Kemarin, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI diberitakan menolak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024. Putusan itu intinya memutuskan dua poin utama. Pertama, mengubah aturan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik. Dari yang tadinya partai politik memerlukan 20 persen kursi di DPRD dan 25 persen suara ketika pemilihan legislatif, menjadi 7,5 persen kursi DPRD saja.
Kedua, MK juga memutuskan untuk menetapkan syarat usia pencalonan kepala daerah adalah 30 tahun ketika penetapan calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Poin kedua inilah yang secara spesifik ditolak oleh Baleg DPR RI. Baleg DPR RI lebih setuju dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) yang sebelumnya menyatakan bahwa syarat usia pencalonan kepala daerah dalam Pilkada adalah 30 tahun ketika penetapan menjadi kepala daerah.
Penolakan Baleg DPR RI atas putusan MK itu rencananya akan dibahas dalam rapat paripurna hari ini. Namun, karena rapatnya batal, Puan Maharani, Ketua DPR RI-nya berhalangan hadir. Akhirnya DPR RI mau tidak mau harus menerima putusan MK tentang Pilkada itu. Secara konstitusi, putusan MK sebetulnya juga berada di tingkatan yang lebih tinggi dari putusan MA. Sehingga penolakan Baleg DPR RI sebetulnya kurang begitu relevan. Bahkan terkesan ingin mengotak-atik aturan dan ketetapan yang positif untuk kepentingan segelintir elit politik.
Perlu diketahui, banyak yang menduga bahwa penolakan Baleg DPR RI ini didasarkan pada kepentingan elit politik yang ingin meloloskan anak atau orang-orangnya menjadi kepala daerah. Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI sekaligus anak dari Presiden Joko Widodo, adalah sosok yang santer dibicarakan sebagai orang yang hendak diloloskan itu. Sebab, pengalaman sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) awal 2024 kemarin juga hampir sama, segelintir pihak di lingkungan elit politik terus menerus berusaha agar Gibran Rakabuming Raka lolos dan bisa menjadi pendamping Prabowo. Dan akhirnya kejadian.
Jadi, pengalaman itu mungkin ingin diulang. Tapi, untungnya MK memiliki sikap yang menurut saya perlu diapresiasi. Berani. MK memang harus begitu. Karena menjadi lembaga negara yang cukup menentukan nasib demokrasi di Indonesia. Setelah putusan MK di atas santer dibicarakan ditolak oleh Baleg DPR RI, masyarakat, dari kalangan akademisi, aktivis politik dan demokrasi terus menerus menyuarakan pembelaan dan ajakan pengawalan atas putusannya yang bisa membuat elit politik dan oligarki yang berusaha mengendalikan negeri berpikir untuk menemukan cara lain lagi agar kepentingannya terpenuhi.
Saya kira, meski Baleg DPR RI tidak jadi rapat paripurna dan sementara ini aturan yang berlaku adalah aturan Pilkada yang positif untuk demokrasi dan konstitusi, saya berpikir mungkin oligarki akan mencari cara baru untuk bisa mematahkan putusan itu (meskipun sulit). Kita nantikan saja. Tapi, saya harap itu tidak akan terjadi dan putusan MK yang terbaru tetap berlaku dan menjadi patokan utama KPU. Bagaimanapun, putusan itu seperti menjadi angin segar bahwa politik, demokrasi dan konstitusi di Indonesia masih ada harapan. Semoga Indonesia dilindungi Tuhan dari segala macam praktik yang membahayakan persatuan dan seterusnya yang dilakukan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab.
Penulis: Ega Adriansyah