Sumber Foto: Dokumentasi Penulis 

Isu krisis iklim di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Dampaknya sudah mulai terasa bagi lingkungan. Banyak anomali bencana yang beberapa tahun belakangan muncul secara tidak terduga di Indonesia. Diantaranya, banjir rob yang menutupi 80% daratan Kabupaten Demak; Jawa Tengah, munculnya tornado di Rancaekek, Banndung; kenaikan permukaan air laut yang menutupi wilayah pesisir sepanjang pantai utara; suhu panas yang tidak wajar (El Nino), musim hujan yang tidak menentu (La Nina) dan sebagainya.

Ada banyak hal yang menjadi penyebab krisis iklim terjadi di dalam negeri maupun dunia secara global. Salah satu yang menjadi penyebab utamanya adalah gas rumah kaca dan polusi udara yang dihasilkan dari aktivis industri. Dalam hal ini, termasuk di dalamnya adalah polusi udara dari aktivis industri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang penggerak utama aktivitasnya adalah batubara. 

Seperti yang diketahui, batubara merupakan sumber energi yang tidak ramah lingkungan. Perubahan iklim (climate change) yang kemudian menjelma menjadi krisis iklim dan menyebabkan masalah-masalah multisektoral mengemuka salah satunya disebabkan oleh out put dari aktivis industri yang sumber energi utamanya adalah batubara. 

Lembaga swadaya yang memiliki fokus di bidang lingkungan, seperti misalnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) merupakan lembaga yang cukup gencar mengkritisi aktivitas industri yang belum memiliki niatan untuk meninggalkan sumber energi untuk aktivitas produksi mereka yang menggunakan batubara. Walhi juga lembaga yang baru-baru ini gencar mengkritisi kebijakan Izin Usaha Pertambahan (IUP) batubara kepada organisasi masyarakat (ormas) agama di Indonesia. 

Sama seperti di banyak wilayah lain di Indonesia, Cirebon merupakan kota/kabupaten yang juga punya masalah lingkungan tersendiri. Di Kabupaten Cirebon, ada satu isu yang terkait dengan lingkungan dan sedang diperbincangkan oleh para pemerhati dan aktivis lingkungan. Walhi dan Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon (Karbon) termasuk yang hangat mempertimbangkan isu tersebut. 

Jadi, ada salah satu PLTU di Kabupaten Cirebon yang diberitakan akan pensiun dini. 7 tahun lebih cepat. Belum lama ini, Walhi dan Karbon mengadakan diskusi publik membahas isu itu. Acara yang digelar pada, Kamis (27/6/2024) itu bertajuk “Kupas Tuntas Pensiun Dini PLTU Cirebon 1”. Sasaran peserta diskusinya adalah para pemuda di Kabupaten/Kota Cirebon. 

Tujuan utama Walhi dan Karbon mengadakan diskusinya tidak lain untuk menggugah kesadaran para pemuda dan masyarakat Cirebon tentang isu lingkungan dan dampak-dampak yang dihasilkan dari aktivitas PLTU. 

Latar Belakang Pensiun Mudanya PLTU dan Fakta Lapangan

Pada penyampaian materi pertama diskusi publik itu, delegasi dari Trend Asia menguraikan tentang alasan mengapa PLTU Cirebon 1 pensiun muda. Dia menyampaikan, Indonesia termasuk sebagai negara yang ketergantungannya kepada sumber energi batubara masih sangat tinggi. Hal ini bisa dilihat dari data tahun 2023 yang menunjukkan bahwa produksi batubara mencapai 770,24 juta ton, yang 62,8 juta ton diantaranya digunakan untuk (PLTU). 

“Kemudian, per hari ini, Indonesia memiliki 126 dari 253 unit PLTU yang relatif muda, dengan usia rata-rata belasan tahun,” kata perwakilan Trend Asia. 

Sebetulnya, hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur energi negara masih sangat bergantung kepada batubara tadi. Menurut sebuah penelitian, penghentian dini PLTU adalah langkah penting untuk mengurangi emisi gas karbon dan mempercepat laju transformasi energi di Indonesia. 

