Illustrator: Zakariya Robbani
Kaum pria sering kali menganggap penting sebuah gaya rambut, berbagai macam gaya potong rambut seperti mullet, french crop, two block, atau bahkan hanya sekedar panjang khas mahasiswa semester akhir turut meramaikan khazanah kebebasan berekspresi di kampus.
Mungkin terbesit pertanyaan, "Mengapa kaum pria menganggap rambut itu sangat penting? Lebih spesifiknya suka memanjangkan rambut (walau tidak semua pria melakukan itu)?"
Mungkin salah satu mahasiswa penyandang gondrong bisa menjawab pertanyaan itu. Namanya, Alfath (20), Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Adab (FUA) UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI), Semester 3. Pemuda asal Jakarta yang mempunyai rambut tebal, ikal dan panjang hingga bahu.
Baginya, gaya rambut itu penting bagi laki-laki. Sebab rambut ibarat mahkota.
"Bagi cowok, rambut tuh penting, soalnya rambut tuh kaya mahkota, cocok-cocokan sama muka, kalo (style) rambut nggak cocok ngaruh ke muka," katanya.
Menurutnya, rambut gondrong sendiri menjadi sesuatu yang melambangkan kebebasan berekspresi seseorang utamanya pelajar.
"(Bentuk) bebas berekspresi, terus lebih ke balas dendam pas masa sekolah, rambut kena gunting terus, lalu ketika kuliah merasa bebas dan merdeka, akhirnya manjangin rambut, itu juga awalnya karena penasaran," lanjutnya ketika dihubungi penulis via WhatsApp.
Pendapatnya memang bukan hanya sekedar kata-kata, namun lebih ke curahan hati mahasiswa yang merasakan kebebasan berekspresi di perguruan tinggi dan mempertanyakan apa korelasi rambut dengan nilai akademiknya di bangku sekolah dulu.
Mari sedikit mundur kebelakang, masih teringat tentang kegiatan pengenalan budaya akademik (PBAK) di UIN Siber Syekh Nurjati yang sudah usai beberapa minggu lalu, terlihat para mahasiswa baru antusias dalam mengikuti kegiatan PBAK yang digelar selama 3 hari, para mahasiswa baru semangat menggaungkan yel yel dan mars mahasiswa.
Bagi mereka, ini adalah momen transisi yang sangat berkesan dari bangku SMA ke perguruan tinggi, mereka juga merasakan banyak hal yang berbeda dari kedua tingkat pendidikan tersebut, tak terkecuali soal budaya kebebasan berpenampilan.
Jenjang SMA dikenal memiliki peraturan yang ketat soal penampilan, baju yang harus seragam, sepatu yang harus hitam putih, dan rambut yang tak boleh panjang, budaya ini berbeda di tingkat perguruan tinggi, biasanya, mahasiswa memiliki hak kebebasan berekspresi soal penampilan, baik itu pakaian, sepatu, maupun rambut.
Terlihat para mahasiswa baru di momen PBAK kemarin hingga kegiatan perkuliahan yang sudah aktif saat ini menikmati fase kebebasan berekspresi sambil belajar, terutama kaum pria dengan penuh percaya diri memamerkan rambut panjang (gondrong) di kampus, trend mahasiswa gondrong sudah berlangsung sejak lama terus membudaya di panggung perguruan tinggi di seluruh Indonesia, hal ini dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi para pelajar yang tidak mereka dapatkan ketika di bangku SMA.
Kebebasan berekspresi dalam dunia pendidikan juga diharapkan bukan hanya soal penampilan, tetapi juga soal pendapat, kritik, dan pemikiran, yang semoga ikut membudaya bukan hanya di tingkat perguruan tinggi, namun di seluruh tingkatan pendidikan.
Nyatanya, kebebasan berekspresi dalam konteks ini masih sulit didapatkan para pelajar atau bahkan mahasiswa. Terkadang mereka masih dibatasi oleh "budaya ketimuran" yang mana kaum muda tidak boleh mengkritisi atau "sok tau" kepada kaum tua, dalam konteks ini adalah para pengajar atau lembaga pendidikan. Sejatinya, kebebasan berekspresi yang paling berharga adalah kebebasan berpendapat dan idealisme kita sebagai pelajar.
Penulis: Farhat Kamal
Editor: Ega Adriansyah
Posting Komentar