SK Dirjen Pendis dan POK IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Memasuki berakhirnya
periode kepengurusan organisasi, seperti biasa wacana tentang pemilihan mahasiswa atau pemilwa untuk melanjutkan estafet kepemimpinan organisasi di
kampus kembali menguat. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya wacana pemilihan
kampus berkutat pada regulasi sistem pemilihan mahasiswa yang menggunakan
sistem keterwakilan.
Sistem keterwakilan yang
digunakan oleh kampus di lingkungan PTKIN ini selalu menjadi sorotan
karena dirasa terlalu eksklusif dan tidak terbuka. Pemilihan mahasiswa yang
seharusnya terbuka dengan seluas-luasnya malah menjadi sedemikan sempit karena
adanya sistem keterwakilan.
Mengapa ada sistem keterwakilan?
Pada dasarnya sistem pemilihan
mahasiswa dengan keterwakilan memiliki dasar hukum yang sangat kuat. Setidaknya
ada dua dasar hukum yang digunakan kenapa harus menggunakan keterwakilan. Pertama, yaitu
dari Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam/Dirjen Pendis Nomor 4961
Tahun 2016 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Pada Perguruan Tinggi
Keagaamaan Islam. Kedua, yakni dari Pedomanan Organisasi Kemahasiswaan/POK IAIN Syekh
Nurjati Cirebon tahun 2020.
Pada SK Dirjen Pendis
Nomor 4961 Tahun 2016 disebutkan bahwa tata cara pemilihan ketua Senat
Mahasiswa/SEMA menggunakan sistem keterwakilan, yang termaktub dalam
bagian I pasal 1 poin B dan C tentang Tata Cara Pemilihan Ketua Senat
Mahasiswa, dan di pasal 2 bagian B untuk Pemilihan Ketua Dewan Eksekutif
Mahasiswa.
Untuk dibagian Pedomanan
Organisasi Kemahasiswaan/POK IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2020, pasal
keterwakilan termaktub dengan jelas pada BAB V tentang Senat Mahasiswa di Pasal
13 poin A, B dan C dan di bagian ketiga tentang Kepengurusan di Pasal 18 di
poin 2, untuk Dewan Eksekutif Mahasiswa ada dibagian satu tentang
Kepengurusan di pasal 19 poin 1.
Itulah dua dasar hukum
yang digunakan kenapa lahirnya sistem keterwakilan, walaupun sistem
keterwakilan membuat kampus menjadi lebih kondusif dan minim terjadi konflik, tetapi disisi lain karena sifatnya yang eksklusif, sistem keterwakilan sangat rentan
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi hal ini didukung dengan beberapa pasal yang
menurut saya masih sangat bias dan sangat rentan seperti di Bab V Pasal 13 poin
D dan E yang berbunyi:
d. Perwakilan fakultas dan jurusan sebagai calon anggota
SEMA-Institut dipilih oleh DEMA Fakultas dan HMJ yang merupakan hasil rapat
secara internal dan demokratis
e. Mekanisme pemilihan utusan DEMA Fakultas dan HMJ sebagai Calon
Anggota SEMA-Institut diatur oleh DEMA-Fakultas dan HMJ masing-masing.
Redaksi pemilihan calon
anggota sema institut yang merupakan hasil dari rapat internal dan demokratis
inilah yang perlu dipertanyakan, rapat internal dan demokratis seperti apakah
yang memang diadakan oleh Dema F dan HMJ? Sependek pengetahuan saya menjadi
mahasiswa (semoga aja salah) tidak
pernah saya mendengar mengenai rapat internal dan demokratis yang seperti ini.
Hal ini menjadi
sedemikian membingungkan ketika pasal tersebut bertemu dengan poin E yang
memberikan kewenangan tentang mekanisme pemilihan utusan yang diatur oleh Dema
F dan HMJ masing-masing.
Mungkin karena ada
redaksi kata “rapat, internal, demokratis, kewenangan, mekanisme,
masing-masing” yang membuat sistem keterwakilan ini menjadi bias dan rentan
disalahgunakan, begitupun dengan pemilihan Dema yang termaktub dalam Pasal 19
poin B.
Melihat permasalahan di
atas tentu harus diperlukan solusi yang konkret untuk menangani pasal-pasal
yang bias ini. Kita pun tidak bisa menggunakan sistem Pemilihan Raya karena
dapat melawan hukum atau aturan yang berlaku. Maka salah satu solusinya adalah
dengan memperluas cakupan sistem keterwakilan tersebut.
Jika biasanya sistem
keterwakilan menggunakan perwakilan dari tiap-tiap jurusan dan fakultas yang
akhirnya malah rentan disalahgunakan, maka alternatif lainnya adalah dengan
memperluas cakupan keterwakilan tersebut menjadi ke setiap perwakilan kelas
yang ada di jurusannya masing-masing,
Jika satu kelas ada 30
orang maka 1 orang kosma akan membawa keterwakilan suara dari 30 orang anggota
kelasnya. Dengan begini, bias dari sistem keterwakilan dapat diatasi dan dari
segi demokrasi pun ada karna kosma dari setiap kelas sudah menjadi Daftar
Pemilih Tetap/DPT.
Jika alasanya sulit
untuk mendata setiap kosmanya, hal ini bukan menjadi masalah yang serius, saya
yakin setiap hmj bisa mendata tiap kosma jurusannya masing-masing. Namun sistem
keterwakilan tiap kelas ini mungkin hanya dapat berlaku untuk pemilihan ketua
dan wakil ketua Dema, jika untuk Sema mungkin akan sangat sulit.
Dan itu pun kalau solusinya dapat dilaksanakan, kalau pun tidak dilaksanakan juga, ya sudah, toh ini bukan urusan saya,
urusan sayakan cuma mencintai kamu. Haha.
Penulis: Fahmi Labibinajib
Editor: R. Al Wafi