“Lu... luruh, seluruh harapku. Lu... luruh, semua janjimu. Ketika jalanku dan jalanmu tak bertemu”
***
Perempuan itu
menerawang ke segala sisi. Tempat ini sudah tidak asing lagi baginya. Tiap
sudut memanggil untuk bernostalgia.
“Iced Americano sama air mineral ya.”
Renata menutup buku menu. Ia berjalan menuju sofa paling pojok, mengedarkan pandangannya lagi. Ia melipat tangan di depan dada, menyandarkan dirinya pada bantalan empuk di punggungnya. Kini ia bertransformasi jadi komentator bisu. Menilai tiap titik janggal di cafe itu. Gelas-gelas besi warna hijau muda dengan gradasi putih tersusun di atas meja, ditemani mesin ketik dan radio rusak yang jobdesk-nya hanya pemanis belaka. Tembok di cafe itu sengaja masih batu bata merah, di beberapa sisi lumut tumbuh di sela-selanya. Sebuah pigura dengan dengan filter ala-ala 80an terpampang bertuliskan “est 2017”. Renata tersenyum kecil, senyumannya lebih tepat dibilang ejekan. Ada ketidaksingkronan antara filter 80an dan tahun yang dituliskan.
Benar kata orang-orang, zaman sekarang ada lahan kosong dikit dibikin coffeshop buat tempat tongkrongan. Ia bukan pecinta kopi dan mengutuk cafe-cafe yang membuat Vietnam Drip dengan Arabica yang masam, ia pula bukan anak aestetic yang cari spot bagus untuk memenuhi feed Instagram. Renata hanya butuh cafein untuk mendongkrak matanya, ia pula butuh memenuhi janji pada seorang pria yang mengiriminya pesan semalam.
“Renata yang bukan Chef, lama nunggu ya? Sori gua telat”
Seorang pria
masuk membuka pintu kayu, ia mampu membuat seisi cafe berpaling dari HP-nya
masing-masing. Alis tebal yang tegas dipadu dengan postur tubuh yang menjulang
yang dibalut dengan setelan berwarna navy dengan tekstur kain yang berserat.
Renata melihat ponselnya, pukul 2 siang.
“Kamu lagi break, atau memang pulang kerja?”
“Kabur sih lebih
tepatnya. Lagian lu ga bisa kan, nunggu gua closing
dulu. Bakalan lembur.”
“Oh”
Renata hanya
ber-oh panjang. Jawabannya menunjukkan raut tidak peduli. Ia masih menunggu
pesannanya yang belum juga rampung di meja.
“Ada apa nyariin saya?”
Renata langsung
bicara ke inti.
“Gimana
kabarlu?”
Reuben membuka
sekelibat pertanyaan yang terdengar seperti basa-basi.
“Mau saya jawab
apa? Kabar baik?”
Mendadak, hawa
pembicaraan di ruangan itu menjadi dingin tak terkendali.
“Gua mau ngasih ini”
Reuben
menyodorkan lembaran karton gold yang dibungkus rapih dari saku jasnya.
Undangan pernikahan. Renata menelan ludah terdiam
“Mana sih pesenan saya belom dateng”
Ia bingung apa yang harus ia lakukan, ia jadi salah tingkah. Renata berdiri menghampiri meja barista. Meninggalkan Reuben yang gugup dan memainkan jemarinya. Benar dugaannya, bagaimanapun menyatakan kabar yang harusnya gembira ini, menjadi bagian terberat dalam hidupnya. Sosok Renata Haryanto selalu menjadi hantu dari rasa penyesalan di sudut pikirnya. Dan kini Reuben harus menghadapi hantu itu sendiri, dengan selembar kertas yang bertuliskan undangan pernikahan.
Renata kembali dengan segelas Americano-nya. Ia menyesal telah memesan sesuatu yang pahit. Harusnya ia membeli segudang gula untuk kegetiran yang Reuben bawa.
“Maaf Re”
Reuben bingung
harus bilang apa.
“Maaf buat?”
“Buat tiga tahun
kita.”
“Bukannya
seharusnya kamu bahagia ya?”
“Apa yang bikin
gua bahagia karena lu belum nikah.”
Reuben tidak
menyadari perkataannya. Renata menengguk minumannya. Pahit.
“Ben. Apa salah,
kalau saya belom nikah?”
“Salah. Bikin
rasa bersalah gua tambah lama.”
“Kalau begitu
berlama-lamalah sama rasa bersalah itu.”
Renata ingin
Reuben tenggelam lebih lama, kehabisan nafas, dan berjuang keras untuk
menghirup udara segar. Renata ingin Reuben melakukan apa yang dulu ia lakukan.
“Re, lu udah
kepala tiga.”
“Terus?”
“Gua jadi orang
yang paling nyesel saat lu belom nikah”
“Gara-gara?”
“Kenapa masih
nanya?”
“Gara-gara kita
pernah having sex? Gara-gara lu mikir
lu ngambil keperawanan saya? Gara-gara lu mikir Damn, Renata masih belom bisa move
on dari seorang Reuben”
Ia memperjelas
semuanya. Reuben berdecak kesal.
“Apasih yang
bikin lu kayak gini Re? Apa susahnya sih, buat ngelupain semua itu? Kita
ngelakuin berdua, sama-sama mau. Tapi kesannya gua doang yang salah!”
Nada bicara
Reuben makin tinggi. Mata Renata terasa hangat. Ada yang ia bendung di balik
kelopak matanya, meski pandangannya sudah mulai kabur. Ia mengerjap dan
mengusap. Berusaha menarik nafas sedalam mungkin, berharap air yang mengalir
bisa ia kembali masuk.
“Ben. 30 tahun saya hidup di dunia yang menganut steriotip patriarkis. 30 tahun saya dicekoki pemikiran bahwa wanita dilihat dari masa lalunya, kehormatan wanita ada di alat klaminnya, wanita yang sudah tidak perawan tidak pantas untuk dicinta. Kalau saya menghantui sudut pikirmu gara-gara sampai detik ini saya belom bisa nerima siapa-siapa di hidup saya, maka yang jadi hantu di sudut pikir saya adalah diri saya sendiri, bahwa saya tidak pantas untuk dicintai.”
Renata berusaha tenang, walau satu persatu sungai di pipinya mengalir deras. Ia berbicara pelan dan menjelaskan. Tentang seberapa besar ketakutannya sendiri. Tentang seberapa tinggi benteng yang ia bangun untuk orang lain. Reuben membuka jasnya, ia berpindah duduk di samping Renata. Menutupi wajah wanita itu dengan jasnya, memeluknya, membenamkan wajah cinta pertamanya pada dadanya yang bidang. Tangis Re pecah sesenggukan.
“Gua minta maaf,
gua minta maaf, apa pun itu gua minta maaf.”
“Tenggelam di lautan, pikiran dan amarahku. Tenggelam di samudra, terhempas ku tak menentu.”
Reuben mengelus kepala Renata. Ada kehangatan yang merambat di sana. Ada beban yang luruh di antara mereka berdua. Ada waktu yang terhenti dan dunia yang membisu. Yang terdengar hanya satu, degup jantung yang beradu.
“Luruh. Kau dan aku”
Penulis: Zulva Azhar
Nb. Luruh, Isyana Saraswati dan Rara Sekar