Film Kukira Kau Rumah yang dibintangi Jourdy Pranata dan Prilly Latuconsina. Foto: Instagram sinemaku.pictures |
Dari judul saja mungkin bagi sebagian orang
film ini cukup menarik karena diambil dari salah satu lagu dari grup musik dari
Bandung bernama Amigdala, Kukira Kau Rumah bercerita tentang Niskala seorang
mahasiswa yang menjadi pengidap bipolar disorder sebuah penyakit mental yang
berhubungan dengan berubahnya suasana hati dengan cepat, seseorang yang
mengidap bipolar sangat mudah untuk merasa sangat senang dan bersemangat namun
bisa juga menjadi sangat sedih dan putus asa, hal ini lah yang dialami oleh
Niskala, di awal film diperlihatkan bagaimana Niskala tidak bisa mengontrol
emosinya saat bedebat dengan temannya ketika mereka sedang persentasi dikelas,
awalnya saya mengira film ini hanya akan diisi dengan kemarahan dan teriakan
saja, tetapi hal ini tidak berlangsung lama, ketika Niskala bertemu dengan Pram.
Pram seorang mahasiswa semester atas yang
sering menghabiskan waktunya dengan menyendiri, ia bekerja paruh waktu
disebuah café, Pram awalnya tidak
mengira bahwa Niskala adalah seorang yang memiliki penyakit bipolar, ia hanya
mengetahui bahwa Niskala adalah orang yang ceria dan selalu tertawa, lewat
kedua teman dekat Niskala yaitu Dinda dan Oktavianus ia paham bahwa Niskala
berbeda dengan yang lain.
Setelah mengetahui bahwa Niskala berbeda
alur cerita mulai menjadi kompleks, dengan kondisinya yang seperti ini Niskala hanya mempunyai dua teman
Dinda dan Oktavianus ditambah dengan keluarganya yang sangat posesif kepada
Niskala, dalam film ini orang tua menjadi antagonis, ia digambarkan sebagai
tokoh yang selalu khawatir, membatasi, dan emosional, Dedi yang merupakan bapak
dari Niskala walapun dalam film ia sangat jarang muncul tetapi ia memiliki
peran yang sangat penting, dengan alasan kasih sayang ia malah membatasi segala
gerak gerik anaknya, puncaknya ketika ia memergoki Niskala sedang manggung
bersama Pram di sebuah café, yang akhirnya membuat ia naik pitam dan langsung
menarik Niskala dari panggung yang akhirnya membuat Niskala marah, sedih dan
ingin bunuh diri.
Beberapa bagian di film ini memang
memperlihatkan bagaimana kehidupan seseorang yang memiliki gangguan mental
bipolar, lewat tokoh Niskala kita diajak
untuk merasakan bagaimana ia tidak bisa mengendalikan emosinya ketika ia
menjalani kehidupan sehari hari, dalam kondisi seperti ini orang yang mengidap
bipolar memerlukan orang-orang yang sangat dekat dan memahami betul kondisi seseorang yang sedang mengidap ganguan bipolar seperti Dinda dan Okvianus, mereka
harus selalu bisa memahami ketika temannya tiba-tiba marah, senang, bahagia,
sedih atau nangis, karena sampai saat ini gangguan mental disorder masih belum
ditemukan obatnya, untuk menanggulanginya pengidapnya hanya diberi obat anti
depresan dan terapi, bipolar tidak menular, kebanyakan disebabkan oleh faktor
genetik atau keturunan.
Ketika gangguan ini kambuh, pengidapnya akan merasakan suasana mental yang sangat kacau, mudah lelah, kurang bersemangat, dan kehilangan minat dalam menjalani kehidupan, biasanya gejala ini akan berlangsung selama berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan seperti yang dialami oleh Niskala. Niskala dalam film ini diperankan oleh Prilly Latuconsina, ia memainkan perannya sebagai pengidap bipolar dengan sangat baik.
Namun, dari segi alur film ini sedikit
“maksa”, konflik yang dibangun terlalu cepat bahkan terkesan terburu-buru
diakhir, ayah Niskala yang jarang nongol tiba-tiba menjadi antagonis yang
menyebalkan, ini digambarkan ketika ia menarik Niskala dari pangung dan memukul
Pram, dengan argumen kasih sayang orang tua yang menurut saya kurang rasional,
ditambah dengan adanya adegan ketika Pram mencoba untuk membujuk Niskala untuk
bunuh diri tetapi malah Pramnya sendiri yang terjatuh dari gedung, sungguh plot
twist yang sangat membangongkan membingungkan sekali bukan.
Mungkin bagi sebagian orang setelah
menonton film ini akan langsung bercermin kepada dirinya sendiri apakah mereka
terkena gangguan mental disorder, karena hanya mereka sendiri yang tahu, kadang merasa mudah
badmood dan pura pura bahagia di depan orang padahal sebenarnya mempunyai
kesedihan yang sangat dalam, saya rasa ketika kalian merasa seperti ini
silakan kalian pahami dulu apakah yang kalian lakukan ini merupakan self
diagnosis atau hanya sekedar self awarenes saja? Karena untuk
persoalan mental illness atau gangguan mental tidak boleh untuk terlalu
menggampangkannya juga, jadi tidak baik untuk langsung menjustifikasi bahwa
mereka hanyalah kumpulan orang-orang “lebay” setelah menonton film.
Penulis : Fahmi Labibinajib
Posting Komentar