(Tangkapan Layar 500 Days of Summer/Fahmi Labib.)

Inilah salah satu film yang wajib ditonton bagi kalian yang menyukai film bergenre relitationship. Di tulisan pendek ini, saya tidak akan membahas tentang sinopsis atau identitas suatu film. Tetapi kali ini saya akan lebih membahas siapa yang salah di film 500 Days of Summer yang rilis pada 17 Juli 2009 dan disutradarai oleh Marc Webb asal Amerika Serikat.

Memang sangat sulit menentukan siapa yang salah di film ini, Summer yang merupakan tipikal cewek humble, friendly, dan juga asyik. Sedangkan Tom merupakan cowok yang baik hati, tulus dan polos.

Summer mengatakan kepada Tom bahwa dirinya hanya iseng dan sekedar main-main  dalam menjalin hubungan dengan dirinya. Akan tetapi di sisi lain, Tom justru mempunyai ekspektasi yang lebih mengenai hubungannya dengan Summer. Tom menganggap bahwa segala hubungan yang dilakukannya dengan Summer adalah hal yang tulus, padahal Summer sudah mengatakan dengan jelas bahwa dirinya hanya ingin mencari pelampiasan akan kebosanannya.

Hingga pada akhirnya Summer pergi meninggalkan Tom dengan menyisakan rasa sakit hati yang teramat pedih bagi Tom. Tom merasa benar-benar dijatuhkan oleh ekspetasinya sendiri yang begitu tinggi terhadap Summer. Jadi, siapa yang salah di sini? Baik Summer ataupun Tom, semuanya memiliki argumen masing-masing.

Kubu Tom mengatakan bahwa ini jelas Summer yang salah, kenapa dia meninggalkan Tom setelah sekian lama menjalin hubungan dengan Tom, apalagi hubungan mereka berlangsung selama hampir 500 hari sesuai dengan judul filmnya yaitu 500 Days of Summer. Kalau memang sejak awal hanya sekedar iseng, kenapa bisa selama itu hubungan mereka terjalin, bahkan hingga sampai ke tahap hubungan paling intim. Summer bahkan  sadar bahwa Tom adalah pria yang baik dan  sangat menyukai dirinya. Tapi pada akhirnya Summer memilih pergi meninggalkan Tom dan menjalin hubungan dengan cowok lain yang ia cintai.

Di kubu Summer mengatakan bahwa jelas Tomlah yang salah. Mengapa Tom malah berekspektasi tinggi kepada Summer padahal jelas-jelas Summer mengatakan bahwa dirinya hanya menjadi sasaran kebosanan dari Summer saja. Bahkan di dalam film tersebut, ada salah satu adegan di mana Summer bertanya kepada Tom apakah Tom suka pada dirinya hanyalah sebatas teman saja, dan Tom pun mengiyakan pertanyaan tersebut. Akan tetapi, omongan Tom tidak sepenuhnya dapat benar dan dapat dipercaya. Tom justru semakin mencintai Summer dan menganggap segala hal yang mereka lakukan bersama adalah bukti keseriusan Summer dalam menjalin hubungan dengannya.

Di sini jelas Tom sangat egois karena ia tidak mau menerima penjelasan dari Summer yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebatas sasaran kebosanan Summer saja. Tom sangat percaya bahwa Summer lama kelamaan akan jatuh cinta pada dirinya, tetapi kenyataan malah berbanding sebaliknya, Summer pergi meninggalkan Tom yang termakan oleh ekspektasinya sendiri.

Jadi menurut kalian, siapa yang salah? Summer yang friendly atau Tom yang baik hati tapi egois?

Penulis : Fahmi Labibinajib/LPM FatsOeN

Editor : Wiyanti Aisyah/LPM FatsOeN

Ilustrasi "Adakah Demokrasi?" RAW/FatsOeN

Demokrasi Kampus, Apakah Ada?

Ada satu istilah yang mungkin familiar di telinga para pembaca; pemira. Iya, pemira. Secara definisi umum, pemira adalah singkatan pemilihan raya. Jika lingkupnya nasional biasanya disebut Pemilihan Umum (PEMILU). 


Pemira adalah pesta demokrasi yang biasa diselenggarakan pada perguruan tinggi di Indonesia. Pemira juga merupakan gambaran dari sistem demokrasi Indonesia. Tujuan dari pemira, secara umum adalah untuk memilih kepemimpinan selanjutnya sekaligus memperbaharui kekuatan pendukung gerakan kampus. 


