Ilustrator: Zakariya Robbani

Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi koalisi pemerintah karena memenangkan ajang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kemarin. Pasangan yang diusung, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia tahun 2024-2029. KIM merupakan koalisi gemuk yang kuat. Di belakangnya ada nama-nama sekaliber Prabowo itu sendiri, Fahri Hamzah, Zulkifli Hasan dan yang belakangan selalu membuat heboh dengan langkah-langkah politiknya, Joko Widodo.

Karena didukung oleh pemerintah yang sedang berkuasa, KIM memang bisa dibilang sangat kokoh. Sulit dikalahkan. Kebijakan dan seterusnya dari pemerintah dan lembaga-lembaga negara sebelum Pemilu kemarin seolah selalu menguntungkan mereka. Mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas minimal calon Presiden dan Wakil Presiden, kebijakan bantuan sosial dan sebagainya. Saking kokoh dan digdayanya, KIM menjadi poros kekuatan politik yang di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bulan November mendatang sangat diperhitungkan. 

Di Pilkada Jakarta, yang menjadi titik penentu pertarungan politik di Indonesia, banyak partai politik yang sebelumnya berada di luar poros pemerintah bergabung ke KIM. Sebelumnya, PKS, Nasdem dan PKB sempat mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon Gubernur yang mereka usung di Pilkada Jakarta. Ketiga partai itu, di Pemilu awal 2024 menjadi lawan KIM. Namun, ketika KIM memutuskan untuk mengusung calon dari koalisinya, Ridwan Kamil (kader Golkar sekaligus mantan Gubernur Jawa Barat), ketiga partai itu memutuskan untuk bergabung bersama KIM. Pencalonan Anies akhirnya diisukan batal. 

PKS, Nasdem dan PKB memutuskan untuk bergabung bersama KIM dan menyatakan diri menjadi partai yang pro terhadap pemerintah. Meninggalkan PDIP yang sepertinya akan konsisten menjadi oposisi. KIM atau kini disebut KIM Plus karena ada penambahan partai politik yang bergabung ke koalisinya diisukan mengusung pasangan Ridwan Kamil dan Suswono dari PKS. PKS memang menjadi partai pemenang di Jakarta. Sehingga wajar kalau kemudian PKS mengajukan nama pasangan dari Ridwan Kamil. 

Bergabungnya ketiga partai itu di satu sisi menjadi kabar yang baik bagi koalisi. Namun, dari sisi demokrasi, hal itu bisa menciptakan apa yang akhir-akhir ini diperbincangkan, yakni fenomena kotak kosong. Karena secara logika, melawan koalisi yang sangat gemuk dan didukung pemerintah itu merupakan sesuatu yang rasanya hampir mustahil. Terlebih, sisa partai yang tidak bergabung dengan koalisi KIM Plus sebelum adanya perubahan aturan sama sekali tidak memenuhi ambang batas pencalonan kepala daerah yang mengharuskan partai pengusung memiliki 25 persen perolehan suara dan 20 persen kursi di DPRD. 


Namun, sisa partai yang tidak bergabung dengan KIM Plus memang kemudian masih bisa melakukan pencalonan kepala daerah karena aturan tentang ambang batas pencalonan kepala daerah itu resmi diubah MK melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang sebelumnya dimohonkan oleh Partai Buruh dan Gelora. Putusan MK ini membuat aturan treshold pencalonan kepala daerah hanya membutuhkan 7,5 persen suara pada Pemilihan Legislatif (Pileg). PDIP dalam hal ini akhirnya bisa mencalonkan orang yang diusungnya di Pilkada Jakarta. Isunya adalah Ahok atau Anies. 


Meskipun saat ini sebetulnya ada satu pasangan independen yang siap melawan Ridwan Kamil dan Suswono, yakni pasangan yang disebut Dharma-Kun, rasanya, pasangan itu hanya akan menjadi peramai kontestasi. Bahkan, tidak sedikit yang menyebut bahwa mereka disiapkan untuk mencegah terjadinya fenomena kotak kosong. Saya tidak tahu. Yang jelas, karena PDIP punya peluang, mungkin yang akan menjadi lawan terberat pasangan yang diusung KIM Plus adalah Anies atau Ahok. Sebab secara elektabilitas mereka unggul di Jakarta. Kita tunggu saja. 


KIM Plus sendiri memang berpotensi bukan hanya akan berkoalisi di Pilkada Jakarta. KIM Plus dinilai banyak pengamat politik akan memengaruhi peta politik di Pilkada seluruh daerah di Indonesia. Pasangan yang diusung KIM Plus bisa berpotensi memiliki peluang sangat besar untuk menang. Itulah mengapa tadi malam, ketika saya berdiskusi dengan seorang teman di desa setelah acara Hadiyuan, dia mengatakan di Kabupaten Cirebon, calon Bupati yang diusung Gerindra, Wahyu Tjipta Ningsih berpotensi besar menjadi saingan berat Imron Rosyadi.


KIM Plus saya kira sangat digdaya. Partai-partai oposisi dan lawan mereka di Pilkada nanti mungkin harus ekstra maksimal bila ingin mengalahkan mereka. Apalagi, pemerintah, yang terang-terangan mendukung mereka juga belakangan banyak melakukan langkah politik yang selalu menghebohkan. Meski bagian dari dugaan, mundurnya Airlangga Hartarto dari jabatannya sebagai Ketua Umum Golkar, dan seterusnya menjadi hal yang dinilai tidak bisa dilepaskan dari campur tangan pemerintah. Kalau benar ada campur tangan, hal itu tentu saja menjadi kabar kurang positif bagi demokrasi dan politik di Indonesia. Sebab hal itu saya kira bisa menjadi gerbang awal semakin parahnya budaya politik dinasti, nepotisme dan kekuasaan oligarki yang kepentingannya hanya bisa dirasakan segelintir pihak. 



Penulis: Ega Adriansyah

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama