Sumber Foto: Pinterest
Tidak sekali saya bilang, Ramadan merupakan bulan suci yang penuh dengan kemuliaan dan keberkahan. Di bulan Ramadan, umat muslim diwajibkan untuk berpuasa. Puasa berarti menahan. Saya pernah mengatakan bahwa menahan dalam hal ini konteksnya luas, bukan hanya menahan lapar dan dahaga, melainkan menahan diri dari berbagai ucapan, tindakan atau aktivitas yang kurang baik (nir-akhlak) juga.
Ramadan, ibadah puasa dan zakat (salah satu ibadah yang dianjurkan lagi di bulan suci) erat kaitannnya dengan tujuan transformasi akhlak bagi pribadi dan transformasi sosial bagi lingkungan kolektif. Erat kaitannya dengan transformasi akhlak dan sosial karena tujuan semua ibadah yang ada di bulan Ramadan berujung kepada takwa. Takwa inilah yang bisa membuat transformasi dalam dua hal itu terwujud.
Transformasi akhlak sekarang menjadi sesuatu yang penting. Isu akhlak atau moral menjadi isu yang terus digembar-gemborkan oleh banyak pihak di Indonesia. Mulai dari aktivis demokrasi, mahasiswa atau kalangan intelektual. Banyak yang merasa, termasuk saya, bahwa isu akhlak mesti dihadirkan ke permukaan.
Melihat perilaku oknum pejabat di lingkungan pemerintahan, dari pusat sampai akar rumput begitu mengkhawatirkan. Perilakunya seolah-olah mengesampingkan tanggung jawab dan kewajiban melayani rakyat. Seolah-olah tidak takut akan pertanggungjawaban yang di kemudian hari pasti ditagih oleh Tuhan.
Belum lagi perilaku mereka (individu/lembaga) yang bertugas menangkap oknum-oknum pejabat yang melalaikan tugas dan memet (senang mengambil) uang rakyat, yang belakangan bertindak sama saja, ikut-ikutan memet, melakukan pungli bahkan pemerasan di gedung tahanan.
Sungguh kenyataan yang perlu disikapi dengan bijak. Dan kebijaksanaan itu salah satunya tercermin dalam komitmen kita untuk tidak melakukan hal serupa ketika diamanahi berbagai tanggung jawab seperti di atas. Kebijaksanaan itu tercermin juga dalam ikhtiar kita memperbaiki dan menjaga akhlak (meninggikan rasa malu atau moralitas kemanusiaan) dalam semua keadaan. Dan momen Ramadan ini amat pas untuk berlatih dan berusaha ke arah sana.
Di samping itu, Ramadan juga momen yang pas bagi kita untuk belajar, menumbuhkan kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan sosial. Terhadap tetangga, karib kerabat, sanak saudara, sohib (kawan dekat) maupun sesama manusia (utamanya yang butuh pertolongan).
Diri terkadang merasa heran sekaligus resah, melihat semakin banyak orang (secara pribadi maupun kelompok) yang semakin sungkan melihat realitas sosial, entah karena peradaban yang semakin canggih atau memang karena sisi kemanusiaan banyak orang semakin terkikis oleh individualisme (sikap mementingkan diri sendiri yang muncul sebab faktor-faktor tertentu).
Mereka yang jadi pejabat hanya peduli dengan jabatannya, mereka yang jadi akademisi hanya peduli dengan penelitian untuk mengejar pangkat atau sekedar menggugurkan tugas, sampai mereka yang jadi pelajar, pemuda atau mahasiswa yang hanya peduli dengan progres akademik pribadinya di kampus atau dimana pun dia berada.
Selain itu, sikap suatu kelompok, entah mengatasnamakan ormas Islam, ormas kepemudaan atau lainnya, yang mempunyai program kurang konkret, tidak berorientasi pada penyelesaian problem sosial di lingkungan masyarakat seperti kemiskinan, pengangguran, kelaparan, rendahnya tingat pendidikan dan sebagainya juga menjadi sebab lain dari keresahan diri.
Padahal, hakikatnya manusia diciptakan untuk menjadi khalifah dan memelihara bumi dengan seisinya. Dalam Islam, muslim muslimah pun diperintahkan untuk peduli terhadap siapa pun di lingkungan sekitar yang mengalami keadaan payah. Terlebih bagi seorang muslim muslimah yang punya tanggung jawab. Baik secara struktural di lingkungan pemerintahan atau organisasi.
Karena itu, momen Ramadan harus dievaluasi dan mulai diniatkan untuk membuat diri menjadi pribadi yang hatinya mau melihat keadaan sekitar (bukan diri sendiri saja). Dahulu, Rasulullah dan para sahabat serta tokoh-tokoh besar Islam lain adalah sosok-sosok yang rela banting tulang untuk membantu yang membutuhkan.
Rasulullah rela menyuapi makanan setiap hari kepada seorang yang buta dan membencinya sebab sisi kemanusiaanya begitu luhur, atau sahabat Umar yang rela blusukan ke rumah-rumah warga untuk mencari siapa saja yang perlu mendapat bantuan ekonomi (bahasa kita sekarang bansos) sebab ketakutannya akan sikap lalai dari amanah.
Maka, maknai Ramadan dengan penuh arti. Gunakan waktu-waktu di bulan Ramadan untuk ikhtiar meningkatkan kualitas iman dan ketakwaan. Dengan begitu, semoga pribadi yang tiada luput dari khilaf dan salah ini mampu menjadi promotor/penggerak perubahan di lingkungan sosial, pemerintahan, bangsa dan negara. Dengan upaya menerapkan dan menyebarkan ajaran akhlak yang terpuji, serta meningkatkan kesadaran untuk menjadi pribadi yang lebih peduli dan bertanggung jawab dalam berbagai situasi.
Penulis: Ega Adriansyah
Posting Komentar