Baca juga: Stagnansi Demokrasi Kampus


Dan, ya, pesta demokrasi akan segera berlangsung menjelang akhir tahun. Jabatan setiap ORMAWA kampus dipastikan akan melaksanakan regenerasi kepengurusan sebagai wahana penyadaran demokrasi dan melanjutkan kepemimpinan organisasi.


Pemilihan ketua eksekutif mahasiswa, menjadi satu momen yang krusial  sebab dari sana ada amanah yang akan diemban untuk satu periode kepemimpinan, dan tentu harus dipertanggungjawabkan secara penuh dan sadar.


Masih bicara pemira di suatu perguruan tinggi, lazimnya akan ditemui beberapa hal yang menjadi ciri tersendiri. Mulai dari sosialisasi kepada mahasiswa, perekrutan dan pelantikan Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM), dan pembentukan Panitia Pengawas Pemilu Mahasiswa (Panwaslum). 


Asas pemira lazimnya memuat empat hal berikut:


1. “Langsung" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.


2. “Umum" berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara.


3. “Bebas" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.


4. “Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.


Aroma keramaian pun lazim tercium dan terasa bahkan sebelum pelaksanaan kegiatan tahunan tersebut. Pojok-pojok kampus, gang-gang di sekitar kampus sampai di tembok-tembok indekos, mulai terpampang poster foto yang berisi foto mengepal atau senyum yang sangat persuasif. Jargon dan visi misi para calon ketua dan wakil ketua pun tak luput dalam poster tersebut.


Apalagi, perkembangan teknologi lewat media digital berupa FB, IG, Tik-Tok, dan menambah luas jangkauan para kandidat dalam menunjukkan dirinya di masyarakat kampus.


Rampung masa sosialisasi, tiba di masa debat para kandidat, masing-masing pasangan calon (paslon) memaparkan visi misi, dan adu gagasan mengenai terobosan  apa saja  yang akan dilaksanakan jika terpilih nanti. 


Semangat 'kompetisi' pun semakin memanas menjelang pemungutan suara. Masing-masing kandidat tentu mengklaim dirinya yang akan memenangkan pertarungan tersebut dengan mendapat suara terbanyak mahasiswa.


Itu pemira, di IAIN, atau lebih luas, secara umum di kampus-kampus PTKI seperti apa bentuknya?  Mengenai hal tersebut, secara hukum termaktub dalam Keputusan Dirjen Pendis Nomor 4961 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang berlaku untuk semua Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negri (PTKIN) di Indonesia. 


Keputusan tersebut salah satunya berisi tentang pemilihan yang dilaksanakan di kampus PTKI yaitu dengan sistem keterwakilan, tanpa melibatkan seluruh mahasiswa. Tentu, ini yang dijadikan payung hukum pejabat SEMA dan DEMA dalam proses pemilihan ketua dan wakil ketua lewat jalur atau cara keterwakilan/perwakilan dari setiap HMJ/Jurusan. 


Baca juga: Sistem Keterwakilan


Terlepas dari mahasiswa tahu tidaknya sistem perwakilan atau belum sadar tentang pemilihan SEMA, DEMA, adanya sistem perwakilan itu sendiri apakah menjadi suatu degenerasi sistem demokrasi di kampus dalam berorganisasi? Atau suatu alternatif demokrasi kampus? Dengan alasan minim peluang kecurangannya.


Meski begitu, masih harus selalu berharap, bahwa pemira tetap menjadi semangat untuk merevitalisasi demokrasi kampus dengan memberdayakan elemen mahasiswa. Tujuan akhir dari demokratisasi adalah memastikan kampus membuka partisipasi seluruh mahasiswa dalam semua proses demokrasi yang mereka lakukan. 


Pada akhirnya adalah keputusan sadar sejak dalam pikiran, perkataan dan perbuatan pada diri masing-masing apakah akan menggunakan hak pilih itu, atau tidak. Pilihan yang terpenting, bagaimana kita menggunakan hak mahasiswa untuk memilih secara independen dan teliti. Namun, itu semua hanyalah khayalan semata manakala sistem pemilihan  masih dilakukan secara perwakilan/keterwakilan.

