(Ilustrasi perkuliahan daring oleh Fauzan Alfani) |
LPM FatsOen,Cirebon- Hampir satu tahun, dunia pendidikan di Indonesia menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Mulai dari tingkatan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), sampai dengan Perguruan Tinggi (PT).
IAIN Syekh Nurjati salah satunya, institusi pendidikan yang berada di Kota Cirebon ini, telah menerapkan pembelajaran jarak jauh selama dua semester, dimulai sejak Maret 2020 lalu.
Namun, pembelajaran jarak jauh yang sudah diterapkan oleh kampus ini, selama dua semester lalu, dinilai oleh sejumlah pihak masih belum cukup maksimal.
Seperti yang dirasakan oleh M. Asror, mahasiswa jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial semester 4, bagi Asror pembelajaran mata kuliah secara daring, kurang dapat dipahami ketimbang kuliah secara tatap muka.
"Intinya kuliah daring itu belajarnya kurang maksimal, dibandingkan kuliah tatap muka bersama dosennya," ungkap Asror, saat diwawancara via WhatsApp.
(Infografis oleh Fauzan Alfani) |
Kuliah online tentu saja bukan hanya kurang maksimal. Di satu sisi, saat pelaksanaan kuliah daring seperti ini, kuota internet sudah menjadi kebutuhan pokok bagi mahasiswa.
Namun, di tengah kebutuhan terhadap kuota internet meningkat, tak jarang pula masih ada sebagian mahasiswa yang kesulitan dalam membeli kuota internet, baik karena akses membeli kuota internet yang sulit dijangkau ataupun karena faktor ekonomi.
Seperti yang dialami oleh Romsiyah, mahasiswi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, dirinya mengalami kesulitan saat ingin membeli kuota internet dan harus menuju ke desa tetangga terlebih dahulu.
"Akses membeli kuota di sini lumayan jauh, harus menempuh perjalanan ke desa tetangga," ungkap mahasiswa asal Desa Gombong, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang itu, saat diwawancarai via WhatsApp.
Masih menurut Romsiyah, selain akses yang jauh dalam membeli kouta internet, persoalan jaringan sinyal pun menuai kendala. Hal tersebut membuat dirinya mengalami kesulitan dalam belajar secara daring.
"Dan di desa ini jaringan sinyal sangat lemah sehingga menyulitkan untuk belajar dengan metode daring ini, terkadang telat masuk kelas dan pembelajaran sering kali tertinggal, karena kendala keduanya tersebut," ungkapnya.
Tidak hanya persoalan kuota internet dan jaringan sinyal, sebagian mahasiswa pun mengeluhkan terkait dengan fasilitas yang diberikan kampus. Misalnya, subsidi kuota yang diberikan oleh kampus kepada mahasiswa, masih dirasa kurang maksimal. Sebab, pihak institusi tidak memberikan kuota internet secara rutin kepada para mahasiswa, dan pembagian kuota tersebut pun tidak merata.
Moh. Minanur Rohman, mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam mengaku hanya menerima pemberian subsidi kuota dari kampus sebanyak satu kali. Dia mengaku hanya memperoleh kuota internet sebesar 4 gb.
"Kendala yang paling penting tentunya kuota, karena selama kuliah daring kuota menjadi kebutuhan pokok bagi mahasiswa. Dan herannya, kenapa pihak kampus hanya memberi bantuan satu kali dan itupun tidak merata," ujar Rohman.
Hal yang berbeda ketika kuliah daring datang dari Rosita, mahasiswi jurusan Tadris Biologi. Dirinya merasakan bahwa pembelajaran kuliah daring yang selama ini sudah diterapkan, sangat kurang menyenangkan. Misalnya, ada sebagian dosen yang hanya memberikan materi saja, tanpa menjelaskan.
"Jadi, kendala dalam kuliah daring selama dua semester ini, itu banyak banget.Terus kurang menyenangkan, karena selama kuliah online ada beberapa dosen yang hanya meng-share materi saja tanpa menjelaskan isi materi tersebut," ungkap Rosita saat diwawancarai.
Bukan saja mahasiswa, namun sebagian dosen pun kerap kali menemui kendala saat mengajar.Seperti yang disampaikan oleh Hartati, salah satu dosen di jurusan Ilmu Hadist, Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah.
Pihaknya mengatakan, kerap kali banyak menemui kendala saat proses kuliah daring berlangsung. Salah satunya terkait dengan kuota internet. Suatu hari, saat sedang mengajar,Hartati pernah kehabisan kuota ditengah proses pembelajaran berlangsung.
"Di rumah, kuota abis gak ketahuan karena asik ngajar. Karena ngajar kalo udah asyik suka lupa, udah gak inget kuota tinggal berapa lagi. Tau-tau pas ibu ngetik ko ini gak bisa ya, oh ternyata abis," ungkap Hartati, saat diwawancarai di ruang kerjanya.
