Guru
Saya pernah bilang, bahwa di setiap perubahan pastinya kita akan merasakan
kewalahan. Di dunia pendidikan apalagi, pandemi memperkenalkan kita dengan
daring, lalu saat sudah mulai nyaman, kita kembali disuguhi tatap muka.
Transisi bikin adaptasi, lagi dan lagi.
Sebagai
mahasiswa semester tujuh Fakultas Tarbiyah, sudah tidak asing dengan PLP, yang
dulu namanya PPL. Ganti nama, kalau Saya ditanya orang-orang bahwa Saya sedang
PLP, mereka akan bertanya “Hah, PLP?” “PPL, ganti nama,” baru mereka mengiyakan
dengan oh panjang. Sebelum akhirnya rentetan pertanyaan selanjutnya datang
seperti “memang kenapa ganti nama?” atau “kepanjangannya apa?” di detik itu
saya akan membantin “nanya mulu kaya Dora,”.
Selain
berkenalan dengan ‘nama baru’ Saya pula berkenalan dengan lingkungan sekolah
yang bertempat di Grup WhatsApp. Ada sekitar 9 grup yang Saya masuki, plus 2
grup kawan sejawat PLP. Sekitar dua sampai tiga minggu Saya diperkenalkan
dengan cara mengajar daring. Di saat mulai nyaman, tatap muka seakan menjadi
orang ketiga antara Saya dan daring. Ada kabar tatap muka, dengan sistem
ganjil-genap –seperti penerapan plat kendaraan bermotor.
Tidak ada salahnya dengan tatap muka, justru bagus, namun Saya (kami) kembali dihadapkan dengan transisi.
1. Jam pelajaran yang dipersempit
Kebetulan Saya mendapat guru pamong yang telaten. Ia pula mengeluhkan akan jam pelajaran yang dipersempit. Alokasi satu jam mata pelajaran hanya 20 menit, biasanya dijadwalkan dua jam mata pelajaran. Jadi hanya dapat waktu 40 menit. Seperti penyanyi, kita diharuskan improvisasi, membagi satu materi jadi dua hari. Mengajar dua kelas, jadi berasa empat kelas. Pun kala itu, Saya mengulang semua materi dari awal, benar-benar awal. Agak mubazir rasanya, membuang waktu yang sempit untuk mengulang, tapi nyatanya, apa yang saya beri saat daring kemarin tidak mereka pahami sama sekali.
2. Sistem ganjil-genap yang masih jadi simpang siur.
Saya diberi kewenangan mengajar dua kelas. Saat Saya lihat jadwal, yang seharusnya satu minggu masuk ke dua kelas, jadi masuk ke empat kelas. Masuk akal, karena waktu yang dibagi dua, maka hari pula dibagi dua. Beberapa siswa tahunya ganjil genap dihitung hari, namun beberapanya lagi beranggapan ganjil-genap dibagi minggu. Satu minggu ganjil, satu minggu genap. Simpang siur ini terjadi di minggu pertama. Memang satu minggu hanya tujuh hari, enam hari masuk kelas. Namun bagi seorang guru, satu minggu berarti empat pertemuan, satu materi yang dibagi dua di dua kelas.
3. Beberapa siswa bandel tetap masuk
Dikarenakan tidak adanya absensi kehadiran, maka beberapa
siswa genap tetap masuk di minggu ganjil. Mereka berasumsi sendiri, ada yang
berdalih tukeran karena rumah jauh dan mumpung di Cirebon. Ada pula yang
bilang, ingin pelajaran nyantol maka
masuk di setiap minggu. Saya kurang berkenan bila melarang, karena alasannya
cukup masuk akal, dan agaknya lucu melarang orang yang ingin belajar, pun
mereka yang bukan gilirannya masuk justru lebih aktif saat ditanya.
Mungkin
Saya(kami) harus berkali-kali beradaptasi. Entah beradaptasi dengan sekolah,
dengan pandemi dan daringnya, dengan kelas yang pindah ke Classroom, dengan
murid yang pengetahuannya didominasi pertanyaan-pertanyaan yang bisa dijawab oleh
Google. Mereka butuh guru. Walaupun engap
Saya berterima kasih dengan pengalaman yang buat Saya berusaha menyesuaikan
diri lagi dan lagi.
Penulis : Zulva bukan Zulfa
Posting Komentar