 

Penulis: A. Rifal Amam (Arai)/FatsOeN

Editor: R. Al Wafi/FatsOeN

 

(Foto: Dea Agustin/LPM FatsOen)

Akhir-akhir ini saya sangat tertarik dengan aktivitas politik. Kurang lebih satu tahun terakhir pembahasan mengenai politik bagi saya sangat menarik. Hingga akhirnya saya menemukan sebuah kesimpulan sederhana mengenai politik dan dilemanya. 

Politik seringkali mempermudah sesuatu yang sangat pelik, tetapi dalam kasus tertentu begitu mempersulit sesuatu yang sebenarnya sangat mudah. Cukup menarik bukan?

Saya ingin menjelaskan bagimana politik begitu mempermudah sesuatu yang sebenarnya sangat pelik dan bertele-tele. Saya pernah mengikuti sebuah seminar yang dihadiri oleh seorang Anggota DPR-RI dan Manager salah satu perusahaan BUMN. 

Dalam seminar tersebut salah satu peserta mempertanyakan kinerja dari BUMN tersebut yang menurutnya sangat buruk. Peserta tersebut sebenarnya telah berulang kali memprotesnya namun tetap saja dari atasan belum memberikan peringatan secara tertulis dan administratif. 

Namun uniknya dalam momen tersebut tanpa menunggu lama Manager BUMN tersebut langsung memberi Surat Peringatan (SP) kepada salah satu cabangnya yang bermasalah. 

Entah karena Manager tersebut sedang bersama Anggota DPR-RI yang menyebabkan ia harus bertindak cepat. Sesuatu yang sebelumnya sangat rumit, bahkan perlu menempuh jalur administrasi yang bertele-tele. Hanya dengan kekuatan politik dari Anggota DPR-RI menjadi sangat mudah direalisasikan.

Namun dalam kasus lain politik dapat mempersulit sesuatu yang mudah. Berangkat dari pengalaman teman jurusan saya ketika KKN. Saat acara puncak sebelum penutupan KKN teman saya ini ingin mengundang pejabat daerah setempat (Bupati) untuk memberikan sambutan dalam acara puncak tersebut. 

Namun hal ini tidak bisa terwujud sebab Kepala Desa tidak mengizinkan karena alasan yang sangat egosentris. Yah, hanya karena perbedaan orientasi politik hahahaha.

Bayangkan, untuk mengundang Bupati bukan hal yang mudah, dan kawan saya ini punya relasi untuk kesana dan berhasil. Namun hanya karena perbedaan orientasi berpolitik, hal yang sebelumnya mudah, menjadi sulit.

Bahkan untuk skala kecil seperti politik dalam kampus, politik seringkali mempersulit sesuatu yang sebenarnya sangat mudah. Seperti dalam kasus untuk join dengan salah satu organisasi internal mahasiswa. Mereka yang tidak terafiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik (Bendera) dalam kampus seringkali tidak mendapatkan hak yang setara dengan mereka yang memiliki afiliasi. Bahkan ruang-ruang untuk kesitu tertutup.

Saya ingin menceritakan sedikit pengalaman saya selama di kampus, dalam seleksi pemilihan pengurus Mahasiswa Himpunan saja efek daripada politik sangat terasa. Mereka yang lolos dalam seleksi tersebut mayoritas adalah anggota dari kekuatan politik yang ada di kampus, teman-teman saya yang lain yang tidak terafiliasi tidak lolos sedangkan menurut saya mereka cukup kompeten dan berhak untuk belajar dalam organisasi internal. 

Politik seringkali dianggap sebagai sesuatu yang menjijikan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa politik memiliki pengaruh yang signifikan dalam masyarakat. Meskipun pengaruhnya bisa baik atau buruk. 

Menurut saya, mereka yang tidak peduli terhadap politik berarti tidak peduli dengan dirinya sendiri. Fakta bahwa politik memiliki pengaruh yang kuat tidak akan bisa dibantah meskipun mereka menyebutkan "politik adalah hal yang menjijikan".


Penulis : Soleh Hasan

  


(Momentum foto bersama Dekan, Jajaran ketua Umum Ormawa dan Ketua Pelaksana dalam Pembukaan acara Launching Workhop dan Seminar Himafil, foto: Puan/LPM FatsOeN)


IAIN, LPM FatsOeN - Himpunan Mahasiswa Filsafat Islam (HIMAFIL) Menggelar Workshop World Philosophy Day We Learn,How We Where To Stand dengan mengusung tema seminar "Evolusi Filsafat Dalam Konteks Global", Kamis (17/11/2022).

