin dan wakil rakyat kita sadar bahwa suatu kebijakan haruslah berpihak kepada masyarakat, bukan malah menindas rakyat (dalam konteks kebijakan apapun).
Penulis: Sulthon
Editor: Ega Adriansyah
Posting Komentar