Post Truth Journalism. Ilustrasi: LPM FatsOeN/Rifki Al Wafi |
Sedangkal pemahaman saya, era post-truth adalah era di mana fakta objektif dapat dikalahkan oleh emosi dan keyakinan seseorang.
Di era post-truth ini, kita merupakan masyarakat pengguna media yang menempatkan media sebagai alat, dan masyarakat sebagai konsumen sehingga komunikasi semakin terbuka. Jurnalis hendaknya masuk di dalamnya untuk menjembatani masyarakat. Sebab, media sebagai alat komunikasi dan informasi, sarat akan kepentingan kelompok-kelompok tertentu, untuk mendesain informasi dalam bentuk opini publik.
Jurnalis harus membentengi diri dari segala bentuk informasi bohong, dengan cara meningkatkan kualitas diri demi menjaga independensi jurnalistik. Tentunya, jurnalis yang saya harapkan, adalah jurnalis yang kritis dan tanggap terhadap isu-isu yang muncul, baik isu-isu lokal, isu-isu nasional, maupun isu-isu dunia yang dipropagandakan oleh media.
Tolok ukur sukses atau tidaknya seorang jurnalis menyampaikan informasi di media, bukan dilihat dari bagaimana dia menyampaikan pesan kepada khalayak, tetapi dilihat dari bagaimana pesan yang disampaikan olehnya, mampu diterima dengan baik, tanpa intervensi dari pihak manapun, dan tidak berafiliasi dengan golongan tertentu. Artinya, informasi yang disampaikan itu sangat transparan (nyata/jelas dan apa adanya).
Belakangan ini, Independensi Jurnalistik mulai melemah, hal itu disebabkan oleh menurunnya minat baca dari kalangan jurnalis itu sendiri. Di zaman sebelum post-truth saja, saya rasa minat baca dan tulis bangsa kita masih kurang, malah jauh tertinggal dengan bangsa lain. Apalagi, sekarang keberadaan internet membuat semuanya terlihat lebih mudah dan praktis. Apakah mayoritas dari kita memanfaatkan internet untuk membaca, menulis, dan belajar? Entahlah, melihat tulisan yang panjang saja sudah membuat malas membaca. Sepositif apa pengaruh internet bagi kita? Apakah hanya dijadikan media untuk bermain game dan menonton vidio porno? Berapa persen minat baca tulis bangsa kita?
Masyarakat Indonesia masih belum siap menghadapi kemajuan teknologi. Sekali mengenal teknologi, seringkali disalahgunakan. Status Facebook saja, masih banyak yang isinya tentang caci maki sesama tetangga, bahkan kerabat sendiri.
Minim kesadaran akan pentingnya membaca dan menulis sudah sangat meluas, bahkan di seluruh Indonesia. Hal ini menyebabkan negeri kita masih kekurangan jurnalis dengan kualitas terbaik. Sehingga para jurnalis masih rawan terkena intervensi dari pihak luar.
Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi stimulus bagi kita, agar semakin giat membaca dan menulis, demi keutuhan independensi jurnalistik terlebih di era post-truth ini.
Selamat Hari Pers Nasional.
Penulis: Burhannudin
Sepakat dengan penulis soalnya media yang ada sekrang saya liat banyak berita2 yang produktif dan informatif dalam menyampaikan suatu berita malahan mementingkan rating dan viewer yang tinggi hemmbgt kan guys!
BalasHapusPosting Komentar