Acara ini dibuka dengan sambutan-sambutan : Ketua Pelaksana Budiman Yusuf,Ketua HIMAFIL Mikail Surousah,Ketua Dema Institut, Omar Qad Panity,Ketua Jurusan HIMAFIL Bpk Dr Mustofa M. Ag,serta Dekan Fakultas Ushuludin dan Adab Bpk Dr Sanusi M. Ag.

Perhelatan ini di gelar di Aula Pasca Sarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, pada pukul 08.00 s.d WIB. Adapuj acara kali jnj diadakan berbagai perlombaan yakni,lomba cipta baca puisi,lomba debat,lomba desain poster,dan lomba mobile legend. Serta dalam rangkaian acara puncak yang akan di gelar pada Tanggal 3 Desember 2022 yang akan mengadakan Seminar workshop yang turut mengundang Fakhrudin Faiz M. Ag selaku dosen Aqidah Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Dalam wawancara dengan Ketua Pelaksana Budiman Yusuf dalam tema Workshop HIMAFIL mengatakan, "Tentu nya di era globalisasi kita memiliki bayak sebuah media-media yang mengundang informasi,maka filsafat berperan penting dalam memfilter sebuah informasi gang kita dapat,agar kita terhindar dark media informasi yang tidak benar (Hoax)".

Budiman Yusuf juga mengharapkan untuk Para Mahasiswa AFI membangun sebuah intelektual sebagai mahasiswa AFI.

 

Penulis : Puan Nurshinta Mahardika (Anggota LPM FatsOeN)

Ilustrasi Pemimpin dalam Masyarakat/Pixabay


Siapa itu Pemimpin?

Menurut kaidah secara umum, para pemimpin atau manajer adalah manusia-manusia super lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu segala sesuatu. Para pemimpin juga merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam kemasyarakatan  merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. Berangkat dari ide-ide pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah perjalanan suatu organisasi. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan dari tingkat kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan tanpa kehadiran pemimpin, suatu organisasi akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah. 


Dalam sejarah peradaban manusia, dikonstatir gerak hidup dan dinamika organisasi sedikit banyak tergantung pada sekelompok kecil manusia penyelenggara organisasi. Bahkan dapat dikatakan kemajuan umat manusia datangnya dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang tampil ke depan. 


Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir, pencipta dan ahli organisasi. Sekelompok orang-orang istimewa inilah yang disebut pemimpin. Oleh karenanya kepemimpinan seseorang merupakan kunci dari manajemen. Para pemimpin dalam menjalankan tugasnya tidak hanya bertanggung jawab kepada atasannya, pemilik, dan tercapainya tujuan organisasi, mereka juga bertanggung jawab terhadap masalah-masalah internal organisasi termasuk di dalamnya tanggung jawab terhadap pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia. Secara eksternal, para pemimpin memiliki tanggung jawab sosial kemasyarakatan atau akuntabilitas publik. 


Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi. Hal tersebut dapat dilihat dari keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat tergantung kepada kewibawaan, dan juga pimpinan itu dalam menciptakan motivasi dalam diri setiap orang bawahan, kolega, maupun atasan pimpinan itu sendiri.


Pemimpin dalam Bingkai Masyarakat

Ibn khaldun percaya bahwa manusia adalah alat yang pasif di tangan masyarakat, sehingga hampir tidak dapat menyebabkan perubahan penting dalam proses sosial. Oleh karena itu, manusia lebih baik ikut bersama proses yang tidak terhindarkan itu daripada menentangnya. Ibn khaldun percaya bahwa seorang pemimpin (raja/khalifah) berhak untuk ditaati dan dihormati. Para penguasa merupakan faktor utama yang mengendalikan kontrol sosial. Tanpa mereka, ketidakadilan akan merajalela.


Meskipun Ibn khaldun menyadari bahwa kepemimpinan atau kekuasaan cenderung untuk menyimpang, tetapi Ibn khaldun dengan keras menyerang kaum ilmuwan yang merendahkan kaum penguasa dan mengecilkan peran sosial mereka. Ia menganggap tuduhan demikian adalah tidak benar dan kacau. Tampaknya, ia menyukai orang-orang yang penurut dan berusaha untuk bersikap ramah, menyenangkan, dan memuji-muji penguasa, sehingga berakibat memperoleh kekayaan dan kedudukan. Pendapat ini sesuai dengan logika realistis Ibn khaldun yang mengajukan bahwa kebaikan dan keburukan merupakan dua aspek yang niscaya dari sebuah realitas. 