Indonesia merupakan negara yang sudah berkomitmen untuk mewujudkan cita-cita Net Zero Emision (NZE) pada 2060 mendatang. Komitmen ini juga disuarakan oleh hampir seluruh negara di dunia. Baik dalam forum-forum tingkat tinggi, KTT G20, atau melalui perjanjian-perjanjian lingkungan internasional seperti Perjanjian Paris dan lainnya. 

Kembali lagi, PLTU di Kabupaten Cirebon dinilai telah mengganggu kehidupan masyarakat setempat. Banyak masyarakat pesisir, yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan yang mengeluh tentang aktivitas PLTU. Ada banyak aktivitas perekonomian masyarakat, seperti tambak garam, tambak ikan hingga penangkapan ikan yang terpengaruh oleh kehadiran PLTU. 

Inilah hal pertama yang menjadi latar belakang mengapa PLTU Cirebon 1 pensiun dini. Kedua, beberapa pihak juga menilai pemanfaatan PLTU yang diwacanakan sampai tahun 2035 terlalu lama. Mereka berpendapat, pasokan listrik di jaringan Jawa-Bali sudah over (berlebih). Sampai satu dekade ke depan pun bisa jadi masih ada. Hal inilah yang kemudian juga melatar belakangi PLTU pensiun dini. 

Pensiun dini PLTU di satu sisi memang positif. Terutama bagi lingkungan. Namun, di sisi lain dinilai membawa dampak negatif juga. Khususnya kepada para tenaga kerja yang sebelumnya bekerja di PLTU. Sehingga, pensiun dini PLTU menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan bukan saja oleh pihak internalnya saja, pemerintah dan stakeholder lain juga perlu memperhatikan hal ini. 

Kembali ke diskusi, di Indonesia, literasi publik terhadap isu lingkungan memang masih minim. Menurut narasumber diskusi dari Yayasan Cerah Indonesia (YCI), isu lingkungan hanya lantang disuarakan oleh masyarakat kota, sedangkan di wilayah daerah atau pedesaan jarang. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh mereka, hanya 1 dari 5 orang yang pernah tergabung dalam komunitas atau mengikuti kegiatan diskusi tentang lingkungan. 

Bahkan, menurut sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU, aktivitas PLTU itu tidak ada pengaruhnya terhadap lingkungan. Oleh karena itu, upaya untuk mengedukasi dan menggugah kesadaran mereka tentang lingkungan menjadi penting. Terutama oleh mereka yang termasuk aktivis lingkungan dan para pemerhati lingkungan. 

Menurut pemateri dari YCI, dalam rangka mengedukasi masyarakat, sebuah pemetaan masyarakat dari aspek geografis, sosial, serta budaya juga perlu dilakukan. Hal ini tujuannya tidak lain untuk memudahkan edukasi dan sosialisasi tentang lingkungan dan dampak-dampak aktivitas industri terhadap lingkungan. Jika tidak, hal ini menurutnya bisa menghambat upaya transformasi energi yang sedang dilakukan pemerintah.

“Karena ketika kita menyampaikan ke masyarakat ibu kota, sepeti Jakarta. Kita akan berangkat dari suhu dan polusi udara. Ini akan berbeda jika kita menyampaikan ke daerah-daerah (di luar ibu kota),” ujarnya.

Selanjutnya, Omen, seorang pemateri dari Non-Govermental Organization (NGO) Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (PIKUL) dalam pembicaraannya menyampaikan sebuah pepatah menarik. “The Devils are in The Details," katanya. 

Pepatah itu, menurutnya perlu dikupas dalam diskusi tentang lingkungan. Pasalnya, tidak sedikit dari argumen atau aturan yang perlu dikritisi setelah melihat kondisi real lingkungan di Indonesia yang bisa dibilang memprihatinkan (tidak seperti yang digambarkan oleh pihak-pihak berkepentingan). 

