(Sumber Gambar: Pinterest) |
Senja itu, ada matahari
yang menggantung di langit yang ia tatap. Bulat oranye, sendirian di tengah
langit yang berlarik antara biru dan jingga. Seorang gadis berdiri tegap,
seperti tengah upacara kemerdekaan. Di hadapannya, seorang pria dengan tas
punggung yang hanya membebani satu pundaknya.
“Aku pamit,”
Simpul senyuman
mengambang di wajahnya, seperti tidak ada beban untuk mengucapkan perpisahan.
Lagi pula ini bukan perpisahan. Mereka masih akan tetap berdiri di bumi yang
sama meski tidak saling berhadap-hadapan.
Namun tidak dengan
gadis itu. Rasanya berat, tawanya seperti badut yang terus menerus menghibur
orang lain di balik kesedihannya. Ia tidak lagi mau bersandiwara untuk saat ini,
pura-pura tegar atau pura-pura tidak peduli.
Diambilnya belati yang
ia kantungi. Gadis itu menancapkan belati tadi ke dadanya. Merobeknya,
mengambil hati yang masih menetes dipenuhi darah. Dengan lirih, ia membelah
segenggam hati tadi jadi dua. Satu bagian ia simpan lagi di dalam dada yang
masih menganga, satunya ditaruh di kresek dan diserahkan pada sang pria.
“Bawa ini sebelum
pergi.” gadis itu menyodorkan kantung kresek berisi separuh hati.
“Aku tidak butuh ini,”
pria mengembalikannya lagi.
“Memang kamu tidak
butuh, tapi aku butuh memberikannya,”
Pria akhirnya tidak bisa
menolak. Ia bawa sekantung kresek berisi hati sebelum pergi.
Penulis: Zulva
Posting Komentar