Ilustrasi Foto: Annita
Cirebon, LPM FatsOeN - Buku merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari seorang pelajar dan mahasiswa. Buku disebut sebagai jendela ilmu. Seorang pelajar yang ingin menambah wawasan atau cakrawala pengetahuan memerlukan buku sebagai penunjangnya untuk mencapai keinginan tersebut.
Seorang tenaga pendidik, guru atau dosen yang mengajar seorang pelajar juga menjadikan buku sebagai bahan ajar atau referensi utama dari berbagai materi yang mereka sampaikan. Misalnya seorang dosen ekonomi menjadikan buku ekonomi dari penulis sekelas Sadono Sukirno sebagai referensi mengajarnya, atau buku-buku karya Prof. Rhenald Kasali, Sri Mulyani, Faisal Basri dan lainnya.
Bentuk buku saat ini memang sudah mengikuti perkembangan zaman. Dahulu, kita hanya mengenal buku dalam bentuk fisik saja. Kini, buku yang fisik itu sudah bisa dibaca secara digital. Kita mengenal e-book atau buku online. Namun, minat orang atau pelajar dan mahasiswa untuk membaca buku saat ini memang semakin rendah. Perkembangan zaman yang menghasilkan teknologi yang memudahkan manusia dalam beraktivitas membuatnya mulai memiliki budaya atau kecenderungan baru (dan kurang menyenangi budaya baca buku).
Oleh sebab itu, edukasi dari seorang tenaga pendidik, guru, dosen atau pegiat literasi menjadi penting. Ajakan untuk membaca buku, membudayakan membaca sebagai aktivitas yang dirutinkan menjadi sesuatu yang perlu dilakukan oleh mereka. Namun, bagaimana jika ajakan atau edukasi itu dibarengi dengan anjuran membeli buku?
Sebelum lebih jauh, ajakan atau edukasi yang dibarengi dengan anjuran seperti ini biasanya terjadi di kampus atau sekolah. Seperti yang baru-baru ini terjadi di UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (UIN SSC). Di kampusnya penulis, Seorang mahasiswa semester awal yang mengadukan keresahannya kepada akun Instagram @iaincerbon yang dikelola mahasiswa bahwa dirinya mengalami kasus seperti yang dijelaskan di atas.
Dalam pandangan penulis, mungkin niat dosen yang menganjurkan mahasiswa membeli buku (materi) atau buku karyanya adalah baik. Edukasinya totalitas. Supaya mahasiswa benar-benar senang membaca buku. Namun memang, tidak semua mahasiswa akan berpikir demikian. Terkadang ada saja yang berpikir lain. Mengartikan anjuran dosen itu sebagai pungutan liar atau pungli.
Dalam dunia kampus, tindakan pungli jelas dilarang. Jadi, tidak mungkin seorang dosen melakukan pungli (karena ada konsekuensinya). Aturannya jelas tertuang dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2023 tentang UKT pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri Tahun Akademik 2023-2024. Salah satu pasalnya menyebutkan bahwa "Perguruan tinggi keagamaan islam negeri dilarang memungut uang pangkal dan pungutan lain selain UKT PTKIN dari Mahasiswa baru program diploma dan program sarjana."
Jika mahasiswa berpikir positif, anjuran dosen tersebut sebetulnya dapat diartikan dengan prasangka baik. Terkecuali jika anjurannya sudah dibarengi dengan ancaman-ancaman yang jika tidak dilakukan dapat merugikannya sebagai mahasiswa. Jika demikian, mahasiswa boleh berprasangka lain. Tapi alangkah lebih bijak jika sebelumnya ditanyakan terlebih dahulu mengenai alasan mengapa anjuran itu (jika tidak dilakukan) dibarengi ancaman-ancaman berupa nilai yang jelek dan sebagainya.
Barangkali jika langsung disimpulkan tanpa ada proses bertanya akan ada kesalahpahaman yang malah merugikan dosen. Tapi dalam pandangan penulis, dengan alasan apa pun, sejatinya anjuran membeli buku yang dibarengi dengan ancaman seperti itu mengandung unsur kurangnya edukatif. Kesannya seperti pemaksaan meski tujuannya baik.
Penulis: Anita
Editor: Ega Adriansyah
Posting Komentar