Lalu, bagaimana seharusnya kita memandang problematika atau masalah ini? Dan keterlibatan seperti apa yang mesti dilakukan oleh masyarakat, pemerintah dan perusahaan/industri untuk menjawab dampak kerusakan lingkungan ini? 

Apa yang sampaikan oleh pemateri dari Climate Policy Indonesia (CPI) menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas dalam rangka menjawab pertanyaan di atas. Dia curiga ada praktik greenwashing atas nama perubahan iklim. Kehadiran Bank Pembangunan Asia (ADB) sekilas memang menjadi penyelamat PLTU Cirebon 1 untuk berhenti menggunakan sumber energi batubara. 

Solusi yang ADB tawarkan adalah memberikan bantuan pinjaman dengan bunga rendah lewat Energy Transision Mechanism (ETM) dengan syarat PLTU Cirebon 1 harus pensiun dini di tahun 2035 sehingga bisa membantu menutupi kerugian dari PLTU selama sisa waktu menuju pensiun.

Namun, bila ditelisik lebih dalam, solusi yang ditawarkan ADB tetap berbentuk “utang” yang tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang dihadapi PLTU. Utang itu si satu sisi memang bisa menjadi solusi agar pensiun dininya PLTU tidak menimbulkan kerugian yang terlalu besar. Tapi, di sisi lain hal itu tetap kurang solutif menyelesaikan masalah lingkungan yang muncul karena kehadiran PLTU. 

Mengapa bisa begitu? Karena disaat PLTU Cirebon 1 dicanangkan untuk pensiun dini, tidak jauh dari lokasinya dibangun PLTU Cirebon 2 yang baru beroperasi tahun 2022 dengan kapasitas 1.000 Mega Watt (MW). PLTU 2 ini sumber energi utamanya tidak jauh berbeda dari PLTU 1. Batubara. Karenanya, operasi atau aktivitasnya akan tetap menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar. 

Pihak ADB terhitung sudah datang 3 kali ke Cirebon untuk mensosialisasikan skema ETM kepada pengelola PLTU secara tertutup. Tidak ada keterlibatan masyarakat dalam sosialisasi itu. Sehingga masyarakat pun kurang begitu memahami apa yang dimaksud pensiun dini PLTU dan tidak dianggap masuk sebagai objek yang perlu mendapatkan bantuan itu.

Dalam survei Center of Economic Studies (CELIOS), 1 dari 5 orang di desa sekitar PLTU mengaku tidak mengetahui ada isu pensiun dini. Ditemukan pula dalam survei bahwa hanya ada 1 dari 5 orang pernah terlibat dalam kegiatan peduli lingkungan. Lalu, sebanyak 85% masyarakat sekitar juga tidak bekerja di PLTU. Artinya, 85% warga tak keberatan atas pensiun dini PLTU.

Kalau kemudian membicarakan tentang batubara, hasil pembakaran sumber energi itu dikatakan tidak ramah karena mengeluarkan gas rumah kaca seperti CO2, SO2, NOx, dan partikel halus (PM2.5 dan PM10) yang mengakibatkan polusi udara. SO2 dan NOx berkontribusi terhadap potensi munculnya hujan asam, yang merusak flora dan mengasamkan air. 

Limbah pendingin dan pengolahan batubara juga bisa memengaruhi sumber air setempat. Lalu, limbah cair yang mengandung logam berat seperti merkuri, arsenik, dan timbal juga bisa mencemari air tanah dan air permukaan. Jika tidak ditangani dengan baik, efek samping pembakaran batubara seperti fly ash dan bottom ash dapat mencemari tanah, dan logam berat dapat merusak kualitas tanah dan mengganggu ekosistem. Selain itu, penebangan lahan untuk pembangkit listrik dan lokasi pembuangan abu PLTU juga bisa merusak habitat alami dan membahayakan keanekaragaman hayati sekitarnya.

