Entah insting, nafsu,
atau naluri. Semua orang punya itu yang terbentuk alami di dalam diri. Ada
binatang jalang yang menari liar dalam tubuh seorang lelaki. Ia memberontak
gerah minta dikasih makan. Bahkan istrinya tidak cukup untuk memuaskan apa yang
ia mau.
Pria itu dipandang
alim, dengan peci dan sarung tanpa sempak yang ia kenakan. Agar semriwing,
mungkin. Pak Kasim pula dosen yang dihormati, keilmuannya mampu membuatnya
bertindak selayaknya dewa. Titahnya tidak pernah salah. Perintahnya seagung
nabi. Semua orang tunduk dengan Pak Kasim, atas gelar Profesor yang melekat
pada namanya. Berbanding terbalik dengan warga desa yang melabelinya profesor,
mahasiswi memberikannya cap predator. Pak Kasim predator kelas terpelajar, predator
bermartabat, bukan mendekati kupu-kupu malam yang nangkring di pinggiran jalan,
targetnya di dunia pendidikan. Maklum, dari dulu hanya kepalanya yang
disekolahkan, ia lupa punya kemaluan yang harusnya perlu diedukasi juga.
Kali ini mahasiswi
berparas cantik jadi incarannya. Lastri, mahasiswi berbodi montok berkulit
putih. Bibirnya merekah dipoles gincu. Kerudungnya dibelit-belit melingkari
kepala. Lengkap sudah, ditambah rok span plisket dan sepatu sket. Lastri
bimbingan skripsi ke Pak Kasim. Sasaran empuk baginya, si pria paruh baya gila
yang tengah puber kedua.
“Kamu ambil berkas di
ruangan saya”
Pak Kasim mengerling
genit, ia memicingkan matanya. Bulu kuduk Lastri merinding. Ia ingin muntah
kalau bisa. Sendirian, di ruangan dosen yang sepi karena tengah pandemi, Lastri
menghampiri satu meja. Pak Kasim menutup pintu. Lastri mulai gerah meski AC
terus menyala.
“Misi Pak”
Lastri membuka pintu.
“Pak, bimbingannya di
kelas aja. Saya gak enak lama-lama di
ruangan dosen. Apalagi kalau hanya berdua”
Pak Kasim menelan
ludah.
“Loh, ya malah enak toh kalau berdua”
Pak Kasim nyengir, gigi
kuningnya berderet rapih. Lastri seakan melihat anjing yang menjulurkan lidah
ketika diberi tulang. Pikirannya ke mana-mana, ia takut diterkam, dicabik,
dimangsa. Apalagi akhir-akhir ini ia melihat banyak berita kekerasan seksual.
‘ah tidak, dia kan dosen, berilmu. Mana mungkin cabul’ Lastri menyangkal stigma
negatif yang mondar-mandir di kepalanya.
“He he, di kelas aja
Pak” Lastri menolak sopan.
“Oh ya, Monggo,
silakan.”
***
Di ruang kelas,
bersebelahan, Lastri dan Pak Kasim duduk menempel. Lagi-lagi Lastri menggeser
posisi menjaga jarak, bukan karena takut Pak Kasim pengidap Covid dan wajib
social distancing, Lastri geli sendiri. Lebih ke jijik. Mual seperti masuk
angin. Ingin meludah di wajah tua bangka bau tanah yang mengedip kepadanya
kini.
Lastri sudah
wanti-wanti hal ini akan terjadi, mendengar dari beberapa temannya yang
sama-sama bimbingan skripsi ke Pak Kasim. Ia mengingat kalimat-kalimat teman
lain ‘Laporin aja deh mendingan,’ ‘udah ga waras tuh dosen’ ‘minta dikebiri’
‘istriya tau gak ya, punya suami gitu’ ‘Ih, semoga dilaknat Allah, gak tau apa
dalilnya bersentuhan lawan jenis’ namun mereka tidak mengerti bagaimana di
posisi Lastri, pendidikan kuliah yang ia kenyam selama ini digantungkan pada
berlembar skripsi. Ia harus bimbingan, atau ia harus menahan semua ludahnya
biar lulus cepat.
Keringat Lastri
mengucur deras, ia gemetar. Perutnya terasa penuh, seperti ada yang menonjok
dari dalam dadanya. Perasaan cemas menggandrunginya, rasanya seperti kebanyakan
minum kopi dan deg-degan, pusing, ingin muntah. Ia menutup mulutnya, menahan
apa yang ingin keluar dari lambung.
“Kamu kenapa? Kok kayak
istri Saya pas hamil muda. Kan belom Bapak apa-apain.”
“Maaf Pak, Bimbingannya
nanti aja ya, Saya gak enak badan.”
“Mau, Bapak enakin?”
Dorongan kedua dari
lambungnya benar-benar membuncah, Lastri gemetar dengan muka yang sudah pucat.
Ia lagi-lagi ingin mengeluarkan makanan siang ini.
“Oh, yasudah sana, kamu
sudah mau muntah gitu. Nanti kalau sehat Bapak tunggu, tapi jangan di kelas ya,
di tempat yang ngenakin.”
Sigap, Lastri menutup
leptopnya tanpa memencet tombol Shut Down. Tanpa salim ke Pak Kasim tentunya.
Ia lari ke WC yang terletak di ujung koridor, benar saja, nasi dengan bayam dan
paha ayam, makanan siang ini ia muntahkan. Sebuah pesan singkat tertera di
gawainya.
“Kamu di mana?”
Lastri jongkok di WC
dan membalas pesan dari temannya, Mirna.
“WC”
Gawainya berbunyi lagi.
“Bimbingan gimana?”
“Ga jadi”
“Oh, Syukur. Laporin
aja sih, dosen begitu”
Lastri mengusap
pelipisnya yang berkeringat.
“Mana bisa. Skripsi aku
jadi taruhan”
“Biar lembaga yang
tindak lanjuti. Siapa tau tuh dosen dipecatlah, atau apalah.”
“Emang bisa?”
“Coba aja dulu”
“Emang mau, lembaga ngejelek-jelekin namanya sendiri? Punya
dosen genit yang suka catcalling mahasiswinya.
Yang ada, kasus itu bakal ditutup-tutupi”
“Coba aja dulu”
Kalimat itu seperti
disalin-tempel. Lastri makin geram. Masih jelas di ingatannya bagaimana kakak
tingkatnya melapor ke kampus, kampus seakan bertindak namun nyatanya kasus tersebut
mangkrak tidak tuntas. Lastri tidak mau begitu, simalakama. Ia bingung harus
gimana, masih diam di sana, di atas WC memegangi gawainya.
Penulis: Zulva
Posting Komentar