Bagi Hartati, saat kuliah daring berlangsung, pihaknya tidak dapat mengontrol perkembangan mahasiswa yang diampunya, menurut beliau proses belajar secara tatap muka dengan daring sangat berbeda jauh, hal ini terkait dengan pola psikologis yang dibangun saat mengajar.
"Iya. Walaupun secanggih apapun IT itu enggak bisa memutuskan hal seperti ini yang positif, yang positif itukan harusnya tatap muka, ngelihat," imbuhnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Rana, salah satu dosen di Fakultas Syariah Ekonomi Islam.Pihaknya mengaku berupaya untuk lebih maksimal saat menjalankan proses pembelajaraan kuliah daring. Selain itu, saat kuliah daring berlangsung, ia perlu menyesuaikan dengan para mahasiswanya. Sebab, tak jarang pula banyak sebagian mahasiswa yang saat kuliah daring justru mengalami penurunan semangat dalam belajar.
“Ya banyak sekali penyesuaian-penyesuaian ya, mungkin kalau awal-awal mahasiswa masih semangat ya, tapi ketika menjelang pertengahan semester itu jadi banyak yang mengalami penurunan semangat,” ungkap Rana.
Apa Kata Pimpinan?
Permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan kuliah daring selama dua semester sebelumnya di IAIN Cirebon patut menjadi pekerjaan rumah yang perlu ditangani bersama, baik oleh mahasiswa ataupun dosen, termasuk pihak birokrasi kampus yang berwenang dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di instansi perguruan tinggi tersebut.
Muslihudin, selaku Wakil Dekan II FITK, menuturkan bahwa pandemi yang melanda global membuat pendidikan menerapkan kebijakan emergency yang merupakan respon cepat terhadap berbagai macam kondisi saat ini.
“Memang kalo ada hal yang sifatnya teknis ditemukan kendala itu pasti bisa ditemukan di lembaga mana pun di institusi mana pun di—apa istilahnya itu, baik dalam level regional maupun dalam level nasional bahkan mungkin global,” ujarnya dalam sesi wawancara.
Wadek II FITK juga mengungkapkan bahwa beberapa kendala yang terjadi dalam realisasi penyaluran kuota internet untuk mahasiswa pada masa kuliah daring di semester sebelumnya ada padapengkompilasian atau pengkapitalisasian nomor telepon seluler milik mahasiswa dan kerja sama denganprovider jaringan internet. “Meskipun ada di database, itu terkadang, mungkin kita tidak bisa memastikan mana yang aktif dan mana yang tidak aktif,” ungkapnya.
Pihaknya juga menuturkan bahwa pada tahun 2021 ini kuota internet untuk dosen dan mahasiswa sudah dianggarkan. Kuota internet tersebut kemungkinan akan diberikan melalui injeksi langsung ke nomor telepon seluler masing-masing dosen dan mahasiswa yang akan didata ulang, dengan alokasi pemberian berjumlah dua sampai tiga kali injeksi untuk semua jenis kartu.
“Tiga kali injek atau mungkin dua kali injek, nanti kita lihatlah itunya. Antara dua dan tigalah ya,”ungkapnya.
Suteja selaku Wadek I FITK menanggapi persoalan dosen yang hanya membagikan materi tanpa memberikan dosis khusus dalam pembelajaran. Ia mengungkapkan bahwa dalam peningkatan sistem pembelajaran daring dosen juga akan dipantau dan dievaluasi.
“Tapi mau ada evaluasinya loh, jangan lupa, sistem belajar begini tuh. Misalkan saya mengajar pakai Google Classroom. Itu tiap hari ada pantauan. Ada pantauan, otomatis ketauan. Absen tiap hari, jumlah mahasiswa, semua serba online. Dipantau oleh pusat data,” ujarnya dalam sesi wawancara.
Wadek I FITK mengungkapkan bahwa teguran persuasif telah dilakukan.“Ketahuan, ketahuan. Saya bisa tau. Dosen ini, ini, ini. Ya tidak sih teguran, tidak ya. Cuma ya ngobrol. Kalau yang sepuh-sepuh ya diobroli. Kalau yang muda-muda ya ditanyai. Tapi ya beberapa. Nggak banyak. Itu jangan lupa generasi yang lainnya tahun 60-an, yang saya bilang bisa maca hape ga untung,” jelasnya.
Ia mengaku sering berpesan melalui ormawa, SEMA-DEMA, kepada mahasiswa untuk konsultasi kepada Ketua Jurusan masing-masing jika memiliki masalah dengan dosen.
“Kalau belum puas, ketemu saya langsung,” pungkasnya.
Reporter : Rifqi Al Wafi dan Rifaldi
Penulis : Rifaldi
Editor : Alfarabi dan Dea Agustin Nuraisyah