Ibn Khaldun membagi kedudukan dan fungsi raja dalam dua klasifikasi, yaitu pemimpin dan penguasa. Ketika kekuatan dan kebenaran menyatu pada seorang raja, kemungkinan besar ia mempunyai watak kepemimpinan lebih dari sekadar penguasa. Serta tidak memperoleh tempat apabila kekuasaan lebih dominan dibanding kebenaran. Ibn khaldun secara jelas menunjukkan bahwa ketika kekuasaan mulai menggantikan kepemimpinan di sebuah organisasi atau masyarakat setahap demi setahap kehilangan kekuatan, jalinan kekuatannya, dan akhirnya akan mati.


Dialektika antara kebenaran dengan kekuatan akan menentukan kualitas kepemimpinan. Apabila kekuatan lebih dominan dari kebenaran, raja lebih patut disebut penguasa. Sebaliknya, apabila kebenaran tidak ditopang oleh kekuatan, kepemimpinannya disebut sebagai kepemimpinan idealistik-utopis (berupa khayal). Jadi, keduanya harus seimbang, sehingga mengantarkan seorang raja menjadi patut disebut “pemimpin”.


Kualitas pemimpin ini selanjutnya diwarnai oleh tata pemerintahan yang akan berimbas pada perubahan masyarakatnya. Ibn khaldun menyatakan bahwa salah satu sebab yang mendorong masyarakat berkembang adalah adanya perbedaan tata pemerintahan dan perubahan organisasi yang memerintah. Selain itu, perkembangan masyarakat juga dimotivasi oleh adanya asimilasi (pembauran satu kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru) adat istiadat dari setiap organisasi baru dengan organisasi yang lama dan adanya kecenderungan natural yang terdapat pada masyarakat yang diperintah untuk mengikuti atau meniru adat istiadat yang memerintah. 


Bangsa atau keluarga yang memerintah secara perlahan-lahan juga sering mengadaptasi adat istiadat pemerintahan yang mendahuluinya dengan tetap menjaga sebagian adat istiadat yang dimilikinya. Dengan demikian, terciptalah difusi sosial baru yang ditiru oleh bangsa yang diperintah dan melaksanakannya di segala sektor kehidupannya. 


Semua perubahan dan perkembangan yang terjadi pada gejala sosial berdiri di atas dua pilar, yaitu inovasi dan imitasi. Proses inovasi merupakan penemuan baru dan kekuatan memberi pengaruh para pemimpin, pembaharu dan ahli pikir. Adapun imitasi yang merupakan usaha meniru dari para individu dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa soal perkembangan masyarakat dapat dikembalikan pada gejala kejiwaan (psikologis) individual, sebab penemuan baru dan meniru termasuk bagian dari gejala-gejala kejiwaan. 


Di samping itu, pengaruh pemimpin atau individual (agen) terhadap perkembangan masyarakat memang tidak dapat dimungkiri, tetapi hal tersebut terlalu berlebihan karena ada faktor lain, selain pemimpin yang memacu perkembangan sosial masyarakat. Setiap para pemimpin, pembaharu, atau ahli pikir tidak akan berhasil menyampaikan pikirannya apabila masyarakat tidak memiliki kesiapan menerima ide-ide tersebut. Sejarah membuktikan bahwa para nabi dan rasul, pembaharu, atau ahli fikir tidak akan berhasil menyampaikan pikirannya apabila masyarakat tidak memiliki kesiapan menerima ide-ide tersebut. Sejarah membuktikan bahwa para nabi dan rasul, pembaharu, atau ahli pikir lain tidak serta merta diterima oleh pemikiran masyarakatnya, betapapun baiknya pendapat tersebut.


Akhirnya, hal ini berarti bahwa perkembangan masyarakat tidak selamanya didorong oleh usaha para pemimpin. Dengan kata lain, bahwa pemimpin dapat menciptakan masyarakat dapat dibalik, yaitu kondisi masyarakatlah yang menciptakan pandangan para pemimpin. Sekalipun demikian, hal ini bukan berarti menafikan andil para pemimpin dalam perkembangan masyarakat, karena mereka juga ikut berperan dalam menciptakan kondisi masyarakat pada masanya. Usaha mereka tentunya didukung oleh kesiapan masyarakat menerima ide-idenya agar semua yang diusahakan dapat membawa pada kesuksesan bersama. 


