|
(Ilustrator: Rifki Al Wafi/LPM FatsOeN) |
Akhir-akhir ini, kasus kekerasan seksual yang
terjadi di kampus kita tercinta semakin mencuat. Pasalnya, beberapa waktu lalu
terdapat pihak yang secara terang-terangan menyatakan adanya kasus kekerasan
seksual yang diduga menjadikan mahasiswi sebagai korbannya. Hal ini sontak
membuat warga kampus kaget, karena kampus yang terlihat baik-baik saja pada
kenyataannya ternyata menyimpan kebobrokan di dalamnya. Namun sayangnya, pihak rektorat
terlihat masih santai saja dalam menangani kasus tersebut. Atas keresahan
itulah, pihak mahasiswa membentuk aliansi guna menuntut pihak rektorat agar
segera mengusut tuntas serta mengusir para predator seksual di kampus.
Respon PSGA terkait Kasus Kekerasan Seksual
Menanggapi kasus tersebut, Naila Farah sebagai
ketua PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) menyatakan
bahwa hal tersebut setidaknya dapat membuka mata para pimpinan.
“Ambil
hikmahnya saja. Dari aksi mahasiswa itu setidaknya para pimpinan melihat kondisi
di lapangan yang sebenarnya terjadi, karena terkadang beliau tidak tahu kondisi
di lapangan. Tapi sisi negatifnya, akhirnya tidak terkontrol. Bahkan sesuatu
yang seharusnya tidak dipublish kok dipublish, jadi akhirnya ngeghibah online”
“Tapi
dengan begitu, sebenarnya ini dijadikan momentum bahwa kampus juga merespon
baik dan akan serius dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual ini.
Bagi ibu, kampus yang baik itu bukan kampus yang menutupi aib, tapi yang
menyelesaikan aib. Masalah kekerasan
seksual ini tidak hanya terjadi di kampus kita, karena di setiap kampus itu
pasti ada. Seperti gunung es, mungkin kemarin itu baru mencuat.”Ujar Naila.
Upaya PSGA dalam menangani Kekerasan Seksual
Adapun upaya PSGA (Pusat Studi Gender dan
Anak) sebagai garda terdepan dalam menangani
kekerasan seksual tidaklah sederhana. Sejak awal dilantik yakni pada bulan
Oktober 2020, Naila beserta tim segera
mengajukan pembuatan SK (Surat Keputusan) Rektor terkait dengan Pencegahan serta
Penanganan Kekerasan Seksual.
“Sebelum membuat SK Rektor itu tim PSGA
melakukan survey melalui google form,
nah dari situ ternyata banyak sekali KS (Kekerasan Seksual) yang
terjadi di kampus kita, dari hasil survei itulah kami sepakat bahwa SK Rektor
harus terbit.”
Setelah berhasil diterbitkan pada satu bulan
setelahnya, yakni bulan November 2020, PSGA segera menyusun SOP (Standar Operasional Prosedur) yang akhirnya rampung pada bulan Desember
2020.
Sebagai bentuk pencegahan, Naila mengumpulkan
ORMAWA untuk mensosialisasikan SK Rektor yang diharapkan dapat mencegah
terjadinyadi kekerasan seksual. Selain itu, Naila juga menggandeng organisasi
ekstra kampus serta mengisi berbagai kajian.
Di tahun 2021, PSGA juga mengadakan webinar setiap bulan sebagai bentuk
sosialisasi terkait urgensi menciptakan kampus yang aman dari kekerasan
seksual.
“Dari situ temen-temen harus tahu PSGA itu
fokusnya kesitu. Sebenarnya banyak yang dilakukan PSGA untuk mensosialisasikan
kekerasan seksual atau tentang kesetaraan gender.
Tahun ini aja enggak Ibu adakan webinar,
karena PSGA mau lebih ke action. Artinya SK Rektor itu harus diaplikasikan, semua
masalah kampus harus paham” ungkapnya.
Dalam prosesnya, bukan tidak mungkin PSGA
tidak mengalami hambatan. Naila sendiri menyatakan bahwa hambatan ini datang dari
berbagai pihak, bahkan dari rekan dosennya sendiri
“Pro kontra itu pasti. Salah satunya,
kadang-kadang dari rekan sendiri sesama dosen, teman kerja kurang support.