Secara lebih lanjut, partikulat halus (PM2.5 dan PM10), serta gas berbahaya seperti SO2 dan NOx juga bisa menyebabkan gangguan pernafasan seperti asma, bronkitis, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Paparan kontaminan udara tertentu dalam jangka panjang dapat menurunkan fungsi paru-paru dan meningkatkan kemungkinan penyakit pernapasan. 

Partikel halus dan gas berbahaya dapat memasuki aliran darah, sehingga meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke. Merkuri dan logam berat lainnya dalam emisi dan sampah juga bisa menimbulkan efek neurotoksik, terutama pada anak-anak, sehingga menyebabkan masalah perkembangan dan pelambatan kognitif. Paparan bahan kimia beracun seperti arsenik dan merkuri dalam jangka panjang pun meningkatkan risiko kanker, terutama kanker paru-paru dan kulit.

Upaya dan Harapan Mengatasi Permasalahan

Untuk mengatasi permasalahan ini, mestinya sejumlah langkah dapat diupayakan, termasuk penggunaan teknologi pengendalian polusi seperti scrubber SO2 dan pengurangan katalitik selektif (SCR) NOx. Teknik pengelolaan dan pembuangan limbah yang tepat sangat penting untuk menghindari kontaminasi tanah dan air. Pemantauan rutin terhadap kualitas udara dan air juga bisa mendeteksi polusi dan mengingatkan pihak berwenang untuk mengambil tindakan yang diperlukan. 

Selain itu, tranformasi sumber energi dari yang tidak ramah lingkungan menjadi ramah lingkungan atau Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam proses produksi listrik oleh PLTU atau industri juga menjadi penting. Terakhir, kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk mendukung tranformasi energi dan mengkritisi pihak-pihak industri atau bahkan pemerintah yang mengabaikan prinsip-prinsip pencegahan agar perubahan dan krisis iklim tidak semakin parah juga diperlukan. 

Lebih detail, peran anak-anak muda yang peduli terhadap persoalan lingkungan menjadi vital. Adanya diskusi publik yang bertajuk “Cirebon Kritis: Kupas Tuntas Pensiun Dini PLTU Cirebon 1” harapannya bisa menggugah kesadaran anak-anak muda dan masyarakat tentang pentingnya kepedulian mereka terhadap lingkungan sekitar.  

Perwakilan dari Karbon, Dehya Alfinnas mengatakan, diskusi ini akan berkelanjutan. Jadi, akan ada sesi pengambilan sikap dan gugatan-gugatan positif untuk memperjuangkan lingkungan di sekitar PLTU. 

“Acara Karbon ini menjadi langkah awal untuk kemudian dilanjutkan kepada FGD (Forum Group Discussion). Kemudian, ini akan dikawal hingga proses penggugatan,” Ujar Dehya.




Referensi:

Admin Cerah. (2024, April 04). Dampak Penggunaan Batu Bara Bagi Lingkungan dan Kesehatan.

Aprilia, A., & Firyal, N. R. (2024). Analisis Pengaruh Industri Batubara Terhadap Pencemaran Udara. Paper Kimia Lingkungan (TKL22113). Diambil kembali dari https://www.slideshare.net/slideshow/analisis-pengaruh-industri-batu-bara-terhadap-pencemaran-udara-pdf/269526859 

Greenpeace. (2015, Agustus 15). Factories of Death. Diambil kembali dari Greenpeace.org: https://www.greenpeace.org/static/planet4-indonesia-stateless/2019/02/605d05ed-605d05ed-kita-batubara-dan-polusi-udara.pdf 

WALHI Jawa Barat. (t.thn.). Kertas Posisi Penerapan Mekanisme Transisi Energi untuk PLTU Batubara Cirebon Unit 1. WALHI Jawa Barat. Dipetik 06 28, 2024, dari https://walhijabar.id/kertas-posisi-penerapan-mekanisme-transisi-energi-untuk-pltu-batubara-cirebon-unit-1/ 


Penulis: Raihan Athaya Mustafa & Farhat Kamal

Editor: Ega Adriansyah

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama