Sumber Foto: akun Twitter @DeeCompanyID


Kisah tragis Vina, salah seorang korban yang tewas akan kekejaman geng motor di Cirebon yang terjadi pada tahun 2016 silam akan difilmkan.

Film layar lebar yang digarap oleh Perusahaan Dee Company ini mengadaptasi kisah nyata Vina, korban kebiadaban geng motor di Cirebon. Dee Company mengumumkan rencana penggarapan film kisah Vina ini lewat Instagram dan Twitter.

“Dee Company mengangkat kisah Vina, korban pembunuhan geng motor di Cirebon pada 2016, ke layar lebar,” demikian keterangan resmi dalam laman Twitter @DeeCompanyID.

Terlihat juga di postingan media sosial Dee Company bahwa orang tua dan keluarga Vina telah memberikan izin dan keterangan kepada Dee Company untuk mengadaptasi narasi tersebut menjadi sebuah film.

Film yang berjudul ‘Vina: Sebelum 7 Hari’ ini berdasarkan kisah nyata yang pernah terjadi di Cirebon 7 tahun silam.

Peristiwa ini terjadi pada Sabtu malam, 27 Agustus 2016. Vina Dewi Arista yang usianya baru beranjak 16 tahun bersama Muhammad Rizky alias Eky berboncengan melintas dengan sepeda motor di jalan Perjuangan Kota Cirebon, pada pukul 22.00 WIB bersama dengan rekan-rekannya yang lain.

Saat tiba di depan SMP 11 Kota Cirebon, muncul serangan secara tiba-tiba dari sekelompok geng motor. Mereka dilempari batu, diduga serangan pelaku teror sudah direncanakan sebelumnya. Kemudian terjadi aksi kejar-kejaran oleh para geng motor dan Vina beserta Eky.

Aksi kejar-kejaran itu berhenti di jalan layang Talun. Eky dan Vina jatuh tak berdaya setelah dihantam menggunakan bambu. Tak sampai di situ para anggota geng motor membawa keduanya ke jalan Perjuangan, Kota Cirebon. Mereka masuk melewati gang yang ada di depan SMPN 11 Kota Cirebon, setelah itu nahasnya mereka dianiaya dan dikeroyok sampai keduanya meregang nyawa. Bejatnya para anggota geng motor itu tak sampai di situ, mereka juga merudapaksa Vina.

Mayat Eky dan Vina diletakkan kembali di jalan layang Talun, alibi para pelaku membuat mereka seolah-olah seperti korban kecelakaan. Hingga akhirnya menjadi geger warga Cirebon pada saat penemuan jasad korban.

Pihak keluarga awalnya berasumsi bahwa Vina telah meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, tapi setelah hal itu terjadi, salah satu temannya terjadi fenomena kerasukan yang diduga dirasuki Vina dan menceritakan keseluruhan cerita.

Kasus pun akhirnya terungkap. Polisi mendalami keterangan beberapa rekan Eky dan Vina. Hasilnya, polisi menangkap delapan orang yang ditetapkan sebagai tersangka.

Kisah tragis ini banyak mendapat sorotan untuk difilmkan. Warganet pun sangat antusias, mereka yang mengikuti kasus Vina di Cirebon, sudah tak sabar menyaksikan kisah nyata ini diangkat menjadi film layar lebar.


Penulis: Iswanto

Editor: Akhmad J.

Foto: Anggi Fajar Syahputri
Praktik Kegiatan Manasik Mahasiswa di IAIN Cirebon


LPM FatsOeN, Kampus IAIN SNJ Cirebon — Minggu, (19/11) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon menggelar kegiatan Praktik Manasik Haji dan Umrah diikuti oleh seluruh 2.957 mahasiswa semester 5 yang terbagi ke dalam 40 kelompok manasik, di mana setiap satu kelompok terdiri dari dua kelas. 

Kegiatan ini bertempat di halaman Ma'had Al Jamiah dan Halaman gedung rektorat IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Manasik ini merupakan rangkaian dari Praktik Ibadah ke-2 yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang syarat, hukum, dan rukun dalam ibadah manasik haji dan umroh; serta meningkatkan kualitas kesadaran sosial keagamaan mahasiswa. Hal ini diungkapkan oleh Yanti selaku ketua pelaksana.

"Tujuan acara ini itu agar mahasiswa mempunyai pengalaman yang real untuk praktek manasik haji dan umrah ketika nanti mereka sudah siap untuk beribadah haji dan umrah, menumbuhkan spiritual juga, sih. Karena kan diajak untuk memvisualisasikan seolah-olah kita ada di depan kakbah," ujarnya. 

Kegiatan ini dimulai sejak pagi hari pukul 06.30 WIB hingga selesainya kegiatan pukul 09.30 WIB. Kegiatan ini diawali dengan berkumpulnya para mahasiswa di Area Gedung Pascasarjana untuk melaksanakan niat ihram umrah. 

Setelah melaksanakan niat, selanjutnya mahasiswa melakukan rangkaian ibadah umrah di halaman Ma'had Al Jamiah dan kembali ke Pascasarjana untuk melakukan niat ihram Haji dilanjutkan dengan pelaksanaan wukuf dan melempar jumroh di Halaman Gedung Rektorat dan kembali melaksanan thawaf hingga rangkaian ibadah haji selesai di Halaman Ma'had Al-Jamiah. 

Kegiatan ini merupakan kegiatan praktik manasik pertama bagi pengurus baru Ma'had Al-Jamiah setelah masa pergantian pengurus. Pergantian pengurus ini disebabkan pergantian Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati delapan bulan silam. 

"Karena rektor berubah, semua struktural pengurusnya juga berubah termasuk (pengurus) Ma'had juga," ujar Yanti.

Adapun susunan kepanitiaan manasik haji dan umrah IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun ini, pihak Ma'had membuka rekrutmen bagi pembimbing dan pendamping yakni, dosen dan pengurus KBIH setempat, tentunya dengan berbagai syarat dan ketentuan. Salah satunya, pernah melaksanakan haji dan umrah bagi pembimbing. 

Terdapat perubahan jam dalam rundown kegiatan Manasik tahun ini yang semula dimulai pukul 07.30 WIB menjadi 06.30. Hal ini dikarenakan jika dimulai lebih pagi, kegiatan manasik haji dan umrah dapat berjalan dengan baik dan cuaca tidak terlalu panas. Hal ini ditanggapi dengan baik oleh pengurus baru sesuai masukan dari pengurus lama Ma'had Al-Jamiah.

Adapun konsekuensi bagi mahasiswa semester 5 yang tidak mengikuti kegiatan manasik tahun ini yaitu diharuskan untuk mengikuti manasik haji dan umrah di tahun selanjutnya.


Penulis: Siska Aditia, Akhmad J.

Editor: Tim Editorial LPM FatsOeN

 

Sumber: Dokumentasi Penulis
Studi Mahasiswa Sejarah di Gerabah Sitiwinangun

Cakrawala Indonesia terbentang luas dari Sabang hingga Merauke. Tidak heran memiliki keberagaman suku, adat istiadat, geografis, hingga mata pencaharian yang pasti berbeda-beda di tiap daerahnya. Seperti halnya pada salah satu pengrajin gerabah terbesar di Jawa Barat yakni di Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, memiliki penduduk yang mendedikasikan sebagian hidupnya untuk membuat gerabah. Bermula dari kebiasan yang sudah ada sejak para leluhur terdahulu mereka kemudian menjadi turun-temurun hingga menjadikannya sebagai mata pencaharian dalam menjalani kehidupan. 