Kayak SOP, padahal tahun 2020 kan sudah ada, cuman sampe sekarang belum
disahkan rektor karena berhenti di LP2M.
Ada salah satu rekan kerja mengatakan “gak
usah ngurusin KS, PSGA itu ga usah ngurusin KS nanti hanya mau membuka aib
orang.” Tapi PSGA tetep kekeuh, karena ini juga amanat dari kementrian agama
dengan SK Dirjen Pendis dan juga amanat agama. Padahal menurut kami sih kampus
yang baik itu kampus yang menyelesaikan kasus kekerasan seksual, bukan yang
menutup-nutupi” tegasnya.
Acuan PSGA dalam Penanganan KS
Karena SOP belum disahkan hingga detik ini,
dalam menjalankan tugasnya PSGA mengacu pada berbagai perguruan tinggi lain dan
SK rektor. Namun sayangnya, dapat dilihat bahwa hal tersebut belum optimal
karena yang tercantum dalam SK tersebut tidak komprehensif.
“Acuannya dari berbagai perguruan tinggi lain.
Ibukan masuk grup PSGA se-Indonesia, disitu kan sharing-sharing. Salah satu
universitas yang paling bagus itu dalam penanganan kasus KS itu Universitas
Negeri Yogyakarta, sharing dengan temen-temen UNY, UIN Jogja, bahkan dengan
Komnas Perempuan. Karena PSGA itu salah satu timnya aktivis Komnas Perempuan,
Untuk internalnya itu penjabaran dari SK
Rektor. SOP itu adalah langkah-langkah, SK Rektor kemudian dijabarkan
turunannya oleh SOP. Sanksi ringan, sanksi berat. Nah di dalam SOP apa sanksi
ringan, jenis-jenisnya begini, sanksi berat apa aja jenis-jenisnya, nah itu
adanya di SOP. Kalau SOP dari pusat (Peraturan Menteri Agama) belum ada, tapi
kalau SOP kan sifatnya internal, kita bisa bikin sendiri.” ucap Naila.
Apa kabar UPT?
Jika mengacu pada SK Rektor, maka dapat
dilihat bahwa langkah awal dalam upaya penanganan kekerasan seksual ialah
dengan dibentuknya UPT (Unit Pelayanan Terpadu). Namun hingga sekarang pembentukan UPT(Unit
Pelayanan Terpadu) tersebut masih
abu-abu.
“Kemarin hari selasa itu rapin (Rapat
Pimpinan) termasuk PSGA. Di situ rektor langsung menginstruksikan PSGA supaya
berkoordinasi dengan kepala biro untuk melengkapi perangkat-perangkat yang ada
di SK Rektor. Alhamdulillah kalau dewan etik sudah terbentuk, sudah disahkan
oleh rektor. Setelah itu nanti UPT proses.
UPT itu kan satgas ya, PSGA juga bagian dari
satgas. Nanti ada satgas perfakultas. Kalau satgas atau PSGA itu hanya menerima
laporan, Ini adalah laporan awal dari pelapor. Kemudian PSGA atau satgas itu
menyampaikan ke rektor. Rektor menyampaikan ke dewan etik. Nah dewan etik lah
yang nanti melakukan investigasi, BAP, atau kemudian memberi keputusan. Jadi
PSGA itu hanya sekedar meminta laporan, tidak mengeksekusi. Yang mengeksekusi
bisa rektor secara langsung atau rektor melemparkan ke dewan etik. Wewenang
PSGA itu hanya menerima laporan, data awal. Yang melakukan penelusuran dan
penyelidikan itu dewan etik” ungkap Naila.
Pesan PSGA
Di akhir percakapan, Naila menyampaikan pesan
kepada mahasiswa serta lembaga agar lebih aware terhadap kasus kekerasan seksual
“Untuk para mahasiswa ketika melihat atau
mengalami kekerasan seksual harus berani atau harus melawan, harus berani
menolak dan harus berani melaporkan. PSGA ingin mata kuliah tentang kekerasan
atau pelecehan seksual dan gender menjadi mata kuliah wajib institut, itu
keinginan PSGA supaya mahasiswa atau dosen di kampus kita atau siapapun
masyarakat kampus itu mengerti tentang pelecehan seksual dan gender. Semoga
program PSGA itu akan tercapai” pungkas Naila.
Penulis : Deda Aenul Wardah