Ilustrasi (Fauzan Alfani) |
Beberapa hari kemarin muncul sebuah pemberitaan yang dibuat oleh LPM Fatsoen. Pemberitaan tersebut berisi tentang informasi jaringan nama-nama pejabat organisasi intra-kampus serta latar belakang organisasinya, mulai dari SEMA, DEMA, sampai ketua HMJ, yang kesemuanya merujuk pada salah satu organisasi ekstra kampus yang identik dengan warna “ kuning”.
Ada banyak tanggapan atas informasi tersebut: beberapa mungkin ada yang marah dan jengkel. Hal ini sangat wajar, selagi tidak melakukan ujaran kebencian yang menyebabkan perpecahan. Karena mau bagimanapun pemberitaan itu masuk ranah identitas organisasi. Tetapi saya sendiri sebagai salah satu bagian dari yang mereka sebut dengan “kuning” menanggapinya dengan biasa saja (walaupun namaku juga dalam pemberitaan itu). Malah menganggap hal seperti ini sebagai dinamika dalam demokrasi, di tengah keapatisan mahasiswa yang akut, sedikit pemantik diperlukan.
Banyaknya kader “kuning” yang menduduki berbagai posisi di intra-kampus, tentu tidak dapat sepenuhnya disalahkan kepada mereka, toh masih banyak juga jurusan yang tidak dipegang oleh orang “kuning”. Bahkan mereka mampu menjalankan demokrasi dengan baik dan lebih dewasa, tentu hal ini dapat menjadi penegasan bahwa kampus ini memang bukan kampus “kuning”, karena masih memberi ruang kepada yang lain, walaupun tidak sebanyak yang dimiliki oleh orang “kuning”.
Tentu sangat tidak pantas juga, jika menjustifikasi orang “kuning” sebagai orang yang paling bernafsu “kekuasaan”. Karena hal ini terjadi karena sistem politik di kampus belum mendukung sepenuhnya terjadinya dinamika, dialektika, perdebatan, ide dan gagasan, karena sejatinya hal seperti inilah yang menjadi esensi dari pesta demokrasi itu sendiri. Ketika hal ini sudah terjadi maka niscaya panggung politik tidak hanya sekedar mencari siapa yang menang setelah itu selesai, tetapi lebih dari itu, yaitu terciptanya gagasan atau ide segar untuk mencapai kemaslahatan yang lebih luas.
Karena sejatinya orang “kuning” sendiri terjun dalam organisasi intra-kampus bukan hanya sekedar perebutan kekuasaan tetapi sebagai sarana untuk setiap kadernya melakukan pengabdian, pembelajaran serta turut andil dalam berbagai macam problem yang ada di kampus, karena kampus sebagai contoh negara kecil (miniatur state), karena dengan terjun dalam organisasi kampus, harapannya setiap kader dapat mengaktualisasikan dirinya dengan secara maksimal, karena kampus tidak hanya semata-mata sebagai ruang akademis yang hanya berorientasi pada angka saja, tetapi juga sebagai ruang untuk mencari jaringan dan pengalaman.
Jadi sangat wajar jika berbagai macam organisasi saling berlomba-lomba untuk menempatkan setiap kadernya dalam dunia kampus, sehingga menciptakan suatu sistem perpolitikan yang sangat sehat sudah menjadi sebuah keharusan, dengan terciptanya sebuah sistem yang baik yang akhirnya mampu untuk membuka ruang partisipasi publik dengan seluas-luasnya.
Sehingga agenda pesta demokrasi tidak dipahami sebagai sarana persaingan politik, tetapi juga sebagai sebuah sarana untuk mencari figur intelektual yang layak dan mumpuni serta memiliki jiwa kepemimpinan yang baik.
Harapannya marwah organisasi baik kuning, pink, hijau, merah, dan lain sebagainya dapat terangkat dengan hadirnya setiap kader mereka yang menampilkan citra kader yang berintelektual, profesional, berwawasan luas, memiliki jiwa empati dan simpati, tidak membedakan, arif, serta loyal dalam berbagai macam organisasi yang sedang di gelutinya, bukan malah sebaliknya.
Mungkin hal ini terkesan terlalu “ngawang” tetapi semangat, optimisme, harapan, itu harus tetap ada diperjuangkan, mungkin saya ingin menyudahi tulisan saya ini dengan sebuah kutipan dari Mahbub Djuanidi yang saya sandur dari situs islamlib.com “Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala, pemimpin monyet monyet lain di kandang itu, Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu bisa disebabkan beberapa faktor, bisa karna dia paling tua, bisa juga karena paling pintar, tetapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling mampu membanting monyet monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah yang membuatnya bisa menjadi pemimpin, Monyet tidak pernah mengenal sistem pemilihan seperti halnya bangsa manusia, ini kedunguan warisan.”
Fahmi Labibinajib
LPM Fatsoen, HMJ SKI, PMII Rayon An Nahdloh dan Warta Senja (Wadah Literasi Semesta)
Wahh ada yang "dimiripin sama onyet"😄....
BalasHapusMantap karlmax wkwkw
BalasHapusPosting Komentar