Sitiwinangun adalah sebuah desa yang ada di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon.  Nama Sitiwinangun terdiri dari gabungan kata Sitti yang artinya tanah dan Winangun yang berarti bentuk. Dari penamaan ini bermula saat zaman dahulu sekitar tahun 1222, tradisi membuat gerabah sudah dilakukan oleh nenek moyang penduduk Sitiwinangun.  Pada saat itu di daerah Kebagusan sudah ada padukuhan, yang bernama Padukuhan Kebagusan dan masyarakat Kebagusan pada waktu itu sudah mengenal kerajinan gerabah. Kerajinan gerabah yang ditemukan pada masa Kerajaan Majapahit atau Singasari memiliki kesamaan dengan gerabah yang dibuat oleh warga Kebagusan. 

Dari latar belakang tersebut, menjadikan Sitiwinangun sebagai sentra gerabah tertua di Jawa Barat. Berkaitan dengan itu, membuat penduduknya sebagian bermata pencaharian sebagai pengrajin gerabah. Terutama di era tahun 1980-an, ketika Sitiwinangun berada pada masa kejayaannya sebagai penghasil gerabah terbaik, terdapat 4 dari 5 blok yang ada pada desa tersebut yang penduduknya berkecimprung di dunia penggerabahan. Banyak truk-truk pembeli yang mengantre di sepanjang jalannya untuk mengangkut gerabah-gerabah tersebut. 

Salah satu pengrajin dari tahun 80-an sampai sekarang ialah Ibu Rumtini, beliau sudah terjun dalam dunia membuat gerabah sejak sekolah dasar sampai sekarang. Beliau berpendapat bahwa memang Sitiwinangun ini sudah menjadi sentranya pembuatan gerabah tertua, "Sudah lama sejak saya SD dulu saya ikut orang-orang, lumayan buat anak SD dapat uang tambahan buat jajan," Ujar beliau. Adapun gerabah yang dibuat beliau tergantung pesanan pembeli atau dititipkan ke warung-warung dengan kisaran harga mulai Rp5.000 sampai Rp800.000. Ketika diwawancarai beliau menyampaikan bahwa, "Yang sering dibeli itu mangkok-mangkok buat makanan kaya tahu gejrot.” 

Jadi untuk sekarang ini seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa di era 80-an yang sedang jaya-jayanya berbeda dengan tahun 90-an di Sitiwinangun yang mana mengalami kemunduran diakibatkan maraknya produk dari plastik sehingga membuat peluang pasar gerabah menurun.

Di tahun 2000-an dicoba revitalisasi kembali Desa Sitiwinangun agar tetap menghasilkan gerabah, salah satunya dengan inisiatif warga sendiri yang memang bisa dibilang sebagai mata pencaharian mereka. Maka dari itu, Ibu Rumtini sendiri membuat gerabah untuk dipasarkan yang banyak digunakan untuk makanan. Selain itu digunakan sebagai alat rumah tangga sehari-hari, gerabah Desa Sitiwinangun juga digunakan untuk kepentingan religi dan keagamaan, antara lain: memolo atau mahkota yang berfungsi sebagai penutup ujung atap pada bangunan masjid sebagai tempat peribadatan. 

Gebrakan lain juga yang dilakukan di Sitiwinangun yaitu, menjadikannya desa tersebut sebagai wisata edukasi. Jika Ibu Rumtini membuat gerabah di rumah, berbeda ketika ada sekelompok orang lain dari sekolah, perguruan tinggi, dan instansi-instansi lain yang berkunjung ke tempat tersebut. Maka pengelola gerabah tersebut yang kebetulan dikelola oleh pemerintah desa lebih tepatnya BumDes, para pengrajin akan datang ke pusat utama pembuatan gerabah. Dengan kata lain, para pengrajin bergabung menjadi tour guide sekelompok orang tersebut. Hal ini tentu sejalan dengan awal mula yang menjadi cikal bakal pembuatan gerabah dijaga dan dilestarikan hingga sampai sekarang serta menjadi mata pencaharian bagi masyarakat setempat. 


Penulis: Risna Ayu Lestari

Editor: Tim Editorial LPM FatsOeN