Penulis: Dita Rosyalita/FatsOeN

Editor: Rifki Al Wafi/FatsOeN


Ilustrasi Novel Semua Ikan di Langit. Hanipah/FatsOeN

Judul: Semua Ikan di Langit

PengarangZiggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Cetakan pertama: Februari, 2017

Penerbit: Grasindo

Jumlah halaman: 288 halaman

Semua Ikan di Langit adalah naskah novel yang meraih juara pertama dari Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2016. Sebuah ajang sayembara nasional bergengsi untuk novel-novel Indonesia yang mana jebolan dari ajang ini sudah dipastikan memiliki kepiawaian dalam meracik tulisan. Lantas apakah yang menjadikan 'Semua Ikan di Langit' menjadi juara pertama dalam ajang ini?

Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie adalah penulis Indonesia yang memiliki potensi yang tidak perlu diragukan. Hal ini terbukti pada Sayembara DKJ 2015 karyanya yang berjudul 'Di Tanah Lada' berhasil menyabet juara dua, kemudian pada Sayembara DKJ 2016 ia kembali dengan naskah unik yang berhasil menyabet juara pertama.

Blurb novel ini mengisahkan tentang petualangan Bus Damri yang biasanya hanya berkeliling Dipatiukur–Leuwipanjang lalu akhirnya bertemu dengan sosok Beliau yang menjadikan perjalanan Bus Damri terasa begitu supratural karena dapat berkeliling melewati lintas ruang dan waktu.

Metafora mengenai ketuhanan jelas sangat kental dengan analogi-analogi yang dijabarkan oleh Ziggy dalam 'Semua Ikan di Langit', menyajikan tokoh-tokoh yang tidak terbayang sebelumnya bagi para pembaca, seperti Bus Damri, Beliau, Ikan Julung-Julung, Kecoa, dan berbagai tokoh unik lainnya tercipta oleh rangkaian kepiawaian dan daya imajinasi tinggi sang penulis.

Pada halaman-halaman awal, novel ini terasa begitu samar mengenai apa yang ingin disampaikan, terasa juga seperti gabungan dongeng yang  absurd dengan dongeng filosofis seperti novel 'Le Petit Prince' karya Antoine de Saint-ExupĂ©ry.

Namun, pada bab selanjutnya novel ini memberikan gambaran jelas apa yang ingin disampaikan. Ziggy seakan memberitahu dengan halus dalam novel ini perihal konsep mengenai Tuhan yang dihadirkan melalui representasi ketuhanan dari sosok Beliau,

"Orang-orang yang percaya bahwa ia bisa menemukan penjelasan di balik keajaiban mungkin tidak percaya “kejaiban” itu ada sama sekali. Akan tetapi, kalaupun dia menemukan “alasan” di balik keajaiban, tidak bisakah Beliau menjadi penyebab alasan itu? Apakah itu begitu mustahil baginya?" (halaman 162)

Dalam setiap bab pada novel ini Ziggy memberikan analogi-analogi yang terasa dekat dengan sosiokultural dan dari kacamata semiotik, 'Semua Ikan di Langit' memiliki perlambangan dengan tujuan perihal keyakinan akan keilahian Tuhan.

“Tapi menurut saya, kalau Tuhan mau membuat sesuatu dengan tidak sempurna, Dia bisa saja. Dia kan bisa melakukan segala hal; mungkin saja membuat sesuatu dengan begitu sempurna, mungkin saja membuat sesuatu dengan tidak sempurna. Masalahnya kan manusia saja yang melihatnya dengan cara yang berbeda, membangun opini mereka sendiri tentang apa yang sempurna dan tidak sempurna. Mereka anggap sesuatu ini, anggap sesuatu itu; padahal sebenarnya penilaian mereka itu tidak ada artinya. Sempurna itu hanya konsep buatan, diciptakan karena mereka – kita – suka menilai dan menghakimi satu sama lain. Yah, begitulah manusia!”  (halaman 121)

Secara keseluruhan novel ini jelas sangat layak menjadi pemenang Sayembara DKJ 2016 dan patut diberi apresiasi sebab melalui 'Semua Ikan di Langit' pembaca diajak menjelajahi perjalanan supranatural yang dikemas dengan sederhanan namun penuh magis dan realita ketuhanan.

Penulis: Hanipah/FatsOeN

Editor: Rifki Al Wafi/FatsOeN